"Apa lagi sih, Sannn?!!" Bima mendengus kesal."Biar aku aja yang kerja, kamu cukup diam saja," kata Santi berusaha membuat suaminya tidak kecewa."Tapi aku sedang ingin melakukan gaya baru, makanya aku belikan kamu banyak kostum itu, tapi malah … aahhhh!!" Bima kembali ingin menguasai permainannya.Tapi, Santi dengan segenap usaha melawan rasa lelahnya mendorong Bima dan membalikkan posisi mereka."Aku nggak akan kecewain kamu, jadi tenang aja!" Santi mulai melakukan tugasnya sebagaimana mestinya.Jari-jarinya dengan pandai menari-nari di atas dada bidang Bima sementara bibirnya bergerilya mencari lawannya. Lidah mereka saling bertautan menyalurkan keinginan untuk memiliki.Ciumannya mulai turun dan menuju ke bagian perut. Rasa geli dan nikmat yang dirasakan Krisna oleh sapuan basah Santi membuat perutnya kembang kempis. Apalagi ditambah tangan Santi yang dengan lihai memainkan senjatanya yang sudah siap sejak tadi."Yang kuat, Sayangg!" Bima menahan nafasnya saat bibir Santi melahap
"Kenapa kalian seperti orang bodoh begitu, sih?" tanya Maura. "Oh, kalau manusia purba wajar aja, sih! Tapi kenapa Bima juga ikut-ikutan seperti orang bodoh? Bersikaplah sewajarnya!" imbuhnya."Bagaimana aku bisa bersikap wajar kalau tiba-tiba temanku yang tidak pernah mau dekat dengan wanita manapun ini memanggilmu dengan sebutan sayang?" Bima membela dirinya."Ya, sepertinya selama ini aku salah paham. Ternyata Maura ini diam-diam sudah menyimpan perasaannya kepadaku, dan akhirnya terjawab sudah kalau selama ini aku yang bodoh karena berpikir bahwa yang dia sukai itu adalah kamu!" ucap Aldo malu.Bima tersenyum tipis. Pada dasarnya dia sudah tahu sejak awal jika Maura dan Aldo itu sama-sama saling mencintai. Itulah sebabnya Bima tidak pernah ambil pusing dengan sikap Maura yang selalu mencari perhatian kepadanya."Dan seandainya dari dulu aku mengikuti saranmu untuk membuka hati pada Maura, menurutmu siapa yang akan terluka?" tanya Bima yang langsung mendapat cubitan dari istrinya
"Kamu ikut aku, sini!!" Maura menarik tangan Santi dan mengajaknya masuk kembali ke dalam.Maura memanggil penjaga yang sedari awal meremehkan kehadiran Santi. Dia sengaja meminta penjaga tersebut yang melayani mereka."Mbak, tolong yang ini dibalikin lagi," kata Maura dengan nada datar. "Terus tolong carikan aku gaun yang terbaru di sini, nggak usah mikir harganya ambilkan saja yang terbagus!" imbuhnya."Baik, Mbak!" jawab penjaga tersebut sambil berjalan menuju ke bagian gaun yang dianggapnya bagus dan memang terbaru di sana.Setelah mengambil beberapa gaun, penjaga yang bernama Eli tersebut memberikannya kepada Maura. "Ini Mbak gaunnya. Ini adalah gaun keluaran terbaru dan juga bagus jika dipakai oleh wanita cantik seperti Mbak ini," ujarnya memuji."Bukan buatku, tapi buat dia!" jawab Maura sambil menunjuk ke arah Santi.Eli tampak tidak suka ketika melihat Santi. Entah kenapa sejak awal melihatnya, Eli sudah berpikir bahwa Santi tidak layak menginjakkan kakinya di sana."Kamu ken
"Terserah apa katamu saja, San!" Maura menyerah dengan pola pikir istri Bima.Kalau secara fisik, Maura bisa pastikan untuk merombak keseluruhan. Tapi kalau untuk karakter, itu sangatlah sulit kalau tidak didasari atas keinginan orang itu sendiri.Akhirnya keduanya pergi ke sebuah restoran tempat dimana Bima dan juga Aldo menunggu dengan diantar oleh Septa. Tak butuh waktu lama untuk sampai sana karena jaraknya tidak cukup jauh.Saat Santi turun dari mobil, banyak pasang mata yang melihat ke arahnya sampai-sampai Santi merasa risih sendiri. Dia tidak terbiasa mendapat tatapan seperti itu."Orang-orang pada kenapa, sih? Ngeliatin aku gitu amat!" celoteh Santi."Dasar manusia satu ini, ampun deh!!" gerutu Maura. Maura memilih berjalan mendahului Santi karena kesal sendiri. Dia langsung menuju ke meja dimana ada Aldo dan juga Bima."Sukses, Sayang?" tanya Santi Aldi menyambut kedatangan kekasihnya itu."Lihat aja sendiri, tuh!" Maura menunjuk ke arah Santi yang masih sibuk sendiri mengom
“Al!!” tubuh Maura menegang dengan kedua tangan yang mencengkram sprei.Aldo tersenyum puas ketika melihat ekspresi Maura yang seperti itu. Dia kembali ragu akan melanjutkannya atau tidak.“Kenapa berhenti?” Maura yang tadinya memejamkan mata kini melirik Aldo yang tampak ragu.“Apa kamu yakin?” tanya Aldo.Maura segera bangkit dan mencium bibir Aldo dengan sangat lembut. Lumatan manis itu membuat Aldo merasa tertantang kembali karena sensasinya benar-benar berbeda ketika melakukannya dengan penuh cinta. Ditangkupnya kedua pipi Maura dan agar semakin intens dalam menyalurkan perasaannya.Lama dalam posisi seperti itu membuat Maura kesal sendiri. Dia menganggap Aldo tak mau melakukan itu dengannya. Alhasil Maura mengarahkan satu tangannya masuk ke dalam kain yang menutup senjata keras Aldo.“Ra!” Aldo tersentak kaget ketika miliknya diremas dan dikocok naik turun.“Dia sudah siap dari tadi, kamu nungguin apa?” Maura tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya.Aldo segera melepas semuany
Santi langsung panik ketika mendengar suara Bima berada di belakangnya. Terlebih ketika Bima bertanya perihal rahasia antara dirinya dengan papa mertuanya itu.“Ahhh, itu hanya …”“Kamu ini mau tau aja urusanku dengan menantuku. Bukannya kamu sendiri nggak mau aku ikut campur dengan urusanmu?” kata Adam santai.Dia tidak menggubris Bima sama sekali dan melanjutkan berdansa dengan Santi. Bima hanya bisa mendesis pelan dan menjauh dari sana sambil terus memantau situasi. Dia takut kecolongan lagi seperti yang sudah-sudah.Septa terlihat waspada dengan lingkungan sekitar dan terus mengamati setiap sudut ruangan dengan tatapan tajamnya. Di tangannya terdapat alat komunikasi berupa HT yang terhubung dengan rekannya yang ada di luar resto.Tak berselang lama suasana berubah menjadi gaduh saat datang beberapa orang dengan setelan jas berwarna hitam. Mereka tampak gagah meskipun salah satunya hanya memiliki satu tangan.Ya, mereka adalah keluarga Hamdan. Saat melihat kedatangan mereka, Bima
Maura buru-buru merapikan rambutnya yang masih berantakan sebelum membukakan pintu mobilnya. Kemudian memasang wajah tanpa dosa dengan senyum yang terkembang sempurna.“Kalian habis ngapain, sih?” tanya Santi.“Nggak ngapa-ngapain,” jawab Maura cepat.“Owhh, awas aja kalau sampai ada sisa di kursi mobil, aku akan suruh kamu buat bayar mobil ini tunai!” seru Bima kesal.“Kok suruh bayar? Emangnya kenapa, Sa?” Santi bingung kenapa Bima merasa kesal.“Kamu nggak perlu tahu, San. Jangan sampai otak polosmu itu diracuni sama dua orang yang nggak tahu tempat ini!” gerutu Bima sambil melirik mereka berdua bergantian.Santi manggut-manggut. Bukan karena dia mengerti, tapi lebih kepada tak tahu apa yang dibicarakan oleh suaminya. Yang terpenting baginya sekarang adalah cepat pulang agar bisa istirahat di rumah.“Pulang yuk!” rengek Santi sambil memegangi perutnya.“Kamu kenapa? Perutmu sakit?” Bima tampak khawatir melihat istrinya seperti itu.“Aku nggak apa-apa, ini udah biasa kalau lagi data
Bima mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Hamdan masih mengikuti dari belakang namun tak ada niat untuk menyalip. Hal itu tentu saja membuat pertanyaan muncul di hati Bima.Dalam hati dia pun bertanya-tanya, “Apa jangan-jangan dia hanya ingin mengetahui dimana tempat tinggalku?”“Sayang, apa nggak sebaiknya kita berhenti saja tanyakan apa maunya? Dari pada kejar-kejaran nggak jelas kayak gini juga, ‘kan?” tanya Santi.Bima menarik nafas panjang karena istrinya tersebut masih saja berpikir bahwa semua orang itu adalah orang baik. Mana mungkin dia mempertaruhkan keselamatan Santi sementara dia tidak tahu apa yang diinginkan oleh Hamdan sebenarnya.“Nanti lihat situasi aman dulu, ya!” sahut Bima.“Owh, oke!” Dalam hati Santi sebenarnya sudah merasa kalau dirinya berada dalam bahaya, namun dia harus tetap bersikap sewajarnya seolah tidak tahu apa-apa.Tekadnya makin kuat untuk belajar cara membela diri, jika bisa sekalian melindungi Bima, itu adalah bonus. Orang tidak akan perna
Santi memijit pelipisnya saking kesalnya dengan tingkah dua lelaki hebat di sampingnya. Ada rasa senang tapi juga sedih, karena kebebasannya terenggut secara tidak masuk akal.***Bulan demi bulan terlewati dengan berbagai macam aturan yang diberikan oleh Adam dan juga Bima. Namun ketika kehamilan Santi sudah memasuki bulan ketujuh, Santi mulai mengutarakan keresahan dalam hatinya."Pa, Mas … Aku ingin pergi ke mall untuk membeli keperluan bayi ini, ya. Udah lama aku nggak jalan-jalan keluar," pinta Santi di sela sarapan pagi mereka."Emangnya kamu mau beli apa? Biar aku aja yang beli kamu tinggal sebutin aja mau apa," jawab Bima."Iya, bener!" timpal Adam. Santi memasang wajah memelas sambil mengelus perut buncitnya. "Kalau nanti kamu lahirnya ileran, salahin aja Opa dan juga papa kamu ya, Nak!"Adam dan Bima langsung bergidik ngeri. Mereka tak menyangka Santi akan berkata demikian. Biasanya Santi akan menurut saja pada apa yang dikatakan oleh mereka."Kamu jangan kayak gitu dong, S
"Kamu kenapa sih, Sayang?" keluh Bima.Santi malah sibuk menutup hidungnya dengan selimut dan mengibaskan tangannya agar Bima menjauh darinya. Mencium aroma sabun di tubuh Bima membuat Santi merasa mual."Jangan deket-deket, Mas! Aku nggak suka bau sabunnya!" kata Santi."Bukannya ini bau sabun favorit kamu, ya? Kenapa mendadak jadi nggak suka?" tanya Bima.Santi ingin menjawab tapi perutnya seperti diaduk-aduk. Dia bergegas menuju ke kamar mandi berusaha mengeluarkan isi perutnya namun tak ada yang keluar sama sekali.Matanya sampai berair karena mencoba memuntahkan isi perutnya. Kepalanya terasa sedikit berat dan matanya berkunang-kunang."Kamu ikut aku sekarang!" kata Bima seraya menarik tangan Santi keluar dari kamar mandi."Mau kemana, Mas? Aku belum mandi!" Santi mencoba menolak namun tenaga Bima tentu saja lebih kuat."Udah, ikut aja!" seru Bima. Dia memberikan syal pada istrinya untuk menutup hidungnya agar tak mencium aroma sabun di tubuhnya.Adam yang baru saja selesai lari
"Kenapa gitu, San? Bentar lagi juga mateng kok!" kata Bima masih sambil mengaduk telur dalam wajan.Santi menghela nafas panjang sambil menyalakan kompor. "Mau sampai besok pagi juga nggak bakal mateng kalau kompornya belum dinyalain, Mas!" Bima garuk-garuk kepala sambil cengar cengir tak jelas. Dia mengalihkan pandangannya ke dalam wajan dan bertanya pada San, "Apa caraku memasak juga salah?""Nggak kok, Mas. Cuma mungkin ada cara yang lebih bagus lagi dari pada buang-buang minyak goreng," kata Santi seraya mengambil alih alat masak yang dipegang oleh Bima."Biar aku aja, Santi. Kamu kan lagi sakit juga," kata Bima."Nggak usah, biar aku aja. Kamu sama papa tunggu aja sambil nonton televisi," ucap Santi sambil mengurangi minyak goreng di wajan.Adam menarik Bima agar segera menjauh dari sana. Bagaimanapun juga memang lebih baik jika Bima menjauh dari dapur sebelum meledakkan dapur di rumah itu.Keduanya pun menuju ke ruang tengah sambil menonton televisi. Sesekali mereka bercengkrama
"Ada apa dengannya?" tanya Adam tak kalah panik."Aku juga nggak tahu, Pa. Tadi dia masih baik-baik aja!" ujar Bima sambil menggendong tubuh istrinya masuk ke kamarnya."Kamu juga, sih! Kenapa kurang memperhatikan kondisi istrimu! Dia pasti kelelahan karena belakangan ini selalu sibuk mengurus kita berdua!" cecar Adam sambil berjalan mengikuti anaknya di belakang."Papa nggak usah bawel, deh! Mendingan sekarang bantuin aku buat nelpon dokter agar segera kesini buat memeriksa kondisi istriku!" kata Bima.Beberapa kali mendapati Santi dalam kondisi yang buruk membuat Bima merasa benar-benar gagal menjadi suami yang baik. Apalagi Santi juga yang berapa kali malah melindunginya dari serangan musuh.Dalam hati Bima merutuki kebodohannya yang tidak bisa menjaga istrinya dengan baik. Kalau boleh memilih tentu saja Bima tidak ingin berada di posisi seperti kemarin.Bima pun ingin mempunyai keluarga yang harmonis dan bahagia seperti orang kebanyakan. Bukan malah penuh dengan darah dan juga den
"Sepertinya aku kedatangan tamu istimewa! Selamat datang!" Ucap Rizwan berusaha tetap tenang. Dia tak mau terlibat gugup di depan semuanya."Aku nggak mau basa-basi di sini. Yang aku tahu kamu udah menyuruh orang untuk melenyapkan Septa!" kata Santi."Hahahaha … sayang! Bukankah kamu sudah menyetujui permintaan Papa untuk menikah denganku? Kenapa sekarang kamu malah menuduhku melakukan hal itu?" tanya Rizwan. "Lagi pula kalau bukan karena Septa berkhianat, pasti papa aku juga nggak akan pergi meninggalkanku sendiri!" imbuh Rizwan."Aku tahu kamu sedih kehilangan papamu, tapi percayalah itu sudah kemauannya. Dia sendiri yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya," kata Santi mencoba berdamai dengan Rizwan."Sayangnya aku nggak bisa percaya begitu saja," Rizwan berjalan mendekat secara perlahan.Santi tetap waspada dengan segala gerak gerik Rizwan. Dia melihat ada senjata di saku samping Rizwan dan bisa diperkirakan itu adalah pistol."Kami mempunyai rekaman CCTV yang membuktikan bahwa p
"Apa sudah ada informasi siapa dalang dibalik semua ini?" tanya Bima."Semuanya tersusun rapi seperti sudah direncanakan jauh hari sebelumnya. Bahkan mereka tahu seluk-beluk perusahaan ini sampai bisa melumpuhkan Septa begitu saja." Aldo merasa dirinya sudah gagal."Pasti ada kerjasama dengan orang dalam. Kamu pastikan untuk mencari Siapa yang terlibat dengan semua ini!" kata Bima kemudian.Aldo mengangguk setuju. Dia pun mengirim pesan pada orang kepercayaannya untuk mencari tahu siapa yang berani berkhianat pada Bima."Sekarang kita ikuti kemana perginya mereka," kata Bima.Dalam mobil Bima sudah terpasang GPS sehingga bisa melacak keberadaan istrinya. Namun, Bima punya pikiran lain. Lawannya bukan orang yang sembarang bergerak. Terbukti dia menyusun rencana tersebut dengan rapi.Orang itu tidak mungkin dengan sengaja membawa mobil pribadi miliknya untuk menculik Santi pergi jika tanpa satu alasan. Orang itu pasti mempunyai rencana tersendiri untuk menjebaknya."Siapkan orang-orang
Mona tercengang mendengar pernyataan Santi. Dia sampai menganga tak percaya dan menatap Santi lekat."Kamu jangan bercanda, San. Bukannya kalian ini kerabat jauh?" Mona tak langsung percaya dan menepis tangan Santi."Itu hanya formalitas saja karena kemarin Mas Bima masih sangat takut aku kenapa-napa, dan sekarang kami nggak akan menutupi hubungan kami lagi," terang Santi dengan senyum manisnya."Ini nggak bener kan, Bim?" tanya Mona masih tak bisa percaya."Sepertinya kamu butuh pembersih telinga, Mona …" ucap Bima santai. Bima berdiri dan menghampiri istrinya. Dirangkulnya bahu Santi agar tubuh mereka menempel."Aku yang bersalah kemarin karena tak berani mengakui Santi sebagai istriku. Aku takut dia disakiti oleh orang lain, tapi sekarang aku sadar kalau ternyata dia tak selemah itu," imbuh Bima.Mata Mona berkaca-kaca ketika keduanya menunjukkan cincin pernikahan yang melingkar di jari masing-masing. Dia segera berjalan keluar dengan air mata yang sudah terlanjur menetes di pipin
Septa melajukan mobilnya dengan kecepatan stabil agar tidak mendapat teguran dari Bima. Dia sangat hafal dengan sikap Bima yang tidak mau diganggu ketika sedang bersama Santi, terutama untuk hal itu.Setelah beberapa menit, akhirnya mereka sampai di perusahaan dimana sebagian karyawan sudah mulai bekerja. Septa hanya mengetuk kaca mobil beberapa kali dan menunggu di tempat agak jauh, membiarkan atasannya yang sepertinya belum selesai dengan urusannya itu.Tak lama kemudian Santi turun lebih dulu dengan mulut komat kamit meluapkan kekesalannya. Rambutnya sedikit berantakan dan jangan lupakan bajunya yang tampak kusut."Nanti tolong ambilkan baju ganti di apartemen Mas Bima ya," kata Santi pada Septa."Baik!" jawab Septa singkat."San! Tunggu!" Bima bergegas menyusul Santi yang sudah masuk lebih dulu meninggalkannya.Namun begitu masuk ke area kantor, Bima langsung mengerem langkah kakinya. Bagaimanapun juga dia harus menjaga image sebagai seorang CEO di perusahaannya.Beberapa karyawan
"Dimana para penjaga di luar?" tanya Adam sambil turun dari ranjang dan bersembunyi di balik lemari agar tidak terkena lemparan batu.Tak berselang lama kemudian muncullah beberapa orang yang ingin mengecek kondisi atasan mereka."Maafkan kami! Tiba-tiba saja kami diserang secara beruntun dan tidak memperhatikan secara keseluruhan!" ucap salah satu dari mereka."Apa situasi di luar sudah terkendali?" tanya Bima."Sudah, Pak. Kebetulan Pak Aldo yang langsung turun tangan tadi," katanya lagi."Suruh Aldo kesini!" kata Adam.Orang itu mengangguk dan segera keluar untuk menjalankan perintah tersebut. Dia langsung menyampaikan pesan dari Ada pada Aldo.“Ada apa, Om?” tanya Aldo begitu sampai di ruangan Adam dan Bima dirawat.“Siapa mereka?” tanya Adam.“Masih belum bisa dipastikan siapa pelakunya, Om. Tapi besar kemungkinan itu adalah orangnya Rizwan,” kata Aldo.“Lalu gimana dengan Baron?” tanya Adam lagi.Aldo tersenyum tipis dan mengalihkan pandangannya. Dia enggan menjawab pertanyaan