PART 4
“Ini kembaliannya, Bu,” ucapku ramah pada pembeli beras.
“Makasih, Neng. Neng ini orang baru kerja di sini, ya?” tanyanya.
“Saya bukan orang kerja, Bu. Saya adik dari Kak Heru.”
“Oh, begitu.”
Aku menyimpan uang di dalam laci, tampak Kak Heru juga sedang sibuk melayani pembeli beras. Di saat begini, Mbak Rena malah tidak keluar. Ia berdiam diri di dalam kamarnya.
Apa salahnya membantu kami berdagang? Ah, sudahlah. Mungkin Mbak Rena lelah. Beberapa saat kemudian, toko sudah cukup sepi. Pelanggan sudah pulang membawa belanjaannya.
“Hai, Heru! Lancar sekali penjualannya, ya?” sapa seorang lelaki berkumis tebal yang baru saja turun dari mobil pick up.
Aku ngeri melihat posisi mobilnya yang menepi di pinggir jalan, takut terjadi kecelakaan. Aneh, udah tahu tikungan malah parkir sembarangan.
Padahal, halaman parkir depan toko ini cukup luas untuk menampung motor dan mobil.
Tak terbayangkan kalau akan kembali terjadi kecelakaan di ruas jalan akibat kelalaian. Lelaki itu tampak ngobrol akrab dengan Kak Heru, kutebak ia adalah salah satu pelanggan beras. Aku tak suka bau parfum yang dipakai oleh lelaki ini, begitu menyengat. Baunya pun aneh.
“Coba kamu pakai jimat kayak saya, Heru. Pasti penjualan beras kamu akan makin meningkat.” Lelaki berkumis itu berkata sambil menepuk pundak Kakak.
“Tanpa jimat saja rezeki saya sudah lancar, toh? Saya tak percaya jimat-jimatan, dosa,” jawab Kak Heru.
“Buktinya usaha saya lancar. Kamu tahu sendiri penjualan hewan ternak saya lancar jaya.”
“Mas Parno, mau beli apa di sini?”
Lelaki berkumis itu malah terkekeh, ia tampak geli dengan sikap Kak Heru yang tak mau meladeninya pamer penjualan. Ia berdiri dari tempatnya duduk dan meraba kantong bajunya.
Tertawanya seperti orang meledek, masih saja gigi gerahamnya terlihat saking serunya. Aku tak suka.
“Saya mau beli sepuluh karung beras dan dua karung kacang kedelai.”
“Banyak banget belanjanya. Sering-sering aja,” goda Kak Heru sambil menuliskan nota.
Memang untuk penjualan skala besar akan dicatat dalam nota oleh Kak Heru.
“Mau acara aqiqahan anak kedua saya. Kamu kapan punya anak?”
Pertanyaan itu membuat Kak Heru berhenti menggerakkan pena. Ia tertegun sejenak, pandangannya lurus ke depan. Mungkin ia sedih.
Tentu saja, siapa yang tak sedih kalau belum punya keturunan. Tujuan pernikahan adalah untuk punya anak, bukan?
Tapi, bukannya Mbak Rena pernah hamil dua kali? Pasti ia memberi tahu pada Kak Heru, kan? Layaknya pasangan muda yang senang karena hamil. Rumah tangga mereka mengapa dingin sekali.
Apa Mbak Rena gak bilang kalau pernah hamil? Kalau memang keguguran, pasti Kak Heru juga tahu. Aduh! Semua rumit. Terlalu misterius.
“Belum saatnya saya punya anak. Mungkin suatu hari nanti, Mas. Allah belum menitipkan.” Kak Heru kembali menulis. Namun, kali ini wajahnya sudah berubah sedih.
“Hahaha … jangan kira saya tidak tahu. Saya tahu semuanya, Heru!”
Aku masih melayani orang membeli beras. Namun, telinga ini terpasang sengaja untuk menguping. Hatiku terus mengumpati lelaki itu.
Enak saja ngajakin sesat, keluarga kami tak punya sejarah berurusan dengan set4n. Kalau mau sesat ya sendiri aja, ngapain ngajak-ngajak!
“Ini berasnya. Makasih udah belanja,” ujarku ramah pada seorang kakek.
“Makasih, Nduk. Kamu tolong antar saya menyeberang jalan, ya? Saya takut, soalnya mobil itu di jalan. Mata saya juga sudah agak rabun.”
“Iya, Kek. Aman aja kalau sama Siti pasti akan dibantu,” sahutku cepat.
Segera kutuntun Kakek yang tak kuketahui namanya itu menyeberang jalan. Memang agak sulit karena mobil pick up milik Mas Parno itu mengganggu. Mana kendaraan padat lagi, kalau terjadi apa-apa bakal ribet juga.
Lagian, harusnya otak orang dewasa mampu berpikir jernih. Kak Heru juga mengapa tak menegur temannya itu, semuanya salah! Masa harus aku yang menegur.
“Rumah Kakek sebelah mana?”
“Masuk gang depan, Nduk.” Ia menunjuk gang depan. Jalan setapak sepertinya cukup menyulitkan.
Jalan sempit ini hanya cukup untuk dilalui sepeda motor. Kalau mobil tak bisa masuk.
“Biar Siti aja bawain berasnya, biar gak capek.”
“Makasih, ya. Kamu anak baik.”
Tak berselang lama, kami sudah sampai di rumah Kakek. Kami disambut baik oleh istrinya yang ramah. Sepanjang jalan juga tadi kami saling bercerita, sampai aku tahu tentang sedikit keluarga sang kakek.
“Suasana toko kakakmu gerah, ya. Setiap beli beras saya merasa gerah,” kata Kakek sambil mengipasi dirinya.
“Gerahlah, Kek. Siang hari matahari terik,” jawab Nenek.
“Beda, Bu. Rasa gerahnya beda,” sanggah Kakek.
“Siti pulang dulu, Kek, Nek.”
Di jalan pulang, aku merasa heran. Kata Kakek, ia merasa gerah. Gerah kenapa? Biasa saja. Namanya juga orang tua, mungkin sudah mendekati pikun.
Sebelum pulang ke toko, aku membeli tiga bungkus es buah yang berjualan di pinggir jalan. Panas-panas gini enaknya minum es buah.
“Dari mana kamu?” tanya Kak Heru.
“Siti abis nganterin kakek tadi pulang, kasihan.”
Aku meletakkan sebungkus es di meja Kak Heru dan segera masuk ke dalam untuk mengantar es juga pada Mbak Rena.
Di depan TV gak ada, di dapur gak ada. Mbak Rena di mana? Pintu kamarnya aja terkunci, kok. Masa mengunci diri di dalam kamar?
“Mbak, buka pintunya. Siti bawain es buah.” Aku memanggil di depan pintu.
Aku kaget bukan kepalang kala mendapati mata Mbak Rena sembab lagi. Habis nangis? Aduh, memang wanita ini cengeng atau hatinya kembali terluka? Aku kasihan dan ikut simpati. Wajah polos Mbak Rena menyimpan kesedihan teramat dalam.
“Kenapa nangis, Mbak?”
“Siapa yang nangis, Siti? Mbak gak nangis, kelilipan tadi.”
“Ya, udah kalo gitu. Ini es buah.” Aku memberi es, sekejap minuman itu sudah berpindah tangan.
“Makasih. Eh, itu sudah jam setengah dua. Kamu belum salat zuhur, kan? Cepatlah,” kata Mbak Rena.
“Duh, iya. Kelupaan, soalnya tadi rame yang beli beras.”
“Iya, pergilah. Beribadahlah sana.” Mbak Rena mengembangkan senyum getir. Aku bingung.
“Siti salat duluan, nanti kita gantian. Salat di kamar siti aja, Mbak.”
Mbak Rena diam, ia menunduk bak patung. Sejak kapan orang di rumah ini meninggalkan salat wajib? Aku kaget karena tiba-tiba wanita cantik ini memelukku erat.
Ia menumpahkan segala kesedihannya dipundak. Seperti biasa, ia kembali menangis. Sungguh membuatku hanyut dalam kebingungan. Ia tersedu-sedu, memilukan.
“Mbak kenapa?”
PART 5jam delapan malam HP-ku berdering. Ada panggilan dari Ayah. Segera kuangkat dengan perasaan senang.“Assalamualaikum, Nduk. Gimana kabar kamu?” tanya Ayah dari seberang sana.“Waalaikumsalam, Siti baik. Ibu mana?”“Syukurlah kalau begitu. Ibu ada di sebelah Ayah ini, katanya mau dengar suara kamu.”“Nduk, gimana keadaan di sana?” Kali ini Ibu yang berbicara.“Semuanya sehat, Buk. Kakak dan Mbak Rena sehat, penjualan beras juga lancar. Pelanggan mereka banyak, Siti sampai keringatan.”“Alhamdulillah kalau begitu. Baik-baik di sana, ya. Salam buat Kakak dan Mbak Rena. Ibu gak bisa telepon lama-lama, masih mengikat sayuran.&rdq
PART 6Sejak bangun, aku tak ada menyapa Kakak. Hati masih terasa sedih karena sikapnya tadi malam, beberapa kali membentakku. Biasanya ia tak pernah bersikap kasar, selalu baik walaupun otaknya sedang kacau. Seberat apa pun masalahnya, ia berusaha menahan emosi, tetapi tidak untuk tadi malam. Bukan seperti Kakak yang kukenal.Aku menjalani hari seperti biasanya, membereskan pekerjaan rumah sampai semuanya selesai. Kali ini rasanya lebih lelah karena tidak dibantu Mbak Rena sama sekali. Kalau berdua akan lebih cepat selesai, bukan? Lagian tumben jam segini istri Kakak belum bangun. Kasihan memang, ia tetap bangun subuh walaupun enggan menjalankan salat.Entahlah, kasihan dan sedih jadi satu. Baru tiga tahun usia pernikahan mereka, tetapi kenyataannya sekarang seperti tak saling cinta. Terlalu cuek dan tidak perduli.“Mbak, bangun. Siti udah selesai masak, kalau
PART 7“Apanya yang enggak? Saya tukang nguping juga, Neng. Saya hafal semua jurus nguping, hehehe. Ini esnya,” candanya sambil menyerahkan es.“Ini uangnya. Makasih, Bang.” Segera kuberi uang pas untuk membayar es.“Judes amat. Awas, nanti jatuh cinta sama saya.”Aku tak memperdulikan candaan dari abang penjual es itu. Memang manis, sih. Eh, aku mikir apaan?Segera kupercepat langkah kaki agar sampai toko. Kedai es ini tak jauh jaraknya, hanya dua puluh meter. Jalanan terasa gerah karena matahari bersinar menyengat kulit. Aku selalu berhati-hati saat menyeberang jalan sebab tikungan depan toko sangat mengerikan. Mengapa pula Kakak memilih tempat seperti ini. Mengerikan.Kuletakkan satu bungkus es di meja Kakak. Rupanya si Mas Parno kembali datang hari ini. Mau beli apa? Bukannya kemarin sudah beli beras banyak? Lelaki yang
Tak berselang lama, pintu kamar pun dibuka. Kakak berhasil masuk dari jendela dan membuka pintu. Setelah masuk, tampaklah Mbak Rena masih tiduran dengan mata basah. Bantalnya pun basah karena air mata. Kusentuh keningnya, tak ada gejala demam. Biasa saja. Apa ia tak punya tenaga untuk menyahut panggilanku tadi? Sampai cemas dibuatnya.“Mbak? Mbak kenapa? Jangan nangis.”“Mbak pusing, mual.” Suara Mbak Rena terdengar sengau, kasihan.“Jangan khawatir, Siti. Mbak kamu itu lagi hamil, setiap kali hamil memang begitu dia. Nangisnya makin jadi.”Aku menatap Kak Heru heran. Dari mana ia tahu kalau Mbak Rena sekarang sedang hamil? Kami baru masuk kamar ini dan Mbak Rena tak bilang apa-apa tentang itu. Kakak sok tahu banget! Masa ada orang hamil yang gejalanya suka nangis-nangis kejer kayak orang sawan.&
PART 9“Permisi … permisi ….” Terdengar suara seseorang dari luar.Siapa lagi yang datang sudah mau magrib begini. Ada-ada saja, untungnya masih sore. Kalau malam hari mungkin aku akan merasakan takut. Dengan malas, kulangkahkan kaki menuju depan.“Mas Heru ada, Neng?” ucap lelaki bertopi merah itu.“Oh, ada. Tapi, masih di belakang. Memangnya ada perlu apa, Om?”“Ini, saya datang nganterin sepasang angsa pesanannya.”Benar, dia membawa sepasang angsa putih yang ditali. Buat apa Kakak beli sepasang angsa? Lama kupandang. Menarik.“Sudah dibayar belum?”“Sudah, Neng. Saya tinggal nganterin aja, nih. Biasanya disuruh ikat di situ,” tunjuknya mengarah ke cantelan besi.“Oh, langsung ikatin
“Aduh, gawat!” gumam Kakak terlihat bingung.Gawat! Kakak bilang gawat, apa artinya ada pencuri yang datang hendak mengambil beras?“Kak, maling. Kayaknya ada maling di gudang beras,” ucapku cemas.“Hahaha, kamu lucu kalau panik. Matanya bulat sempurna! Jangan takut, Siti. Itu bukan suara maling, itu hanya suara karung beras jatuh. Sudah terbiasa, kok. Dah magrib, kamu salatlah di kamar. Kakak mau ke gudang.”“Siti ikut,” pintaku.Kakak hanya menjawab dengan gelengan kepala, isyarat jangan mengikutinya. Oh, baiklah. Aku hanya menatapnya membawa angsa itu ikut bersamanya ke
PART 11Tak terasa sudah satu bulan aku tinggal di tempat ini. Sudah mulai terbiasa dengan rumah tangga aneh Kak Heru dan Mbak Rena. Aku pun makin hafal jalan daerah sini, sudah sering bepergian sendiri naik motor. Kadang diminta mengantar beras barang sekarung dua karung. Aku selalu tersenyum kala melewati universitas kota ini. Tahun depan aku akan kuliah di sana.Sekarang sedang menikmati waktu kebebasan tanpa harus belajar dan bikin tugas yang bikin pusing. Tahun depan, aku sudah benar-benar siap memeras otak untuk belajar lagi. Bayangan wajah Ayah dan Ibu makin membuat semangat.“Neng, beras satu karung.”Aku terkejut melihat wanita paruh baya yang ingin membeli beras satu karung. Heran bukan sembarang heran, tapi karena baru beberapa hari yang lalu ia ke sini dan membeli sekarung beras. Tak mungkin secepat itu habisnya. Apa mungkin di rumahnya banyak orang? Entahlah. 
Baru beberapa langkah kakiku berjalan, keributan itu kembali berlanjut. Suaminya marah dan si ibu tak mau kalah. Berbagai alasan selalu dilontarkan, bakal perang dunia ini kayaknya. Aku menggaruk pucuk kepala. Tapi, kalau dipikir benar juga. Beras sudah sebanyak itu malah beli terus. Apa ibu itu punya sakit pelupa akut?“Kalau bukan kamu yang salah, terus siapa? Apa si penjual beras sudah pakai penglaris? Tuyul? Pocong?” Suara lelaki itu meninggi.“Mana mungkin! Ibu lihat dia sering sedekah ke pengemis jalanan.”Aku masih mendengar perdebatan mereka dari depan. Sejenak, aku terdiam. Mengapa lelaki itu sampai melontarkan tuduhan yang tidak-tidak? Mana mungkin Kakak memakai hal begituan. Waktu mengobrol dengan Mas Parno saja ia menolak keras tentang jimat penglaris usaha. Tid
Hai, kita jumpa lagi. Happy reading yahh.PART 15“Siti, kamu udah sadar? Alhamdulillah,” kata Mbak Rena.Aku bingung saat menatap sekeliling. Ruangan putih, di mana ini? Lamunan ini terhenti kala merasa sekujur tubuh ngilu. Seperti habis dipukul kayu berat di bagian tengkuk dan punggung. Kepala juga terasa pusing tak karuan.“Kamu di rumah sakit. Tadi malam kamu pingsan di ladang tebu,” timpal Mbak Rena seolah paham kebingunganku.Aku menatapnya lekat. Beberapa saat kemudian, aku baru ingat kejadian tadi malam. Aku berusaha mencari keberadaan Mbak Rena dan kakak yang tiba-tiba menghilang. Menerobos hujan hanya mengkhawatirkan mereka.Namun, bukannya mereka yang kutemui. Malah menemukan keanehan yang baru. Masih jelas terbayang apa yang terjadi dalam gubuk itu. Siapa lelaki itu?“Kamu kena
PART 21“Siti, kamu kembali,” kata Kakak seperti heran.Berkali-kali ia mengucek mata. Terakhir, ia mencubit pipiku.“Ini kamu, Siti?”“Apaan, sih, cubit-cubit. Sakit, tau.”Wajah Kakak sembab seperti baru habis menangis, dikantong bajunya ada HP yang masih menyala cahayanya.“Kakak baru aja mau hubungin keluarga di desa,” ucapnya tiba-tiba.Memang apa hubungannya kedatanganku dengan keluarga di desa? Mengapa pula Kakak menangis. Apa kecelakaan di tempat ini disebabkan oleh Kakak? Aku mulai curiga. Namun, aku masih belum bisa menjadikan ini sebagaii petunjuk. Belum ada bukti nyata.Lagian masa iya Kakak tega menumbalkan aku yang adik kandungnya. Jangan-jangan ini gara-gara Mbak Rena?“Siti, kamu kenapa luka-luka?&r
Tiba-tiba firasatku tak enak, segera kubaca ayat kursi sebanyak-banyaknya dalam hati dan memohon perlindungan dengan Allah. Mataku berkedut-kedut tak karuan. Filosofi orang dahulu, artinya akan menangis. Aku jadi takut dan gelisah.“Siti, kamu antarkan kacang tanah ini ke rumah Bi Inah.” Kakak menyerahkan kantong berisi kacang tanah.Tak berat, mungkin hanya sekitar tiga cupak. Bi Inah adalah wanita penjual peyek, aku pernah beberapa kali diminta Kakak mengantarkan kacang tanah ke rumahnya. Tak jauh, seberang jalan dan masuk gang sedikit.“Iya, Kak.”Aku berjalan untuk menjalankan perintah Kakak, tapi entah mengapa ia terus menatapku tanpa henti. Tak berkedip dengan wajah sendu. Aneh. Lalu, ia segera
PART 19Kami pulang ke rumah setelah melewati kejadian menjengkelkan itu. Mbak Rena kumaki habis-habisan dan tak segan-segan kuancam layaknya seorang narapidana. Ia tak melawan, hanya diam sambil menangis. Mungkin menyesali diri atau mungkin menyesal telah membawaku ikut ke tempat terkutuk itu.Sangat tak mampu diterima akal sehat, perbuatan yang bejat moral. Makin berat saja tugasku harus pula menjaga kandungan Mbak Rena. aku sangat tidak ikhlas kalau bayi itu digugurkan. Sungguh, tak akan segan melaporkan ke pihak berwajib.“Ingat, Mbak. Kalau berani macam-macam lagi, Siti tak segan melaporkan kalian berdua ke polisi!” ancamku.“Mbak sadar kalau salah. Maafkan, ini tidak akan terulang kembali.” Mbak Rena menyahut saat motor sudah di depan toko.Kami turun dan melihat Kakak sedang duduk manis. Tatapan mata mereka bertemu, seketika aku
Jangan-jangan semua isi plastik di sana itu adalah janin yang diaborsi. Ya Allah! Siapa pelakunya? Jangan-jangan Mak Pia itu dukun aborsi! Entah mengapa pikiran negatif itu langsung menghampiriku. Saat ini aku sangat mengkhawatirkan nasib Mbak Rena.Apa mungkin ia datang untuk menggugurkan janinnya? Gila, sungguh gila! Kresek itu kubawa berlari ke rumah Mak Pia. Ngos-ngosan karena lelah pun tak kuperdulikan, dalam kepala hanya ada keselamatan Mbak Rena.“Aduh! Pintu terkunci lagi.”&nb
PART 17HAPPY READING.Seusai salat subuh, aku merasa pusing. Bayangan kejadian tadi malam membuat kesal sekaligus tegang. Setelah berpikir panjang, aku mengajak Yani pulang ke rumahnya tadi malam. Dengan keyakinan kalau semua akan baik-baik saja, sebuah keributan itu tidak akan mencelakakan salah satu dari kakak atau Mbak Rena.“Kamu gak pa-pa?” tanya Yani khawatir.“Enggak, kok.”“Sebenarnya kejadian tadi malam itu aib keluarga, semoga kamu tak memberi tahu siapapun. Hanya kamu dan Bude Ratmi yang tahu. Tolong rahasiakan dan jangan takut denganku,” ucapku sambil menatap wajah Yani lekat-lekat.“Iya, aku gak akan. Kamu dalam masalah besar, selidikilah. Kalau ada apa-apa hubungi nomorku atau langsung datang ke sini. selama Allah di hati, kamu akan selamat.”&l
“Kecelakaan yang sering terjadi apakah ada hubungannya kalau orang memakai ilmu hitam?” tanyaku pada Bude.Bude diam, ia tampak bingung menatap langit-langit rumahnya.“Bude tak tahu soal itu. Kamu cari tahu, pelan-pelan selidiki.”“Siti mau berangkat sekarang,” pintaku.Bude mengangguk, ia memerintahkan Yani untuk mengantarkanku dengan sepeda motornya. Sepanjang jalan, kami tak banyak berbicara. Sepertinya Yani takut setelah mendengar obrolan di rumahnya tadi. Apa ia juga jadi takut denganku? Tak berselang lama, kami telah sampai. Mengapa toko gelap sekali. Tak dihidupkan lampunya, padahal tetangga lain rumahnya terang.&ldqu
PART 15“Masuk, Nduk Siti.”Aku pun mengikuti Bude Ratmi dan Yani masuk ruang tamu. Pikiranku kacau tak menentu. Jangan-jangan Kak Heru memakai jasa tuyul atau penglaris. Entah mengapa pikiran itu seolah menghantui, apalagi desas-desus sudah banyak terdengar.“Ada masalah apa?” tanya Bude Ratmi serius.“Enggak tahu, Bude. Nanti malam Siti boleh pinjam motor gak? Mau pulang sebentar.”“Oh, boleh. Jangan sendirian, berdua sama Yani biar ada kawannya.”“Alhamdulillah, makasih, Bude.”“Sekarang solat magrib dulu, ayok! Nanti habis makan malam, kalian pergi.”“Iya, Mak. Nanti Yani akan temenin Siti pulang,” sahut Yani.Hari memang sudah gelap, terdengar suara azan dari masjid. Sejenak, kutenangka
Brak! Brak!Suara berisik terdengar dari gudang beras. Duh, jangan-jangan beras pada berjatuhan lagi. Mana Kakak belum pulang lagi, apa mobilnya macet atau ada masalah apa di jalanan. Setiap ada keributan, Mbak Rena tak pernah perduli. Ia tetap berdiam diri di dalam kamarnya.“Suara apaan? Apa suara maling?”Cepat-cepat kutinggalkan toko dan menuju gudang beras. Pintunya memang tak dikunci kalau siang karena Kakak sering masuk untuk ambil beras. Setelah pintu terbuka, tak ada kekacauan apa-pun. Semua tampak biasa-biasa saja.“Mana suara beras jatuh tadi, ya? Kok, enggak ada.” Aku terus berjalan memeriksa ruangan.Karena lelah, aku d