Felix cepat-cepat keluar dari mobil ketika tiba di tempat yang dikatakan oleh Raisa. Ia meminta Revalina untuk menunggu di mobil, tetapi jika Raisa ke sana Revalina harus segera sembunyi sebisa mungkin. Raisa yang telah menunggunya begitu lama pun cemberut karena kesal pada Felix. Felix mencoba membujuknya beberapa kali untuk mengembalikan senyuman dari gadis pujaannya itu. Setelah mengobrol dan menikmati beberapa hidangan di tempat itu, Raisa meminta pada kekasihnya untuk dibelikan pakaian model terbaru yang sangat ingin ia miliki. Tentu saja apapun yang diinginkan olehnya tidak akan mungkin ditolak okeh Felix. Raisa bukan semata-mata marah pada Felix karena telat ataupun cemburu jika bersama dengan Revalina, tetapi karena ia tidak mau kalau Felix berpaling darinya yang hanya akan membuatnya tidak bisa memiliki apapun. 'Mbak Raisa, kayaknya menuju ke sini.' Revalina membatin ketika melihat Raisa yang berjalan dengan bergelayut manja di lengan kekasihnya. Felix membukakan pintu mo
Tidak ada kecurigaan di benak Vina kala melihat anak dan menantunya pulang, ia selalu senang jika mereka bersama-sama seperti itu. Padahal, di sisi lain Felix telah membelikan banyak barang-barang yang mahal untuk Raisa tanpa sepengetahuan sang Ibu. Keesokan harinya, ketika Felix hendak pergi ke kantor ia berdiri di tangga merogoh sakunya untuk mengambil ponsel, tetapi ternyata di dalamnya terdapat cicin pertunangannya dengan Raisa. Cincin tersebut menggelinding ke bawah jauh dari pandangan Felix, ia mencoba mencari-cari sampai ke dasar tangga, tetapi tidak ditemukan juga. "Felix, apa yang sedang kamu cari?" tanya Vina tiba-tiba muncul di belakangnya. Pria itu tersentak kaget dan langsung berbalik, "Mmm, ini. Anu, Ma." Vina menaikkan kedua alisnya menunggu jawaban putranya. Felix menelan saliva gugupnya mencoba mengatakan kalau yang dicari adalah flashdisk. Vina mau membantu mencari, tetapi Felix menolak katanya tidak ingin merepotkan ibunya itu. "Apa itu mau dipakai sekarang?" t
Revalina masih memperhatikan ponsel yang sejak tadi tidak berbunyi, ia menunggu seseorang mengabarinya walaupun hanya lewat pesan singkat, tetapi tidak ada sama sekali. Ia sangat khawatir tentang keadaan Felix yang ditunggu-tunggunya, ada perasaan cemas yang menyelimuti hati gadis itu. Kecemasannya membuat Revalina meriah benda persegi panjang itu, meyakinkan hatinya menghubungi Felix. Namun, ternyata pria itu tidak dapat dihubungi sama sekali. Revalina tersentak kaget meletakkan ponselnya kembali di atas sofa karena mendengar kilatan petir. Hujan pun segera turun membasahi setiap dedaunan di sana. Revalina kembali membuka jendela menatap keluar dari lantai atas itu. Ia sama sekali tidak mendapati mobil Felix terparkir di sana. Revalina meraih jaketnya yang tergeletak di atas sofa, ia berlari menuruni anak tangga dengan cepat. Vina yang netranya masih sayup-sayup itu tidak sengaja melihat Revalina yang berlari kencang. Vina yang mau meneguk air pun menghentikan aktivitasnya, lalu m
Revalina duduk bersiap untuk sarapan bersama dengan Felicia dan mertuanya, dua orang pembantu sedang membawakan makanan mereka ke atas meja. Usai dua wanita itu pergi, Vina bicara pada menantunya mengatakan untuk tidak pergi sendiri ketika ada urusan mendesak apalagi tentang Felix. Bagi Vina Felix adalah hal yang paling berharga dalam hidupnya, tidak ada lagi yang paling berharga kecuali pria tersebut. Tidak ada orang yang lebih ia sayangi setelah suaminya kecuali putra semata wayangnya itu. Revalina meminta maaf karena ia tidak bermaksud untuk menyembunyikan masalah semalam. Ia hanya terlalu panik jika sampai terjadi hal buruk pada suaminya itu. Felix datang duduk di samping Revalina sambil menyentuh bahu gadis tersebut. Felix tersenyum pada Revalina dan ibunya secara bergantian. "Kamu jangan terlalu mengkhawatirkan aku sayang, aku akan baik-baik aja," ucap Felix pada istrinya sambil menginjak kaki Revalina yang berada di bawah meja. Revalina merasakan sakit di bagian kakinya, Fel
Felix meraih tangan Raisa yang sedang memaksa Revalina makan. Ia mencengkram lengan gadis itu dengan kasar membuat pemiliknya meringis meminta dilepaskan. "Apa ini? Sikap seperti inikah yang mau kamu tunjukkan pada ibuku?" tanya Felix. "Kenapa? Sekarang kamu mau membela gadis ini?" tanya Raisa sambil melepaskan lengan Felix darinya. "Aku tidak membelanya, tapi di sini aku punya rasa kemanusiaan. Setiap orang punya hak, tapi tidak seharusnya orang itu berbuat seenaknya tanpa mempedulikan perasan yang lainnya. Termasuk kamu Raisa, kamu tidak berpikir apa yang kamu lakukan ini salah." "Kamu gak usah banyak alasan, sebenarnya kamu itu membela dia makanya sampai marahin aku. Aku gak nyangka ya kamu kayak gini terus sama aku," keluh Raisa. "Ya aku lebih membela Revalina daripada kamu dan ketika kamu ada di posisi yang sama aku juga pasti membelamu," jelas Felix. Felix meraih tangan Revalina mengajaknya untuk pulang, ibunya Raisa mengejar mereka mengatakan sebaiknya makan malam terlebi
Revalina minta putar balik karena ia ingin kembali ke rumahnya untuk memberikan uang lagi pada Windy. "Kembali ke rumahmu dan bertemu dengan perempuan gak tahu malu itu?" tanya Felix. "Adik saya membutuhkan uang untuk biaya sekolahnya," keluh Revalina. "Terus dari tadi kamu ngapain aja di rumah itu?" "Saya udah ngasih uang buat Windy, tapi uangnya diambil sama Kak Siska." Felix tidak mau Revalina buang-buang uang karena pasti setiap kali memberikan uang akan diambil oleh Siska. Felix melarang keras wanita itu untuk ke rumah rumahnya, ia tidak mau berhubungan dengan keluarga itu terutama dengan Siska. "Bagaimanapun juga mereka adalah keluarga saya, Pak." "Anggap saja mereka jauh darimu, selama pernikahan kontra ini masih berlangsung saya tidak mau melihatmu bertemu dengan mereka. Apapun yang terjadi pada mereka, kamu jangan kembali sebelum kontrak ini selesai!" "Tapi, Pak. Bagaimana jika adik saya yang paling kecil tidak sekolah karena gak ada biaya?" "Revalina, ketika kamu su
Sepulang mengerjakan tugas dari rumah teman kuliah, adik Revalina menemui ibunya yang sedang memasak. Ia berdiri tepat di samping wanita itu, gadis tersebut mengatakan kalau Revalina sudah berubah. Revalina yang sekarang bukanlah Revalina yang dulu. "Apa yang kamu bicarakan?" "Di kota, aku ketemu sama Kakak, tapi dia pura-pura gak kenal sama aku." "Mana mungkin kakakmu pake pura-pura gak kenal segala." Sang Ibu tidak percaya. "Aku gak bohong, Bu. Tadi ketemu Kak Revalina di taman sama anaknya Kak Felix, tapi dia gak kenal sama aku." "Kamu salah orang kali, Nak." "Aku gak salah orang, itu jelas-jelas Kak Revalina. Dia udah berubah, Bu. Aku yakin kalau Ibu ketemu sama dia pasti Ibu baru percaya sama ucapanku, karena aku gak pernah mengada-ada. Apa yang aku lihat itu benar, tidak mungkin aku salah orang sedangkan selama ini aku hidup bersama dengannya." "Bukannya Ibu gak percaya sama kamu, Nak. Tapi apa yang kamu bicarakan ini adalah hal yang gak mungkin, Revalina adalah Kakak kam
Suasana pagi menyambut sepasang suami istri yang baru saja menuruni anak tangga secara bersamaan. Felix sengaja merangkul pinggang Revalina untuk menyembunyikan tangannya yang teluka. "Ya ampun kalian ini, masih pagi udah romantis-romantisan aja, bikin Mama iri." Vina mengawali pembicaraan. "Kalau gitu Mama punya suami lagi," usul Felix. "Nggak, Mama udah tua gini ngapain punya suami baru. Mama mau setia aja sama Papamu, gak ada yang bisa menggantikan posisi dia di hati Mama dan Mama yakin gak akan ada laki-laki seperti Papa kamu di dunia ini."Vina terlihat berkaca-kaca di netra Felix, ia ingin merangkul sang Ibu sebagai bentuk kasih sayangnya, tetapi tidak bisa karena pasti Vina akan melihat tangannya. Sejak tadi Felix mencoba menyembunyikan tangannya, tetapi Vina malah mengajaknya untuk sarapan tentu saja tangannya akan terlihat jelas. "Aku udah bawain bekal buat Felix, aku juga makan sama dia di kantor." Revalina menjawab berusaha menolak ajakan Vina secara baik-baik. "Lho ke