"Ren, tolong ke ruanganku sebentar. Bawakan berkas untuk ditandatangani," kata Alvin pada sekretarisnya itu.
"Sekalian, berkas untuk seminggu kedepannya," lanjut Alvin lagi.Pintu terbuka, wangi parfum yang sangat dikenal Alvin, lebih dulu sampai di indera penciumannya. Itu tanda yang datang adalah sang sekretaris.Sudah seminggu sejak kematian ayahnya, dan Rena baru masuk kembali setelah mengambil cuti. Alvin sudah sangat merindukannya, hingga mengambil kesempatan untuk segera bertemu dengan wanita yang sebenarnya masih mempunyai tempat dihatinya itu.Tapi Rena sudah berubah penampilannya. Tidak ada lagi Rena dengan blazer dan rok pendeknya, rambut yang sering berganti model. Kadang lurus, kadang bergelombang itu, sekarang diikat rapi.Alvin takjub melihatnya, Rena sangat cantik sekali dengan balutan baju dan celana panjang yang menutup tubuhnya.-Ah, Rena. Andai saja dulu kamu tidak menolakku, mungkin saat ini, aku adalah laki-laki paling beruntung di dunia ini.- Batin Alvin.Lelaki ini hanya diam sambil terus memandang ke arah Rena."Ini berkas yang harus ditandatangani. Tapi kenapa yang untuk seminggu ke depan juga harus dibawa sekarang?" tanya Rena pada bosnya ini.Alvin tidak juga menjawab pertanyaan Rena. Dia masih dengan pandangan tak percaya melihat Rena yang sekarang."Mas ... Hallo ..." Rena melambaikan tangannya dihadapan Alvin.Alvin tersadarkan oleh gerakan tangan Rena itu. Dia pura-pura sibuk memeriksa berkas yang diberikan oleh Rena."Kenapa? Aku jelek seperti ini?" Rena bertanya pada atasannya itu.Mereka memang sangat dekat bahkan sering bercanda. Tidak ada batasan antara atasan dan sekretaris. Hal itu yang membuat Rena betah bekerja di perusahaan milik keluarga Alvin.Alvin emang terkenal dekat dengan bawahannya, tidak hanya dengan Rena, tapi kepada semua para karyawan yang ada di kantornya."Cantik ... Cantik banget." Tanpa bisa berbohong Alvin mengungkapkan isi hatinya."Gombal. Bilang aja jelek. Lantas kenapa tadi melihat aku seperti itu? Pasti karena Mas pikir aku tidak pantas seperti ini yah?" Tanya Rena, sambil sedikit ngambek."Serius ... Cantik banget. Sampai pangling aku melihatmu seperti itu." Alvin memberikan jawaban yang paling jujur pada sang sekretaris.Rena tersenyum manis sekali. Membuat Alvin tambah gemas, dan serasa ingin mencubit pipinya. Dalam hati Alvin bersyukur, Rena sudah bisa move on dari masalah yang dihadapinya.Tapi sebetulnya tidak ada yang tahu bagaimana isi hati Rena yang sebenarnya. Dia saat ini terlihat tegar, namun di dalam hatinya hancur dan juga rapuh. Dia bisa terlihat tegar hanya karena kewajiban yang harus dijalaninya. Apalagi setelah dia mencoba untuk mengambil hikmah atas apa yang dialaminya, hal itu semakin membuatnya mampu dan juga kuat."Mana berkas untuk seminggu ke depan. Soalnya aku mau cuti dulu. Bawa keluarga liburan. Penat rasanya harus bekerja terus-menerus. Kamu sih enak sudah libur, sekarang gantian aku yang libur." Kata Alvin sambil membubuhkan tandatangan di berkas yang diberikan Rena."Memangnya mau mendapatkan libur tapi keadaannya seperti aku?" Rena sewot mendengar omongan Alvin barusan."Hehehe ... Bercanda doang loh. Gitu saja marah." Kata Alvin sambil tertawa."Habisnya jadi orang tukang iri banget. Mau ambil libur tapi tidak memikirkan banyak proyek yang akan diselesaikan. Aku sendiri mana bisa?" ujar Rena manja."Jangan khawatir, aku sudah siapkan pengganti sementara." Kata Alvin pelan."Siapa?" Kata Rena penasaran."Sebentar lagi kamu pasti tahu," jawab Alvin santai.Bersamaan pintu diketuk dari luar.Tenyata yang masuk kedalam ruangan ini adalah Barra. Teman dekat Alvin, yang juga supervisor pemasaran di perusahaan ini."Dia, si jutek ini?" gumam Rena, sambil membesarkan matanya kearah Alvin.Alvin hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.Alvin tahu Rena tidak begitu suka dengan Barra, karena lelaki itu memang agak pendiam. Jadi kesannya seperti sombong. Sebetulnya dia sangat baik. Hanya saja tipe lelaki yang serius, susah diajak bercanda. Beberapa kali Rena mencoba mencairkan hatinya dengan mengajak mengobrol, tapi selalu dijawab seadanya saja. Jadi sepertinya komunikasi Rena dengan Barra tidak pernah menyambung sama sekali.Hal ini membuat Rena kesal. Bagaimana dia bisa bekerjasama dengan orang seperti itu. Pasti itu akan menambah pekerjaannya lagi."Apa tidak ada yang lain selain manusia ini?" gerutu Rena.Alvin tidak menanggapinya lagi, karena Barra sudah dekat dan menarik kursi di samping Rena.Dia duduk di samping Rena tanpa menyapanya lebih dahulu. "Rena, Barra yang akan menggantikan aku selama seminggu ini. Dia sedang menjalani proses untuk naik pangkat menjadi manajer pemasaran. Jadi untuk saat ini tolong dampingi dia untuk segala urusan yang bersangkut paut dengan jabatannya kelak." Kata Alvin terdengar berwibawa.Barra tahu, saat ini sudah dimulai tahap untuk melakukan perjanjian mereka. Jadi dia harus bisa segera mengambil hati Rena. Barra tidak mau kehilangan kesempatan bagus ini."Kenapa aku yang mendampinginya, kan ada Pak Barton manager pemasaran itu."Rena protes atas perintah Alvin."Barton sudah aku pindahkan ke kantor cabang. Dia naik pangkat disana. Jadi kamu yang paling tahu tentang apa yang harus dikerjakan seorang manajer pemasaran di perusahaan ini.""Mohon bantuannya, agar saya bisa mengerjakan tugas dengan segera." Kata Barra sambil tersenyum.Tentu Rena kaget dengan tingkah Barra kali ini. Orang yang biasanya tidak banyak omong hanya bicara seperlunya saja, tiba-tiba bercanda di hadapannya.Rena pun hanya membalas dengan senyum tipis saja."Ingat ya Ren, keberhasilan Barra menjadi manager pemasaran ini tergantung padamu. Jadi kalian harus bekerjasama. Kalau kamu gagal membuat Barra paham cara kerjanya, berarti dia gagal naik pangkat." Kata Alvin."Hadeh ... Dia yang naik pangkat aku yang repot." Kata Rena sambil berdiri meninggalkan dua lelaki itu.Bara yang sebetulnya masih terpana melihat penampilan Rena sekarang, menjadi lebih optimis dia akan bisa memenangkan hati gadis itu sebelum jatah waktu yang ditentukan.Alvin melihat Barra yang sedang tersenyum sendiri."Bagaimana? Apa kamu siap? Sekarang sudah dimulai waktunya. Kamu harus bisa menyelesaikan semuanya dengan baik. Tapi ingat, ini bukan hanya untuk sementara waktu. Aku minta kamu bisa membuat Rena menjadi wanita yang beruntung mendapatkanmu," kata Alvin pada sahabatnya itu."Aku tahu. Dan akan selalu ingat kata-katamu," timpal Barra."Satu lagi, ini bukan taruhan, tapi jalan menuju kesuksesanmu baik di karir dan juga percintaan. Percayalah padaku, Rena adalah orang yang tepat untukmu." Alvin kembali menegaskan pada Barra tentang masalah perjanjian mereka itu.Barra menganggukkan kepalanya, tanda sudah mantap atas semua yang telah menjadi kesepakatan bersama.Sebenarnya Barra sudah tahu apa yang menjadi isi hati Alvin. Karena mereka sudah bersama sejak lama. Saat ini diinginkan Alvin hanyalah membahagiakan Rena, melalui dirinya. Semoga saja Barra bisa mewujudkan impian Alvin itu.⭐⭐⭐Seharian dikantor, tibalah waktunya pulang.Dulu Rena, sering pulang dijemput oleh pacarnya Bram. Karena kendaraan sekarang yang dimilikinya itu diberikan pada Bram. Sampai sekarang setelah dia mengkhianati Rena pun, mobil itu tak kembali kepadanya. Rena enggan memintanya kembali. Sudah mengikhlaskan semua yang terjadi. Dan berencana akan membeli kembali kendaraan untuknya sendiri.Ketika sedang menunggu taksi yang dipesan, Rena duduk di depan kantornya.Alvin yang juga akan pulang, sengaja berhenti didepannya, dia membuka kaca mobil."Ayo kuantar pulang,"ajak Alvin. Karena dia tahu Rena tidak lagi dijemput oleh pacarnya yang berkhianat itu."Tidak usah. Nanti merepotkan saja, kita kan tidak searah," tolak Rena Halus."Lagi pula sebentar lagi juga sudah datang kok,"kata Rena lagi.Rupanya Barra juga sampai didekat mereka.Menggunakan motor besar, dia mengajak Rena pulang bersamanya.Alvin terpaksa pamit lebih dulu. Agar mereka mempunyai waktu berdua. Walau di hatinya ada sedikit rasa cemburu yang menghantui, tapi dia harus ikhlas demi Rena."Ayo bareng aku saja," Barra berkata manis sekali."Tapi aku sudah pesan taksi. Nah itu datang taksinya." Rena menunjuk sebuah mobil taksi berwarna biru."Kamu tunggu di sini dulu sebentar." Barra turun dari motor, dan mendekat ke arah taksi yang berhenti untuk menjemput Rena.Rena mau saja menuruti kata-kata Barra itu sambil memperhatikan apa yang dilakukan laki-laki itu dari jauh.Apa yang akan dilakukannya yah.. Mungkin ini salah satu trik untuk lelaki tampan itu menarik hati Rena.Setelah berbincang sejenak dengan sopir taksi, Barra mengeluarkan dompet dari sakunya. Ternyata dia membayar ongkos taksi yang di pesan Rena tanpa harus Rena naik taksi dan pulang menggunakan kendaraan itu.Rena terpana melihat apa yang dilakukan Barra itu. Dia tidak menyangka kalau ternyata Barra melakukan hal itu, agar Rena bisa pulang naik motor dengannya."Bukankah kata Alvin kita harus bekerja sama? Dimulai hari ini, aku akan mengantar dan menjemputmu pergi dan pulang kerja," kata Barra diiringi senyuman yang jarang diberikan untuk orang lain."Kenapa harus begitu?" Protes Rena."Karena kita harus bisa beradaptasi dengan baik. Jadi didalam pekerjaan nanti, sudah tidak ada rasa canggung lagi," kata Barra sembari menyerahkan sebuah helm yang sudah dipersiapkan untuk Rena.Rena meraihnya. Dia pikir helm yang diberikan Barra untuk dipakainya itu, juga dipakai oleh orang lain. Tentu pacar Barra yang selama ini memakainya.Rena sempat mencium dalam helm itu, tapi kelihatannya helm ini
Lelaki yang duduk manis diatas motor itu melambaikan tangan kepada Rena. Rena yang masih belum sadar seratus persen itu, mengucek mata untuk melihat dengan jelas siapa orang yang melambaikan tangan kepadanya.Setelah dilihat dengan seksama, Rena pun mengenalinya. Dia adalah Barra rekan kerjanya, yang kemarin sore sudah membuat harinya terasa hangat dan bahagia, serta sejenak Rena bisa melupakan masa lalunya itu.Tapi mau apa Barra sepagi ini sudah datang ke sini?Rena pun langsung menyambar jaket dari belakang pintu. Karena dia hanya menggunakan celana tidur panjang dan baju tangan lengan. Tidak mungkin dia menemui Barra dalam keadaan seperti itu. Rena bergegas menemui Barra di luar. Dan menanyakan maksud tujuan Barra datang ke rumahnya, tanpa memberi kabar terlebih dahulu."Selamat pagi ..." sapa Barra.Rena hanya tersenyum sambil menunjukkan barisan giginya yang tertata rapi dan berwarna putih bersih itu."Kenapa pagi-pagi sudah ada di sini? kenapa tidak menghubungiku dulu sih?"
"Rena ... Ren ..." Lelaki itu memaksa masuk ke dalam halaman kantor. Meski langkahnya di halangi oleh satpam perusahaan."Lepaskan aku! Aku hanya ingin bertemu dengan Rena sebentar." dia terus memberontak dan ingin lepas dari cengkraman dua orang satpam yang memegang kedua tangannya.Rena ketakutan, dan kembali masuk ke dalam lobby kantor. Barra yang sudah kembali dengan motornya melihat dari jauh tingkah Rena yang lari terbirit-birit, seperti melihat hantu saja.-Kenapa dia?-Pikir Barra.Lelaki itu malah memberhentikan motornya tepat di depan pintu masuk lobby perusahaan.Barra menunggu Rena keluar lagi. Mungkin ada yang tertinggal di dalam sana, Barra masih berpikir positif.Sampai akhirnya dia melihat ke arah pos satpam, ada dan yang sedang terjadi di sana. Barra memicingkan matanya, lalu berjalan perlahan mendekat tempat dimana Bram sedang memberontak.Dia merasa saat ini bertanggung jawab atas apapun yang terjadi di perusahaan ini. Sebab seminggu ini Alvin sudah menyerahkan tangg
"Kenapa mobilnya kamu serahkan pada Rena? Bukankah itu mobilmu, Mas?" Lila, istri Bram bertanya pada suaminya."Mas, kenapa kamu diam saja tidak menjawab pertanyaanku? Lalu sekarang kamu menatap kepergian mantan kekasihmu itu dengan pandangan seperti itu. Apa kamu cemburu melihatnya pergi dengan lelaki tampan itu?" Lila terus mendesak Bram untuk menjawab pertanyaannya."Diam lah Lila! Kamu tidak paham apa yang aku rasakan saat ini?" Bram marah karena Lila terus mendesaknya."Loh ... Kamu kok jadi marah sama aku, Mas? Pasti benar dugaanku kan, kalau kamu cemburu melihat mantanmu itu dibonceng oleh lelaki lain. Dasar munafik. Kamu sudah menikah denganku, tapi hatimu tetap pada Rena. Kalau tahu begini, aku menyesal mau jadi istrimu." Lila marah karena Bram terus memandang kepergian Rena."Aku tidak memaksamu untuk menikah denganku. Apa kamu lupa kalau kamu yang sudah menjebakku agar mau menikahimu? Coba kalau kamu tidak datang sebagai perusak hubungan kami, mungkin saat ini aku masih baha
"Jadi bagaimana, Ren. Apa kamu mau menerimaku?" tanya Barra. Rena terkejut mendengar pernyataan lelaki yang mulai memikat hatinya itu. Rena pikir Barra ini tipe orang yang suka tembak langsung. Tentu saja hal ini membuat Rena menjawab dengan terbata-bata."M-maksudnya apa ini?" Wajah Rena merah padam karena tersipu malu. Dia tidak menyangka kalau Barra terlalu nekat. "Jadi pendampingmu? Kamu mau kan?" Barra bersemangat mengucapkannya dan sangat menunggu jawaban Rena.Wanita mana yang hatinya tidak meleleh melihat perlakuan Barra saat ini. "Jangan bercanda, dong. Aku tau kamu coba menghiburku," kata Rena. Karena dia masih ragu dengan ucapan Barra. Rena menunduk tidak berani menatap mata lelaki yang ada di hadapannya."Kok bercanda, sih? Aku serius dengan ucapanku ini. Aku ingin menggantikan posisi lelaki brengsek itu di hatimu." Barra dengan mantap meyakinkan Rena yang sedang galau."Apa tidak terlalu cepat? Kamu belum memahami aku luar dalam. Aku takut nanti kamu menyesal di kemudi
"Ren ... Tunggu aku ....." Barra mengejar Rena yang sudah berlalu pergi meninggalkan mereka berdua.Padahal sebenarnya Barra belum selesai memberi pelajaran pada Bram. Dia ingin membuat Bram meminta ampun karena sudah membuat Rena malu. Tapi saat ini Barra lebih memperdulikan hati Rena. Karena dia takut dampak terpukulnya wanita itu dengan ucapan mantan kekasihnya yang sudah membuka semua aib mereka di masa lalu."Pergilah kejar wanita munafik itu. Tidak salah kalau aku mencampakkannya. Karena ternyata dia lebih liar dari dugaanku. Karena sanggup membagi tubuh dan cintanya untuk orang lain." Bram ternyata masih belum puas untuk mempermalukan Rena lebih dalam lagi.Bram pikir ketika dia berbicara seperti itu Barra tidak akan peduli. Ternyata dia salah, lelaki bertubuh tegap itu berbalik arah dan kembali kepadanya dengan wajah yang terlihat sangat marah.Tanpa aba-aba Barra kembali melayangkan tinjunya berkali-kali ke wajah Bram. Dan laki-laki yang bertubuh kecil daripada Barra ini am
"Bu, izinkan aku bertemu dengan Rena.""Buat apalagi? Apa hanya untuk menyakiti hatinya saja, Bram?""Tidak, Bu. aku menyesal sudah menyakiti hati Rena. Semua memang salahku dan aku ingin kembali pada Rena." Bram memohon pada Bu Diana, ibunya Rena.Rupanya laki-laki itu nekat mendatangi rumah Rena dengan berjalan kaki. Padahal jarak dari rumah kostnya ke rumah Rena berjarak lumayan jauh. Tapi karena saat ini Bram tidak mempunyai kendaraan dan uang di dompetnya maka dia harus berjalan kaki sampai ke sana."Maaf, Nak. Andaikan pun Rena mau kembali kepadamu, Ibu lah orang yang pertama akan menentangnya. Karena Ibu yang tahu bagaimana hancurnya hati anak perempuanku yang begitu kami sayangi." Bu Diana bergetar menahan amarah yang bergejolak di dada."Aku minta maaf, Bu. Sekarang aku sangat menyesal, dan sangat ingin kembali pada Rena. Aku berjanji karena akan membahagiakan Rena dan akan menebus semua kesalahanku padanya."Bram masih terus memohon dan merayu Bu Diana untuk mempertemukannya
"Apa maksud omongan kalian, Ren?" Bu Diana sebenarnya senang mendengarnya. Karena sebentar lagi harapannya terwujud. Anak semata wayangnya segera mengakhiri masa lajangnya. Tapi dia belum begitu yakin dan jelas sebelum mendengar langsung dari Rena dan laki-laki yang baru satu kali dikenalkan kepadanya. "Iya, Bu. Aku dan Barra memutuskan minggu depan akan menikah." Rena dengan tegas menjawab pertanyaan ibunya."Kenapa bisa secepat itu? Apa tidak sebaiknya kalian saling mengenal dan saling memahami satu sama lain dulu?" tanya Bu Diana masih belum percaya apa yang didengarnya ini."Tidak perlu terlalu lama untuk mengenal jiwa kami masing-masing. Karena yang lama belum tentu bisa memahami dengan baik pribadi dan sifat kita.""Bukankah Ibu sudah pernah melihat contohnya? Aku sudah menjalani hubungan 7 tahun dengan orang yang salah. Kurang apa aku selama itu memahami dirinya? Kalau ternyata akhirnya aku yang dicampakkan setelah semua pengorbananku untuknya," kata Rena.Tapi matanya tida
"Mas Barra, tolong ...." Rena berteriak sekuat tenaga. Ternyata Rena bermimpi. Saat ini dia berada di atas tempat tidurnya di rumah ibunya.Sejak tragedi opor beracun itu, Rena dan Barra mengungsi ke rumah Bu Diana. Hal ini sebagai antisipasi dari serangan lain yang ditujukan untuk menghancurkan mereka.'Astaghfirullah ... Ternyata aku bermimpi. Tapi kenapa semua tampak nyata? Silvia memegang pisau berlumuran darah seperti itu. Apa artinya dia juga yang sudah mengirim opor beracun itu ke rumah dan menyebabkan Imah dan ibu meninggal?' Rena bicara dalam hati.Rena bangun dan langsung mencuci mukanya ke kamar mandi."Hai, Ren ... Sini duduk, kita sarapan pagi dulu, ya?" Bu Diana yang sudah bersiap di atas meja makan memanggil Rena yang baru turun dari kamarnya."Iya, Bu.""Mana Barra?" tanya Bu Diana. "Tadi pagi berangkat dinas ke luar kota, Bu," jawab Rena."Oh, begitu. Bagaimana dengan kandunganmu? Apakah sudah periksa dan USG ke dokter?" tanya Ibu lagi."Belum, Bu. Karena rencanan
Ternyata setelah penyelidikan polisi, diketahui kalau Imah meninggal karena keracunan.Yang paling membuat Rena syok dan menyalahkan diri sendiri adalah Imah dan mertuanya keracunan makanan yang diberikannya.Ya ... Seporsi opor ayam yang Rena terima dari seorang ojek online yang mengatasnamakan suaminya. Rena kira makanan itu benar-benar dikirim oleh suaminya, Barra. Karena Barra yang tahu kalau Rena sangat menyukai opor ayam di saat kehamilannya ini.Tapi sekarang polisi sedang menyelidiki siapa pengirim paket beracun itu. Termasuk memeriksa semua CCTV yang berada di kompleks perumahan ini.Kabar baik yang diterima mereka hari ini adalah polisi sudah mengetahui sopir ojek online yang mengantarkan paket itu ke rumah Rena.Dan sekarang orang tersebut sedang dalam pengajaran.Rena dan Barra berharap polisi segera menangkapnya dan juga mengetahui apa motifnya mengantarkan makanan itu ke rumah mereka."Bagaimana ini, Mas? Ibu belum sadar sampai sekarang malahan dokter baru saja mengat
"Imah ... Imah ...."Tak ada sahutan dari orang yang dipanggil. Rena kembali memutari dapur, tak ada juga sosok Imah disana. Setelah menghabiskan air satu gelas air, Rena kembali ke ruang tamu, tapi rumah tampak lengang seperti tidak ada penghuninya.'Kemana Imah? Apa mungkin dia membawa ibu jalan-jalan keluar? Tapi rasanya tidak mungkin hari masih siang dan cuaca panas menyengat seperti ini,' batin Rena.Akhirnya Rena menuju kamar Imah. Rena pikir Imah dan Bu Asih tidur siang.Sekilas Rena melihat pintu terbuka sedikit. Ada kaki Imah di depan pintu. Rena pun tidak habis pikir, kenapa Imah harus tidur di lantai.Perlahan-lahan Rena mendorong pintu tapi sepertinya berat, karena terhalang badan Imah yang melintang di depan pintu.Akhirnya Rena berinisiatif memegang kaki Imah untuk membangunnya."Imah ... Bangun ... Kenapa kamu tidur di depan pintu?"Tapi Imah tak kunjung bangun. Rena juga mendengar suara dengkuran yang sangat kasar. Sebelumnya Rena belum pernah mendengar Imah atau Bu As
"Kamu jangan khawatir. Aku sudah tidak berhubungan dengan Silvia lagi. Aku sudah menutup komunikasi dengannya. Tapi Kamu jangan marah, karena aku tetap harus memenuhi tanggung jawabku pada anak yang sekarang dalam pengasuhan orang tua Silvia," ucap Barra."Lalu kenapa kamu tidak mengambil anak itu saja, Mas. Dia bisa hidup bersama kita di sini," saran Rena. "Keluarganya tidak akan memberikan Randi untuk kuambil. Karena Silvia itu anak satu-satunya. Jadi bagi neneknya, cucunya itu adalah harapan satu-satunya untuk menjadi teman mereka di hari tua." "Kadang aku merasa sedih. Waktu aku susah, aku benar-benar tidak bisa berjumpa dengan Randi. Tapi kalau aku datang membawa uang yang banyak, mereka mau mempertemukan aku dengan anakku itu."Huft ... Ternyata berliku-liku juga jalan hidup yang dialami suamiku ini. sebagai istri aku harus mendukungnya untuk tetap menafkahi anak dari istri pertamanya itu' batin Rena.Meskipun mereka tidak bersama lagi, tapi kebutuhan anak tetap harus ditanggu
'Astaga ... aku tidak salah baca. ini alamat rumah Rena. apa aku harus tetap mengantar paket itu ke sana? Lalu kalau Rena sendiri yang menerimanya, aku harus bagaimana?' batin Bram.Ini masih hari pertamanya menjalani training bekerja sebagai kurir. Tapi dia harus mengalami cobaan berat seperti ini. Sudah setengah hari Bram bekerja dan semuanya aman-aman saja. Tiba saat mengantarkan salah satu paket yang ternyata itu beralamat di rumah Rena. Rumah yang seharusnya menjadi miliknya dan Rena.Tapi karena Bram yang sudah berkhianat akhirnya rumah itu menjadi milik Rena seutuhnya. Dan di rumah itu juga Bram melakukan penghianatan bersama istrinya Lila. Wanita yang sekarang tidak tahu di mana rimbanya.Bram berhenti di ujung jalan. Dari tempatnya sekarang, Bram sudah bisa melihat bentuk rumah itu. Lelaki ini tampak ragu meneruskan atau putar balik. Kalau dia putar balik itu artinya Bram gagal menjalankan pekerjaannya hari ini. Tapi kalau dia tetap meneruskan dan menyampaikan paket itu kep
Hari ini Rena sepertinya mendapatkan hidup yang baru. Rena melihat keseriusan Barra untuk memulai lembaran baru dihidup mereka. Untuk membuktikan keseriusannya itu, Barra mengajak Rena untuk tinggal sendiri terpisah dari Bu Diana. Pilihannya adalah ke rumah Rena yang disana ada Bu Asih, mertua Rena yang diurus oleh Imah. Malam itu juga mereka langsung pindah kesana.Bu Asih sangat bahagia melihat anak dan menantunya rujuk kembali. Hal ini terlihat dari raut wajah beliau. Meskipun beliau tidak bisa bicara, tapi beliau tahu dan bisa mendengar apa yang disampaikan keduanya.Barra juga menceritakan kalau dirinya sudah berpisah dari Silvia dan lebih memilih Rena. Dari cerita Barra itu, Rena tahu kalau Silvia tidak menyayangi dan tidak pernah mengurus mertuanya. Silvia tidak mau hidup susah. Dia hanya mau dengan Barra ketika Barra sudah kaya, punya uang dan jabatan bagus. Makanya tidak heran Silvia mau menerima Rena saat itu menjadi madunya.Tapi karena dulu Barra cinta mati pada Silvia, m
"Aku ingin kamu hanya menjadi ibu rumah tangga, dan menjalani kehamilan dengan tenang. Percaya kepadaku, aku bisa bertanggung jawab atas semua kehidupan kalian nantinya.""Tapi kalau untuk mencari pekerjaan baru dengan posisi yang seperti aku inginkan itu tidak akan sulit. Jadi aku mohon kepadamu tolong katakan pada Alvin untuk menerimaku kembali bekerja di sana." Barra meyakinkan istrinya."Aku akan coba, Mas. Tapi aku tidak janji kalau Alvin mau menerimamu lagi," Rena menyanggupi permintaan Barra."Kamu mau berusaha saja aku sudah bahagia. Apalagi kalau kamu sampai bisa meyakinkan Alvin. Aku tahu kamu bisa diandalkan karena Alvin pasti mendengarkan kata-katamu.""Terima kasih, sayang. Sekarang aku benar-benar tahu betapa berharganya kamu untukku." Barra bahagia.Sama halnya dengan Rena. Saat ini dia benar-benar terhanyut oleh situasi yang ada di depan matanya. Perlakuan Barra setelah mereka rujuk kembali benar-benar berbeda dengan ketika mereka baru saja menikah kemarin.Dan ini jug
"Sudahlah, Ren. Ikuti saja kata hatimu. Bukankah kamu menginginkan anakmu ini ada ayahnya? Atau memang kamu mau anak ini lahir tanpa seorang ayah?" Bu Diana malah tetap mendukung Barra untuk kembali pada Rena.Sepertinya Bu Diana sudah menutup kasus yang terjadi antara mereka berdua."Tapi, Bu ...." Rena mencoba membantah."Jangan lagi pakai tapi-tapian. Tidak perlu lagi pertimbangan apapun. Ibu hanya ingin cucu Ibu ada ayahnya di sampingnya ketika dia lahir. Bukan berarti Ibu mengesampingkan semua masalah yang telah ditimbulkan oleh perbuatan ayahnya dulu. Itu tetap menjadi kesalahan Barra yang tidak harus diulangi lagi dan dia harus memperbaiki itu dengan segera." Barra tersenyum sumringah. Nampak jelas di matanya sekarang kalau Bu Diana mendukungnya untuk kembali kepada Rena. kalau begitu apalagi yang bisa membuatnya ragu, Rena pasti mau menerimanya, sedangkan ibunya saja sudah begitu bersemangat agar mereka bisa rujuk kembali.Sekarang tinggal Barra yang harus bisa meyakinkan Re
"Kalian semua masuklah ke dalam. Kamu juga Bas, karena kamu juga 'kan sebagian dari keluarga kami. Jadi bisa mewakili dan menemani Ibu dalam pembicaraan keluarga ini."Baskoro merasa sedih mendengar ucapan orang yang sangat berjasa dalam hidupnya itu. Dia sebetulnya sangat berharap lebih dihargai oleh Bu Diana. Tapi bukan hanya sekedar sebagai keluarga mereka, tapi juga Bu Diana menyetujui Baskoro dan Rena untuk bersama meniti kebahagiaan mereka.Tapi apalah dayanya saat ini, di samping menuruti kemauan Bu Diana, Baskoro juga ingin tahu bagaimana kelanjutan tentang hubungan rumah tangga Rena dan Barra itu.Jadi akhirnya Baskoro mengikuti langkah Rena dan Barra masuk ke dalam rumah.Lain halnya dengan Barra. Laki-laki ini terlanjur kesal dengan Baskoro. Barra tahu kalau dia melepas Rena sekarang, pasti Baskoro akan segera menikahi Rena. Barra hapal betul bagaimana cara laki-laki menyukai seorang wanita. Dan laki-laki yang berada di belakangnya saat ini, sudah mengincar Rena dan menu