Setelah berbincang sejenak dengan sopir taksi, Barra mengeluarkan dompet dari sakunya. Ternyata dia membayar ongkos taksi yang di pesan Rena tanpa harus Rena naik taksi dan pulang menggunakan kendaraan itu.
Rena terpana melihat apa yang dilakukan Barra itu. Dia tidak menyangka kalau ternyata Barra melakukan hal itu, agar Rena bisa pulang naik motor dengannya."Bukankah kata Alvin kita harus bekerja sama? Dimulai hari ini, aku akan mengantar dan menjemputmu pergi dan pulang kerja," kata Barra diiringi senyuman yang jarang diberikan untuk orang lain."Kenapa harus begitu?" Protes Rena."Karena kita harus bisa beradaptasi dengan baik. Jadi didalam pekerjaan nanti, sudah tidak ada rasa canggung lagi," kata Barra sembari menyerahkan sebuah helm yang sudah dipersiapkan untuk Rena.Rena meraihnya. Dia pikir helm yang diberikan Barra untuk dipakainya itu, juga dipakai oleh orang lain. Tentu pacar Barra yang selama ini memakainya.Rena sempat mencium dalam helm itu, tapi kelihatannya helm ini masih baru. Tidak ada wangi yang tertinggal di sana. Apa Barra sengaja membeli helm ini untuk di pakai Rena?Entah kenapa, kali ini Rena menurut pada Barra dan segera naik ke boncengan. Padahal tadi dia sempat menolaknya. Karena tidak mungkin bagi Rena, menolaknya lagi. Pasti dia akan membutuhkan waktu yang lama lagi untuk menunggu pesanan taksi yang lain. Dan Rena mau membuang waktu lagi. Maka itu, mau tidak mau, dia menurui kemauan Barra, dan naik ke boncengan motor lelaki tampan itu.Suasana kaku pun tercipta. Rena enggan berpegangan dengan Barra. Dia masih jaga gengsi juga. Apalagi ini pertama kalinya Rena di bonceng oleh lelaki itu. Akhirnya mereka seperti ojek online yang sedang membawa penumpangnya.Sepanjang perjalanan mereka hanya diam tidak saling bertukar cerita. Rena dengan pikirannya sendiri, sedangkan Barra masih sibuk memikirkan bagaimana cara memulai obrolan dengan wanita yang sekarang duduk di belakangnya ini. Kesan pertama ini harus mulai menarik hati Rena. Karena salah langkah sedikit saja, Rena pasti akan susah untuk didekati lagi."Tau tidak, Ren. Kalau kita seperti ini, aku seperti ojek online saja." ucap Barra sambil tetap mengendarai motor."Memangnya kenapa?" Rena tidak begitu nyambung dengan ucapan Barra."Karena kamu duduknya terlalu jauh di belakang. Sama ketika kamu naik abang-abang ojol itu," gurau Barra sambil tertawa lepas.Rena juga tersenyum mendengar jawaban Barra itu. Dia juga mengakui dirinya begitu kaku berada di belakang cowok bertubuh atletis. Tanpa disuruh dua kali, Rena segera memajukan sedikit badannya hingga menyentuh ke tubuh Barra. Tak ayal hal ini menimbulkan getaran-getaran halus di hati Barra.Sudah lama Barra tidak lagi merasakan seorang wanita duduk di belakang boncengan sepeda motornya. Hampir 2 tahun lamanya, Barra hanya sendiri saja mengendarai motor kesayangannya itu. Jadi sekarang dengan adanya Rena di belakangnya, merupakan hal baru lagi baginya.Sedangkan Rena, juga merasakan hal yang sama. Selain tukang ojek online yang biasa dia tumpangi, Rena tidak pernah dibonceng oleh lelaki lain, selain Bram. Itupun dulu sebelum Bram dibelikan mobil oleh Rena.Tak ayal mengalami kecanggungan yang luar biasa hebatnya. Hingga akhirnya mereka pun terdiam kembali setelah tadinya mulai bercanda.Rena yang duduk sudah semakin dekat dan hampir menempel dengan Barra, membuat lelaki itu, jadi sedikit bergetar. Tanpa sadar Barra menarik gas lumayan kuat, dan hal itu membuat Rena yang tadinya enggan berpegangan, tiba-tiba langsung memeluk erat pinggang Barra.Tentu saja Rena masih sayang dengan nyawanya dan tidak mau mati konyol karena jatuh dari boncengan motor milik Barra. Sempat terlintas di pikirannya kalau Barra hanya modus saja, mengencangkan laju kendaraan, agar Rena memeluk pinggang lelaki ini. Dan nyatanya memang Barra sudah berhasil membuat Rena terus memeluk pinggang Barra.Sepintas lalu, Rena mulai menikmati dekat dengan lelaki ini. Wangi parfum yang dipakain, terasa sampai ke hidung Rena. Dan Rena sangat menyukai wangi tersebut. Dalam hati Rena memuji kepintaran Barra dalam hal memilih wewangian untuk tubuhnya."Kita mampir dulu, sebentar ya?"Suara Barra membuyarkan lamunan Rena."Mau kemana?""Nongkrong sebentar aja, di cafe sekitar sini. Sambil ngopi. Lagipula hari kan masih sore, jadi pasti kamu belum di cari sama orang tuamu, kan?" Barra mencoba bergurau kembali." Enak saja. Kamu pikir aku cewek rumahan. Yang telat satu jam saja, langsung di telepon dan di suruh pulang? Boleh deh, lagian aku memang sedikit lapar." Rena menyambut ajakan Barra."Aku tahu, cafe bagus di sini. Tapi kalau kamu juga punya tempat yang recommended, boleh juga," tutur Barra."Terserah kamu, dimana aja jadi. Sekalian coba tempat baru." Rena tidak menolak usulan Barra.Sampailah mereka di sebuah cafe yang tempatnya lumayan estetik. Dipenuhi kursi kayu, dan ada juga yang konsepnya outdoor. Tentu saja hal itu menambah kesan sore yang tenang buat mereka berdua, yang baru hari ini menghabiskan waktu bersama."Selamat datang, Mas Barra dan Mbak cantik. Wah, sepertinya ini pertama kalinya Mas Barra membawa pasangan, sejak jadi pelanggan kami selama 2 tahun ini?" sambut seorang pelayan yang menyambut kami di depan pintu."Bisa saja kamu, Roy. Jangan buka kartu dong. Aku malu nih, selama ini datang sebagai jomblo sejati." Barra seketika tertawa mendengar omongan pelayan itu.Sementara Rena, hanya tersenyum mendengarnya. Antara percaya dan tidak percaya. Bagaimana mungkin cowok seperti Barra, yang banyak diidolakan para gadis ini sudah menyandang predikat jomblo selama dua tahun ini. Kasihan sekali dia. Pikir Rena.Mereka pun memilih tempat di outdoor, sambil menikmati semilir angin sore ini."Mau pesan apa Mbak dan Masnya?" Seorang pelayan lagi datang dan akan mencatat pesanan mereka."Coffe latte ..." Secara bersamaan mereka mengucapkan pesanannya. Lalu keduanya saling pandang dan tertawa."Wah, kok bisa sama begini ya? Biasanya sih kalau seleranya sama dan mengucapkannya juga bersamaan, akan berjodoh, loh?" pelayan tadi malah meramal tentang jodoh.Tentu saja Rena dan Barra tambah tergelak."Aamiin. Semoga ya, Mas. Soalnya saya memang lagi mencari jodoh," ucap Barra.Rena tersipu malu dan menundukkan kepalanya. Dua tidak berani menatap mata Barra yang menatap teduh kepadanya."Pastilah saya doakan. Orang baik pasti dapatnya wanita baik juga. Gak akan nyesel deh, Mbak. Soalnya saya tahu betul siapa Mas Barra ini. Orangnya tidak neko-neko, dan beliau ini tidak pernah sama sekali bawa cewek. Kalau datang ke sini, tahan sampai berjam-jam. Cuma main hp doang." pelayan tersebut malah promosi tentang Barra pada Rena."Mas, dibayar berapa sama Mas Barra untuk mempromosikan seperti itu?" tanya Rena sambil kembali tertawa."Gak ada, Mbak. Biasa jasa gratis saja," lanjutnya lagi."Ternyata kamu terkenal di sini ya, Mas. Dari ujung sana, sampai ujung sini kenal semua sama kamu," kata Rena sepeninggal pelayan tadi."Namanya juga jomblo. Hal apa yang paling menggembirakan kalau tidak main hp dengan wifi gratis." Mereka pun tertawa-tawa.Bagi Rena ini hari pertamanya bisa tertawa lepas lagi setelah semua masalah yang di laluinya."Gimana, kamu gak kapok kan jalan sore ini denganku?" tanya Barra setelah sampai di rumah Rena."Ya gak lah. Malah cukup terhibur. Makasih ya, sudah mau mengantarkan aku pulang," kata Rena menyunggingkan senyum manisnya."Sampaikan salam buat Ibumu ya? Bilang kalau anak gadisnya sudah ku pulangkan dalam keadaan utuh." Barra kembali membuat Rena tergelak."Tidak masuk dulu, dan menyampaikan langsung pada Ibu?" tanya Rena."Kapan-kapan saja, deh. Hari ini aku harus membayar hutang waktuku yang sudah terbuang bersamamu. Biasanya itu jadwalku main game. Karena tadi aku sudah bersamamu, jadi sekarang aku harus pulang dan membayar hutang waktuku tadi." Barra memang pintar mengambil hati Rena. Buktinya sekarang dia sudah bisa membuat wanita itu tertawa terpingkal-pingkal."Oke deh. Maaf kalau tadi sudah menyita banyak waktumu.""Tak apa. Buat gadis secantik kamu, seumur hidup pun aku rela menghabiskan waktu bersamamu."Wajah Rena bersemu merah mendengar ucapan Barra.Sampai di dalam rumah pun sepeninggal Barra, Rena masih senyum-senyum sendiri. Dia merasa tersanjung sebagai wanita karena sudah diperlakukan sedemikian rupa oleh Barra.Sepertinya lelaki itu sudah bisa mencuri hati Rena. Apalagi malam ini Rena tidur sambil bermimpi hal indah dan itu dengan Barra."Ah, itu kan cuma mimpi. Mana mungkin Barra mau denganku? Kedekatan kami sekarang kan hanya masalah pekerjaan saja. Paling setelah semua selesai dan Alvin sudah kembali dari liburannya, semua akan kembali seperti biasa lagi." Ujar Rena dalam hatinya.Rena memang tidak terlalu menaruh harapan pada kedekatannya sekarang dengan Barra. Karena dia tidak ingin kecewa nantinya.Pagi ini Rena bangun tidur. Dia membuka jendela yang menghadap langsung ke luar pagar rumahnya.Maksud hati ingin menghirup udara segar. Tapi pemandangan pagi ini sungguh membuat hatinya berdegup kencang.Bagaimana tidak, ternyata sudah ada Barra yang duduk rapi di atas motor dan juga menghadap langsung ke jendela kamar Rena.Apa yang di lakukan lelaki itu pagi buta begini di luar pagar rumahnya.Lelaki yang duduk manis diatas motor itu melambaikan tangan kepada Rena. Rena yang masih belum sadar seratus persen itu, mengucek mata untuk melihat dengan jelas siapa orang yang melambaikan tangan kepadanya.Setelah dilihat dengan seksama, Rena pun mengenalinya. Dia adalah Barra rekan kerjanya, yang kemarin sore sudah membuat harinya terasa hangat dan bahagia, serta sejenak Rena bisa melupakan masa lalunya itu.Tapi mau apa Barra sepagi ini sudah datang ke sini?Rena pun langsung menyambar jaket dari belakang pintu. Karena dia hanya menggunakan celana tidur panjang dan baju tangan lengan. Tidak mungkin dia menemui Barra dalam keadaan seperti itu. Rena bergegas menemui Barra di luar. Dan menanyakan maksud tujuan Barra datang ke rumahnya, tanpa memberi kabar terlebih dahulu."Selamat pagi ..." sapa Barra.Rena hanya tersenyum sambil menunjukkan barisan giginya yang tertata rapi dan berwarna putih bersih itu."Kenapa pagi-pagi sudah ada di sini? kenapa tidak menghubungiku dulu sih?"
"Rena ... Ren ..." Lelaki itu memaksa masuk ke dalam halaman kantor. Meski langkahnya di halangi oleh satpam perusahaan."Lepaskan aku! Aku hanya ingin bertemu dengan Rena sebentar." dia terus memberontak dan ingin lepas dari cengkraman dua orang satpam yang memegang kedua tangannya.Rena ketakutan, dan kembali masuk ke dalam lobby kantor. Barra yang sudah kembali dengan motornya melihat dari jauh tingkah Rena yang lari terbirit-birit, seperti melihat hantu saja.-Kenapa dia?-Pikir Barra.Lelaki itu malah memberhentikan motornya tepat di depan pintu masuk lobby perusahaan.Barra menunggu Rena keluar lagi. Mungkin ada yang tertinggal di dalam sana, Barra masih berpikir positif.Sampai akhirnya dia melihat ke arah pos satpam, ada dan yang sedang terjadi di sana. Barra memicingkan matanya, lalu berjalan perlahan mendekat tempat dimana Bram sedang memberontak.Dia merasa saat ini bertanggung jawab atas apapun yang terjadi di perusahaan ini. Sebab seminggu ini Alvin sudah menyerahkan tangg
"Kenapa mobilnya kamu serahkan pada Rena? Bukankah itu mobilmu, Mas?" Lila, istri Bram bertanya pada suaminya."Mas, kenapa kamu diam saja tidak menjawab pertanyaanku? Lalu sekarang kamu menatap kepergian mantan kekasihmu itu dengan pandangan seperti itu. Apa kamu cemburu melihatnya pergi dengan lelaki tampan itu?" Lila terus mendesak Bram untuk menjawab pertanyaannya."Diam lah Lila! Kamu tidak paham apa yang aku rasakan saat ini?" Bram marah karena Lila terus mendesaknya."Loh ... Kamu kok jadi marah sama aku, Mas? Pasti benar dugaanku kan, kalau kamu cemburu melihat mantanmu itu dibonceng oleh lelaki lain. Dasar munafik. Kamu sudah menikah denganku, tapi hatimu tetap pada Rena. Kalau tahu begini, aku menyesal mau jadi istrimu." Lila marah karena Bram terus memandang kepergian Rena."Aku tidak memaksamu untuk menikah denganku. Apa kamu lupa kalau kamu yang sudah menjebakku agar mau menikahimu? Coba kalau kamu tidak datang sebagai perusak hubungan kami, mungkin saat ini aku masih baha
"Jadi bagaimana, Ren. Apa kamu mau menerimaku?" tanya Barra. Rena terkejut mendengar pernyataan lelaki yang mulai memikat hatinya itu. Rena pikir Barra ini tipe orang yang suka tembak langsung. Tentu saja hal ini membuat Rena menjawab dengan terbata-bata."M-maksudnya apa ini?" Wajah Rena merah padam karena tersipu malu. Dia tidak menyangka kalau Barra terlalu nekat. "Jadi pendampingmu? Kamu mau kan?" Barra bersemangat mengucapkannya dan sangat menunggu jawaban Rena.Wanita mana yang hatinya tidak meleleh melihat perlakuan Barra saat ini. "Jangan bercanda, dong. Aku tau kamu coba menghiburku," kata Rena. Karena dia masih ragu dengan ucapan Barra. Rena menunduk tidak berani menatap mata lelaki yang ada di hadapannya."Kok bercanda, sih? Aku serius dengan ucapanku ini. Aku ingin menggantikan posisi lelaki brengsek itu di hatimu." Barra dengan mantap meyakinkan Rena yang sedang galau."Apa tidak terlalu cepat? Kamu belum memahami aku luar dalam. Aku takut nanti kamu menyesal di kemudi
"Ren ... Tunggu aku ....." Barra mengejar Rena yang sudah berlalu pergi meninggalkan mereka berdua.Padahal sebenarnya Barra belum selesai memberi pelajaran pada Bram. Dia ingin membuat Bram meminta ampun karena sudah membuat Rena malu. Tapi saat ini Barra lebih memperdulikan hati Rena. Karena dia takut dampak terpukulnya wanita itu dengan ucapan mantan kekasihnya yang sudah membuka semua aib mereka di masa lalu."Pergilah kejar wanita munafik itu. Tidak salah kalau aku mencampakkannya. Karena ternyata dia lebih liar dari dugaanku. Karena sanggup membagi tubuh dan cintanya untuk orang lain." Bram ternyata masih belum puas untuk mempermalukan Rena lebih dalam lagi.Bram pikir ketika dia berbicara seperti itu Barra tidak akan peduli. Ternyata dia salah, lelaki bertubuh tegap itu berbalik arah dan kembali kepadanya dengan wajah yang terlihat sangat marah.Tanpa aba-aba Barra kembali melayangkan tinjunya berkali-kali ke wajah Bram. Dan laki-laki yang bertubuh kecil daripada Barra ini am
"Bu, izinkan aku bertemu dengan Rena.""Buat apalagi? Apa hanya untuk menyakiti hatinya saja, Bram?""Tidak, Bu. aku menyesal sudah menyakiti hati Rena. Semua memang salahku dan aku ingin kembali pada Rena." Bram memohon pada Bu Diana, ibunya Rena.Rupanya laki-laki itu nekat mendatangi rumah Rena dengan berjalan kaki. Padahal jarak dari rumah kostnya ke rumah Rena berjarak lumayan jauh. Tapi karena saat ini Bram tidak mempunyai kendaraan dan uang di dompetnya maka dia harus berjalan kaki sampai ke sana."Maaf, Nak. Andaikan pun Rena mau kembali kepadamu, Ibu lah orang yang pertama akan menentangnya. Karena Ibu yang tahu bagaimana hancurnya hati anak perempuanku yang begitu kami sayangi." Bu Diana bergetar menahan amarah yang bergejolak di dada."Aku minta maaf, Bu. Sekarang aku sangat menyesal, dan sangat ingin kembali pada Rena. Aku berjanji karena akan membahagiakan Rena dan akan menebus semua kesalahanku padanya."Bram masih terus memohon dan merayu Bu Diana untuk mempertemukannya
"Apa maksud omongan kalian, Ren?" Bu Diana sebenarnya senang mendengarnya. Karena sebentar lagi harapannya terwujud. Anak semata wayangnya segera mengakhiri masa lajangnya. Tapi dia belum begitu yakin dan jelas sebelum mendengar langsung dari Rena dan laki-laki yang baru satu kali dikenalkan kepadanya. "Iya, Bu. Aku dan Barra memutuskan minggu depan akan menikah." Rena dengan tegas menjawab pertanyaan ibunya."Kenapa bisa secepat itu? Apa tidak sebaiknya kalian saling mengenal dan saling memahami satu sama lain dulu?" tanya Bu Diana masih belum percaya apa yang didengarnya ini."Tidak perlu terlalu lama untuk mengenal jiwa kami masing-masing. Karena yang lama belum tentu bisa memahami dengan baik pribadi dan sifat kita.""Bukankah Ibu sudah pernah melihat contohnya? Aku sudah menjalani hubungan 7 tahun dengan orang yang salah. Kurang apa aku selama itu memahami dirinya? Kalau ternyata akhirnya aku yang dicampakkan setelah semua pengorbananku untuknya," kata Rena.Tapi matanya tida
"Saya terima nikah dan kawinnya Rena Puspitasari binti Satria Nugroho, dengan mahar seperangkat alat sholat dibayar tunai." "Sah ...." ucap para saksi yang berada di ruangan itu ketika Barra selesai mengucapkan ijab kabul. Dengan tegas dan tanpa hambatan Barra telah selesai menjadikan Rena istrinya sahnya.Sementara Bram yang memang penasaran dengan ucapan mereka kemarin, datang dan hanya melihat dari jauh saja. Dia tidak berani mendekat ke sana hanya mengamati dari sudut jalan. Dan benar adanya kalau di rumah milik keluarga Rena sedang diadakan sebuah hajatan. Apalagi ketika berang mencoba bertanya pada tetangga Rena yang kebetulan lewat di depannya, apa yang terjadi di rumah Rena tersebut. Tetangga Rena mengatakan kalau ada majlis pernikahan di sana. Dan yang menikah adalah anak dari sang empunya rumah.Itu sudah cukup membuktikan kalau Rena memang benar adanya menikah dengan Barra. Kali ini Bram tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan mencegah pernikahan itu terjadi pun dia tidak b
"Mas Barra, tolong ...." Rena berteriak sekuat tenaga. Ternyata Rena bermimpi. Saat ini dia berada di atas tempat tidurnya di rumah ibunya.Sejak tragedi opor beracun itu, Rena dan Barra mengungsi ke rumah Bu Diana. Hal ini sebagai antisipasi dari serangan lain yang ditujukan untuk menghancurkan mereka.'Astaghfirullah ... Ternyata aku bermimpi. Tapi kenapa semua tampak nyata? Silvia memegang pisau berlumuran darah seperti itu. Apa artinya dia juga yang sudah mengirim opor beracun itu ke rumah dan menyebabkan Imah dan ibu meninggal?' Rena bicara dalam hati.Rena bangun dan langsung mencuci mukanya ke kamar mandi."Hai, Ren ... Sini duduk, kita sarapan pagi dulu, ya?" Bu Diana yang sudah bersiap di atas meja makan memanggil Rena yang baru turun dari kamarnya."Iya, Bu.""Mana Barra?" tanya Bu Diana. "Tadi pagi berangkat dinas ke luar kota, Bu," jawab Rena."Oh, begitu. Bagaimana dengan kandunganmu? Apakah sudah periksa dan USG ke dokter?" tanya Ibu lagi."Belum, Bu. Karena rencanan
Ternyata setelah penyelidikan polisi, diketahui kalau Imah meninggal karena keracunan.Yang paling membuat Rena syok dan menyalahkan diri sendiri adalah Imah dan mertuanya keracunan makanan yang diberikannya.Ya ... Seporsi opor ayam yang Rena terima dari seorang ojek online yang mengatasnamakan suaminya. Rena kira makanan itu benar-benar dikirim oleh suaminya, Barra. Karena Barra yang tahu kalau Rena sangat menyukai opor ayam di saat kehamilannya ini.Tapi sekarang polisi sedang menyelidiki siapa pengirim paket beracun itu. Termasuk memeriksa semua CCTV yang berada di kompleks perumahan ini.Kabar baik yang diterima mereka hari ini adalah polisi sudah mengetahui sopir ojek online yang mengantarkan paket itu ke rumah Rena.Dan sekarang orang tersebut sedang dalam pengajaran.Rena dan Barra berharap polisi segera menangkapnya dan juga mengetahui apa motifnya mengantarkan makanan itu ke rumah mereka."Bagaimana ini, Mas? Ibu belum sadar sampai sekarang malahan dokter baru saja mengat
"Imah ... Imah ...."Tak ada sahutan dari orang yang dipanggil. Rena kembali memutari dapur, tak ada juga sosok Imah disana. Setelah menghabiskan air satu gelas air, Rena kembali ke ruang tamu, tapi rumah tampak lengang seperti tidak ada penghuninya.'Kemana Imah? Apa mungkin dia membawa ibu jalan-jalan keluar? Tapi rasanya tidak mungkin hari masih siang dan cuaca panas menyengat seperti ini,' batin Rena.Akhirnya Rena menuju kamar Imah. Rena pikir Imah dan Bu Asih tidur siang.Sekilas Rena melihat pintu terbuka sedikit. Ada kaki Imah di depan pintu. Rena pun tidak habis pikir, kenapa Imah harus tidur di lantai.Perlahan-lahan Rena mendorong pintu tapi sepertinya berat, karena terhalang badan Imah yang melintang di depan pintu.Akhirnya Rena berinisiatif memegang kaki Imah untuk membangunnya."Imah ... Bangun ... Kenapa kamu tidur di depan pintu?"Tapi Imah tak kunjung bangun. Rena juga mendengar suara dengkuran yang sangat kasar. Sebelumnya Rena belum pernah mendengar Imah atau Bu As
"Kamu jangan khawatir. Aku sudah tidak berhubungan dengan Silvia lagi. Aku sudah menutup komunikasi dengannya. Tapi Kamu jangan marah, karena aku tetap harus memenuhi tanggung jawabku pada anak yang sekarang dalam pengasuhan orang tua Silvia," ucap Barra."Lalu kenapa kamu tidak mengambil anak itu saja, Mas. Dia bisa hidup bersama kita di sini," saran Rena. "Keluarganya tidak akan memberikan Randi untuk kuambil. Karena Silvia itu anak satu-satunya. Jadi bagi neneknya, cucunya itu adalah harapan satu-satunya untuk menjadi teman mereka di hari tua." "Kadang aku merasa sedih. Waktu aku susah, aku benar-benar tidak bisa berjumpa dengan Randi. Tapi kalau aku datang membawa uang yang banyak, mereka mau mempertemukan aku dengan anakku itu."Huft ... Ternyata berliku-liku juga jalan hidup yang dialami suamiku ini. sebagai istri aku harus mendukungnya untuk tetap menafkahi anak dari istri pertamanya itu' batin Rena.Meskipun mereka tidak bersama lagi, tapi kebutuhan anak tetap harus ditanggu
'Astaga ... aku tidak salah baca. ini alamat rumah Rena. apa aku harus tetap mengantar paket itu ke sana? Lalu kalau Rena sendiri yang menerimanya, aku harus bagaimana?' batin Bram.Ini masih hari pertamanya menjalani training bekerja sebagai kurir. Tapi dia harus mengalami cobaan berat seperti ini. Sudah setengah hari Bram bekerja dan semuanya aman-aman saja. Tiba saat mengantarkan salah satu paket yang ternyata itu beralamat di rumah Rena. Rumah yang seharusnya menjadi miliknya dan Rena.Tapi karena Bram yang sudah berkhianat akhirnya rumah itu menjadi milik Rena seutuhnya. Dan di rumah itu juga Bram melakukan penghianatan bersama istrinya Lila. Wanita yang sekarang tidak tahu di mana rimbanya.Bram berhenti di ujung jalan. Dari tempatnya sekarang, Bram sudah bisa melihat bentuk rumah itu. Lelaki ini tampak ragu meneruskan atau putar balik. Kalau dia putar balik itu artinya Bram gagal menjalankan pekerjaannya hari ini. Tapi kalau dia tetap meneruskan dan menyampaikan paket itu kep
Hari ini Rena sepertinya mendapatkan hidup yang baru. Rena melihat keseriusan Barra untuk memulai lembaran baru dihidup mereka. Untuk membuktikan keseriusannya itu, Barra mengajak Rena untuk tinggal sendiri terpisah dari Bu Diana. Pilihannya adalah ke rumah Rena yang disana ada Bu Asih, mertua Rena yang diurus oleh Imah. Malam itu juga mereka langsung pindah kesana.Bu Asih sangat bahagia melihat anak dan menantunya rujuk kembali. Hal ini terlihat dari raut wajah beliau. Meskipun beliau tidak bisa bicara, tapi beliau tahu dan bisa mendengar apa yang disampaikan keduanya.Barra juga menceritakan kalau dirinya sudah berpisah dari Silvia dan lebih memilih Rena. Dari cerita Barra itu, Rena tahu kalau Silvia tidak menyayangi dan tidak pernah mengurus mertuanya. Silvia tidak mau hidup susah. Dia hanya mau dengan Barra ketika Barra sudah kaya, punya uang dan jabatan bagus. Makanya tidak heran Silvia mau menerima Rena saat itu menjadi madunya.Tapi karena dulu Barra cinta mati pada Silvia, m
"Aku ingin kamu hanya menjadi ibu rumah tangga, dan menjalani kehamilan dengan tenang. Percaya kepadaku, aku bisa bertanggung jawab atas semua kehidupan kalian nantinya.""Tapi kalau untuk mencari pekerjaan baru dengan posisi yang seperti aku inginkan itu tidak akan sulit. Jadi aku mohon kepadamu tolong katakan pada Alvin untuk menerimaku kembali bekerja di sana." Barra meyakinkan istrinya."Aku akan coba, Mas. Tapi aku tidak janji kalau Alvin mau menerimamu lagi," Rena menyanggupi permintaan Barra."Kamu mau berusaha saja aku sudah bahagia. Apalagi kalau kamu sampai bisa meyakinkan Alvin. Aku tahu kamu bisa diandalkan karena Alvin pasti mendengarkan kata-katamu.""Terima kasih, sayang. Sekarang aku benar-benar tahu betapa berharganya kamu untukku." Barra bahagia.Sama halnya dengan Rena. Saat ini dia benar-benar terhanyut oleh situasi yang ada di depan matanya. Perlakuan Barra setelah mereka rujuk kembali benar-benar berbeda dengan ketika mereka baru saja menikah kemarin.Dan ini jug
"Sudahlah, Ren. Ikuti saja kata hatimu. Bukankah kamu menginginkan anakmu ini ada ayahnya? Atau memang kamu mau anak ini lahir tanpa seorang ayah?" Bu Diana malah tetap mendukung Barra untuk kembali pada Rena.Sepertinya Bu Diana sudah menutup kasus yang terjadi antara mereka berdua."Tapi, Bu ...." Rena mencoba membantah."Jangan lagi pakai tapi-tapian. Tidak perlu lagi pertimbangan apapun. Ibu hanya ingin cucu Ibu ada ayahnya di sampingnya ketika dia lahir. Bukan berarti Ibu mengesampingkan semua masalah yang telah ditimbulkan oleh perbuatan ayahnya dulu. Itu tetap menjadi kesalahan Barra yang tidak harus diulangi lagi dan dia harus memperbaiki itu dengan segera." Barra tersenyum sumringah. Nampak jelas di matanya sekarang kalau Bu Diana mendukungnya untuk kembali kepada Rena. kalau begitu apalagi yang bisa membuatnya ragu, Rena pasti mau menerimanya, sedangkan ibunya saja sudah begitu bersemangat agar mereka bisa rujuk kembali.Sekarang tinggal Barra yang harus bisa meyakinkan Re
"Kalian semua masuklah ke dalam. Kamu juga Bas, karena kamu juga 'kan sebagian dari keluarga kami. Jadi bisa mewakili dan menemani Ibu dalam pembicaraan keluarga ini."Baskoro merasa sedih mendengar ucapan orang yang sangat berjasa dalam hidupnya itu. Dia sebetulnya sangat berharap lebih dihargai oleh Bu Diana. Tapi bukan hanya sekedar sebagai keluarga mereka, tapi juga Bu Diana menyetujui Baskoro dan Rena untuk bersama meniti kebahagiaan mereka.Tapi apalah dayanya saat ini, di samping menuruti kemauan Bu Diana, Baskoro juga ingin tahu bagaimana kelanjutan tentang hubungan rumah tangga Rena dan Barra itu.Jadi akhirnya Baskoro mengikuti langkah Rena dan Barra masuk ke dalam rumah.Lain halnya dengan Barra. Laki-laki ini terlanjur kesal dengan Baskoro. Barra tahu kalau dia melepas Rena sekarang, pasti Baskoro akan segera menikahi Rena. Barra hapal betul bagaimana cara laki-laki menyukai seorang wanita. Dan laki-laki yang berada di belakangnya saat ini, sudah mengincar Rena dan menu