Mulai malam ini aku tidur di rumah ini untuk seminggu ke depan sampai Mas Barra selesai dinas luar kota. Dia tidak tahu aku akan tidur di sini. Dia pikir ibu akan di sini bersama perawat yang aku cari untuk seminggu ke depan.Sebetulnya aku bisa saja membiarkan Imah, perawat yang ku booking untuk merawat ibu ini disini menjaga Ibu sendirian. Tapi entah kenapa, aku tidak tega melihat mereka hanya berdua saja di sini. Sebabnya aku memutuskan ikut tinggal di sini saja. Serta melawan rasa traumaku atas rumah ini.Ibu mertua sudah tidur dari tadi di kamarnya. Begitu juga Imah. Dari sore ini aku bersama mereka dan aku melihat Imah begitu telaten mengurus ibu mertuaku. Sepertinya aku bisa mempertimbangkannya untuk terus bekerja di sini. Karena dia memang spesialis merawat orang jompo. Bukan seperti sepupu Mas Barra itu. Yang sampai sekarang pun aku belum pernah berjumpa dengannya.Sebetulnya aku trauma berada di rumah ini. Rumah yang membawa kenangan buruk untukku. Rumah yang ku rencanakan
"Bu, Rena tidak mengerti maksud apa yang Ibu ucapkan." Aku tidak tahu harus berbuat apalagi. Sementara ibu mertuaku tetap berusaha berkomunikasi dengan kami. Tetap saja kami tidak mengerti apa yang diucapkannya."Nanti Rena cari pengobatan buat Ibu. Jadi Ibu harus semangat untuk sembuh, ya? Agar kita bisa bercerita dan bercengkrama."Aku berusaha menyenangkan hati mertuaku. Setelah ini akan aku cari tempat terapi yang bagus untuk kesembuhannya. Aku optimis beliau bisa sembuh kalau dapat penanganan yang tepat.Terlihat semburat senyum di bibir tuanya itu. Aku sedikit lega, bisa membuatnya tersenyum. Walaupun usia senja dan terkurung di tubuh lumpuh seperti itu, wajah ibu mertuaku ini masih terlihat sangat cantik. Mungkin dulu di usia mudanya beliau termasuk wanita yang berparas cantik. Dan aku yakin, Mas Barra yang tampan itu karena ibunya juga cantik."Imah, besok aku akan cari-cari informasi tentang di mana tempat terapi yang bagus untuk penderita stroke. Dan aku mau kamu mendampin
"Minggir gak, Mas!""Aku capek dan ingin masuk ke kamarku!" Aku sudah lelah di tambah tingkah Mas Barra yang makin membuat aku naik darah. Rasanya berbaring di kasur empuk milikku itu bisa membuat semuanya hilang."Jangan, Ren.""Kenapa, Mas. Itu kamarku. Dan aku berhak untuk masuk ke sana tanpa dihalangi oleh siapapun." Aku melirik sinis ke arahnya.Masih belum mengerti apa maksud Mas Barra ini melarangku masuk sendiri ke dalam kamarku sendiri. Kalaupun saat ini sepupunya memang tidur di kamarku, akan ku suruh dia keluar. Lalu kubilang pada Mas Barra agar mencarikan dia rumah kost. Karena aku tidak mau dia tinggal di sini."Ehm ... Sebenarnya aku lapar, Ren. Aku ingin kamu temani aku makan di bawah."Tiba-tiba dia bersikap manis sekali. Ada apa dengannya?Mas Barra merangkul pundakku dan membawaku turun menuju meja makan. Mungkin dia pikir dengan memperlakukan aku seperti ini, aku bisa mengurungkan niatku untuk tidak melanjutkan niatku naik ke atas kamarku.Tidak ....Aku akan meng
"Jelaskan padaku apa maksud perkataan sepupumu ini, Mas.""Sepupu katamu?" "Lalu kalau kamu bukan sepupunya Mas Barra, kamu siapa?""Jelaskan dong padanya, Mas. Kamu jangan diam saja seperti itu."Sementara Mas Barra hanya diam saja. Tidak ada pembelaan sedikitpun kepadaku. Padahal dia sendiri yang mengatakan kepada kepala sepupunya itu sedang tidur di kamarku.Aku jadi semakin penasaran siapa sebenarnya wanita yang sekarang tidur tanpa berpakaian lengkap di atas ranjangku ini?"Begini, Ren. Sebenarnya aku ingin menjelaskan kepadamu. Tapi aku pikir ini bukan waktu yang tepat. Sebaiknya kita tinggalkan saja dulu rumah ini kita bicara baik-baik di tempat lain." Mas Barra malah membuatku tambah naik pitam."Enak sekali kamu bicara seperti itu. Sementara aku diam saja kalau ada wanita lain tidur di atas ranjangku?" Aku tidak terima dengan omongannya"Bukan begitu, Ren. Kita tidak perlu ribut-ribut di sini. Kasihan ibu yang mendengarnya. Nanti kalau beliau tambah sakit karena memikirkan
"Sudahlah. Sekarang kita berdua adalah istri Mas Barra. kamu jangan takut. meskipun aku istri pertamanya, tapi kami menikah siri. Dan kamu adalah istri diatas kertasnya. Meskipun begitu aku punya hak penuh atas suamiku karena tanpa izinku, dia tidak bisa menikahimu.""Tapi tidak untuk tubuhnya. Katakanlah dia telah khilaf melakukan kesalahan dan melanggar kesepakatan kami. Tapi aku harap itu yang pertama dan terakhir dia bersamamu diatas ranjang."Lantang sekali dia bicara. Seakan aku ini harus tunduk pada omongannya. Dia pikir dia bisa mengatur hidupku."Kamu pikir aku mau mengikuti permainan kalian?""Aku tidak gila. Yang hanya demi status mau menderita."Aku harus tegas. Karena aku tidak ingin hidupku terus-terusan dalam belenggu pernikahan tanpa kejelasan. Aku masih bisa ajari laki-laki yang lebih baik dari dia. Bahkan jauh lebih baik lagi, daripada seorang Laki-laki yang menikahi wanita demi satu tujuan kotornya itu."Apanya yang menderita? kamu bisa punya suami tanpa harus ditan
Mobil yang ku kemudikan melaju kencang di jalan raya. Aku sudah tidak sadar, berapa kecepatan yang kubuat untuk melarikan mobil ini sekencang itu. Yang kutahu saat ini aku harus menjauh dari mereka. Membawa sakit hati ini ke tempat yang jauh. Tanpa menghiraukan bahaya yang mengintaiku di jalanan.Aku merasa diriku saat ini tidak berguna. Begitu mudahnya terperdaya oleh mulut manis lelaki itu. Hingga akhirnya kuratapi nasibku ini. Hanya karena takut tidak laku kawin dan dijuluki perawan tua, dengan umur yang sudah cukup untuk membina rumah tangga. Aku memilih di nikahi oleh orang yang datang hanya dengan mengatakan menerimaku apa adanya.Harusnya aku menelisik dulu bagaimana sebenarnya orang yang kunikahi itu. Kalau saja aku melakukan itu sebelum menerima Barra menjadi suamiku, mungkin tak kurasakan sakit seperti ini.Aku pikir dia lelaki yang baik hati yang mau menerima kekuranganku. Ternyata dia laki-laki yang memanfaatkan kelemahanku untuk kepentingannya sendiri. Teganya dia menjad
"Rena ...." Aku tidak salah. Itu suara Baskoro. Aku masih mengingat jelas suara itu. Suara yang sudah bertahun-tahun tidak pernah kudengar lagi. Aku melihat ke arah lelaki yang menyebut namaku. Di belakangnya berdiri orang yang setia menemani dan mengurusku dari kecil, Bi Inem."Non Rena ....""Ya Ampun, Non. Apa yang terjadi."Di Inem menghambur ke arahku. Memegang pipi dan tanganku."Apa yang sakit. Tidak ada yang luka parah kan?" Bi Inem tak henti mengkhawatirkan keadaanku. Sambil menelisik ke seluruh tubuhku, mencari bagian mana yang mungkin ku rasa sakit."Gak ada, Bi." Aku menggelengkan kepala."Bibi kok ada di sini?""Tadi barusan dari rumah Baskoro. Rencana mau pulang ke rumah. Kebetulan lewat di sini ternyata melihat ada kecelakaan. Bibi lihat itu seperti mobilnya Non Rena. Makanya Bibi aja Baskoro berhenti untuk melihat secara langsung. Ternyata memang benar, Non Rena yang kecelakaan.""Bibi takut, Non. Melihat dari jauh keadaan mobil ini, Bibi pikir supirnya sudah mati.
"Mau kemana laki-laki kaku itu, Bi?" tanyaku pada Bi Inem."Entahlah, Non. Tau-tau dia berhenti dan masuk ke toko itu."" Non Rena kayak tidak paham Baskoro saja. Dia kan memang begitu. Irit bicara. Jadi kelihatan sombong."Bi Inem cemberut sambil menceritakan tentang tabiat Baskoro yang ternyata tidak berubah sampai sekarang.Aku senyum sekilas mendengar ucapan Bu Inem."Mungkin karena kelamaan jomblo itu ya, Non?" kata Bi Inem lagi.Kali ini aku malah terbatuk-batuk dengar ocehan pembantu kesayanganku ini."Kenapa, Non? Tersedak, ya?" BI Inem malah cemas melihat keadaanku."Gak kok, Bi."Padahal aku tersedak karena mendengar omongan Bi Inem Itu."Lama sekali Baskoro itu. Mau beli apa sih sebenernya dia di toko baju wanita? Mending kalau punya pacar, ini gak ada, tapi sok-sokan masuk toko baju wanita." Bi Inem yang memang terkenal cerewet ini, ngomel-ngomel karena Baskoro tak kunjung datang."Memangnya dia nggak kasihan sama Non Rena. Sudah kedinginan seperti ini, dan juga menahan
"Mas Barra, tolong ...." Rena berteriak sekuat tenaga. Ternyata Rena bermimpi. Saat ini dia berada di atas tempat tidurnya di rumah ibunya.Sejak tragedi opor beracun itu, Rena dan Barra mengungsi ke rumah Bu Diana. Hal ini sebagai antisipasi dari serangan lain yang ditujukan untuk menghancurkan mereka.'Astaghfirullah ... Ternyata aku bermimpi. Tapi kenapa semua tampak nyata? Silvia memegang pisau berlumuran darah seperti itu. Apa artinya dia juga yang sudah mengirim opor beracun itu ke rumah dan menyebabkan Imah dan ibu meninggal?' Rena bicara dalam hati.Rena bangun dan langsung mencuci mukanya ke kamar mandi."Hai, Ren ... Sini duduk, kita sarapan pagi dulu, ya?" Bu Diana yang sudah bersiap di atas meja makan memanggil Rena yang baru turun dari kamarnya."Iya, Bu.""Mana Barra?" tanya Bu Diana. "Tadi pagi berangkat dinas ke luar kota, Bu," jawab Rena."Oh, begitu. Bagaimana dengan kandunganmu? Apakah sudah periksa dan USG ke dokter?" tanya Ibu lagi."Belum, Bu. Karena rencanan
Ternyata setelah penyelidikan polisi, diketahui kalau Imah meninggal karena keracunan.Yang paling membuat Rena syok dan menyalahkan diri sendiri adalah Imah dan mertuanya keracunan makanan yang diberikannya.Ya ... Seporsi opor ayam yang Rena terima dari seorang ojek online yang mengatasnamakan suaminya. Rena kira makanan itu benar-benar dikirim oleh suaminya, Barra. Karena Barra yang tahu kalau Rena sangat menyukai opor ayam di saat kehamilannya ini.Tapi sekarang polisi sedang menyelidiki siapa pengirim paket beracun itu. Termasuk memeriksa semua CCTV yang berada di kompleks perumahan ini.Kabar baik yang diterima mereka hari ini adalah polisi sudah mengetahui sopir ojek online yang mengantarkan paket itu ke rumah Rena.Dan sekarang orang tersebut sedang dalam pengajaran.Rena dan Barra berharap polisi segera menangkapnya dan juga mengetahui apa motifnya mengantarkan makanan itu ke rumah mereka."Bagaimana ini, Mas? Ibu belum sadar sampai sekarang malahan dokter baru saja mengat
"Imah ... Imah ...."Tak ada sahutan dari orang yang dipanggil. Rena kembali memutari dapur, tak ada juga sosok Imah disana. Setelah menghabiskan air satu gelas air, Rena kembali ke ruang tamu, tapi rumah tampak lengang seperti tidak ada penghuninya.'Kemana Imah? Apa mungkin dia membawa ibu jalan-jalan keluar? Tapi rasanya tidak mungkin hari masih siang dan cuaca panas menyengat seperti ini,' batin Rena.Akhirnya Rena menuju kamar Imah. Rena pikir Imah dan Bu Asih tidur siang.Sekilas Rena melihat pintu terbuka sedikit. Ada kaki Imah di depan pintu. Rena pun tidak habis pikir, kenapa Imah harus tidur di lantai.Perlahan-lahan Rena mendorong pintu tapi sepertinya berat, karena terhalang badan Imah yang melintang di depan pintu.Akhirnya Rena berinisiatif memegang kaki Imah untuk membangunnya."Imah ... Bangun ... Kenapa kamu tidur di depan pintu?"Tapi Imah tak kunjung bangun. Rena juga mendengar suara dengkuran yang sangat kasar. Sebelumnya Rena belum pernah mendengar Imah atau Bu As
"Kamu jangan khawatir. Aku sudah tidak berhubungan dengan Silvia lagi. Aku sudah menutup komunikasi dengannya. Tapi Kamu jangan marah, karena aku tetap harus memenuhi tanggung jawabku pada anak yang sekarang dalam pengasuhan orang tua Silvia," ucap Barra."Lalu kenapa kamu tidak mengambil anak itu saja, Mas. Dia bisa hidup bersama kita di sini," saran Rena. "Keluarganya tidak akan memberikan Randi untuk kuambil. Karena Silvia itu anak satu-satunya. Jadi bagi neneknya, cucunya itu adalah harapan satu-satunya untuk menjadi teman mereka di hari tua." "Kadang aku merasa sedih. Waktu aku susah, aku benar-benar tidak bisa berjumpa dengan Randi. Tapi kalau aku datang membawa uang yang banyak, mereka mau mempertemukan aku dengan anakku itu."Huft ... Ternyata berliku-liku juga jalan hidup yang dialami suamiku ini. sebagai istri aku harus mendukungnya untuk tetap menafkahi anak dari istri pertamanya itu' batin Rena.Meskipun mereka tidak bersama lagi, tapi kebutuhan anak tetap harus ditanggu
'Astaga ... aku tidak salah baca. ini alamat rumah Rena. apa aku harus tetap mengantar paket itu ke sana? Lalu kalau Rena sendiri yang menerimanya, aku harus bagaimana?' batin Bram.Ini masih hari pertamanya menjalani training bekerja sebagai kurir. Tapi dia harus mengalami cobaan berat seperti ini. Sudah setengah hari Bram bekerja dan semuanya aman-aman saja. Tiba saat mengantarkan salah satu paket yang ternyata itu beralamat di rumah Rena. Rumah yang seharusnya menjadi miliknya dan Rena.Tapi karena Bram yang sudah berkhianat akhirnya rumah itu menjadi milik Rena seutuhnya. Dan di rumah itu juga Bram melakukan penghianatan bersama istrinya Lila. Wanita yang sekarang tidak tahu di mana rimbanya.Bram berhenti di ujung jalan. Dari tempatnya sekarang, Bram sudah bisa melihat bentuk rumah itu. Lelaki ini tampak ragu meneruskan atau putar balik. Kalau dia putar balik itu artinya Bram gagal menjalankan pekerjaannya hari ini. Tapi kalau dia tetap meneruskan dan menyampaikan paket itu kep
Hari ini Rena sepertinya mendapatkan hidup yang baru. Rena melihat keseriusan Barra untuk memulai lembaran baru dihidup mereka. Untuk membuktikan keseriusannya itu, Barra mengajak Rena untuk tinggal sendiri terpisah dari Bu Diana. Pilihannya adalah ke rumah Rena yang disana ada Bu Asih, mertua Rena yang diurus oleh Imah. Malam itu juga mereka langsung pindah kesana.Bu Asih sangat bahagia melihat anak dan menantunya rujuk kembali. Hal ini terlihat dari raut wajah beliau. Meskipun beliau tidak bisa bicara, tapi beliau tahu dan bisa mendengar apa yang disampaikan keduanya.Barra juga menceritakan kalau dirinya sudah berpisah dari Silvia dan lebih memilih Rena. Dari cerita Barra itu, Rena tahu kalau Silvia tidak menyayangi dan tidak pernah mengurus mertuanya. Silvia tidak mau hidup susah. Dia hanya mau dengan Barra ketika Barra sudah kaya, punya uang dan jabatan bagus. Makanya tidak heran Silvia mau menerima Rena saat itu menjadi madunya.Tapi karena dulu Barra cinta mati pada Silvia, m
"Aku ingin kamu hanya menjadi ibu rumah tangga, dan menjalani kehamilan dengan tenang. Percaya kepadaku, aku bisa bertanggung jawab atas semua kehidupan kalian nantinya.""Tapi kalau untuk mencari pekerjaan baru dengan posisi yang seperti aku inginkan itu tidak akan sulit. Jadi aku mohon kepadamu tolong katakan pada Alvin untuk menerimaku kembali bekerja di sana." Barra meyakinkan istrinya."Aku akan coba, Mas. Tapi aku tidak janji kalau Alvin mau menerimamu lagi," Rena menyanggupi permintaan Barra."Kamu mau berusaha saja aku sudah bahagia. Apalagi kalau kamu sampai bisa meyakinkan Alvin. Aku tahu kamu bisa diandalkan karena Alvin pasti mendengarkan kata-katamu.""Terima kasih, sayang. Sekarang aku benar-benar tahu betapa berharganya kamu untukku." Barra bahagia.Sama halnya dengan Rena. Saat ini dia benar-benar terhanyut oleh situasi yang ada di depan matanya. Perlakuan Barra setelah mereka rujuk kembali benar-benar berbeda dengan ketika mereka baru saja menikah kemarin.Dan ini jug
"Sudahlah, Ren. Ikuti saja kata hatimu. Bukankah kamu menginginkan anakmu ini ada ayahnya? Atau memang kamu mau anak ini lahir tanpa seorang ayah?" Bu Diana malah tetap mendukung Barra untuk kembali pada Rena.Sepertinya Bu Diana sudah menutup kasus yang terjadi antara mereka berdua."Tapi, Bu ...." Rena mencoba membantah."Jangan lagi pakai tapi-tapian. Tidak perlu lagi pertimbangan apapun. Ibu hanya ingin cucu Ibu ada ayahnya di sampingnya ketika dia lahir. Bukan berarti Ibu mengesampingkan semua masalah yang telah ditimbulkan oleh perbuatan ayahnya dulu. Itu tetap menjadi kesalahan Barra yang tidak harus diulangi lagi dan dia harus memperbaiki itu dengan segera." Barra tersenyum sumringah. Nampak jelas di matanya sekarang kalau Bu Diana mendukungnya untuk kembali kepada Rena. kalau begitu apalagi yang bisa membuatnya ragu, Rena pasti mau menerimanya, sedangkan ibunya saja sudah begitu bersemangat agar mereka bisa rujuk kembali.Sekarang tinggal Barra yang harus bisa meyakinkan Re
"Kalian semua masuklah ke dalam. Kamu juga Bas, karena kamu juga 'kan sebagian dari keluarga kami. Jadi bisa mewakili dan menemani Ibu dalam pembicaraan keluarga ini."Baskoro merasa sedih mendengar ucapan orang yang sangat berjasa dalam hidupnya itu. Dia sebetulnya sangat berharap lebih dihargai oleh Bu Diana. Tapi bukan hanya sekedar sebagai keluarga mereka, tapi juga Bu Diana menyetujui Baskoro dan Rena untuk bersama meniti kebahagiaan mereka.Tapi apalah dayanya saat ini, di samping menuruti kemauan Bu Diana, Baskoro juga ingin tahu bagaimana kelanjutan tentang hubungan rumah tangga Rena dan Barra itu.Jadi akhirnya Baskoro mengikuti langkah Rena dan Barra masuk ke dalam rumah.Lain halnya dengan Barra. Laki-laki ini terlanjur kesal dengan Baskoro. Barra tahu kalau dia melepas Rena sekarang, pasti Baskoro akan segera menikahi Rena. Barra hapal betul bagaimana cara laki-laki menyukai seorang wanita. Dan laki-laki yang berada di belakangnya saat ini, sudah mengincar Rena dan menu