"Mau dua, kamu sendiri?" tanyaku agak gerogi. "Anakku juga dua Bang, sekarang lagi pada di rumah ibu."Aku manggut-manggut mencoba menormalkan diri meskipun jujur gerogi gak abis-abis."Abang udah hebat ya sekarang, kontrakan juga udah dibangun lagi gini jadi bagus, oh ya, Abang nikah sama orang mana sih sebenernya?""Sama orang Kuningan Jabar, Pit."Pipit manggut-manggut. Memang saat Pipit ditolak ibuku, kami gak pernah kontekan lagi karena nomorku diblokir."Jauh juga ya jodohnya, maaf waktu Abang nikah Pipit gak ngucapin selamat apalagi dateng soalnya ya ... Abang pahamlah gimana perasaan Pipit saat itu."Aku tersenyum sekenanya."Gak apa-apa Pit, Abang ngerti kok, tolong maafin ibu ya Pit, doain ibu diampuni dosa-dosanya."Pipit menoleh kaget, "loh emang ibu udah ...?"Aku mengangguk, "Ibu udah wafat.""Innalillahi wainnailahiirojiuun, maaf Bang Pipit gak tahu soal itu," ucapnya bersimpatik.Aku mengangguk pelan, "gak apa-apa Pit, mohon doanya aja."Pipit mengangguk. Setelah kami
Setelah dal dil itu Kak Alfa mengajakku pulang. Di jalan aku nanya."Kak Alfa kenapa sih tadi? Kok bisik-bisik gitu sama musuh bebuyutan Hasan?""Biasalah ngerayu dia, biar tuh orang mau dateng.""Kenapa harus bisik-bisik? Gak boleh loh Kak bisik-bisik kalau ada orang lagi di depan kalian.""Terus kalau Kakak gak bisik-bisik emang kamu bakal nerima?""Lah emang apaan yang dibisikin? Kok Hasan gak bakal nerima?" "Asal kamu tahu ya, tadi tuh Kakak bilang sama itu orang soal keuntungan yang bakal dia dapet, Kakak bilang nanti Kakak bakal gunain setengah mahar Mia buat nebus dia dari penjara," jawab Kak Alfa panjang lebar.Dreeett. Kuhentikan laju motor mendadak."Apaan sih kamu Hasan?" Kak Alfa protes sambik menepuk pundakku kencang."Maksud Kak Alfa apa? Mau nyogok petugas gitu maksudnya?""Nah itu kamu ngerti," jawab dia dengan entengnya."Ya ampun Kak Alfa, Kak Alfa nih apa-apaan sih? Kakak tahu gak? Hal itu tuh gak diperbolehkan?""Ya tahu, tapi kalau dengan cara itu si Mia bisa kaw
"Duh Bapaknya si Mia mana sih? Bikin malu aja." Kak Alfa menggerutu sendiri.Tapi untunglah tak lama dari itu si Anggara Buaya datang dengan dikawal dua orang petugas polisi."Nah itu dia Bapaknya si Mia." Kak Alfa bersorak senang. Semua orang yang ada di sekitar meja akad pun menoleh ke arah pintu masuk, tapi tiba-tiba wajah mereka tampak sangat terkejut."Hah kok dikawal polisi? Emang dia kenapa?" bisik seorang tamu dari pihak laki-laki yang duduk di belakangku."Gak tahu, mungkin dia Narapidana.""Naudzubillah, amit-amiit jabang bayi."Aku menarik napas berat, kalau denger penilaian orang begitu aku jadi kasihan sama Mia, tapi aku juga bisa apa? Aku gak ada maksud mempermalukannya tentu saja, aku cuma mau si Anggara Buaya itu dihukum sesuai kesalahan yang dia perbuat. Makanya aku akan tetap berusaha agar si Anggara Buaya tetap menjalani hukumannya yang setimpal.Si Anggara Buaya pun duduk di tempat yang udah disediakan."Apa semuanya sudah siap?" tanya penghulu."Siap siap," jawa
"Jelas aja salah kamu Hasan, coba aja kamu kemaren nurut sama Kakak, kamu bebasin itu bapaknya si Mia, mungkin kejadiannya gak akan sekacau ini, sekarang gimana kalau udah gini? Apa kamu tega lihat si Mia itu menderita menanggung malu, hah?!" sengitnya dengan suara tertahan."Ya tapi Kak, bukan berarti itu salah Hasan dong, dari dulu juga 'kan emang bapaknya si Mia udah dipenjara, lagian Hasan juga gak ada maksud bikin malu Mia," balasku membela diri.Duh aku jadi bingung, sebenernya siapa sih yang salah? Masa iya jadi aku yang salah, ngaco aja ah."Maaf, ada apa ya ini?" Mia datang di belakang kami.Kak Alfa cepat menoleh dan menghampirinya, sementara Salman masih berusaha merayu ibunya yang masih duduk dengan wajah kesal."Mia, kamu gak jadi kawin," kata Kak Alfa cepat. Mia terbelalak, "apa maksud, Mama?""Gara-gara Om kamu si Hasan ini, perkawinan kamu terancam batal," tegas Kak Alfa sambil neleng ke arahku."Loh Kak kok jadi Hasan?""Ya emang kenyataannya gitu 'kan?""Yank, ayo k
"Saya gak tahu Mas, bisa tolong dipanggilin Bu Alfa nya Mas? Saya butuh tanda terima dia."Bergegas aku ke dalam."Kak Alfa! Buruan keluar tuh ada orang nyariin."Gak langsung dibuka, itu orang gak tahu butuh waktu sampe berapa menit mau buka pintu doang."Apaan sih kamu? Ganggu mulu, Kakak tuh lagi mimpi indah.""Mimpi indah dari Hongkong, tuh kurir di depan buruan temuin, lagian udah siang orang mah bagun napa, rumah ini tuh ada aturannya gak seenak jidat aja," ketusku sambil beranjak pergi."Hasan! Maksud kamu kurir apaan?"Gak kujawab lagi, males. Aku milih duduk di kursi teras. Tak lama Kak Alfa juga menyusul, ia menghampiri driver mobil itu."Maaf Pak, ada apa ya nyariin saya?""Paket Bu, dari Bu Fatimah, tolong tanda terimanya.""Paket dari Bu Fatimah?" Kak Alfa cepat tengok mobil box itu."Hah? Kok Sushi dan kawan-kawannya dibalikin, Mas?" tanya Kak Alfa kaget."Kurang tahu, Bu."Setelah menandatangani surat pengantaran barang, Kak Alfa duduk di sebelahku sambil mengotak-atik
Kak Alfa bangkit memasang wajah murka, ia lalu meluruskan jari telunjuknya tepat di depan wajahku."Semua ini gara-gara kamu Hasan! Gara-gara kamu!" sentaknya kemudian.Cepat Hanum maju menahan Kak Alfa."Udah Kak sabar ... sabar.""Coba kamu lihat itu Hanum, katanya dia sodara kita tapi kelakuannya kayak musuh, andai aja si Hasan mau bebasin bapaknya si Mia mungkin kejadiannya gak akan seperti ini sekarang!" semburnya tajam, Kak Alfa lalu pergi dengan keadaan emosi meluap-luap."Kak Alfa!" teriakku. "Udah biarin aja dulu, ngapain juga kamu ikut-ikutan bikin keruh suasana," kata Mas Fatih. Aku pun diam, Mas Fatih cepat ajak aku duduk di kursi teras."Ya udah Hanum mau mau nyusul Kak Alfa dulu, Mas Fatih istirahat aja di sini," kata Hanum, bergegas ia menyusul Kakaknya.."Sebenernya ada apa sih ini San? Kok bisa Kak Alfa nyalahin kamu?" Mas Fatih bertanya membuka percakapan."Iya Mas, jadi kemarin itu Kak Alfa sempet minta Hasan bebasin si Anggara Buaya, tapi karena Hasan rasa itu gak
Gak tega akhirnya kukeluarkan sapu tangan dari saku celanaku."Udah kamu tenangin diri aja dulu Pit, ini ambil, lap itu pipi kamu basah gitu." Kusodorkan sapu tanganku ragu-ragu.Pelan diambilnya oleh si Pipit."Makasih Bang, Abang emang gak pernah berubah dari dulu, Pipit gak akan lupa semua kebaikan Abang selama ini sama Pipit," ucapnya sambil menatapku ragu-ragu. Cepat aku berpaling, bahaya kalau sampe kami tatapan lama-lama, bisa-bisa setan dan sejenisnya reunian di deket kami."Ya santai aja Pit," ucapku pendek.Sekitar beberapa menit kemudian seorang dokter keluar."Dokter gimana anak saya?" tanya Pipit cepat seraya bangkit."Abak Ibu sudah ditangani dan harus menjalani perawatan intensif karena ada bagian kulit punggung yang memar, takutnya di bagian dalamnya terjadi apa-apa kami juga akan melakukan tindakan rontgen," jawab Dokter itu panjang lebar.Mulut Pipit mengatup, raut wajahnya kembali sedih dengan mata yang kembali basah."Ya sudah Dok, kami serahkan semua bagaimana ba
"Maaf Pit jangan gini gak enak dilihat orang."Sontak saja Pipit melepaskan pelukannya, "maaf Bang, maaf, Pipit kebawa suasana."Aku gak menjawab lagi, milih duduk menjauh darinya.Tring. Ponselku dering. Nama Asmi ada di sana, aku tepok jidat, lupa belum ngabari Asmi kalau aku udah sampe."Halo, Neng.""Aa teh di mana sih? Neng teh neleponin juga dari tadi ah," dengusnya kesal.Aku nyengir, "maaf ya Neng tadi di sini lagi ada masalah dikit.""Oh ya? Masalah apa gitu, A?" tanyanya serius.Aku diam sebentar, perlu gak sih cerita soal si Pipit ini sama istri bara-baraku? Ah tentu aja gak perlu, gak penting juga, urusan beginian mah meningan disapuin aja daripada menuhin otak istri bara-baraku."Itu loh Neng orang yang baru kontrak di rumah kita anaknya pingsan dan harus dibawa ke rumah sakit, jadi Aa anterin dulu, kasihan," jawabku akhirnya."Oh ya? Ya ampun kasihan banget atuh, A.""Ya makanya Aa lupa ngasih kabar, Neng.""Terus sekarang Aa udah selesai belum nganterinnya? Ini si Hasju
"Ya kalau ada." Aku nyengir."Ada. Tenang aja. tar aku bukain deallernya khusus buat kalian. Eh tapi apa kalian mau beli mobil aku aja? Kebetulan nih istriku kemarin beliin mobil buat si bujang eeh tapi malah gak ditolak karena cocok katanya. Mobilnya padahal bagus tapi dia mau yang boddynya lebih macco.""Wah yang bener? Emang mobil apa Yon?""Itu di garasi, ayo lihat aja."Aku dan Ranti pun digiring ke garasinya. Buset emang dasar orkay, di sana mobilnya berjejer sampe 6 biji."Gila banyak amat mobil kamu Yon, udah sukses ya kamu sekarang.""Ah biasa aja. Ini buat kujual juga kalau ada yang nanyain. Nah ini mobilnya." Yono menepuk satu mobil berwarna putih mengkilat yang kelihatannya emang masih mulus banget itu."Pajero San. Bagus," katanya lagi.Aku melirik ke arah Ranti. Dia langsung mengangguk yakin."Beneran Ran mau yang ini?" "Beneran Yah, Ranti suka banget."Akhirnya setelah bernego dan membayar setengahnya langsung bawa mobil itu pulang. Sisa harganya nanti kubayar setelah
Esok harinya. Hari raya dan Asmi udah sibuk sejak sebelum subuh buta. Masak opor, masak ketupat, masak sambel goreng kentang dan pastinya ada sop iga sapi.Suasana lebaran di desa ini emang paling aku nantikan banget. Karena bertahun-tahun melewati suasana di kota saat aku kecil sampe dewasa, rasanya lebaran tak seberkesan seperti di desa.Beneran dah sumpah, aku baru ngerasa lebaran itu berkesan dan seru banget saat aku lebaran di desa Asmi ini. Di sini itu antara tetangga satu dan lainnya saling berkunjung, saling meminta maaf dan yang jelas aku bersyukur karena di sekitar rumah kami gak ada yang namanya tetangga julid. Mereka semua pada baik, pada ramah, pada saling mendukung dan menjunjung namanya tali persaudaan dengan gotong royong.Bahkan saat lebaran, biasanya mereka ada yang saling memberi makanan khas lebaran, walau sebenernya di setiap rumah juga ada. Ya 'kan namanya lebaran haha.Hari ini Asmi juga gitu, dia sengaja masak banyak karena mau ngasih ke ibu dan ke rumah tetang
Ranti DatangKarena penasaran aku pun bangkit menguping dekat pintu dapur."Iya iya kamu tenang aja, pokoknya Mas secepetnya kirim, Mas 'kan harus minta dulu sama istri Mas, uangnya baru cair tadi," kata si Broto lagi.Waduh parah. Ini sih bau-bau perselingkuhan kayaknya. Kasihan si Ratu ular, dia dikadalin sama lakinya."Wah aku harus buru-buru bawa si Ratu ke sini. Biar seru nih lanjutannya."Gegas aku ke depan.Tok! Tok! Tok! Kuketuk pintu kamar si Ratu cepat-cepat."Raaat, Raaat, buka!"Pintupun dibuka walau agak lama."Apaan sih? A Hasan? Ada apa? Ngetok pintu kayak mau nagih hutang aja," ketusnya, kesal."Rat, ayo buruan ke belakang. Kamu harus denger juga apa yang tadi Aa denger," ajakku tanpa basa-basi.Si Ratu mengernyit, "apaan sih, ogah," ketusnya sambil membanting pintu.Tok tok tok!"Rat Rat, buka Rat bukaa!""Berisik. Sana pergi! Ganggu orang istirahat aja!" teriaknya dari dalam.Aku mendengus kesal sambil kukeplak daun pintu kamar itu sedikit, "huh dasar, ya udah kalau
"Nah itu baru bagus," timpalku sambil kujentikan jari telunjuk dan jempolku.Si Ratu menoleh, "Apaan sih, ikutan aja," ketusnya.Aku menjebik, lah sok cantik amat, tuh bibir pake digaling-galingin gitu segala. Kesel banget dah."Loh Dewi, Putri, ada apa ini teh? Kenapa kalian mendadak enggak mau ambil uangnya?" tanya Ibu mertua, beliau kelihatan bingung."Gak ah Bu, gak usah, biar bagian Putri dikasih ke orang lain aja, buat Ibu juga gak apa-apa." Si Putri menjawab. Wanita berkulit putih itu nyengir kuda sambil lirak-lirik pada kakaknya, si Dewi.Aku sih paham, mereka pasti beneran takut sama omonganku tadi, takut mereka dijadiin tumbal haha."Dewi juga, biar duitnya buat Ibu aja, atau ... buat Bapak sekalian." Si Dewi melirik ke arah Papa mertua dengan tatapan sinis."Wah wah. Tumben-tumbenan nih pada baik," timpalku lagi sambil nyengir puas."Enggak!" sembur si Ratu kemudian. Dia spontan berdiri dari kursinya."Apaan sih kok jadi pada gak kompak gini? Dewi! Putri! Pokoknya kalian ak
"Ck dibilangin gak percaya," tandasku, gegas aku bangkit dan mabur ke depan. Di depan rumah aku cekikikan sendiri sambil geleng-geleng kepala, si Dewi itu bener-bener banget dah, obsesi banget dia sampe abis sahur pun masih nanyain soal kesalahpahaman semalem yang dia lihat haha.***Malam takbiran tiba.Alhamdulillah karena uang penjualan saham Asmi udah cair, malam itu juga Asmi langsung ajak aku lagi ke rumah ibu mertua."Ratu, Dewi, Putri, ini uang buat Teteh bayarin rumah teh udah ada, mau ditransfer sekarang apa gimana?" tanya Asmi pada ketiga adiknya.Mereka saling melirik sebentar sebelum akhirnya si Ratu menyahut."Ya sekarang dong Teh, kalau udah ada duitnya ngapain disimpen terus, si Putri juga 'kan mau pake buat lunasin sewa pelaminan.""Oh ya udah atuh, Teteh transfer ke rekening kamu aja semua dulu ya, nanti baru kamu bagi-bagi ke adik-adikmu.""Ya buruan, bawel ah," ketus si Ratu.Tau dah, kenapa orang satu itu makin ketus aja sama Asmi sekarang."Udah, tuh udah Teteh
"K-kami ...." Si Dewi dan Si Putri gelagapan, wajahnya terlihat tegang dan panik."Nguping ya kalian?" desakku."Enggak, kata siapa?" jawab si Dewi cepat."Dewi, Putri, jadi kalian teh lagi ngapain di sini?" tanya Asmi."Kami ... emm ... Teteh ngapain di dalam? Kok ada lilin sama baskom isi daun di dalam kamar? Dan ...." Si Dewi melirik ke arahku dengan tatapan aneh."Kenapa?" tanyaku risih."A Hasan pake apa itu? Kalian beneran ....""Beneran apa?" desakku."Kalian beneran ... ngepet?""Hah?" Aku dan Asmi saling melirik dengan mata melongo."Ngepet?" Asmi mengulang."Ya ngepet, kalian ngepet biar bisa dapat duit banyak 'kan?" "Astagfirullah Dewi, apa-apaan kamu teh? Omongannya kenapa ngaco begitu atuh ah.""Tapi bener 'kan Teteh sama A Hasan ngepet? Buktinya itu di dalam ada lilin sama baskom isi daun terus A Hasan pake jubah hitam begini," timpal si Putri sambil terus menerus lirik-lirik ke dalam kamar."Astagfirullah." Asmi elus dada sambil geleng-geleng kepala. Sementara aku cek
"Neng, kalau malam ini nginep di rumah Ibu lagi saja gimana?" tanya Ibu mertua saat aku sampai di dekat Asmi."Iya Bu, Ibu teh tenang aja, Neng pasti nginep lagi di sini, oh ya, kalau si Papa teh kemana? Kenapa enggak kelihatan lagi?""Tadi teh pamit katanya mau nyari rempah sama dedaunan buat penurun tekanan darah.""Ck ck ck ai ai Papa teh ada-ada aja, meski berasal dari kota ternyata masih percaya pengobatan tradisional begitu.""Ya bagus dong Neng, itu namanya melestarikan kebudayaan leluhur," timpalku cengengesan.Asmi menjebik saja.-Sore hari selepas aku balik sebentar ngabarin Hasjun kalau kami mau menginap lagi, di desa hujan gede.Bahkan saking gedenya sampe aliran listrik di desa mati dan signal hape pun jadi darurat.Gak aneh sih, emang di desa sering banget mati lampu dan darurat signal begini saat hujan gede, tapi lama-lama jengkel juga karena mati listrik dan mati signal itu gak nyaman banget rasanya.Aku pikir ini salah satu yang bikin gak enaknya tinggal di desa Asm
"Oh saya jadi sungkan," kata Pak Mantri lagi."Ah Pak Mantri ini kayak sama siapa saja atuh.""Ya sudah kalau begitu saya pamit dulu ya Teh Asmi, semoga ibunya cepat membaik.""Baik Pak, biar suami saya antar ke depan."Pak mantri mengangguk, gegas aku antar dia ke depan bareng si Ratu CS.Setelah mantri itu pergi, aku buru-buru kembali ke dalam, tapi belum sempat kaki ini melangkah ke kamar, kudengar si Ratu CS pada rumpi."Eh gak salah itu Teh Asmi ngasih lebihan duit ke mantri itu sampe 300 rebu?" bisik si Putri."Iya, kalau Teh Asmi gak punya duit harusnya duit 300 rebu gede loh, jangankan yang gak punya duit, kita aja yang duitnya banyak sayang banget rasanya kalau ngasih segitu banyak, gile aja, duit loh itu," balas si Dewi.Wah karena topiknya kayaknya seru, aku pun mundur lagi ke dekat jendela depan, kupasang telinga tegak-tegak, nguping kayaknya seru nih haha."Halah palingan pencitraan, biar dikata banyak duit, gak usah heran sama orang desa tuh, emang pada begitu kalau carm
Kudengar suara Asmi dan ibu mertua, ternyata mereka lagi ada di kamar ibu mertua."Ibu teh enggak apa-apa Neng, cuma sedikit pusing aja kepala Ibu, rebahan sebentar juga nanti sehat lagi."Kasihan, ibu mertua pasti pusing karena kelakuan anak-anaknya yang pada dableg itu."Ibu teh enggak usah banyak pikirian, udah biar acara hajatan Putri, Neng yang urus aja.""Iya Neng, Ibu teh percaya sama Neng, cuma Ibu teh pusing sama kelakuan adik-adikmu, udah pada dewasa kok bisa mereka teh sikapnya begitu sama kamu dan Papamu.""Gak apa-apa, mungkin mereka hanya belum paham aja bagaimana menerima, orang baru dalam kehidupan mereka Bu.""Semua ini salah Ibu, dulu Ibu terlalu memanjakan mereka dan selalu menanamkan rasa benci sama kamu di hati mereka.""Udah atuh Bu, yang dulu teh biarlah berlalu, enggak usah atuh dibahas lagi, mereka bersikap begitu mungkin karena mereka belum bisa menerima kenyataan aja.""Iya, Neng."Obrolan mereka terdengar makin lesu, aku sampe gak tega dengernya, karena saa