Roco tersenyum puas. “Pilihan yang bijak, Bu Zila.” Di luar kamar, angin malam yang dingin berhembus. Di bawah langit gelap kota, sebuah rencana gelap mulai dirancang untuk Dania.Namun, sebelum itu, ada yang memekik tertahan ketika sedang dihujam kuat-kuat pada inti tubuhnya.“Arrghh! Pelan, sialan!” Zila memejamkan mata ketika tubuhnya terus dientak-entak keras oleh Roco.Sebagai wanita yang selama ini menjadi orang yang terbiasa mendominasi, dia merasa harga dirinya terluka dalam-dalam akibat keinginan Roco.Namun, berbeda dengan yang dirasakan Roco. Sejak lama dia sudah mengincar Zila semenjak dia menjadi ‘kacung’ Zila untuk beberapa aktifitas ilegal.Tentu saja momentum yang langka ini tak boleh dilewatkan begitu saja! Maka, Roco benar-benar melakukan sampai dia puas.“Akkhh! Sakit, brengsek! Roco kamu berlebihan!” Zila menjerit tertahan ketika perlakuan Roco semakin beringas terhadapnya.Dadanya diremas kuat-kuat dan terkadang puncak dadanya dihisap agresif oleh Roco yang kelap
“Tolong! Ada orang tertabrak!” seru beberapa ibu-ibu di trotoar.Nasib buruk sungguh menimpa Red Viper. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi dan menabraknya.Tubuh Red Viper terpental, menghantam tiang billboard, dan kemudian tergeletak tak bernyawa di aspal setelah sebelumnya kejang-kejang dan muntah darah dari mulut, telinga, dan hidung. “Haahhh… baguslah.” bisik Sebastian saat dia memastikan kematian Red Viper.Sebastian menghela napas berat sebelum kembali ke kafe untuk memastikan Dania baik-baik saja. Kematian Red Viper sampai ke telinga Zila, membuatnya gusar. Dia memarahi Roco habis-habisan di telepon. “Apa-apaan ini? Kamu bilang dia profesional, tapi ternyata dia mati kayak amatiran!” Roco tidak terlihat terganggu. “Jangan khawatir, Bu. Saya punya kenalan lain yang lebih ahli.” “Aku nggak mau dengar rencanamu lagi!” bentak Zila. Namun, suara Roco menjadi rendah dan penuh ancaman. “Saya punya video dari malam panas kita di hotel, Bu Zila. Kalau Anda menolak, saya pa
“Ummhh?” Dania mengerang pelan sambil memberikan nada tanya saat Sebastian menciumnya. “Riv….”Mendadak saja, nama itu keluar dari mulut Dania, dialunkan dengan lembut, seakan menyiratkan perasaan orang yang menyebutkannya.Seketika, Sebastian menghentikan tingkah gilanya dan menyudahi ciumannya untuk menatap wajah Dania.“Nona, apakah hanya dia saja yang ada di pikiranmu?” bisik Sebastian sambil menatap wajah merah padam Dania.Ketika lift terbuka, Sebastian segera sadar dan menyingkirkan segala pikiran busuknya pada Dania. Dia bisa saja membuat Melody menyingkir dan Dania akan berhasil dia kuasai untuk dirinya sendiri.Tapi….Sebastian menggendong Dania, memastikan dia aman hingga Melody tiba dengan mobil. “Ayo!” Sebastian sudah membantu Dania masuk ke mobil dan dia berada di belakang untuk menjaga.Sekaligus memeluk Dania untuk keegoisannya sendiri, sedangkan Melody fokus mengemudi.“Kita langsung ke penthouse Nona saja dan kita bisa jaga Nona di sana.” Sebastian mengomando.Melod
“Mmhh~ Riiivv~” Dania masih saja mengerang manja sambil menampilkan wajah penuh minatnya terhadap Rivan.Dikarenakan Dania terus saja memancing, maka Rivan tak bisa mengelak dari hasratnya sendiri.Dia terpikat pada Dania sejak lama dan dia yakin Dania kini bisa membalas perasaanya yang sudah berkembang menjadi sayang dan cinta.“Annhh~” Dania melenguh pelan ketika Rivan mulai menciumi tubuhnya.Sesekali dia akan bergidik karena geli dan mendapatkan sensasi asing yang baru kali ini dirasakan.Napas Dania tersengal, dia terengah-engah ketika sentuhan-sentuhan Rivan membawa eforia tersendiri bagi tubuhnya yang amatir.“A-aarkhh!” Dania tanpa segan menyerukan suara lepasnya ketika dirinya mendapatkan pengalaman yang pertama kalinya di dalam hidup.Hingga akhirnya tangannya terus digenggam erat Rivan sambil dia menyerahkan seluruh dirinya pada pria itu, meski di bawah pengaruh obat.***“Umrh~” Dania terbangun dan mendapati dirinya sudah ada di tempat tidur huniannya. Sendirian.Ketika di
“Anda menolak tamu ini?” tanya petugas melalui telepon khusus.“Iya, Pak! Iya! Tolak aja! Bilang, aku udah tidur!” Dania mengulangi ucapannya, kali ini dengan nada tegas agar lebih meyakinkan petugas di bawah sana.Setelah mengakhiri pembicaraan singkat dengan petugas, Dania kembali ke ruang tengah dan duduk gelisah di sofa mahalnya.Tanpa sadar, giginya sibuk menggigiti tepian kukunya beserta kulit di bagian pinggir. Tingkah ketika dia sedang gelisah maupun panik.“Duh, gimana, sih! Aku malah nolak dia? Padahal aku… aku harus tanya ke dia soal… soal… arrkhhh! Nggak mungkin aku tanya: Riv, apa benar kamu yang udah ambil perawan aku? Aish! Gila aja tanya gitu ke dia!”Dania yang awalnya sangat menginginkan kedatangan Rivan, kini justru gelisah dan takut bertemu pria itu. Lebih tepatnya, dia malu. Sangat malu.Entah seperti apa dia ketika malam itu melakukannya dengan Rivan. Argh! Dia tak mau membayangkannya! Pasti bukan sebuah hal yang menyenangkan untuk diingat-ingat, bukan?Duduk gel
‘Astaga! Astaga! Astaga!’ Dania merasakan jantungnya sibuk berdebar kencang.Dia tidak menyangka akan diberi pertanyaan mengenai sesuatu yang… yang… membuat wajahnya akan merah padam.“Itu… sakit…” Suara Dania seperti mencicit pelan. Dia bingung. Harus menanggapi dengan kalimat apa?Karena gugup, Dania tak berani menatap Rivan. Kepalanya terus tertunduk, seakan meja dan piring jauh lebih memikat mata ketimbang pria tampan di depannya.“Dania…” Rivan menyapa dengan suara lebih lembut.Tangan pria itu juga terjulur untuk menggapai tangan Dania. Senyumnya tak pernah luntur dari wajah tampannya.“Um!” Dania tersentak.Dia terlalu gugup saat ini, hingga tanpa sadar menarik tangannya dari gapaian Rivan. Dia bisa melihat pria itu terlihat kecewa.Tapi bagaimana ini? Dia tak mungkin mendorong tangannya lagi untuk masuk ke telapak tangan Rivan, kan?Akan aneh, bukan?“A-aku makan dulu sopnya, yah!” Dania mengalihkan pembicaraan.Dia segera meraih mangkuk untuknya dan mulai menyantapnya di bawah
Pada esok harinya….Hizam Grimaldi berjalan memasuki lobi kantor Nexus Holdings dengan langkah penuh percaya diri.Penampilan pria itu tergolong sempurna, mengenakan jas hitam mahal dengan dasi merah marun, namun di dalam hatinya dia merasa sedikit tidak nyaman.Ini semua karena perintah ayahnya, Arvan Grimaldi tadi malam. “Besok Papa tak mau tau. Pergilah ke Nexus Holdings. Pewaris perusahaan itu dirumorkan masih berada di Morenia. Kamu harus menjalin hubungan baik dengannya, tak boleh gagal! Jangan sampai kita kehilangan peluang kerja sama besar!” begitu instruksi tegas yang dia terima.Namun, rasa tidak nyaman Hizam perlahan berubah menjadi kekesalan saat dia memasuki ruang pribadi Yohan. Di sana, dia melihat Yohan, sang Managing Director Nexus Holdings di Morenia, berdiri di samping kursi besar yang diduduki seorang wanita yang sangat dia kenal—Dania.Mata Hizam membelalak, tetapi bukan karena keterkejutan biasa. “Kamu ngapain di sini?” suaranya tajam, nyaris seperti perintah terh
“Hubunganku dengan Pak Yohan? Dengan Tuan Levi?” beo Dania atas pertanyaan Hizam. “Hihi! Kepalamu yang berotak payah itu bisa jumpalitan kalau aku kasi tau jawabannya.”Dania tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia berdiri dengan anggun, lalu berjalan mendekati meja di mana beberapa dokumen penting Nexus berada. Tangannya dengan santai menyentuh salah satu dokumen itu sebelum dia akhirnya menatap Hizam.“Aku di sini bukan tanpa alasan,” katanya dengan nada tenang tetapi penuh makna. “Dan satu hal yang harus kamu lakuin kalau kamu ingin bergaul baik dengan penerus Nexus, Hizam, yaitu kamu… harus bersikap saaaaangat baik ama aku.”Setelah mengucapkan itu, Dania menyunggingkan senyum seringainya.Hizam hanya bisa memandang Dania dengan tatapan bingung, tetapi juga penuh amarah yang tertahan. Sesuatu tentang wanita itu terasa berbeda, tetapi dia tidak bisa sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi.“Maksudmu apa sih, Dania? Ngapain aku harus bergaul baik ama kamu lebih dulu kalau ingin
Keesokan harinya, dia memberikan surat gugatan cerai kepada Leona di rumah mereka. Leona yang membaca surat itu, langsung meledak dalam kemarahan.“HIZAM!” teriaknya, wajahnya memerah. “Apa-apaan ini? Kamu menggugat cerai aku?”Leona yang terbiasa emosional tak bisa menerima apa yang baru diberikan suaminya. Pernikahan mereka masih seumur jagung! Kalau dia sudah menjadi janda, bukankah itu sebuah aib dan malu yang tak terhingga bagi dia dan keluarganya?Hizam mencoba tetap tenang. “Leona, coba ngerti, deh! Hubungan kita ini udah nggak bisa dilanjutkan. Ini keputusan terbaik untuk kita berdua. Tolong deh, kamu mengerti ampe sini.”Dia sudah terbiasa dengan temperamen Leona, maka dia bisa tetap tenang menghadapi Leona yang sedang meledak-ledak.Kalau dipikir-pikir lebih jauh, dia memang patut menyesal sudah memilih Leona ketimbang Dania. Apalagi Dania yang sekarang luar biasa cantik, memikat, dan… penerus Ne
Hizam terkejut. “Apa? Kenapa, Pa?”Betapa mengejutkannya bagi Hizam beserta ibu dan adiknya saat mereka mendengar apa yang diperintahkan Arvan.Menceraikan Leona. Arvan memerintahkan demikian dengan nada tegas dan wajah serius. Baru kali ini Arvan ikut campur dalam ranah hubungan pribadi anaknya.Namun, Arvan seperti tidak mau tau. Dia melotot ke Hizam yang dianggap melawan. Tangannya sudah hendak melayang untuk kedua kalinya, namun Alina segera berdiri di depan putranya, menjadi tameng.“Papi! Jangan pukul lagi anakmu!” Alina mendesis tegas, dan hanya itu yang sanggup dia lakukan yang paling jauh, disebabkan dia juga takut pada Arvan ketika pria itu dalam mode serius.Disebabkan pembelaan Alina yang dia cintai, Arvan urung memukul Hizam.“Papa ingin kamu menceraikan Leona karena kamu akan kembali mengejar Dania,” ujar Arvan dengan tegas. “Kalau dia adalah pewaris Nexus, maka kita tidak bisa kehilangan kesempatan emas ini. Kamu harus melakukan apa pun untuk mendapatkan kembali hatinya.
“Benar, Nona Dania adalah penerus Nexus Holdings.” Yohan menebalkan pernyataan itu.Hizam memicingkan mata, tak percaya.Dania? Mantan istrinya yang menyedihkan itu? Yang merupakan anak dari pasangan miskin yang membeli mobil saja tidak mampu?“Kenapa, Zam? Kamu nggak percaya?” Dania menaikkan dagunya, puas bisa membuat Hizam sepucat kertas. “Aku bisa kasi bukti dari tes DNA. Nama asliku Dania Hadid. Nexus di Morenia sebenarnya tempat aku untuk berlatih bisnis sebelum aku mengambil alih seluruh Nexus.”Hizam berdiri terpaku, tubuhnya kaku seperti patung. Kata-kata Yohan menggema di kepalanya berulang kali, seolah-olah mencoba meyakinkan pikirannya yang enggan menerima kenyataan.Dania? Pewaris Nexus Holdings?Dia menggelengkan kepala pelan, berusaha menepis apa yang baru saja didengarnya.Namun, tatapan percaya diri Dania, ditambah dengan senyum puas yang mengembang di wajahnya, membenarkan semua yang Hizam coba sangkal.“Nggak mungkin,” gumam Hizam akhirnya, suaranya penuh ketidakper
“Hubunganku dengan Pak Yohan? Dengan Tuan Levi?” beo Dania atas pertanyaan Hizam. “Hihi! Kepalamu yang berotak payah itu bisa jumpalitan kalau aku kasi tau jawabannya.”Dania tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia berdiri dengan anggun, lalu berjalan mendekati meja di mana beberapa dokumen penting Nexus berada. Tangannya dengan santai menyentuh salah satu dokumen itu sebelum dia akhirnya menatap Hizam.“Aku di sini bukan tanpa alasan,” katanya dengan nada tenang tetapi penuh makna. “Dan satu hal yang harus kamu lakuin kalau kamu ingin bergaul baik dengan penerus Nexus, Hizam, yaitu kamu… harus bersikap saaaaangat baik ama aku.”Setelah mengucapkan itu, Dania menyunggingkan senyum seringainya.Hizam hanya bisa memandang Dania dengan tatapan bingung, tetapi juga penuh amarah yang tertahan. Sesuatu tentang wanita itu terasa berbeda, tetapi dia tidak bisa sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi.“Maksudmu apa sih, Dania? Ngapain aku harus bergaul baik ama kamu lebih dulu kalau ingin
Pada esok harinya….Hizam Grimaldi berjalan memasuki lobi kantor Nexus Holdings dengan langkah penuh percaya diri.Penampilan pria itu tergolong sempurna, mengenakan jas hitam mahal dengan dasi merah marun, namun di dalam hatinya dia merasa sedikit tidak nyaman.Ini semua karena perintah ayahnya, Arvan Grimaldi tadi malam. “Besok Papa tak mau tau. Pergilah ke Nexus Holdings. Pewaris perusahaan itu dirumorkan masih berada di Morenia. Kamu harus menjalin hubungan baik dengannya, tak boleh gagal! Jangan sampai kita kehilangan peluang kerja sama besar!” begitu instruksi tegas yang dia terima.Namun, rasa tidak nyaman Hizam perlahan berubah menjadi kekesalan saat dia memasuki ruang pribadi Yohan. Di sana, dia melihat Yohan, sang Managing Director Nexus Holdings di Morenia, berdiri di samping kursi besar yang diduduki seorang wanita yang sangat dia kenal—Dania.Mata Hizam membelalak, tetapi bukan karena keterkejutan biasa. “Kamu ngapain di sini?” suaranya tajam, nyaris seperti perintah terh
‘Astaga! Astaga! Astaga!’ Dania merasakan jantungnya sibuk berdebar kencang.Dia tidak menyangka akan diberi pertanyaan mengenai sesuatu yang… yang… membuat wajahnya akan merah padam.“Itu… sakit…” Suara Dania seperti mencicit pelan. Dia bingung. Harus menanggapi dengan kalimat apa?Karena gugup, Dania tak berani menatap Rivan. Kepalanya terus tertunduk, seakan meja dan piring jauh lebih memikat mata ketimbang pria tampan di depannya.“Dania…” Rivan menyapa dengan suara lebih lembut.Tangan pria itu juga terjulur untuk menggapai tangan Dania. Senyumnya tak pernah luntur dari wajah tampannya.“Um!” Dania tersentak.Dia terlalu gugup saat ini, hingga tanpa sadar menarik tangannya dari gapaian Rivan. Dia bisa melihat pria itu terlihat kecewa.Tapi bagaimana ini? Dia tak mungkin mendorong tangannya lagi untuk masuk ke telapak tangan Rivan, kan?Akan aneh, bukan?“A-aku makan dulu sopnya, yah!” Dania mengalihkan pembicaraan.Dia segera meraih mangkuk untuknya dan mulai menyantapnya di bawah
“Anda menolak tamu ini?” tanya petugas melalui telepon khusus.“Iya, Pak! Iya! Tolak aja! Bilang, aku udah tidur!” Dania mengulangi ucapannya, kali ini dengan nada tegas agar lebih meyakinkan petugas di bawah sana.Setelah mengakhiri pembicaraan singkat dengan petugas, Dania kembali ke ruang tengah dan duduk gelisah di sofa mahalnya.Tanpa sadar, giginya sibuk menggigiti tepian kukunya beserta kulit di bagian pinggir. Tingkah ketika dia sedang gelisah maupun panik.“Duh, gimana, sih! Aku malah nolak dia? Padahal aku… aku harus tanya ke dia soal… soal… arrkhhh! Nggak mungkin aku tanya: Riv, apa benar kamu yang udah ambil perawan aku? Aish! Gila aja tanya gitu ke dia!”Dania yang awalnya sangat menginginkan kedatangan Rivan, kini justru gelisah dan takut bertemu pria itu. Lebih tepatnya, dia malu. Sangat malu.Entah seperti apa dia ketika malam itu melakukannya dengan Rivan. Argh! Dia tak mau membayangkannya! Pasti bukan sebuah hal yang menyenangkan untuk diingat-ingat, bukan?Duduk gel
“Mmhh~ Riiivv~” Dania masih saja mengerang manja sambil menampilkan wajah penuh minatnya terhadap Rivan.Dikarenakan Dania terus saja memancing, maka Rivan tak bisa mengelak dari hasratnya sendiri.Dia terpikat pada Dania sejak lama dan dia yakin Dania kini bisa membalas perasaanya yang sudah berkembang menjadi sayang dan cinta.“Annhh~” Dania melenguh pelan ketika Rivan mulai menciumi tubuhnya.Sesekali dia akan bergidik karena geli dan mendapatkan sensasi asing yang baru kali ini dirasakan.Napas Dania tersengal, dia terengah-engah ketika sentuhan-sentuhan Rivan membawa eforia tersendiri bagi tubuhnya yang amatir.“A-aarkhh!” Dania tanpa segan menyerukan suara lepasnya ketika dirinya mendapatkan pengalaman yang pertama kalinya di dalam hidup.Hingga akhirnya tangannya terus digenggam erat Rivan sambil dia menyerahkan seluruh dirinya pada pria itu, meski di bawah pengaruh obat.***“Umrh~” Dania terbangun dan mendapati dirinya sudah ada di tempat tidur huniannya. Sendirian.Ketika di
“Ummhh?” Dania mengerang pelan sambil memberikan nada tanya saat Sebastian menciumnya. “Riv….”Mendadak saja, nama itu keluar dari mulut Dania, dialunkan dengan lembut, seakan menyiratkan perasaan orang yang menyebutkannya.Seketika, Sebastian menghentikan tingkah gilanya dan menyudahi ciumannya untuk menatap wajah Dania.“Nona, apakah hanya dia saja yang ada di pikiranmu?” bisik Sebastian sambil menatap wajah merah padam Dania.Ketika lift terbuka, Sebastian segera sadar dan menyingkirkan segala pikiran busuknya pada Dania. Dia bisa saja membuat Melody menyingkir dan Dania akan berhasil dia kuasai untuk dirinya sendiri.Tapi….Sebastian menggendong Dania, memastikan dia aman hingga Melody tiba dengan mobil. “Ayo!” Sebastian sudah membantu Dania masuk ke mobil dan dia berada di belakang untuk menjaga.Sekaligus memeluk Dania untuk keegoisannya sendiri, sedangkan Melody fokus mengemudi.“Kita langsung ke penthouse Nona saja dan kita bisa jaga Nona di sana.” Sebastian mengomando.Melod