Pagi ini Kinanti dan Renata duduk di kursi meja makan, menikmati nasi goreng yang baru saja di sajikan oleh Kinanti sendiri."Ren, kamu yakin mau tinggal di kontrakan aku?" Tanya Kinanti, mengingat Serena memiliki apartemen dan juga terlahir dari keluarga berada."Nggak papa, lah, penting sama kamu.""Ini gubuk reyot. Menurut kalian yang berada.""CK, omongan Renata di dengar. Reyot dari mana, dinding beton, cat bagus, lantai keramik, pakai AC. Reyot pala nya iya!""Makasih kamu ada buat aku."Keduanya berpelukan layaknya Teletubbies yang tengah berbahagia."Ren, cariin aku kerjaan dong."Tabungan Kinanti mulai menipis, kini ia harus berjuang untuk membesarkan anaknya.Sebenarnya tidak sulit untuk membiayai Fikri sebab Papa mantan mertuanya dengan senang hati membiayai Fikri tetapi, Kinanti bukan wanita lemah. Tak ingin merepotkan orang lain dan juga tak ingin di pandang rendah, di anggap memanfaatkan anaknya untuk mendapatkan uang."Ijazah aku di simpan Mulu, kasian bener. Aku cape
Hari ini di mulai dengan senyuman, pakaian perawat berwana putih berpadu dengan topi perawat dan sepatu putih meletakan indah di tubuh Kinanti.Berulangkali kali menatap diri di depan pantulan cermin, lama sudah tidak menggunakan pakaian kesukaannya itu.Akhirnya setelah sekian purnama semuanya bisa di lalui dan benar-benar ingin menata hidup kembali."Kinanti, kamu cantik banget," Serena memuji sahabatnya yang terlihat cantik dengan seragam perawat nya."Biasa aja," Kinanti memakai jam di pergelangan tangannya, dan menatap diri kembali.Kemudian segera mendekati Fikri dan mencium pipi bocah itu."Fikri tinggal sama Mbak Indah ya, Bunda kerja dulu. Jangan nakal."Indah adalah tetangga yang tak jauh dari rumah kontrakan Kinanti, wanita itu bersedia menjaga Fikri selama Kinanti bekerja.Sebab Indah hanya di rumah saja sedang mencari pekerjaan tambahan untuk membantu perekonomian keluarga. Suaminya hanya seorang buruh sehingga, saat mendapatkan tawaran menjaga Fikri membuat Indah segera
Setelah keluar dari ruangan direktur utama Kinanti terlihat biasa saja, awalnya memang cukup shock tapi tak lama kemudian kembali santai mengingat Adam hanyalah sebuah masa lalu.Tidak ada kesedihan dan juga luka seperti dulu. Fikri adalah semangat baginya. Kini segalanya hanya untuk Fikri tak ada yang lain."Kinanti, tolong belikan aku kopi, di restoran depan rumah sakit," pinta Dokter Zidan."Iya, Dok. Sekalian saya mau makan siang, ijin ya, Dok.""Iya, tapi, jangan lupa pesanan ku."Kinanti segera meninggalkan Dokter Zidan di ruangannya, sedangkan ia segera menuju restoran yang terletak saling berhadapan di depan rumah sakit.Tapi saat memesan kopi malah ada tangan yang menepuk pundaknya.Kinanti segera berbalik dan menatap pria tersebut."Bayu!" Kinanti tersenyum melihat Bayu, setelah sekian lama tak bertemu akhirnya kini bertemu kembali."Apa kabar?" Tanya Bayu dengan seragam polisi yang masih melekat di tubuhnya."Baik."Bayu menatap seragam perawat yang masih melekat ditubuh Ki
"Kamu ngontrak di sini?""Iya."Kinanti turun dari sepeda motor milik Bayu, begitu juga dengan Bayu sambil mengamati rumah kontrakan sederhana milik Kinanti."Anak kamu mana?" Bayu ingat saat Kinanti mengatakan memiliki seorang anak dan ia juga ingin melihatnya."Kamu tunggu di sini, aku jemput dulu. Di sana, rumah tempat aku nitipin dia. Ya," Kinanti menunjukkan kursi yang ada di depan teras rumah kontrakan nya.Meminta Bayu menunggu sambil duduk manis di teras.Setelah itu segera berjalan menuju rumah Indah, di mana di sana lah, Fikri di titipkan selama bekerja."Aduh Bunda kamu datang," Indah yang sedang bermain bersama dengan Fikri melihat kedatangan Kinanti, seketika ia tersenyum pada Kinanti."Fikri rewel ya, Ndah?" Kinanti mengambil alih Fikri dan menciumi pipi nya dengan gemas.Baru saja tak berjumpa beberapa jam membuat Kinanti sudah sangat merindukan putranya."Nggak, dia baik dan aku nggak kerepotan sama sekali."Indah begitu menyayangi Fikri dan mengurus dengan baik, bahk
Hari-hari Kinanti kini adalah bekerja, setiap pagi mengantarkan Fikri ke rumah Indah maka setelahnya berangkat bekerja."Dok, hari ini ada jadwal operasi.""Iya, saya ngopi dulu. Supaya konsentrasi," sesekali Dokter Zidan meneguk secangkir kopi pada mejanya, setelah di rasa lebih rileks. Perlahan bangun dari duduknya."Udah, Dok?""Udah."Keduanya berjalan menuju ruang operasi, setelah dokter anestesi mengatakan siap untuk melakukan operasi. Maka Dokter Zidan pun memulai, di bantu oleh beberapa perawatan termasuk Kinanti.Kinanti memberikan apa saja yang di butuhkan oleh Dokter Zidan, sampai beberapa jam kemudian operasi selesai.Pasien di pindahkan ke ruang rawat inap, beberapa dokter keluar bersama beberapa perawatan lainnya juga.Dokter Zidan berjalan beriringan dengan Kinanti menuju ruangan Dokter Zidan, sesekali keduanya bercerita melepaskan rasa lelah."Anak kamu di mana? Bukannya kamu punya anak?" Tanya Dokter Zidan mengingat saat beberapa hari yang lalu membawa bayi."Iya, saya
"Adam, aku lapar sekali. Dengan sengaja nggak makan di rumah! Karena, ingin makan bersama, sampai di sini kamu ngajak aku pulang? Aku lapar, anak kamu lapar. Baru saja aku sampai," keluh Renata menatap Adam dengan rasa bingungnya."Ya, sudah. Kalau gitu kamu makan saja, aku sedang tidak berselera.""Kamu sakit?" Renata memegang dahi Adam tetapi, tak terasa panas sama sekali, "ya udah, mungkin kamu butuh istirahat," Renata tak ingin banyak bertanya mengingat Adam memang sedang sibuk-sibuknya bekerja beberapa hati ini.Keduanya berjalan dengan bergandengan, keluar dari ruangan Adam menyusuri lorong-lorong rumah sakit.Tak ingin terus berdebat dengan suaminya, Renata memilih untuk pulang dan makan di rumah saja."Itu Kinanti, kan?"Renata berhenti melangkah begitu juga dengan Adam.Keduanya menatap Kinanti dan Dokter Zidan berjalan dari arah yang berlawanan."Sayang, dia, bekerja di sini?"Adam hanya diam tanpa menjawab, lagi-lagi Kinanti tersenyum lepas pada Dokter Zidan. Keduanya sali
Adam dan Renata kini tinggal di apartemen, demi menjaga privasi rumah tangga dan ingin menghangatkan keluarga kecil mereka.Hampir dua bulan keduanya tinggal berdua saja, hari-hari Adam hanya bekerja dan Renata. Itu saja.Begitu pun saat ini, sekembalinya dari rumah sakit keduanya duduk sambil menonton televisi yang menyala.Renata tersenyum bahagia merasa Adam sudah kembali menjadi miliknya, tanpa Kinanti yang selama ini menjadi benalu dalam pernikahannya.Jika Renata terus tersenyum bahagia saat menonton televisi, maka lain halnya dengan Adam.Sebulan pertama masih terlihat tenang dan baik-baik saja. Namun, setelahnya perasaannya mulai kacau.Ada rasa aneh yang membuatnya ingin melihat Kinanti, bahkan satu bulan penuh ini dirinya tak bisa tidur dengan nyenyak.Hari-hari nya di rumah sakit terus bertemu dengan Kinanti, sekalipun tanpa pernah di sengaja tetapi, cukup membuatnya merasa tidak tenang.Adam ingin memeluk tubuh itu, mendekapnya dengan erat seperti saat dulu. Memberikan keh
Tak kuat lagi berlama-lama hanya menatap dari kejauhan, Adam seketika turun dari mobilnya dan berjalan menuju rumah kontrakan Kinanti."Fikri, udah mamam?" Bayu terus bersenda gurau dengan bayi mungil itu, sesekali bayi itu tertawa hingga membuat perasaan bahagia."Udah dong, Om," jawab Kinanti seolah Fikri yang menjawabnya."Dokter Adam?!" Serena yang keluar tanpa sengaja melihat Adam berjalan semakin mendekat.Kinanti dan Bayu langsung melihat arah tatapan Serena.Kinanti tidak tahu apa maksud mantan suaminya itu mendatanginya, hanya saja tidak mungkin juga untuk menjenguk dirinya.Tetapi tak mau berpikir buruk, Kinanti bukan wanita jahat yang senang menduga-duga."Hay, anak Ayah," Adam langsung mengambil alih Fikri dari tangan Bayu.Bayu tidak bisa berbicara, mendengar Adam mengatakan bahwa Fikri adalah anaknya.Kinanti pun hanya diam saja tanpa bicara, bukankah bagus jika Adam mengingat anaknya. Paling tidak Fikri bisa mendapatkan sedikit kasih sayang dari Ayahnya."Kenapa kau mas
Hay semuanya.Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan sang pencipta.Saya ucapkan terima kasih kepada semua para pembaca setia saya, dimana kalian sudah mengikuti cerita ini sampai selesai.Sedikit bercerita tentang buku ini.Saya tidak pernah menyangka bahwa novel ini bisa mendapatkan banyak pembaca.Menurut saya pribadi, pembaca sampai 3M itu tidak sedikit dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.Di buku ini banyak kekurangannya, mulai dari tulisan dan juga mungkin isi yang kurang berkenan di hati pembaca setia saya ucapkan maaf kepada kalian semua.Namun, saya juga ingin mengatakan bahwa, saya bukan seorang penulis hebat.Saya pun tidak pernah hobi dalam menulis, begitu juga dengan membaca.Kedua hal ini sangat saya hindari sejak dulu.Tetapi, mendadak hati saya tertantang karena pernah membaca novel yang menurut saya tidak masuk akal.Hingga saya pun memutuskan untuk menuliskan sebuah buku.Dari sana saya mulai berpikir bahwa menulis tidak seburuk dan melelahkan seperti yan
Kinanti berdiri di balkon kamarnya, malam terasa semakin dingin. Namun, matanya engan terpejam, bayang-bayang luka penuh dengan nestapa membuatnya kembali pada masa lalu yang sudah lama terkubur dalam.Kejadian itu yang menyeretnya masuk pada kehidupan Adam, keinginan ingin pergi jauh dan melupakan apa yang terlah terjadi justru semua tidak sesuai dengan harapan.Nyatanya, semakin mencoba untuk menjauh, semakin banyak pula rintangan yang dia lalui.Hingga, akhirnya benar-benar tak bisa lepas dari jerat Adam.Semuanya tak sampai dengan baik-baik saja, nyatanya luka berbalut air mata begitu menusuknya hingga seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa.Karena, kenyataan terus saja memaksa, meskipun luka yang tertusuk sudah tak mampu lagi untuk di tahan."Sayang."Kehadiran Adam membuat Kinanti pun tersadar dari lamunanya.Lamunan yang membuatnya hanyut dalam masa lalu untuk sejenak saja.Sejenak namun cukup membuat dirinya merasa kembali pada masa lalu itu."Mas, udah pulang?""Udah, dari
Bulir-bulir air mata pun jatuh dari pelupuk mata, Mentari begitu terharu saat dokter mengatakan dirinya tengah berbadan dua.Bahkan kehamilannya sudah memasuki 6 Minggu.Selama ini sering kali merasa tidak nyaman pada bagian perutnya, tapi Mentari memilih tidak perduli.Hingga akhirnya jatuh pingsan saat sedang memeriksa pasiennya.Bertapa dirinya begitu terkejut bercampur bahagia karena mendengarkan hasil pemeriksaan dokter.Di saat beneran bulan yang lalu program kehamilan yang telah di jalaninya gagal, membuat harapannya seakan berakhir pula dengan putus asa."Sayang, kamu baik-baik saja?"Fikri yang baru saja sampai di buat bingung karena melihat tingkah istrinya.Dirinya sengaja meninggalkan rapat karena mengetahui keadaan Mentari yang sempat tidak sadarkan diri."Abang, Tari hamil," Mentari langsung menghambur memeluk suaminya.Rasanya sungguh sangat luar biasa dan membuat bahagia tanpa bisa di tutupi sama sekali.Begitu pun juga dengan Fikri yang begitu terkejut mendengarnya."
"Tidak usah terbebani dengan yang saya katakan, ya sudahlah. Karena, kalian pun sudah menikah dan Mami minta hadiah aja dari kalian. Cepat berikan Mami cucu ya," ujar Zahra.Membuat Sarah terkejut mendengarnya, sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya tentang semua itu.Bahkan Zahra sendiri yang meminta padanya, Zahra menyadari keterkejutan yang dirasakan oleh Sarah.Tapi Zahra tidak perduli sama sekali, karena menantunya dan juga anaknya harus meminta maaf padanya."Kalian berdua harus berjuang keras untuk cucu, kalau tidak Mami pingsan lagi."Mata Sarah pun melebar mendengarnya, sungguh ini adalah sesuatu yang teramat sangat tidak pernah terlintas di benaknya."Tante, jangan pingsan lagi. Saya akan merasa bersalah nanti," kata Sarah dengan panik."Tante?"Zahra pun bertanya karena kesal Sarah memanggilnya dengan sebutan --Tante--Sarah yang terlalu panik, kini bercampur bingung hanya bisa diam karena tidak mengerti."Mami! Kamu panggil saya, Mami. Seperti suami mu!" Tegas Zahra.
Sarah pun melihat Dava dengan wajah cemas, perasaannya masih saja tidak tenang karena memikirkan keadaan Zahra.Merasa bersalah karena membuat Zahra sampai jatuh pingsan, bahkan kedua tangannya saling meremas.Bertambah lagi keringat dingin yang terus saja membanjiri tubuhnya."Mami, mau ketemu sama kamu."Dava pun memegang tangan Sarah, berniat untuk pergi bersama dengan dirinya menunju kamar kedua orang tuanya.Dimana Zahra sudah menunggu di sana, sungguh Sarah sangat tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.Rasa bersalah terlalu besar di hatinya, hingga dirinya menjadi demikian."Kenapa?" Dava pun mengurungkan langkah kakinya saat akan melangkah.Karena, Sarah yang hanya tampak diam. Sepertinya tidak ingin untuk ikut dengan dirinya."Pak Dava, aku pulang aja, ya," kata Sarah dengan ragu."Kenapa? Mami, mau bertemu dengan kamu.""Sarah, nggak berani, Pak. Sarah, takut."Dava pun memilih untuk menatap wajah Sarah dengan serius, dirinya mengerti dengan keadaan Sarah saat ini."Kam
"Mami, abis mimpi. Mimpi aneh, dalam mimpinya kamu tiba-tiba pulang bawa istri," Zahra pun memijat kepalanya yang masih terasa pusing.Dirinya melihat Dava yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.Seakan wanita itu benar-benar terbangun dari tidur dan juga mimpi buruknya yang cukup menyeramkan itu."Gimana bawa istri? Menikah juga belum, Mami pusing kenapa bisa bermimpi seperti itu? Mungkin, karena terlalu lelah. Mami, butuh istirahat, soalnya mimpinya seperti nyata," Zahra pun mengusap wajahnya hingga beberapa kali.Menenangkan diri setelah terbangun dari hal yang dia anggap adalah sebuah mimpi.Lantas bagaimana dengan Dava setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Zahra?Dava pun berjalan ke arah Zahra, kemudian duduk di sisi ranjang berdekatan dengan sang Mami.Dava ingin berbicara dengan serius, berharap pula tidak lagi pingsan. Bagaimana pun dirinya memang salah, menikah tanpa meminta izin kepada orang tuanya sama sekali. Sangat tidak dibenarkan.Maka dari itu Dava ingin dimaafkan
Sarah mendadak menghentikan langkah kakinya saat berada di depan pintu utama rumah milik kedua orang tua Dava.Membuat Dava pun ikut berhenti melangkah dan melihat Sarah."Ayo masuk.""Pak Dava, Sarah tunggu di luar aja, kali ya."Dava pun bingung mendengar keinginan Sarah, lagi pula tidak mungkin juga dirinya berada di luar bukan?"Kenapa?""Nggak papa, sih, Pak. Cuman, Sarah segan aja.""Segan?" alasan yang konyol menurut Dava, "kita akan menemui Mami, ayo masuk!" tanpa menunggu jawaban dari Sarah, Dava langsung menarik lengan Sarah.Hingga akhirnya Sarah pun harus mengikuti langkah kaki Dava.Sarah terus saja melihat sekitarnya, dirinya memang tidak asing melihat rumah mewah.Karena, rumah Nada juga tidak kalah mewah dari rumah Dava Hanya saja kali ini lain cerita, sebab Dava adalah suaminya.Tentunya ada rasa minder juga tidak nyaman untuk berinteraksi dengan keluarga Dava."Kamu duduk dulu," Dava pun menuntun Sarah untuk duduk di sofa.Tepatnya kini mereka berada di ruang keluar
Dava pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari seseorang yang tak lain adalah istrinya.Pagi tadi wanita itu bersikap aneh, bahkan berangkat ke kampus dengan sangat terburu-buru.Bahkan alasannya karena ada kelas, takut tak diijinkan masuk jika dosennya sudah masuk duluan.Membuat Dava hanya terdiam mendengar penjelasan Sarah.Sehingga kini dirinya benar-benar mencari keberadaan wanita tersebut, sebab dirinya ingin memastikan apakah Sarah sudah sampai di kampus ataupun belum.Sarah kini sudah menjadi istrinya, sehingga tidak ada lagi kata tanya mengapa dan kenapa Dava mencari wanita tersebut.Jika pun tak ada alasan pastinya, tetap saja terbilang wajar.Mengingat status yang sudah memiliki sebuah ikatan yang sakral.Hingga akhirnya Dava pun melihat Sarah yang duduk berdekatan dengan seorang pria, sepertinya wanita itu belum sadar jika posisinya kini adalah istri dari dosennya sendiri."Kamu," Dava pun menunjuk Sarah yang sedang melihatnya juga."Saya, Pak?" tanya Sar
"Lho, kamu nggak sama Dava?" Tanya Nada saat melihat Sarah turun dari sepeda motornya."Nggak, aku buru-buru, aku langsung pergi aja tadi. Soalnya aku ada kelas."Nada pun menatap Sarah dengan penuh tanya, dirinya mungkin memikirkan sesuatu sehingga melakukan itu."Kamu ngapain ngeliatin aku gitu banget?""Terus, kalau kamu pergi duluan. Dia kamu tinggal, kamu bisa langsung masuk kelas?""Iya, aku takut telat."Nada mencubit lengan Sarah cukup kuat, bahkan hingga meringis menahan sakit."Sakit!""Berarti kamu nggak lagi tidur!" kesal Nada."Iya, iyalah. Kita udah di kampus. Jadi, ini nggak mimpi," gerutu Sarah yang tak kalah kesal.Sambil menggosok tangannya yang cukup sakit karena cubitan Nada."Dasar tolol! Dosennya masih di rumah kamu, ngapain kamu buru-buru ke kampus?" akhirnya Nada pun menyadarkan Sarah.Benar saja, seketika itu juga Sarah tersadar dari keanehannya."Oh, iya. Dosennya, Pak Dava, kan?"Sarah pun melihat Nada dengan bingung, karena kini dirinya tahu penyebab Nada