"Kamu ngontrak di sini?""Iya."Kinanti turun dari sepeda motor milik Bayu, begitu juga dengan Bayu sambil mengamati rumah kontrakan sederhana milik Kinanti."Anak kamu mana?" Bayu ingat saat Kinanti mengatakan memiliki seorang anak dan ia juga ingin melihatnya."Kamu tunggu di sini, aku jemput dulu. Di sana, rumah tempat aku nitipin dia. Ya," Kinanti menunjukkan kursi yang ada di depan teras rumah kontrakan nya.Meminta Bayu menunggu sambil duduk manis di teras.Setelah itu segera berjalan menuju rumah Indah, di mana di sana lah, Fikri di titipkan selama bekerja."Aduh Bunda kamu datang," Indah yang sedang bermain bersama dengan Fikri melihat kedatangan Kinanti, seketika ia tersenyum pada Kinanti."Fikri rewel ya, Ndah?" Kinanti mengambil alih Fikri dan menciumi pipi nya dengan gemas.Baru saja tak berjumpa beberapa jam membuat Kinanti sudah sangat merindukan putranya."Nggak, dia baik dan aku nggak kerepotan sama sekali."Indah begitu menyayangi Fikri dan mengurus dengan baik, bahk
Hari-hari Kinanti kini adalah bekerja, setiap pagi mengantarkan Fikri ke rumah Indah maka setelahnya berangkat bekerja."Dok, hari ini ada jadwal operasi.""Iya, saya ngopi dulu. Supaya konsentrasi," sesekali Dokter Zidan meneguk secangkir kopi pada mejanya, setelah di rasa lebih rileks. Perlahan bangun dari duduknya."Udah, Dok?""Udah."Keduanya berjalan menuju ruang operasi, setelah dokter anestesi mengatakan siap untuk melakukan operasi. Maka Dokter Zidan pun memulai, di bantu oleh beberapa perawatan termasuk Kinanti.Kinanti memberikan apa saja yang di butuhkan oleh Dokter Zidan, sampai beberapa jam kemudian operasi selesai.Pasien di pindahkan ke ruang rawat inap, beberapa dokter keluar bersama beberapa perawatan lainnya juga.Dokter Zidan berjalan beriringan dengan Kinanti menuju ruangan Dokter Zidan, sesekali keduanya bercerita melepaskan rasa lelah."Anak kamu di mana? Bukannya kamu punya anak?" Tanya Dokter Zidan mengingat saat beberapa hari yang lalu membawa bayi."Iya, saya
"Adam, aku lapar sekali. Dengan sengaja nggak makan di rumah! Karena, ingin makan bersama, sampai di sini kamu ngajak aku pulang? Aku lapar, anak kamu lapar. Baru saja aku sampai," keluh Renata menatap Adam dengan rasa bingungnya."Ya, sudah. Kalau gitu kamu makan saja, aku sedang tidak berselera.""Kamu sakit?" Renata memegang dahi Adam tetapi, tak terasa panas sama sekali, "ya udah, mungkin kamu butuh istirahat," Renata tak ingin banyak bertanya mengingat Adam memang sedang sibuk-sibuknya bekerja beberapa hati ini.Keduanya berjalan dengan bergandengan, keluar dari ruangan Adam menyusuri lorong-lorong rumah sakit.Tak ingin terus berdebat dengan suaminya, Renata memilih untuk pulang dan makan di rumah saja."Itu Kinanti, kan?"Renata berhenti melangkah begitu juga dengan Adam.Keduanya menatap Kinanti dan Dokter Zidan berjalan dari arah yang berlawanan."Sayang, dia, bekerja di sini?"Adam hanya diam tanpa menjawab, lagi-lagi Kinanti tersenyum lepas pada Dokter Zidan. Keduanya sali
Adam dan Renata kini tinggal di apartemen, demi menjaga privasi rumah tangga dan ingin menghangatkan keluarga kecil mereka.Hampir dua bulan keduanya tinggal berdua saja, hari-hari Adam hanya bekerja dan Renata. Itu saja.Begitu pun saat ini, sekembalinya dari rumah sakit keduanya duduk sambil menonton televisi yang menyala.Renata tersenyum bahagia merasa Adam sudah kembali menjadi miliknya, tanpa Kinanti yang selama ini menjadi benalu dalam pernikahannya.Jika Renata terus tersenyum bahagia saat menonton televisi, maka lain halnya dengan Adam.Sebulan pertama masih terlihat tenang dan baik-baik saja. Namun, setelahnya perasaannya mulai kacau.Ada rasa aneh yang membuatnya ingin melihat Kinanti, bahkan satu bulan penuh ini dirinya tak bisa tidur dengan nyenyak.Hari-hari nya di rumah sakit terus bertemu dengan Kinanti, sekalipun tanpa pernah di sengaja tetapi, cukup membuatnya merasa tidak tenang.Adam ingin memeluk tubuh itu, mendekapnya dengan erat seperti saat dulu. Memberikan keh
Tak kuat lagi berlama-lama hanya menatap dari kejauhan, Adam seketika turun dari mobilnya dan berjalan menuju rumah kontrakan Kinanti."Fikri, udah mamam?" Bayu terus bersenda gurau dengan bayi mungil itu, sesekali bayi itu tertawa hingga membuat perasaan bahagia."Udah dong, Om," jawab Kinanti seolah Fikri yang menjawabnya."Dokter Adam?!" Serena yang keluar tanpa sengaja melihat Adam berjalan semakin mendekat.Kinanti dan Bayu langsung melihat arah tatapan Serena.Kinanti tidak tahu apa maksud mantan suaminya itu mendatanginya, hanya saja tidak mungkin juga untuk menjenguk dirinya.Tetapi tak mau berpikir buruk, Kinanti bukan wanita jahat yang senang menduga-duga."Hay, anak Ayah," Adam langsung mengambil alih Fikri dari tangan Bayu.Bayu tidak bisa berbicara, mendengar Adam mengatakan bahwa Fikri adalah anaknya.Kinanti pun hanya diam saja tanpa bicara, bukankah bagus jika Adam mengingat anaknya. Paling tidak Fikri bisa mendapatkan sedikit kasih sayang dari Ayahnya."Kenapa kau mas
Adam pulang dalam keadaan kusut, wajahnya terlihat lelah. Bahkan, tidak memiliki gairah hidup.Anehnya lagi bukan pulang ke apartemen di mana kini dirinya dan Renata menetap, melainkan kembali ke rumah kedua orang tuanya.Sarah tanpa sengaja melewati ruang keluarga tetapi, malah melihat Adam duduk di sofa dengan menadahkan wajah nya.Seketika melihat jam dinding, Sarah merasa sudah cukup larut. Bahkan jam menunjukkan pukul 03 : 00. Mungkin tepatnya sudah subuh.Tidak ingin terus penasaran, Sarah mendekati Adam, ingin bertanya alasan tentang apa yang terjadi pada putranya tersebut."Adam. Kamu di sini? Renata mana?" Sarah tak melihat Renata hingga semakin menimbulkan tanda tanya, atau mungkin juga berada di kamar Adam di lantai dua.Sarah tidak ingin berburuk sangka, hanya saja masih penasaran dengan keadaan putranya yang kini terlihat sangat kusut.Adam sejenak menatap Sarah, sedetik kemudian mengusap wajahnya dengan kasar."Kamu nggak ribut sama Renata, kan?"Sarah duduk di samping A
Di sisi lainnya Zidan tak dapat terlelap dalam tidur, bahkan hingga pagi menjelma. Sejak mengetahui segala kebenaran membuatnya merasa bersalah.Wajah Kinanti yang malang terus menghantuinya, semua terjadi karena, dirinya. Zidan tidak menampik kebenaran semua itu."Andai saja aku tidak marah, tidak memasukkan obat perangsang itu. Semua tidak akan terjadi, Kinanti tidak akan terseret dalam penderitaan yang begitu dalam," Zidan mengusap wajahnya, merasa menjadi manusia paling jahat.Jika semua bisa diulang kembali maka, Zidan tidak akan melakukan hal bodoh tersebut.Padahal kecewa pada Renata yang lebih memilih Adam dari pada dirinya, hingga gelap mata dan berbuat jahat pada sahabatnya sendiri.Semua tinggal penyesalan yang tak mungkin bisa di ubah, kini kedepannya mungkin yang di lakukan oleh Zidan adalah membuat Kinanti bahagia.Sebagai bentuk penebusan dosa.Zidan berjanji pada dirinya akan menebus semua dosa itu dengan membahagiakan Kinanti, tak perduli Kinanti adalah seorang janda
"Kamu nggak papa, kan?" Zidan merasa semua harus di luruskan, mengingat dirinya akan semakin bersalah jika tidak mengatakan segala kebenaran pada Kinanti."Kinanti, bisa aku berbicara?"Dengan ragu Zidan menatap wajah Kinanti. Tetapi, lagi-lagi ingin mengakui jika dirinya adalah penyebab utama dari permasalahan yang terjadi."Tidak usah sekarang Dok, saya ingin sendiri dulu.""Tidak bisa, kamu harus mendengarkan aku."Kinanti sejenak diam menimbang raut wajah Zidan terlihat memohon padanya, hingga akhirnya kembali duduk di kursi sambil memeluk Fikri.Lama Zidan terdiam sambil menatap wajah Kinanti, ada rasa takut tetapi, semua harus di katakan. Lebih baik mengakui kesalahan saat ini, dari pada nantinya Kinanti tahu dari orang lain."Dokter, bisa bicara sekarang? Atau saya masuk "Zidan memegang tangan Kinanti, mencegah agar tidak masuk ke dalam rumah."Semua terjadi karena, aku," kata Zidan dengan susah payah.Kinanti tidak mengerti apa maksud Zidan. Sehingga hanya diam tanpa bicara