Nada masih sibuk dengan pikirannya membersihkan rumah, hanya untuk sekedar menghilangkan rasa bosan saja.Bahkan Nada tidak memberikan ijin pada beberapa pekerja yang biasa membersihkan apartemen tersebut.Lagi-lagi dengan alasan yang sama, Nada ingin sedikit disibukkan dengan pekerjaan hingga tidak terlalu memikirkan Tama dengan segala perubahan sikapnya."Ya ampun, kuku aku patah," Nada menatap kuku-kukunya, merasa sedikit bersedih.Tapi sudahlah, karena sebentar lagi bisa di perbaiki lagi."Kenapa kamu yang mengerjakan semua ini?" Tama pun kembali dan tiba-tiba saja bertanya pada Nada.Nada pun sampai terkejut melihat Tama yang bahkan sudah masuk dan tidak disadari jika tidak bersuara.Tapi bukan itu yang membuat Nada bertanya-tanya, melainkan melihat jam pulang Tama saat ini.Mata Nada langsung tertuju pada jam dinding, memastikan apakah dirinya yang salah ataupun memang benar.Tapi tidak, Nada memang benar. Bahkan jam menunjukkan pukul 16:00 wib."Ada apa? Apa ada yang aneh?" Tam
Sesampainya di kediaman Adam dan Kinanti, akhirnya keduanya pun memutuskan untuk segera memasuki rumah.Ternyata sudah di tunggu oleh keluarga besar yang duduk di ruang tamu."Anak Bunda," Kinanti pun tersenyum saat melihat Nada yang berjalan masuk ke dalam rumah.Sambil perlahan bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah Nada yang juga sedang berjalan ke arahnya.Hingga akhirnya Nada pun langsung memeluk Kinanti dengan eratnya.Begitu juga dengan Kinanti yang memeluk putrinya tidak kalah erat seakan ibu dan anak itu telah lama tidak bertemu."Kamu apa kabar?" Tanya Kinanti yang melepaskan Nada dengan perlahan kemudian mencium dahi putrinya dengan penuh cinta.Menatap wajah Nada dengan penuh cinta yang tulus, cinta seorang ibu yang tak akan pernah bisa luntur terhadap anaknya."Baik," jawab Nada sambil tersenyum.Hingga kemudian matanya tertuju pada Adam yang masih duduk di tempatnya.Tepat di sofa yang sebelumnya Kinanti juga duduk di sana, bersebelahan dengan Adam.Nada langsung ber
"Wah, masakan Bunda tetap saja tidak ada yang menandinginya," kata Nada sambil menatap begitu banyak makanan yang sudah tersaji di atas meja makan.Tetapi Nada tidak langsung mengisi piringnya sendiri, melainkan mengisinya piring Tama terlebih dahulu.Mengisi piring suami yang teramat di cintainya itu, biarlah luka hati dengan sejuta kegundahan hanya simpan saja tanpa ada yang perlu tahu."Sudah cukup, ini terlalu banyak," Tama pun meminta Nada untuk berhenti menambahkan makanan lainnya, karena tidak akan mungkin juga bisa menghabiskannya."Ya udah, ayo di cobain. Masakan Bunda yang paling istimewa di rumah ini," kata Nada dengan senyuman seakan begitu bangga akan Kinanti adalah wanita yang penuh cinta itu begitu memiliki banyak kelebihan.Kemudian Nada pun ikut duduk di samping Tama. Mengisi piringnya dengan nasi dan juga lauk dan sayur yang sudah tersaji.Semuanya tampak begitu nikmat hingga dirinya tidak ingin terlewatkan untuk mencicipi semuanya."Anak Bunda sudah dewasa ya, biasa
Kinanti sedikit bersedih karena Tama dan Nada berpamitan pulang, padahal Kinanti berpikir jika keduanya menginap di rumah untuk malam ini saja."Bunda, Nada pamit ya.""Ya sudah, padahal Bunda pikir kalian berdua menginap di rumah Bunda."Wajah Kinanti benar-benar murung saat Nada berpamitan untuk pulang."Lain kali aja ya Bunda.""Ya sudah, hati-hati di jalan."Nada dan Tama pun akhirnya pergi, membuat Kinanti dan yang lainnya hanya melihat dari teras saja.Nada hanya diam saja duduk di samping Tama yang mengemudikan mobilnya, pikiran masih tertuju pada apa yang ingin dikatakan oleh Adam saat makan malam barusan.Nada bingung dan bertanya-tanya apakah Adam mengetahui sesuatu akan rumah tangganya dan juga Tama."Kenapa?" Tanya Tama yang melihat Nada hanya diam saja."Nggak papa," jawab Nada."Padahal aku nggak masalah kalau kamu mau menginap di rumah Bunda.""Aku mau ikut Mas aja, istri harus ikut kemana pun suaminya pergi," jawab Nada dengan santainya.Tama pun lagi-lagi memilih untu
Rasanya kaki tak sanggup lagi untuk terus melangkah, namun saat ini kaki ini harus terus berjalan.Bahkan terkadang berlari, berlari sejauh mungkin berharap rasa ini bisa hilang dengan sendirinya.Namun, entah bagaimana caranya semuanya teramat sulit untuk dilakukan.Begitu mudahnya mencintai, tetapi untuk melupakanmu sungguh tak pernah bisa dilakukan.Hingga akhirnya Tama pun duduk di sisi jalanan, seakan kenangan itu kembali berputar di benaknya.Tepatnya saat beberapa hari setelah dirinya dan juga Nada menikah.Saat itu Tama begitu bahagia menikmati awal pernikahan.Namun, saat itu pula Tama mendapatkan kabar tentang keadaan Mira yang mendadak drop."Mama, kritis," kata Handoko dari balik sambungan telepon seluler.Membuat Tama hanya diam membeku mendengar apa yang dikatakan oleh Handoko.Hingga akhirnya panggilan telepon pun selesai dan Tama memutuskan untuk kembali ke Jakarta.Sesampainya di Jakarta Tama langsung melihat keadaan Mira yang ternyata sudah mulai membaik.Hingga akhi
Semuanya benar-benar tidak baik-baik saja, tanpa alasan yang jelas dirinya harus mendapat perceraian yang tak pernah di impikan selama ini.Merasa tak memiliki kesalahan fatal membuat Nada pun bertanya-tanya, mengapa ini bisa terjadi pada dirinya.Mengapa bisa Tama mengatakan cerai padanya, kesalahan apa yang membuat Tama tak bisa memaafkan dirinya.Nada harus mendapatkan alasan yang jelas baru bisa menerima perceraian ini, dia tidak bisa menerima perceraian dengan cara seperti ini.Namun, saat ini Nada hanya bisa menangis tersedu-sedu sambil bersandar di depan daun pintu yang tertutup rapat.Berharap sebentar lagi Tama akan kembali dan menarik semua perkataannya barusan.Namun, mungkinkah itu akan terjadi?Karena ternyata semua yang diharapkan oleh Nada tampaknya hanyalah sebuah mimpi saja.Pada kenyataannya saat pagi pun menjelang Tama tak juga kembali seperti apa yang dia harapkan.Bahkan Nada sampai tertidur di lantai karena terlalu banyak menangis hingga kelelahan.Sesaat kemudia
Dibawah selimut Nada pun menggigil kedinginan, sementara Sarah terus saja mengompresnya dengan penuh kesabaran.Sambil menunggu dokter yang datang setelah Sarah menghubungi.Hingga dokter pun tiba langsung memeriksa keadaan Nada."Ibu terlalu stres, dan pasien sedang hamil," kata Dokter tersebut."Hamil Dok?" Tanya Sarah sambil melihat Nada yang tampak masih menggigil dengan hebatnya."Iya, sebaiknya di rawat saja. Agar kandungannya juga bisa diperiksa lebih lanjut," kata Dokter itu lagi memberikan saran terbaik menimbang keadaan Nada cukup mengkhawatirkan.Namun, Sarah tidak tahu harus melakukan apa. Menurutnya memang mengikuti sadar dari dokter adalah terbaik.Namun, belum tentu menurut Nada karena sepertinya apa yang dipikirkannya tidak sama dengan pikiran Nada.Hingga akhirnya dokter tersebut pun merasa mengenali Nada, tampaknya wajah Nada tidak asing baginya."Saya merasa wajah ini tidak asing, ah iya. Anda anak dari Dokter Adam? Saya, juga datang di acara pernikahan anda," kata
Hari-hari pun berlalu dengan begitu cepatnya, Nada masih saja dengan harapan yang sama. Namun, sayang sampai detik ini pun tidak ada kabar beritanya, bahkan yang sampai hanyalah selembar kertas yang berisi tentang perceraian mereka.Dada Nada bergemuruh hebat menahan rasa sakit bercampur dengan perasaan was-was, di saat dirinya berharap ini hanya sebuah mimpi belaka yang begitu mengerikan ternyata adalah sebuah kenyataan.Tidak menyangka bisa memegang kertas berisi goresan pena tentang perceraian.Sungguh luar biasa, semuanya seakan begitu mencekam. Terasa lebih horor dari sebuah rumah menyeramkan.Hingga butiran-butiran air mata pun jatuh dari pelupuk mata indahnya."Nada, kamu baik-baik saja?" Tanya Sarah yang melihat keadaan Nada saat ini.Nada pun menatap Sarah dengan mata yang berkaca-kaca seakan benar-benar tak ada lagi kata yang dapat digunakan untuk menjawab semuanya."Aku tidak baik-baik saja, bagaimana bisa kamu bertanya kepada ku seperti itu? Apa aku terlihat baik-baik saja
Hay semuanya.Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan sang pencipta.Saya ucapkan terima kasih kepada semua para pembaca setia saya, dimana kalian sudah mengikuti cerita ini sampai selesai.Sedikit bercerita tentang buku ini.Saya tidak pernah menyangka bahwa novel ini bisa mendapatkan banyak pembaca.Menurut saya pribadi, pembaca sampai 3M itu tidak sedikit dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.Di buku ini banyak kekurangannya, mulai dari tulisan dan juga mungkin isi yang kurang berkenan di hati pembaca setia saya ucapkan maaf kepada kalian semua.Namun, saya juga ingin mengatakan bahwa, saya bukan seorang penulis hebat.Saya pun tidak pernah hobi dalam menulis, begitu juga dengan membaca.Kedua hal ini sangat saya hindari sejak dulu.Tetapi, mendadak hati saya tertantang karena pernah membaca novel yang menurut saya tidak masuk akal.Hingga saya pun memutuskan untuk menuliskan sebuah buku.Dari sana saya mulai berpikir bahwa menulis tidak seburuk dan melelahkan seperti yan
Kinanti berdiri di balkon kamarnya, malam terasa semakin dingin. Namun, matanya engan terpejam, bayang-bayang luka penuh dengan nestapa membuatnya kembali pada masa lalu yang sudah lama terkubur dalam.Kejadian itu yang menyeretnya masuk pada kehidupan Adam, keinginan ingin pergi jauh dan melupakan apa yang terlah terjadi justru semua tidak sesuai dengan harapan.Nyatanya, semakin mencoba untuk menjauh, semakin banyak pula rintangan yang dia lalui.Hingga, akhirnya benar-benar tak bisa lepas dari jerat Adam.Semuanya tak sampai dengan baik-baik saja, nyatanya luka berbalut air mata begitu menusuknya hingga seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa.Karena, kenyataan terus saja memaksa, meskipun luka yang tertusuk sudah tak mampu lagi untuk di tahan."Sayang."Kehadiran Adam membuat Kinanti pun tersadar dari lamunanya.Lamunan yang membuatnya hanyut dalam masa lalu untuk sejenak saja.Sejenak namun cukup membuat dirinya merasa kembali pada masa lalu itu."Mas, udah pulang?""Udah, dari
Bulir-bulir air mata pun jatuh dari pelupuk mata, Mentari begitu terharu saat dokter mengatakan dirinya tengah berbadan dua.Bahkan kehamilannya sudah memasuki 6 Minggu.Selama ini sering kali merasa tidak nyaman pada bagian perutnya, tapi Mentari memilih tidak perduli.Hingga akhirnya jatuh pingsan saat sedang memeriksa pasiennya.Bertapa dirinya begitu terkejut bercampur bahagia karena mendengarkan hasil pemeriksaan dokter.Di saat beneran bulan yang lalu program kehamilan yang telah di jalaninya gagal, membuat harapannya seakan berakhir pula dengan putus asa."Sayang, kamu baik-baik saja?"Fikri yang baru saja sampai di buat bingung karena melihat tingkah istrinya.Dirinya sengaja meninggalkan rapat karena mengetahui keadaan Mentari yang sempat tidak sadarkan diri."Abang, Tari hamil," Mentari langsung menghambur memeluk suaminya.Rasanya sungguh sangat luar biasa dan membuat bahagia tanpa bisa di tutupi sama sekali.Begitu pun juga dengan Fikri yang begitu terkejut mendengarnya."
"Tidak usah terbebani dengan yang saya katakan, ya sudahlah. Karena, kalian pun sudah menikah dan Mami minta hadiah aja dari kalian. Cepat berikan Mami cucu ya," ujar Zahra.Membuat Sarah terkejut mendengarnya, sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya tentang semua itu.Bahkan Zahra sendiri yang meminta padanya, Zahra menyadari keterkejutan yang dirasakan oleh Sarah.Tapi Zahra tidak perduli sama sekali, karena menantunya dan juga anaknya harus meminta maaf padanya."Kalian berdua harus berjuang keras untuk cucu, kalau tidak Mami pingsan lagi."Mata Sarah pun melebar mendengarnya, sungguh ini adalah sesuatu yang teramat sangat tidak pernah terlintas di benaknya."Tante, jangan pingsan lagi. Saya akan merasa bersalah nanti," kata Sarah dengan panik."Tante?"Zahra pun bertanya karena kesal Sarah memanggilnya dengan sebutan --Tante--Sarah yang terlalu panik, kini bercampur bingung hanya bisa diam karena tidak mengerti."Mami! Kamu panggil saya, Mami. Seperti suami mu!" Tegas Zahra.
Sarah pun melihat Dava dengan wajah cemas, perasaannya masih saja tidak tenang karena memikirkan keadaan Zahra.Merasa bersalah karena membuat Zahra sampai jatuh pingsan, bahkan kedua tangannya saling meremas.Bertambah lagi keringat dingin yang terus saja membanjiri tubuhnya."Mami, mau ketemu sama kamu."Dava pun memegang tangan Sarah, berniat untuk pergi bersama dengan dirinya menunju kamar kedua orang tuanya.Dimana Zahra sudah menunggu di sana, sungguh Sarah sangat tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.Rasa bersalah terlalu besar di hatinya, hingga dirinya menjadi demikian."Kenapa?" Dava pun mengurungkan langkah kakinya saat akan melangkah.Karena, Sarah yang hanya tampak diam. Sepertinya tidak ingin untuk ikut dengan dirinya."Pak Dava, aku pulang aja, ya," kata Sarah dengan ragu."Kenapa? Mami, mau bertemu dengan kamu.""Sarah, nggak berani, Pak. Sarah, takut."Dava pun memilih untuk menatap wajah Sarah dengan serius, dirinya mengerti dengan keadaan Sarah saat ini."Kam
"Mami, abis mimpi. Mimpi aneh, dalam mimpinya kamu tiba-tiba pulang bawa istri," Zahra pun memijat kepalanya yang masih terasa pusing.Dirinya melihat Dava yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.Seakan wanita itu benar-benar terbangun dari tidur dan juga mimpi buruknya yang cukup menyeramkan itu."Gimana bawa istri? Menikah juga belum, Mami pusing kenapa bisa bermimpi seperti itu? Mungkin, karena terlalu lelah. Mami, butuh istirahat, soalnya mimpinya seperti nyata," Zahra pun mengusap wajahnya hingga beberapa kali.Menenangkan diri setelah terbangun dari hal yang dia anggap adalah sebuah mimpi.Lantas bagaimana dengan Dava setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Zahra?Dava pun berjalan ke arah Zahra, kemudian duduk di sisi ranjang berdekatan dengan sang Mami.Dava ingin berbicara dengan serius, berharap pula tidak lagi pingsan. Bagaimana pun dirinya memang salah, menikah tanpa meminta izin kepada orang tuanya sama sekali. Sangat tidak dibenarkan.Maka dari itu Dava ingin dimaafkan
Sarah mendadak menghentikan langkah kakinya saat berada di depan pintu utama rumah milik kedua orang tua Dava.Membuat Dava pun ikut berhenti melangkah dan melihat Sarah."Ayo masuk.""Pak Dava, Sarah tunggu di luar aja, kali ya."Dava pun bingung mendengar keinginan Sarah, lagi pula tidak mungkin juga dirinya berada di luar bukan?"Kenapa?""Nggak papa, sih, Pak. Cuman, Sarah segan aja.""Segan?" alasan yang konyol menurut Dava, "kita akan menemui Mami, ayo masuk!" tanpa menunggu jawaban dari Sarah, Dava langsung menarik lengan Sarah.Hingga akhirnya Sarah pun harus mengikuti langkah kaki Dava.Sarah terus saja melihat sekitarnya, dirinya memang tidak asing melihat rumah mewah.Karena, rumah Nada juga tidak kalah mewah dari rumah Dava Hanya saja kali ini lain cerita, sebab Dava adalah suaminya.Tentunya ada rasa minder juga tidak nyaman untuk berinteraksi dengan keluarga Dava."Kamu duduk dulu," Dava pun menuntun Sarah untuk duduk di sofa.Tepatnya kini mereka berada di ruang keluar
Dava pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari seseorang yang tak lain adalah istrinya.Pagi tadi wanita itu bersikap aneh, bahkan berangkat ke kampus dengan sangat terburu-buru.Bahkan alasannya karena ada kelas, takut tak diijinkan masuk jika dosennya sudah masuk duluan.Membuat Dava hanya terdiam mendengar penjelasan Sarah.Sehingga kini dirinya benar-benar mencari keberadaan wanita tersebut, sebab dirinya ingin memastikan apakah Sarah sudah sampai di kampus ataupun belum.Sarah kini sudah menjadi istrinya, sehingga tidak ada lagi kata tanya mengapa dan kenapa Dava mencari wanita tersebut.Jika pun tak ada alasan pastinya, tetap saja terbilang wajar.Mengingat status yang sudah memiliki sebuah ikatan yang sakral.Hingga akhirnya Dava pun melihat Sarah yang duduk berdekatan dengan seorang pria, sepertinya wanita itu belum sadar jika posisinya kini adalah istri dari dosennya sendiri."Kamu," Dava pun menunjuk Sarah yang sedang melihatnya juga."Saya, Pak?" tanya Sar
"Lho, kamu nggak sama Dava?" Tanya Nada saat melihat Sarah turun dari sepeda motornya."Nggak, aku buru-buru, aku langsung pergi aja tadi. Soalnya aku ada kelas."Nada pun menatap Sarah dengan penuh tanya, dirinya mungkin memikirkan sesuatu sehingga melakukan itu."Kamu ngapain ngeliatin aku gitu banget?""Terus, kalau kamu pergi duluan. Dia kamu tinggal, kamu bisa langsung masuk kelas?""Iya, aku takut telat."Nada mencubit lengan Sarah cukup kuat, bahkan hingga meringis menahan sakit."Sakit!""Berarti kamu nggak lagi tidur!" kesal Nada."Iya, iyalah. Kita udah di kampus. Jadi, ini nggak mimpi," gerutu Sarah yang tak kalah kesal.Sambil menggosok tangannya yang cukup sakit karena cubitan Nada."Dasar tolol! Dosennya masih di rumah kamu, ngapain kamu buru-buru ke kampus?" akhirnya Nada pun menyadarkan Sarah.Benar saja, seketika itu juga Sarah tersadar dari keanehannya."Oh, iya. Dosennya, Pak Dava, kan?"Sarah pun melihat Nada dengan bingung, karena kini dirinya tahu penyebab Nada