Mata tidak bisa terpejam, sekalipun sudah berusaha tetapi begitu sulit untuk masuk dalam mimpi.Bagaimana jika setelah menutup mata maka besok matanya tidak akan terbuka lagi?Bagaimana jika inilah saat-saat terakhir bersama dengan orang-orang tercintanya.Padahal tidur dengan pelukan Zidan yang begitu menghangatkan.Renata ingat saat itu, saat-saat beberapa tahun silam.Flashback on."Renata, kita jalan-jalan yuk," Sindi selalu setia menemani adiknya, bahkan di saat sempitnya waktu ruang.Karena dirinya yang sudah memiliki 2 orang anak, bahkan harus mengurus suaminya saat pulang bekerja.Tidak masalah, Sindi begitu menyayangi Renata. Sehingga selalu berusaha untuk membuat adiknya yang terpuruk kembali ceria."Kemana?""Kata uncle Hussain ada acara pasar malam di lapangan sana, kita ke sana yuk."Renata pun mengangguk setuju, malam-malam begini dirinya selalu kesepian.Sampai di keramaian pun malah merasa sunyi, hampa tanpa ada siapapun.Padahal orang-orang penuh dengan mengerumuni te
"Apa aku sudah ada di hati mu?"Zidan sangat menunggu jawaban dari Renata, diamnya Renata membuat perasaan semakin penasaran meraung-raung begitu saja.Takut? Tentu saja, bukan hanya sekedar ingin memiliki raga.Apakah terlalu serakah?Zidan juga menginginkan cintanya terbalas, sehingga bisa mengikat dalam segala keadaan tetap bersama.Tidak was-was seperti ini, rasa takut di tinggalkan tentu ada."Aku nggak tau, tapi sekarang aku nyaman di dekat kamu. Aku takut ketika kamu pergi dan tidak terlihat dari pandangan mata ku walaupun sedetik saja," Renata mengelus wajah Zidan, menatap dengan pandangan mata yang begitu dalam, "lalu, bagaimana jika selamanya?"Senyum manisnya terlihat jelas, entah seperti apa, tapi hati berkecamuk penuh dengan rasa takut."Baiklah, tidak masalah. Tapi, jangan pernah berjumpa dengan nya tanpa Kinanti."Renata pun mengangguk yakin, itu tidak masalah baginya.Karena tidak ada lagi cinta untuk Adam, mereka hanya sahabat.Sahabat yang manis tulus tanpa terkecual
Pagi harinya Renata terbangun, bibirnya tersenyum saat melihat Zidan yang masih terlelap di sampingnya.Bangun di pagi hari adalah waktu yang tepat bahkan sangat baik bagi wanita hamil, sehingga dirinya segera bangun dan menyiapkan segala sesuatunya untuk Zidan.Mulai dari kemeja yang harus dipakai hari ini saat bekerja, sampai menyajikan sarapan pagi.Renata terus berkutat di dapur, menyiapkan kopi dan juga susu hangat untuk putrinya.Menyajikan di atas meja makan dengan tangannya sendiri."Kamu yang nyiapin semuanya?" Mala yang melihat apa yang dilakukan Renata pun langsung bertanya."Iya Ma, lebih seger aja kalau bangun lebih pagi," jelas Renata sambil meletakkan sendok garpu pada meja."Iya sih," Mala pun membenarkan kemudian duduk di kursi meja makan."Ma, Renata hamil," kata Renata pada Mala secara langsung.Dirinya ingin berbagi kebahagiaan walaupun hanya sedikit saja, lupakan apa resiko kedepannya. Karena, kebahagiaan menjadi seorang Ibu lagi bagi calon anak keduanya adalah s
Kinanti pun membuang pandangannya ke arah lain, tahu perasaan Renata saat ini seperti apa.Namun, mungkinkah sanggup untuk membiarkan Renata dalam derita?Bukankah ini adalah derita di atas harapan bahagia ingin melahirkan anak keduanya."Kinanti," suara lemah Renata seakan menggoyahkan hati, di satu sisi dirinya ingin menuruti keinginan tersebut.Di sisi lainnya juga pasti akan merasa bersalah jika ternyata Renata dalam masalah besar."Kamu ingin aku menjadi wanita jahat?""Aku tidak menginginkan itu, aku hanya ingin kamu mengerti perasaan ku sebagai seorang istri dan seorang ibu.""Aku tidak bisa Renata, keselamatan mu jauh di atas segala nya.""Kinanti," Renata pun bangkit dari duduknya dan segera berjalan mendekati mantan madunya itu, pandangan sayu dengan mata yang terus menitihkan air mata, "harus kah aku bersimpuh agar kamu mengerti tentang aku?"Kinanti pun mencoba menatap wajah Renata, hati seakan belum bisa menerima penawaran tersebut.Tetapi, wajah Renata terus memohon pada
Zidan cengengesan membenarkan apa yang dikatakan Renata."Dulu dan sekarang beda istri ku!""Tetap saja aku di panggil monyet sama kamu, dulu!""Tapi itu dulu, sebelum kamu tau aku memendam rasa, sekarang 'kan kamu tahu, aku cinta kamu," Zidan pun mengkedipkan sebelah matanya menggoda Renata."Ih, genit," Renata tersenyum sambil mencubit Zidan yang kini duduk di sampingnya.Sejak kapan Zidan yang dulunya sangat jail kini berubah romantis.Aneh saja rasanya, mengingat pertemanan mereka yang dulunya kocak."Aduh. Atit," seakan menjadi cadel, Zidan pun mengusap perutnya."Dasar aneh!""Hehehe, aku nggak ada pantes-pantesnya ya, kalau romatis-romantisan?" Zidan menggaruk kepalanya sambil menunjuk gigi rapinya pada Renata.Dirinya juga merasa ngeri saat seperti ini, tapi bukankah romantis dengan istri adalah keharusan?Dan itulah yang sedang Zidan lakukan, mungkin lambat laun Renata akan terbiasa."Nggak gitu juga, cuma masalahnya lucu aja. Orang dulu aku sering jadi asisten dadakan kamu.
"Dia siapa?" Tanya Zidan yang tidak mengerti."Dia itu lelaki yang pernah dijodohkan dengan Kinanti," terang Renata.Sambil melihat Nirwana yang berjalan ke arah Renata.Beberapa Tahun silam Sarah berniat menjodohkan Kinanti dengan seorang CEO di perusahaan cabang milikinya, saat ini Kinanti sedang mengandung anak pertama nya.Bahkan sudah menjadi istri gelap Adam, hingga Adam membawanya pergi diam-diam dari vila saat Sarah mengatur waktu pertemuan antara Kinanti dan Nirwan.Namun, kini lelaki itu muncul kembali."Ibu Renata, apa kabar?" Nirwan pun mengulurkan tangannya."Baik," Renata pun tersenyum ramah dan membalas uluran tangan Nirwan, "ini suami saya," Renata pun memperkenalkan Zidan."Saya Nirwan Dok," Nirwan mungkin sering melihat Zidan saat bersama Adam.Dirinya yang sudah sejak lama bekerja di perusahaan milik keluarga Adam tentu tahu.Hanya saja Zidan yang tidak memperhatikan dengan pasti, sehingga merasa tidak mengenal sama sekali."Zidan," Zidan membalas uluran tangan Nirw
Sampai di rumah pun Serena merasa kacau, penyebabnya adalah saat bertemu dengan wanita yang bernama Afifah barusan.Mengapa Kinanti harus mengatakan hal itu, demi apa?Agar membuatnya kesal?Napas Serena terus saja memburu bersamaan dengan dada yang naik turun.Segera menuju dapur dan meminum mineral yang mungkin bisa membuat perasaan sedikit membaik."Adek manis," Bayu pun baru saja sampai di rumah, seketika mencari keberadaan Serena.Hingga melihat istrinya berada di dapur, tetapi juga ada yang berbeda.Wajah Serena terlihat tidak baik-baik saja, matanya menatap begitu tajam.Bahkan, seperti ingin menelan Bayu hidup-hidup."Sini!" Serena pun menarik tangan Bayu menuju wastafel, kemudian mencuci bibir Bayu dengan tangannya sendiri."Serena," Bayu pun berusaha untuk menjauh, bingung dengan sikap Serena yang mendadak aneh, "kamu kenapa sih?""Tadi aku ketemu sama Afifa! Tau Afifa?" Nada suara Serena meninggi kesal pada Bayu semakin besar, apa lagi saat menyebutkan nama wanita yang pern
Berbeda lagi dengan Serena yang tengah mengemasi barang-barangnya, mungkin ingin segera minggat dari dari rumah Bayu.Sedangkan Bayu hanya berdiri di depan pintu kamar dan berusaha tetap tenang, berusaha dewasa adalah jalan terbaik.Serena sedang mengandung, emosinya memang tidak stabil, sehingga Bayu harus mengerti akan hal tersebut.Mungkin setelah lelah Serena akan berhenti melakukan hal lainnya, atau mungkin bisa berpikir lebih jernih.Sesaat kemudian Serena pun selesai membereskan pakaiannya, kemudian menarik koper keluar dari kamar.Tidak lupa sambil melayangkan tatapan tajam pada Bayu yang tengah berdiri di depan pintu."Puaskan kamu! Biar aja aku pergi biar kamu bahagia!" Seru Serena.Bayu tersenyum kecut, sebelah tangannya ada pada saku celananya. Sedangkan sebelahnya lagi menggosok tengkuknya."Aku pergi!" Kata Serena lagi.Bayu hanya diam tanpa menjawab, kemudian Serena kembali berbalik dan ingin melihat wajah Bayu saat ini."Apa!" Kesal Serena saat mendapati Bayu melihatn
Hay semuanya.Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan sang pencipta.Saya ucapkan terima kasih kepada semua para pembaca setia saya, dimana kalian sudah mengikuti cerita ini sampai selesai.Sedikit bercerita tentang buku ini.Saya tidak pernah menyangka bahwa novel ini bisa mendapatkan banyak pembaca.Menurut saya pribadi, pembaca sampai 3M itu tidak sedikit dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.Di buku ini banyak kekurangannya, mulai dari tulisan dan juga mungkin isi yang kurang berkenan di hati pembaca setia saya ucapkan maaf kepada kalian semua.Namun, saya juga ingin mengatakan bahwa, saya bukan seorang penulis hebat.Saya pun tidak pernah hobi dalam menulis, begitu juga dengan membaca.Kedua hal ini sangat saya hindari sejak dulu.Tetapi, mendadak hati saya tertantang karena pernah membaca novel yang menurut saya tidak masuk akal.Hingga saya pun memutuskan untuk menuliskan sebuah buku.Dari sana saya mulai berpikir bahwa menulis tidak seburuk dan melelahkan seperti yan
Kinanti berdiri di balkon kamarnya, malam terasa semakin dingin. Namun, matanya engan terpejam, bayang-bayang luka penuh dengan nestapa membuatnya kembali pada masa lalu yang sudah lama terkubur dalam.Kejadian itu yang menyeretnya masuk pada kehidupan Adam, keinginan ingin pergi jauh dan melupakan apa yang terlah terjadi justru semua tidak sesuai dengan harapan.Nyatanya, semakin mencoba untuk menjauh, semakin banyak pula rintangan yang dia lalui.Hingga, akhirnya benar-benar tak bisa lepas dari jerat Adam.Semuanya tak sampai dengan baik-baik saja, nyatanya luka berbalut air mata begitu menusuknya hingga seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa.Karena, kenyataan terus saja memaksa, meskipun luka yang tertusuk sudah tak mampu lagi untuk di tahan."Sayang."Kehadiran Adam membuat Kinanti pun tersadar dari lamunanya.Lamunan yang membuatnya hanyut dalam masa lalu untuk sejenak saja.Sejenak namun cukup membuat dirinya merasa kembali pada masa lalu itu."Mas, udah pulang?""Udah, dari
Bulir-bulir air mata pun jatuh dari pelupuk mata, Mentari begitu terharu saat dokter mengatakan dirinya tengah berbadan dua.Bahkan kehamilannya sudah memasuki 6 Minggu.Selama ini sering kali merasa tidak nyaman pada bagian perutnya, tapi Mentari memilih tidak perduli.Hingga akhirnya jatuh pingsan saat sedang memeriksa pasiennya.Bertapa dirinya begitu terkejut bercampur bahagia karena mendengarkan hasil pemeriksaan dokter.Di saat beneran bulan yang lalu program kehamilan yang telah di jalaninya gagal, membuat harapannya seakan berakhir pula dengan putus asa."Sayang, kamu baik-baik saja?"Fikri yang baru saja sampai di buat bingung karena melihat tingkah istrinya.Dirinya sengaja meninggalkan rapat karena mengetahui keadaan Mentari yang sempat tidak sadarkan diri."Abang, Tari hamil," Mentari langsung menghambur memeluk suaminya.Rasanya sungguh sangat luar biasa dan membuat bahagia tanpa bisa di tutupi sama sekali.Begitu pun juga dengan Fikri yang begitu terkejut mendengarnya."
"Tidak usah terbebani dengan yang saya katakan, ya sudahlah. Karena, kalian pun sudah menikah dan Mami minta hadiah aja dari kalian. Cepat berikan Mami cucu ya," ujar Zahra.Membuat Sarah terkejut mendengarnya, sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya tentang semua itu.Bahkan Zahra sendiri yang meminta padanya, Zahra menyadari keterkejutan yang dirasakan oleh Sarah.Tapi Zahra tidak perduli sama sekali, karena menantunya dan juga anaknya harus meminta maaf padanya."Kalian berdua harus berjuang keras untuk cucu, kalau tidak Mami pingsan lagi."Mata Sarah pun melebar mendengarnya, sungguh ini adalah sesuatu yang teramat sangat tidak pernah terlintas di benaknya."Tante, jangan pingsan lagi. Saya akan merasa bersalah nanti," kata Sarah dengan panik."Tante?"Zahra pun bertanya karena kesal Sarah memanggilnya dengan sebutan --Tante--Sarah yang terlalu panik, kini bercampur bingung hanya bisa diam karena tidak mengerti."Mami! Kamu panggil saya, Mami. Seperti suami mu!" Tegas Zahra.
Sarah pun melihat Dava dengan wajah cemas, perasaannya masih saja tidak tenang karena memikirkan keadaan Zahra.Merasa bersalah karena membuat Zahra sampai jatuh pingsan, bahkan kedua tangannya saling meremas.Bertambah lagi keringat dingin yang terus saja membanjiri tubuhnya."Mami, mau ketemu sama kamu."Dava pun memegang tangan Sarah, berniat untuk pergi bersama dengan dirinya menunju kamar kedua orang tuanya.Dimana Zahra sudah menunggu di sana, sungguh Sarah sangat tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.Rasa bersalah terlalu besar di hatinya, hingga dirinya menjadi demikian."Kenapa?" Dava pun mengurungkan langkah kakinya saat akan melangkah.Karena, Sarah yang hanya tampak diam. Sepertinya tidak ingin untuk ikut dengan dirinya."Pak Dava, aku pulang aja, ya," kata Sarah dengan ragu."Kenapa? Mami, mau bertemu dengan kamu.""Sarah, nggak berani, Pak. Sarah, takut."Dava pun memilih untuk menatap wajah Sarah dengan serius, dirinya mengerti dengan keadaan Sarah saat ini."Kam
"Mami, abis mimpi. Mimpi aneh, dalam mimpinya kamu tiba-tiba pulang bawa istri," Zahra pun memijat kepalanya yang masih terasa pusing.Dirinya melihat Dava yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.Seakan wanita itu benar-benar terbangun dari tidur dan juga mimpi buruknya yang cukup menyeramkan itu."Gimana bawa istri? Menikah juga belum, Mami pusing kenapa bisa bermimpi seperti itu? Mungkin, karena terlalu lelah. Mami, butuh istirahat, soalnya mimpinya seperti nyata," Zahra pun mengusap wajahnya hingga beberapa kali.Menenangkan diri setelah terbangun dari hal yang dia anggap adalah sebuah mimpi.Lantas bagaimana dengan Dava setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Zahra?Dava pun berjalan ke arah Zahra, kemudian duduk di sisi ranjang berdekatan dengan sang Mami.Dava ingin berbicara dengan serius, berharap pula tidak lagi pingsan. Bagaimana pun dirinya memang salah, menikah tanpa meminta izin kepada orang tuanya sama sekali. Sangat tidak dibenarkan.Maka dari itu Dava ingin dimaafkan
Sarah mendadak menghentikan langkah kakinya saat berada di depan pintu utama rumah milik kedua orang tua Dava.Membuat Dava pun ikut berhenti melangkah dan melihat Sarah."Ayo masuk.""Pak Dava, Sarah tunggu di luar aja, kali ya."Dava pun bingung mendengar keinginan Sarah, lagi pula tidak mungkin juga dirinya berada di luar bukan?"Kenapa?""Nggak papa, sih, Pak. Cuman, Sarah segan aja.""Segan?" alasan yang konyol menurut Dava, "kita akan menemui Mami, ayo masuk!" tanpa menunggu jawaban dari Sarah, Dava langsung menarik lengan Sarah.Hingga akhirnya Sarah pun harus mengikuti langkah kaki Dava.Sarah terus saja melihat sekitarnya, dirinya memang tidak asing melihat rumah mewah.Karena, rumah Nada juga tidak kalah mewah dari rumah Dava Hanya saja kali ini lain cerita, sebab Dava adalah suaminya.Tentunya ada rasa minder juga tidak nyaman untuk berinteraksi dengan keluarga Dava."Kamu duduk dulu," Dava pun menuntun Sarah untuk duduk di sofa.Tepatnya kini mereka berada di ruang keluar
Dava pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari seseorang yang tak lain adalah istrinya.Pagi tadi wanita itu bersikap aneh, bahkan berangkat ke kampus dengan sangat terburu-buru.Bahkan alasannya karena ada kelas, takut tak diijinkan masuk jika dosennya sudah masuk duluan.Membuat Dava hanya terdiam mendengar penjelasan Sarah.Sehingga kini dirinya benar-benar mencari keberadaan wanita tersebut, sebab dirinya ingin memastikan apakah Sarah sudah sampai di kampus ataupun belum.Sarah kini sudah menjadi istrinya, sehingga tidak ada lagi kata tanya mengapa dan kenapa Dava mencari wanita tersebut.Jika pun tak ada alasan pastinya, tetap saja terbilang wajar.Mengingat status yang sudah memiliki sebuah ikatan yang sakral.Hingga akhirnya Dava pun melihat Sarah yang duduk berdekatan dengan seorang pria, sepertinya wanita itu belum sadar jika posisinya kini adalah istri dari dosennya sendiri."Kamu," Dava pun menunjuk Sarah yang sedang melihatnya juga."Saya, Pak?" tanya Sar
"Lho, kamu nggak sama Dava?" Tanya Nada saat melihat Sarah turun dari sepeda motornya."Nggak, aku buru-buru, aku langsung pergi aja tadi. Soalnya aku ada kelas."Nada pun menatap Sarah dengan penuh tanya, dirinya mungkin memikirkan sesuatu sehingga melakukan itu."Kamu ngapain ngeliatin aku gitu banget?""Terus, kalau kamu pergi duluan. Dia kamu tinggal, kamu bisa langsung masuk kelas?""Iya, aku takut telat."Nada mencubit lengan Sarah cukup kuat, bahkan hingga meringis menahan sakit."Sakit!""Berarti kamu nggak lagi tidur!" kesal Nada."Iya, iyalah. Kita udah di kampus. Jadi, ini nggak mimpi," gerutu Sarah yang tak kalah kesal.Sambil menggosok tangannya yang cukup sakit karena cubitan Nada."Dasar tolol! Dosennya masih di rumah kamu, ngapain kamu buru-buru ke kampus?" akhirnya Nada pun menyadarkan Sarah.Benar saja, seketika itu juga Sarah tersadar dari keanehannya."Oh, iya. Dosennya, Pak Dava, kan?"Sarah pun melihat Nada dengan bingung, karena kini dirinya tahu penyebab Nada