Perkataan Jelita sontak membuat suasana menjadi hening. Nicky terdiam, bibirnya kelu untuk sekedar menjawab. "Sayang," ucap Mark berusaha menenangkan hati istrinya. Tetapi Jelita yang sudah bertahan berbulan-bulan untuk tidak ikut campur pun pada akhirnya merasa muak. Zeya memang tidak banyak bicara tentang Nicky, tapi sikap gadis itu yang berubah menjadi lebih pemurung sangat mengusik Jelita. "Gak bisa, Mark! Harusnya kalau memang gak niat sungguh-sungguh, ya gak usah dekatin Zeya. Baru digertak saja sudah melempem!" ucap Jelita sewot. Mark menepuk keningnya. Nampaknya istrinya ini sudah tidak bisa ditenangkan lagi. Sedangkan Nicky hanya menerima setiap cacian dari Jelita, seakan sudah mempersiapkan semuanya jika hal ini pasti terjadi. "Sebenarnya, bukan tanpa alasan aku menghilang," ucap Nicky. Tatapan Mark dan Juga Jelita semakin fokus pada Nicky. Raut wajah Nicky yang memelas membuat mereka panasaran akan maksud perkataan yang baru saja ia lontarkan. Mark menghel
Deg!"Nicky? A-aku gak salah lihat, kan?!" Zeya menggosok kedua matanya dengan punggung tangannya beberapa kali, memastikan. jika penglihatannya tidaklah salah.Namun semakin melakukan hal tersebut maka semakin Jelas pula rupa sosok Nicky yang kini dilihatnya. Nicky jelas terlihat di atas pelaminan dan tengah tersenyum dengan memakai busana pengantin. Pria itu terlihat bahagia bersanding dengan seorang wanita yang memiliki wajah buram, seolah tidak diizinkan tertangkap oleh penglihatannya. Zeya terdiam, hatinya sungguh terasa nyeri bak luka yang tersiram air garam. Dia dan Nicky memanglah tidak memiliki hubungan apapun, lantas mengapa ia merasakan sesuatu yang menyiksa seperti ini? Tiba-tiba saja kedua mata Nicky melirik padanya, mata mereka pun saling bertemu dan pria itu pun melambaikan tangannya hingga akhirnya.BRAK!Zeya terbangun saat tubuhnya menggelinding dan jatuh dari atas ranjang. Seketika gadis itu pun meringis lalu berusaha bangkit walaupun masih dalam keadaan semp
"Kamu mau kemana?" tanya Jelita saat melihat Zeya yang sangat kelelahan dengan membawa selembar map di tangannya."Oh aku mau kasih ini ke ruang radiologi, tadi ketinggalan," ucap Zeya sambil tertawa kecil.Tanpa bertanya Jelita merebut map tersebut lalu berkata, "Biar aku saja! Kamu istirahat! Gak usah ngeyel, cukup dengerin aku!" seru Jelita yang sudah tidak tahan melihat Zeya yang terus menerus memforsir tenaganya hanya untuk membuang waktu."Tapi, Ta!" Belum juga Zeya melanjutkan perkataanya, ia pun langsung terdiam.karena Jelita yang melotot ke arahnya."Udah diem! Kalau kami gak nurut, aku akan paksa kamu besok untuk libur. Biar aja aku yang long shift untuk menggantikan kamu, paham!" ancamnya sungguh-sungguh.Dengan langkah kakinya yang cepat, Jelita pun berjalan menuju ruang Radiologi. Ia terdiam sejenak saat melewati ruangan poli kandungan seakan ada sesuatu yang menarik perhatiannya.Ada suatu rasa yang terbesit dihatinya, rasa rindu akan sesuatu yang samar bahkan nyaris tak
Mark terdiam, menatap wajah sang istri yang tertidur di bahunya. Saat itu, setelah mendapatkan telepon dari Zeya, ia pun terburu-buru pergi ke rumah sakit, diantar oleh supir pribadi keluarganya. Ia pun bahkan rela menunggu dengan sabar hingga jam kerja istrinya selesai, dan kini mereka dalam perjalanan menuju ke rumah. "Sepertinya dia sangat kelelahan," ucap Mark. Pak Supri tersenyum melihat kedamaian dari kedua majikannya. Tak pernah terbayangkan jika Mark yang begitu membenci istrinya, kini bisa berbalik dan sangat menaruh perhatian pada Jelita. "Namanya juga Dokter, Tuan. Pasti Nyonya capek sekali, apalagi kalau rumah sakitnya ramai," sahut Supri. "Tapi kenapa dia sangat menyukai pekerjaannya. Bahkan dia akan marah jika saya menyuruhnya untuk berhenti." Supri tertawa kecil menanggapi perkataan tuannya. Dengan mata uang masih fokus ke jalan pun ia berkata, "Ini adalah cita-cita beliau. Dan untuk menjadi dokter banyak sekali usaha yang Nyonya lakukan. Itulah yang membuat Nyon
"Kalian semua harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi hari ini!" Suara seorang wanita paruh baya terdengar lugas dengan wajah merah padam yang terlihat jelas pada kulit putihnya."M-maafkan anak kami, s-saya mohon maaf, Nyonya!" jawab Jimmy gugup."Kau pikir dengan meminta maaf semua ini akan selesai? Keluarga kalian benar-benar mencoreng nama baik keluarga Dinata! Lihat saja apa yang akan saya lakukan pada bisnis kalian!" ucap Catherine murka.Jimmy dan Rieta terlihat pucat pasi menghadapi kemarahan pasangan Catherine dan Chandra Dinata. Perbuatan putri sulungnya yang kabur bersama pria lain saat hari pernikahannya membuat posisi keduanya berada diujung tanduk."Kami akan menarik seluruh saham yang kami tanam, saya sudah tidak peduli jika kalian akan jatuh miskin saat ini juga!" ancam Catherine kembali."J-jangan, Nyonya. Saya akan melakukan apapun untuk menebus kesalahan putri saya. Saya mohon!" pinta Jimmy berlutut."Saya bersedia menggantikan posisi Kak Chintya untuk menikah
"Entah apa yang dipikirkan bajingan itu. Bisa-bisanya dengan cari licik dia mengambil Chintya dan menukarnya dengan wanita sepertimu." Tatapan Mark terasa dingin, dia sama sekali tidak peduli akan perasaan wanita yang telah menjadi istrinya. Pria itupun pergi begitu saja meninggalkan semua orang dengan amarah yang masih meluap di dalam hatinya, dan disusul dengan kedua orang tuanya. "Jelita, kamu sudah melakukan yang terbaik. Tidak sia-sia kami membesarkanmu," ucap Jimmy bangga. "Lalu, ayah mohon. Tolong kamu jaga sikapmu di sana, walau sekalipun mereka bersikap buruk padamu. Semua demi kebaikan keluarga kita." "Ya, terima kasih sudah membesarkan dan menyekolahkan saya sampai saat ini, Ayah tidak perlu khawatir akan diriku." Jelita tersenyum kecut lalu bangkit dari duduknya. Gadis itu melangkahkan kakinya keluar ruangan, dan bersiap untuk ikut pulang bersama keluarga barunya. *** "Mom, kenapa saya harus satu kamar dengan dia?" Baru saja Jelita menginjakkan kakinya di dalam kediam
"Jelita! Oi Jelita!"Jelita menoleh saat namanya dipanggil seseorang. Terlihat seorang wanita mendekat padanya sambil berlari tergopoh-gopoh. "Ada berita penting!""Apa sih? Kamu itu kebiasaan lari-larian di koridor.""Duh penting banget ini, sampai aku pikir harus kasih tau kamu secara langsung!" seru wanita yang bernama Zeya. Zeya menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri seakan memastikan tidak ada orang yang melihatnya, lalu gadis itu segera menarik Jelita ke sebuah sisi yang terdapat kursi tunggu."Ada apaan sih? Kok kamu panik banget?" tanya Jelita penasaran.Dengan cepat Zeya menarik Jelita untuk duduk tepat di sebelahnya lalu berbicara setengah berbisik, "Kemarin loh! Kemarin!Kening Jelita berkerut. "Kemarin apa?""Kemarin, kan aku habis visit bareng Dokter Lydia. Eh, tau gak siapa yang habis aku lihat keluar dari poli obgyn?" Keduanya saling bertatapan seakan tengah menerka. Kening Jelita berkerut menunggu Zeya kembali berbicara. "Si Chintya sama Adimas!"Kedua mata Jelita m
"Siapa yang kau sebut istriku?" "M-maafkan saya, Pak!""Jangan bicara sembarangan. Dia bukanlah istriku," ucap Mark dan berlalu. Yesi tertekan lalu mengikuti Mark dari belakang, sesekali ia menolehkan kepalanya seakan memastikan kondisi Jelita yang hanya terdiam di tempat.Jelita melirik ke kanan dan ke kiri, terlihat beberapa perawat bahkan keluarga pasien berbisik-bisik sambil menatap ke arahnya. Kakinya terasa berat, Jelita bak sebuah tontonan menarik yang hanya berdiam diri di tengah pertunjukan."Jelita, ikut saya!" ucap seseorang yang tiba-tiba menepuk pundak Jelita. Gadis itu menoleh, melihat sosok pria yang selalu baik pada dirinya."Baik, Dok!"Dengan wajah yang tertunduk, Jelita terus mengikuti langkah kaki Dokter Veshal. Kini mereka telah sampai di sebuah kantin rumah sakit, beruntung suasana hari itu tidak cukup ramai."Minumlah terlebih dahulu! Saya perhatikan, kamu sama sekali belum beristirahat." Veshal memberikan sebotol air mineral dingin pada Jelita. Dokter spesiali