Haloo, siapa aja yang udah baca sampai bab iniiii???
“Panggil Martha,” jawab Damian sembari meletakkan lagi amplop di atas nakas, memunggungi Karissa.Yeah, ibu hamil itu sudah menduga untuk ending dari permintaannya akan seperti ini. Dia seketika mengacungkan jari tengah pada Damian sambil menjulurkan lidah.Merasa ada yang mengejek, Damian pun menoleh ke belakang dan melihat Karissa sedang berjalan keluar dari kamar sambil menggerutu. Langkahnya gontai menuju lift.“Anda perlu bantuan, Nyonya?” tanya salah satu pengawal yang ada di samping lift. Sebab dia tadi sudah melihat majikannya menekan tombol lift, tapi balik lagi ke kamar. Lalu kini keluar lagi dengan ekspresi lebih masam dari sebelumnya.“Harusnya bosmu yang bertanya begitu. Tapi pria itu sungguh tidak peka! Bisa-bisa anak ini akan memanggil ayah pada pria lain!”Mendengar omelan Karissa, pengawal itu seketika melirik temannya kemudian sama-sama menunduk. Tidak berani berkomentar apapun.Ting!Pintu lift terbuka.“Siapa yang mengijinkan anakku memanggil ayah ke pria lain?” Su
“Martha, anjing mana yang makan masakan Damian?”Suara keluhan Karissa ketika berjumpa dengan Martha di depan kamar Aiden, membuat pelayan itu mengernyitkan dahinya.“Tuan memasak?”Karissa mengangguk. “Semalam dia masak Spaghetti. Tapi aku ketiduran.”Martha berpikir sejenak lalu sedikit melebarkan mata begitu ingat sesuatu.“Jadi yang membuat kekacauan di dapur semalam itu benar Tuan Damian?”“Sekacau itu?” Dahi ibu hamil yang sudah segar dan wangi itu berkerut tipis.“Saya kaget melihat keadaan dapur pagi tadi. Ada pelayan yang mengatakan kalau Tuan Damian dan Nyonya masuk ke dapur tengah malam. Dan yang lebih mengejutkan ada sesuatu yang aneh di atas piring.”Bukan ikut kaget, Karissa justru tersenyum penuh harap. “Terus, sekarang sesuatu yang aneh itu di mana?”“Saya letakkan di dalam lemari. Tadinya akan saya buang, tapi saya ingin bertanya dulu pada Anda.”“Itu masakan Damian, Martha!” Karissa menggerakkan tangan pelayannya sambil sedikit berjingkrak. Membuat Martha jadi panik.
Karissa membaca tes DNA terbaru. Hasilnya sesuai dengan apa yang suaminya katakan waktu itu, Aiden bukan anak biologis Damian.“Hidupku sebercanda ini kah? Entah mana yang harus aku percaya.”“Hati Anda lebih percaya yang mana, Nyonya?” tanya Martha yang sejak tadi berdiri di samping Karissa.Wanita dengan dress selutut itu hanya menghela napas sembari meletakkan kertas dan amplop berlogo resmi di kursi kosong sampingnya. Pandangannya kini lurus ke depan, melihat Aiden yang mulai memiliki banyak tenaga untuk berlarian mengejar kelinci di atas rerumputan.Sudah satu minggu Karissa di mansion. Kerjaannya hanya merawat Aiden, merawat diri, juga merawat kelinci-kelinci. Bosan, tentu.Dia sudah mengatakan pada kepala departemen untuk mencabut cutinya. Namun, bukan mendapatkan jadwal praktek lagi, Karissa justru diberi tambahan jadwal merawat Aiden setiap harinya. Yang artinya, Karissa sekarang murni sebagai dokter pribadi yang bekerja langsung di rumah pasien bukan di rumah sakit.“Dia sang
“Akh ....” Karissa terkesiap ketika Damian tiba-tiba meremas kedua sisi panggulnya dengan tangan lebar itu.“Kau sedang cari ayah pengganti bayiku?” tanyanya tajam.Damian tentu ingat gerutuan Karissa malam itu yang sedang mengumpatnya di depan pengawal, mengenai ayah baru untuk anak mereka. Meski Luciano adalah dirinya sendiri, tetap saja Damian tak rela istrinya mengagumi lelaki lain.“I-Ini tangan kamu lepas dulu.” Karissa melepas tangan Damian yang sedang menyentuhnya. Kemudian dia menggeser posisi supaya mereka tidak terlalu dekat.“Aku mana ada selingkuh. A-Aku butuh kontak Luciano karena ada kebutuhan,” cetus Karissa sambil merapikan dress akibat tangan kekar yang baru menyentuhnya.Damian memiringkan kepalanya. Menyorot lekat netra Karissa yang memancarkan keraguan. "Untuk?"Netra Karissa jadi sendu melihat ke arah lain, membayangkan posisi Shiena saat ini. “Ibu Shiena baru saja meninggal.”“Apa hubungannya dengan Luciano?”Pertanyaan Damian merubah tatapan sendu Karissa jadi t
“Aku masuk lebih dulu, ya?” Karissa ingin kali ini saja Damian menurut.Wanita itu melihat ke area sana. Funeral Home di pinggir dataran benua Eropa itu begitu ramai oleh staff medis dan pelayat lain yang datang mengulurkan tangan sebagai tanda belasungkawa pada keluarga Shiena.“Ada dokter senior juga.”“Turunlah lebih dulu.”Bibir Karissa pun tersenyum tipis karena Damian tak memaksa. “Terimakasih.”Hadir mengenakan dress tertutup serba hitam, Karissa yang turun dari Rolls-Royce hitam dikawal oleh empat bodyguard bertubuh kekar menuju pintu masuk. Dia melanjutkan langkahnya sendiri mendekati altar duka, tempat monumen kecil jenazah ibunda Shiena berada.Di ujung sana, manik mata Karissa dapat melihat begitu jelas bagaimana lemasnya Shiena yang terduduk di kursi paling depan, berhadapan langsung dengan peti mati ibunya.Hati Karissa teriris pilu tatkala Shiena menengok ke arahnya dengan tatapan kosong juga kantung matanya yang menghitam juga sembab."Karissa, ibuku ..." lirih Shiena
“Jadi Anda salah satu korban diledakan kapal saat itu? Saya hanya mendengar sedikit ada kecelakaan di pelabuhan. Tak menyangka kalau keluarga dari staff di rumah sakit saya turut menjadi korban,” ucap Damian datar.Melihat kakaknya tak merespon, hanya menatap Damian. Shiena pun langsung memecah ketegangan. “Kak, ini Tuan Damian. Kepala rumah sakit tempatku bekerja.” Sebuah kehormatan atas datangnya orang tertinggi di tempatnya bekerja.Sebab, selama ini Damian tak pernah hadir di acara duka maupun acara pesta keluarga staff medis. Jadi Shiena tidak mau meninggalkan kesan buruk untuk Damian.“Terimakasih atas kedatangan Anda, Tuan.”Ben mengulurkan tangan, tapi tidak Damian sambut. Pria yang berdiri menjulang tinggi itu hanya menurunkan kepalanya sedikit. “Saya turut berduka cita.”“Tidak, sopan!” gumam Ben lirih sambil menundukkan kepalanya.Shiena lantas menyentuh lengan kanan Karissa dan menunjukkan pada Ben."Aku belum pernah cerita ke kakak. Dia ini Karissa, sahabat sekaligus reka
Suara Karissa membuat Damian mengangkat pandangannya. Dilirik lagi layar ponsel di genggamannya, loading 98%, bersamaan dengan langkah kaki Karissa yang makin mendekat.“Kamu sangat mencurigakan,” ucap Karissa lagi dari belakang.Dalam satu gerakan, Damian melepas boxspy dan melempar ponsel Ben ke tong sampah tepat di samping kaki kanannya.Berbalik dengan tenang sembari memasukkan dua tangan ke dalam saku celana sekaligus benda kecil dalam genggamannya tadi, Damian menatap wajah cantik Karissa dengan alis tebalnya yang menukik samar."Kenapa? Kamu takut aku menghilang?"“Memangnya siapa yang berani menculik seorang Damian Morgan? Aku hanya khawatir kamu melakukan hal aneh.”Damian tiba-tiba maju satu langkah, lalu satu tangannya menarik pinggang sang istri. “Aneh seperti ini?” bisiknya.Karissa yang panik seketika mendorong dada bidang Damian. “Aku menyesal bertemu denganmu di sini.” Wanita cantik bergaun hitam tersebut memilih buru-buru masuk ke toilet wanita yang ada di sebelah kiri
Sekelebat bayangan hitam membuat sudut mata tajam Damian melirik ke kanan, hanya saja dia tidak menghentikan langkahnya menuju mobil.“Waspada ke arah jam tiga,” ucap Damian pada pengawal yang ada di belakangnya, tanpa menoleh.Meski banyak mobil di parkiran, tapi instingnya terlalu kuat untuk memastikan ada yang sedang mengintainya terlalu dekat.Pengawal itu pun segera memberi kabar pada anak buah lain di area sana melalui earpiece yang menempel di masing-masing anak buah.Tak lama, sebelum pintu mobil dibuka, anak buahnya sudah mendekat lalu menunjukkan foto yang dikirim oleh anak buah yang lain.“Siapa?” gumamnya sembari memperbesar gambar di layar.Dari postur tubuh tinggi besar, memastikan kalau yang sedang mengawasinya adalah seorang pria. Dia memakai topi dan masker. Lalu coat tebal dengan warna serba hitam.Damian jadi ingat, Tony pernah melaporkan ada seseorang yang memberikan Karissa ice cream tiba-tiba. Dia pun mengetuk sekali kaca mobil. Tony yang di dalam pun segera kelua
“Akh!”Karissa memekik menutup mulut dengan telapak tangan. Tubuhnya berdiri kaku dengan tangan lainnya menggenggam erat tralis balkon.Tatapannya bergetar, melihat bagaimana Hector begitu mudah memecahkan kepala seseorang di sana dengan satu tembakan. Padahal pagi ini dia ingin mencoba menghirup udara segar setelah semalaman terkurung di kamarnya sendiri. Namun, yang dia lihat justru adegan mengerikan di sana.“Ampun, Tuan! Ampun! Saya akan mengabdi pada Anda. Saya mengaku salah. Ampuni saya, Tuan!”Suara teriakan minta ampun itu terdengar samar di telinga Karissa yang berdiri di balkon lantai tiga. Padahal tubuh pria itu sudah penuh darah karena cambukan tanpa ampun. Rupanya permintaan ampun tidak digubris.DOR!Satu peluru kembali dikeluarkan untuk pria lain yang sejak tadi berdiri ketakutan.Seolah ini adalah tontonan yang sengaja Hector perlihatkan pada Karissa, pria tua itu mendongak ke balkon sembari menyerahkan pistol itu ke samping.Jantung Karissa berdetak tidak semestinya.
"Maaf, Nyonya. Anda tidak boleh keluar.”Karissa terhenti di depan lift karena dua pengawal menghalangi jalannya. Lalu apa tadi? Tidak boleh keluar? Dia bahkan sudah memakai baju kerja yang rapi. Sebuah tas dokter dan jas putih juga menggantung di tangannya."Sejak kapan aku butuh izin untuk keluar rumah sendiri?" Bukan bersikap sombong, tapi dia heran pada atmosfer yang berbeda sore ini.“Tuan Damian melarang Anda keluar dari area ini, Nyonya.”Ah, Damian. Itu juga ingin Karissa tanyakan. Setelah sarapan sampai sore begini dia belum melihat suaminya. Lelaki itu tidak pamit sama sekali. Mengirim pesan pun tidak.“Jangan bercanda. Aku ada jadwal praktek sore ini.” Karissa tetap maju, berniat menerobos.Segera dua pengawal merapatkan badan, tidak memberi celah. Bahkan salah satu dari mereka berani mendorong ringan lengan majikannya.“Nyonya, jangan paksa kami bersikap kasar,” ucapnya sedikit lebih tajam dari sebelumnya.Dengan dahi berkerut tajam, manik mata wanita hamil itu bergerak men
“Cucuku dan anakku belum tau kalau ada musuh di sangkar mereka.”Hector berucap ketika Vincent masuk ke ruangan beraroma tembakau. Tadi, setelah sarapan dengan atmosfer menegangkan di setiap suapan makanan. Kini Vincent diminta datang ke salah satu ruangan tertutup di mansion itu.Pria paruh baya yang berdirinya sudah tidak setegak dulu, juga tubuhnya tidak seatletis dulu, kini dia tengan berdiri di ruangan. Mata Vincent waspada menatap Hector yang duduk di kursi besar dengan sikap santai. Senyum pria tua itu ramah, tapi tidak dengan matanya yang penuh manipulasi dan intimidasi."Sudah lama sekali sejak terakhir kali kita bertemu, Vincent."Vincent mengepalkan tangannya di samping tubuh. Dia tak berdaya, tapi juga tak mau terlihat lemah."Dan saya berharap kita tidak akan pernah perlu bertemu lagi."Hector tertawa kecil, seakan menganggap ucapan Vincent sebagai lelucon."Kau masih setia pada keluarga Luther, rupanya. Sampai-sampai rela memperrtaruhkan nyawa untuk melindungi keturunann
“Damian tidak ke ruang kerja? Dia ke mana?” bisik Karissa setelah pengawal di lantai dua mengatakan tidak melihat tuannya keluar dari lift.Karena penasaran dengan kegiatan Luciano di tengah malam begini, dia pun masuk lagi ke dalam lift lalu pergi ke lantai lainnya. Di sana sepi, padahal biasanya di setiap lantai ada pengawal.Karissa melangkah kakinya lalu berhenti di tengah ruangan terbuka sambil melihat ke kanan dan kiri. Hingga dia melihat ada bayangan bergerak di lorong sebelah kanan.“Damian? Dia sedang apa?”Kaki dengan sandal rumah berbulu tanpa suara itu mulai melangkah melewati lorong dengan penerangan yang minim. Jujur, tiga tahun tinggal di mansion sebesar ini memang tidak semua Karissa tau ada ruang apa saja.Contohnya lorong ini, Karissa tidak tau jalan ini akan membawanya ke mana.“Damian?” panggil Karissa dengan suaranya yang menggema.Tidak ada jawaban.Dia mulai melangkah waspada juga merinding. Sampai-sampai wanita itu memeluk diri sendiri dan mengusap lengannya ya
“Tolong jangan lakukan apapun. Jangan ceritakan ini pada suamimu. Aku takut dia mengatakan pada Luciano dan berakhir nyawaku yang melayang.”Karissa sangat ingat tangan Shiena yang gemetaran ketika mengatakan semua.Karissa membuka matanya saat mendengar napas suaminya yang tenang di sampingnya.“Dia sudah tidur, kan?” tanyanya dalam hati.Karissa menoleh perlahan. Cahaya remang dari lampu meja menerangi wajah lelaki itu. Luciano yang damai dalam tidur, namun tetap menyiratkan kegelapan yang tak pernah benar-benar hilang.Pelan, Karissa menyingkirkan tangan besar yang melingkar di perutnya.“Emh...” Luciano hanya merubah posissinya sedikit dan kembali terlelap.Karissa mulai bangkit, menahan napas agar tidak membangunkan pria itu. Tangannya terulur ke laci di sisi ranjang. Jari-jarinya menyentuh benda lalu mengeluarkan.Kalung hitam yang diberikan oleh Ben dengan liontin berbentuk kepala serigala dan logo "W" terukir di dalamnya.Hatinya berdebar saat menatap benda itu di tel
Langkah Karissa terhenti ketika mendengar nama Luciano disebut. “Siapa yang berani menyebut nama itu di sini?” gumamnya.Saat ini, dia hendak mengambil jalan pintas menuju ke paviliun barat melewati taman yang sepi karena dekat dengan kamar jenazah. Dia penasaran dengan obrolan yang samar terdengar, Karissa pun mendekat.Orang yang pertama lihat adalah suaminya tengah meniupkan asapnya perlahan, lalu menyeringai sinis ke arah lawan bicaranya. "Damian, kamu di sini?" tanya Karissa memecah memecah keheningan. Keterkejutannya rupanya belum usai. Matanya membesar, napasnya tersengal melihat dua wajah identik yang terpampang di hadapannya."D-Damian? K-Kenapa kalian ada dua?!" Damian hanya menyeringai lebih lebar. Mata birunya bersinar seperti menikmati keterkejutan yang tercetak jelas di wajah Karissa. "Permainan ini akan segera usai," bisik Damian rendah, terdengar berbahaya. Sebelum Karissa bisa bereaksi lebih jauh, sebuah bayangan bergerak cepat dari belakang. Sergio menghantam te
“Apa? Dokter Shiena diserang?”“Iya, Dok. Dia mengalami luka tusuk di perutnya. Wajahnya juga banyak memar karena dipukuli.”Pagi itu Karissa baru saja berangkat praktek. Siapa sangka pasien pertama yang menjadi tanggungjawabnya pagi ini adalah Shiena. Buru-buru dia memakai jas putih, diambilnya berkas yang diberikan oleh perawat untuk dia baca sebentar.“Tidak sampai operasi?” tanya Karissa membaca hasil tindakan kemarin.“Iya, Dok. Luka tidak sampai mengenai organ vital. Pendarahan juga bisa dihentikan. Jadi pasien cukup dijahit setelah pembersihan,” jawab perawat.Karissa mengangguk lalu bergegas pergi ke kamar rawat inap Shiena. Kedatangannya tentu membuat atensi Shiena dan Ben tertuju ke arah pintu.“Shiena ....” Karissa mempercepat langkahnya dan Ben reflek memundurkan kursi rodanya, memberi ruang untuk wanita itu mendekat.Di atas ranjang putih itu, Shiena terbaring dengan memar yang sangat kontras dengan kulit pucatnya. Selain memar, bibirnya sedikit sobek di sudut, dan ada pe
“Dua mafia besar memperbutkan kalung dengan makna cinta abadi.” Karissa mengeja salah satu judul artikel yang dia temukan.“Aku benar-benar penasaran. Huh, lagian dari mana Damian mendapatkan kalung ini? Pasti sangat mahal harganya.”Karissa sedang bersandar santai di sofa sambil menunggu artikel yang dia temukan itu terbuka. Aneh, kenapa loading-nya terlalu lama.“Apa internet sedang error?” Dia keluar ke balkon. Siapa tau cuaca mendung membuat signal internet jadi lelet.Saat artikel hampir terbuka tiba-tiba muncul notifikasi. “Halaman yang Anda buka tidak ditemukan.”Dia menggigit bibirnya kemudian membuka artikel lain. Hasilnya sama saja, halaman tidak bisa dibuka.“Apa HP-nya yang murahan?” gerutu Karissa membolak balikkan benda pipih itu. sedetik kemudian dia tersenyum smirk, mana mungkin suami dengan pemilik perusahaan raksasa itu memberikan barang murahan.Karena kesal, Karissa pun menyerah. Bersamaan dengan itu, sebuah pesan muncul di notif bar layar benda pipih tersebut.[Ak
“Kau tak sanggup meninggalkannya karena terlalu mencintainya?” Vincent bisa melihat itu. Tatapan cinta Karissa terhadap suaminya nampak nyata.Sesungguhnya Vincent juga tidak tega. Namun bagaimana lagi. Pada akhirnya Karissa pun akan tersakiti. Bukan hanya hati, tapi juga fisik. Atau bahkan nyawa yang jadi taruhan.Karissa menunduk. “Aku pasti akan meninggalkannya,” jawabnya ragu.Pria paruh baya dengan beberapa keriput yang mulai nampak itu hanya menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Dia sudah mendengar jawaban yang dia inginkan, dan itu cukup untuk saat ini.Dia mengangkat tangannya lalu mengusap kepala putrinya. Hal itu cukup membuat hati Karissa kembali merasa sedikit lebih tenang dari sebelumnya.“Kau sangat cantik meski sedang mengandung. Persis seperti ibumu.” Vincent sengaja mengalihkan topik pembicaraan demi merubah suasana hati ibu hamil ini.Karissa mengangkat wajahnya lalu tersenyum tipis. “Benarkah?”Vincent mengangguk samar. “Mulai sekarang daddy akan selalu