"Lee?" Hana menyelipkan kepalanya dari balik pintu untuk mengintip ke dalam kamar putranya. Pasalnya, ia melihat pintunya tidak terkunci. Tidak biasanya putranya seceroboh itu. Hana lantas melangkah masuk dengan sehati-hati mungkin agar tidak menimbulkan suara. Well, seharusnya Hana tidak perlu cemas karena di luar sudah ada pelayan yang datang serta pengawal yang berjaga. Namun, Hana tetap bersikap waspada. Begitu melewati lorong, pandangan Hana langsung tertuju kepada pakaian-pakaian yang berserakan di atas lantai, termasuk pakaian dalam. Ia kemudian mengarahkan manik matanya ke atas ranjang dan tidak bisa menyembunyikan ekspresi kagetnya. Hana mengangkat pelan kedua tangannya untuk menutup mulutnya yang terbuka. Ia terlalu syok melihat pemandangan di hadapannya. Putranya sedang tertidur di atas ranjang bersama seorang wanita yang tidak Hana kenal. Tubuh keduanya berbalut selimut dan Hana yakin, di balik selimut itu, tubuh keduanya polos. "Honey." Samar-samar Hana mendengar Piet
Charlene balas menarik selimut tipis yang tengah menutupi tubuhnya. Maka terjadilah adegan tarik-menarik selimut antara Charlene dan Lee karena keduanya berusaha menutupi tubuh polos mereka. Jika hanya ada Charlene di ruangan itu, mungkin Lee tidak akan berebut selimut tipis berwarna putih itu dengan sang asisten. Namun, Lee masih cukup sadar untuk menutupi tubuhnya karena ada Hana. Tatapan Lee lantas terarah ke selimut tebal yang teronggok di ujung tempat tidur. Tadi malam ia memang menyingkirkan benda itu, mengingat cuaca cukup panas, sehingga ia merasa tidak membutuhkannya. Kini ia justru membutuhkan selimut tebal itu. Tanpa membuang waktu, ia segera menyambar selimut tersebut untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Sementara Charlene menarik selimut tipis itu semakin erat setelah Lee melepasnya. "Di mana king cobra-nya?!" ulang Lee lagi. Ia sendiri bingung, bagaimana mungkin di kamarnya ada ular? Ia hanya memelihara ikan, bukan ular. Hana juga masih tetap di posisinya dan terlih
"Aku tidak perlu mengulanginya," tegas Lee dengan raut wajah yang terlihat begitu tenang.Jelas hal itu membuat Charlene memandang takjub ke arah Lee. Ia meneliti wajah pria itu untuk mencari kebohongan di sana. Namun, Lee benar-benar terlihat serius. Pria itu tidak berdusta. Namun, jika ternyata Lee memang sedang bersandiwara, maka Charlene harus mengakui bahwa pria itu pantas menjadi seorang artis. Sebab, pria itu terlihat begitu meyakinkan.Charlene lantas menurunkan tangannya yang sedang mengacungkan gunting ke samping tubuhnya. Lee langsung bernapas lega dan menurunkan sedikit kewaspadaannya. Charlene sedikit menunduk dan menggeleng tak percaya, sebelum mengangkat pandangannya lagi untuk menatap Lee. "Anda berharap aku akan percaya?" Timbul secercah keraguan di hati Charlene. Bagaimanapun juga, ia merasa mustahil jika Lee masih perjaka.Lee mengedikkan bahunya. "Percaya atau tidak, itu pilihanmu." Pria itu tampak acuh tak acuh."Jadi ..., Anda benar-benar pria yang sudah kedaluw
Charlene sama sekali tidak mengingat apa pun tentang kejadian semalam. Benarkah dia mendesahkan nama bosnya tadi malam? Agh! Kali ini dia tidak akan masuk ke dalam jebakan Lee. Jangan harap dirinya akan menanyakan hal itu pada sang CEO. Sebab, Lee pasti akan kembali menggodanya lagi. Terlalu beresiko baginya. Namun, tanpa diduga, pria itu justru melanjutkan, "Agh ... Lee ..., ya sentuh aku di sana." "Stop!" Charlene langsung melemparkan tatapan horor ke arah Lee. Darahnya berdesir dan tubuh bagian bawahnya menghangat. Hell .... Lagi-lagi tubuhnya bereaksi karena godaan Lee. "Anda tidak perlu mengingatkanku, karena aku memang tidak mau mengingatnya. Lupakan apa yang terjadi semalam," tandas Charlene. "Tidak mau dan juga tidak bisa." "Anda–!" Charlene menunjuk Lee. "Agh!" Ia kemudian menyentak tangannya sendiri dengan frustrasi. "Aku mohon, lupakan tentang kejadian tadi malam. Itu adalah kesalahan," bujuk Charlene. "Tidak mau. Pembicaraan ini selesai. Sebaiknya kita temui orang
Charlene menggeleng pelan dengan senyum mencemooh. "Memang lebih mudah menilai orang lain daripada diri sendiri. Karena untuk melakukan hal itu, tidak diperlukan cermin." "Kalau begitu, katakan bagian mana dari diriku yang pecundang?" tantang Lee. Paras Charlene membentuk tawa tanpa suara. Memang tidak mengherankan jika pria arogan seperti Lee enggan untuk mengakui kekurangannya. "Anda yakin ingin aku menyebutkannya?" lontar Charlene. Lee lantas menurunkan kelopak matanya untuk memindai penampilan Charlene, sehingga membuat gadis itu kembali merasa tidak nyaman. "Kau boleh menyebutkannya nanti, setelah orang tuaku pergi. Sekarang bersihkan dirimu. Kau bisa mandi di kamar mandiku kalau mau," ucap Lee. Akan tetapi, niatnya itu dicurigai oleh Charlene. "Tidak, terima kasih. Aku bisa mandi di kamarku." "Itu pilihanmu, tetapi jangan bilang kalau aku kejam. Karena aku sudah berhati mulia menawarkanmu untuk mandi di kamar mandiku," cibir Lee. "Heh! Ber-berhati mulia?" Lee mengangguk
Begitu Lee memasuki kamar mandi, Charlene pun bergegas berganti pakaian dengan cepat. Berulang kali Charlene memasang pandangan waspada ke arah jalan masuk kamar mandi yang terletak beberapa meter jaraknya dari samping tempat tidur. Charlene kemudian menaruh selimut yang tadi ia gunakan untuk menutupi tubuhnya, ke atas tempat tidur Lee, sebelum dengan tergesa-gesa keluar dari kamar bosnya. Ia kembali ke kamarnya dan mandi dengan secepat mungkin karena tidak baik jika membuat semua orang menunggunya. Charlene pikir Lee telah berada di bawah bersama kedua orang tuanya ketika ia turun. Namun, ia hanya menemukan Hana yang sedang melangkah dari arah dapur menuju ke sofa tempat di mana Pieter berada. Gadis itu pun berniat kembali ke atas. Ia sudah memutar tubuhnya untuk kabur, tetapi Hana menangkap basah dirinya. "Eh, kemarilah, Nona ...." Hana mencoba mengingat nama Charlene, tetapi buntu. Hana berpikir kalau sepertinya ia memang belum mendengar Lee menyebut nama Charlene. Panggilan dar
Pieter melemparkan tatapannya ke arah Hana. Tanpa Pieter mengatakan apa pun, Hana sudah mengerti maksud sang suami yang menginginkan dirinya untuk bicara. Hana lantas mendaratkan pandangannya ke arah Charlene dan Lee. "Ayah Charlene pernah menyelamatkan Monkey," terang Hana. "Monkey? Ikan koi?" Lee membutuhkan penjelasan Hana. Sementara Charlene juga terlihat penasaran. Ia mengerling sekilas ke arah Lee, sebelum mengalihkan indra penglihatannya kepada Hana lagi. "Iya, Monkey. Ikan koi kesayangan kakekmu." Hana menegaskan. Tampak Lee sedikit memicingkan matanya. Hana yang mengenal sifat putranya, sadar bahwa dirinya belum bisa meyakinkan Lee. "Memangnya apa yang terjadi pada Monkey hingga bisa diselamatkan oleh ayah Nona Flynn?" Lihatlah, dugaan Hana memang tidak salah. Ia hendak menjelaskan pada Lee, tetapi kali ini diselip oleh sang suami. "Waktu itu kakekmu membawa Monkey jalan-jalan pagi di taman dan tidak sengaja bertemu dengan seekor anjing galak yang hampir saja menerkam
"Tidak. Lee itu,–". "Ibu," sela Lee yang membuat Hana terdiam. "Aku perlu bicara berdua saja dengan Nona Flynn." Lee mengerling ke arah Hana dan Pieter, lalu menatap kembali Charlene. "Baiklah, silakan kalian bicara. Kebetulan Ayahmu ada janji dengan rekan bisnis," jelas Hana. "Eh? Aku tidak—." Pieter tidak jadi melanjutkan ucapannya karena Hana menyenggol kakinya. Pria paruh baya itu cukup paham jika istrinya tidak ingin dirinya bicara lebih banyak. "Iya, benar. Kalian lanjutkan saja bicaranya. Kami harus segera pergi, agar tidak terlambat." Pieter buru-buru berdiri diikuti oleh Hana. Melihat hal tersebut, Charlene pun segera berdiri. "Tidak perlu diantar. Kalian bicara saja," ucap Hana. "Sampai jumpa." Charlene menatap Hana dan Pieter hingga menghilang dari pandangan. Lee kemudian berdiri sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Pandangannya juga tertuju ke arah pintu keluar menuju lorong yang menyambungkan bangunan utama penthouse dengan ruangan lift. "Sekarang hany