Charlene mengembuskan napas berat kala melihat surat balasan dari bank. Ia menyandarkan punggungnya pada sofa. Haruskah ia meminta bantuan pada Axel? Tidak. Ia tidak bisa melakukan hal itu. Berulang kali Charlene tergoda untuk meminta bantuan Axel, tetapi berulang kali pula ia mengurungkan niatnya. Namun, ia sendiri juga tidak memiliki jalan keluar. Bank telah menyatakan rumah tersebut akan segera dilelang, jika Charlene tidak membayar cicilannya saat jatuh tempo nanti.Charlene kembali mengembuskan napas berat sebelum menutup layar laptopnya. Ia lantas beranjak dari sofa. Tujuannya adalah ke kamar Lee. Itu merupakan satu-satunya cara yang terpikir oleh Charlene. Ia tidak punya pilihan lain. Charlene pun segera menekan bel beberapa kali begitu tiba di depan kamar Lee. Ia melipat kedua tangannya di dada sembari berjalan mondar-mandir dengan tidak sabaran. Saat pintu tak kunjung juga dibuka, Charlene lantas menekan bel beberapa kali lagi. Ia mundur dan membalikkan tubuhnya. Bruk!
Charlene terbangun di akhir pekan itu karena dering dari ponselnya. Ia menjulurkan tangan untuk meraih ponsel yang ada di samping nakas dengan mata masih menutup. Dalam keadaan setengah sadar, ia menempelkan telepon genggam tersebut ke telinganya tanpa melihat nama yang tertera di layar. "Ada apa? Bukankah ini masih pagi dan hari libur?" tanya Charlene dengan suara yang terdengar malas. Ia tidak tahu untuk apa Lee memanggilnya pagi-pagi begini. "Ehem!" Terdengar suara deheman dari seberang sana. "Aku merindukanmu. Apa tidak boleh?" lanjut suara tadi.Sontak kedua mata Charlene terbuka lebar. Rasa kantuknya mendadak lenyap. "Ax-Axel?" "Iya." Axel menjeda sedetik. "Memangnya kau pikir siapa?" selidik calon suami Charlene itu. Charlene bergegas menyibak selimut dan mengangkat tubuhnya dari tempat tidur. Ia menurunkan kaki telanjangnya ke atas lantai, mendudukkan dirinya di tepi ranjang."Aku pikir tadi adalah bosku," ujar Charlene sembari memijat pelan tengkuknya yang terasa sediki
Lee sebenarnya tidak berencana untuk bangun sepagi biasanya karena di akhir pekan itu, dia tidak memiliki pertemuan ataupun undangan. Namun, telepon dari ibunya, telah membuatnya terjaga. "Lee!" panggil Hana, Ibunya dengan suara yang lantang, membuat pria itu terpaksa menjauhkan ponsel dari telinganya dalam keadaan mata masih tertutup. "Apa kau ingin membuat Ibu menunggu sampai karatan karena kau tidak kunjung menelepon?" Agh! Lee sungguh telah melupakan janjinya itu karena akhir-akhir ini dia terlalu sibuk. Sibuk dengan pekerjaan dan juga sibuk dengan asisten barunya. Charlene. "Kenapa kau tidak menjawab? Sedang mencari alasan, hah?!" tuding Hana. "Hari itu kau pergi dengan terburu-buru, padahal Ibu baru tiba di penthouse-mu dan ingin bicara. Lalu kau bilang akan menelepon ibu. Ternyata kau tidak melakukannya." Hana mengomel panjang lebar. Well, hari di mana terakhir kali Hana datang berkunjung ke penthouse-nya, memang Lee pergi dengan tergesa-gesa menuju ke penjara untuk bertemu
Charlene menutup pintu kamar dan menyandarkan tubuhnya di sana dengan gemetaran. Ia menatap tangannya yang terasa amat sangat dingin. Sulit dia percaya, untuk pertama kalinya ia menampar seseorang dan orang itu adalah bosnya. Charlene tidak menyesali hal itu, karena menurutnya Lee telah terlalu keterlaluan dalam menghina dirinya. Ia tidak tahu apakah Lee akan memecatnya setelah ini. Namun, dia sudah siap jika memang benar-benar harus menjadi gelandangan. Rumahnya telah dilelang. Yang tersisa pada dirinya saat ini hanyalah kehormatannya. Charlene lantas bergegas menuju ke walk in closet untuk mengemasi barang-barang. Ia berniat pergi dari tempat itu sebelum diusir. Lagi pula, siapa yang akan betah tinggal dengan manusia tanpa perasaan seperti Lee Finnegan Montana? Pria itu terlalu mengekangnya. Setelah beberapa waktu berlalu, tampak Charlene menyeret dua kopernya keluar dari kamar untuk menuju lift."Mau ke mana kau?" sergah Lee yang mendadak muncul entah dari mana, sehingga membuat
Charlene membuka pintu kamarnya, meninggalkan Lee di luar sana. Ia menyeret kopernya dan meletakkannya begitu saja di tengah ruangan, sebelum melempar bokongnya dengan kasar ke atas tempat tidur. "Ugh!" keluhnya. Pandangannya lantas beralih ke arah koper-koper miliknya. Ia tidak berencana untuk membereskan koper-koper tersebut. "Bagaimana caranya agar aku bisa kabur dari sini?" tanya Charlene pada dirinya sendiri. Ia harus memikirkan semuanya dengan matang. Tentu tidak mudah baginya untuk kabur dari kediaman Lee dengan membawa barang-barangnya karena pria itu pasti mengawasinya. Namun, jika ia meninggalkan barang-barang tersebut, rasanya juga tidak mungkin mengingat dia sendiri saat ini sedang tidak memiliki uang untuk membeli barang-barang yang baru. Untuk menyewa tempat tinggal saja, dia tidak sanggup. Charlene memikirkan hal itu sepanjang hari. Bahkan ketika malam tiba, ia hanya bisa berbaring di atas tempat tidur dengan mata nyalang karena tidak bisa tidur. Charlene lantas me
"Lee?" Hana menyelipkan kepalanya dari balik pintu untuk mengintip ke dalam kamar putranya. Pasalnya, ia melihat pintunya tidak terkunci. Tidak biasanya putranya seceroboh itu. Hana lantas melangkah masuk dengan sehati-hati mungkin agar tidak menimbulkan suara. Well, seharusnya Hana tidak perlu cemas karena di luar sudah ada pelayan yang datang serta pengawal yang berjaga. Namun, Hana tetap bersikap waspada. Begitu melewati lorong, pandangan Hana langsung tertuju kepada pakaian-pakaian yang berserakan di atas lantai, termasuk pakaian dalam. Ia kemudian mengarahkan manik matanya ke atas ranjang dan tidak bisa menyembunyikan ekspresi kagetnya. Hana mengangkat pelan kedua tangannya untuk menutup mulutnya yang terbuka. Ia terlalu syok melihat pemandangan di hadapannya. Putranya sedang tertidur di atas ranjang bersama seorang wanita yang tidak Hana kenal. Tubuh keduanya berbalut selimut dan Hana yakin, di balik selimut itu, tubuh keduanya polos. "Honey." Samar-samar Hana mendengar Piet
Charlene balas menarik selimut tipis yang tengah menutupi tubuhnya. Maka terjadilah adegan tarik-menarik selimut antara Charlene dan Lee karena keduanya berusaha menutupi tubuh polos mereka. Jika hanya ada Charlene di ruangan itu, mungkin Lee tidak akan berebut selimut tipis berwarna putih itu dengan sang asisten. Namun, Lee masih cukup sadar untuk menutupi tubuhnya karena ada Hana. Tatapan Lee lantas terarah ke selimut tebal yang teronggok di ujung tempat tidur. Tadi malam ia memang menyingkirkan benda itu, mengingat cuaca cukup panas, sehingga ia merasa tidak membutuhkannya. Kini ia justru membutuhkan selimut tebal itu. Tanpa membuang waktu, ia segera menyambar selimut tersebut untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Sementara Charlene menarik selimut tipis itu semakin erat setelah Lee melepasnya. "Di mana king cobra-nya?!" ulang Lee lagi. Ia sendiri bingung, bagaimana mungkin di kamarnya ada ular? Ia hanya memelihara ikan, bukan ular. Hana juga masih tetap di posisinya dan terlih
"Aku tidak perlu mengulanginya," tegas Lee dengan raut wajah yang terlihat begitu tenang.Jelas hal itu membuat Charlene memandang takjub ke arah Lee. Ia meneliti wajah pria itu untuk mencari kebohongan di sana. Namun, Lee benar-benar terlihat serius. Pria itu tidak berdusta. Namun, jika ternyata Lee memang sedang bersandiwara, maka Charlene harus mengakui bahwa pria itu pantas menjadi seorang artis. Sebab, pria itu terlihat begitu meyakinkan.Charlene lantas menurunkan tangannya yang sedang mengacungkan gunting ke samping tubuhnya. Lee langsung bernapas lega dan menurunkan sedikit kewaspadaannya. Charlene sedikit menunduk dan menggeleng tak percaya, sebelum mengangkat pandangannya lagi untuk menatap Lee. "Anda berharap aku akan percaya?" Timbul secercah keraguan di hati Charlene. Bagaimanapun juga, ia merasa mustahil jika Lee masih perjaka.Lee mengedikkan bahunya. "Percaya atau tidak, itu pilihanmu." Pria itu tampak acuh tak acuh."Jadi ..., Anda benar-benar pria yang sudah kedaluw
Lee membuka pintu kamarnya dan menemukan Charlene berdiri di hadapannya. Gadis itu sedang memeluk laptop dan memegang ponselnya. "Ada apa?" tanya Lee. "Nggg ... tidak. Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin menanyakan apakah kau butuh sesuatu," kilah Charlene. Sejujurnya, bukan itu tujuannya menghampiri kamar Lee. Setelah pembicaraan mereka tadi pagi, malam ini ia berpikir untuk tetap tidur di kamar Lee—sesuai permintaan pria itu. Namun, begitu Lee telah berdiri di hadapannya saat ini, ia justru tidak sanggup mengatakan bahwa ia menerima tawaran pria itu dan mulai malam ini ia akan tidur seranjang dengan Lee."Tidak, aku tidak membutuhkan apa-apa," balas Lee.Charlene mengangguk. "Baiklah, kalau begitu, selamat malam." Charlene memutar tubuhnya 90 derajat, berniat kembali ke kamarnya.Namun, tangan Lee bergerak dengan cepat meraih lengan atas gadis itu. Langkah Charlene pun terhenti."Ada apa? Kau teringat jika membutuhkan sesuatu?" Giliran Charlene yang bertanya."Iya.""Kau lapar? in
"A-aku ...." Charlene tidak tahu harus menjawab apa. Ini sangat aneh untuknya.Lee terkadang sangat berbeda. Tidak, bukan berbeda. Sikap pria itu memang agak berubah dan Charlene tidak tahu apa yang menyebabkan pria itu menjadi seperti saat ini. "Kenapa kau ingin aku tidur di sini? Jangan bilang kalau kau jatuh cinta padaku." Antara ingin mencari penjelasan sekaligus mencairkan situasi yang terasa begitu canggung baginya saat ini.Mengenai Lee yang jatuh cinta padanya, jelas tidak mungkin. Charlene tidak memiliki jawabannya. Hanya saja memang mustahil jika Lee jatuh cinta padanya. "Apakah berdosa jika aku jatuh cinta padamu?"Deg!Seketika, keyakinannya tadi goyah setelah mendengar apa yang Lee katakan selanjutnya. Tidak! Tidak!Lee mungkin hanya mengerjainya saja. Pria itu pasti sedang bercanda. Setelah itu, seperti biasanya, Lee pasti akan mengeluarkan kata-kata yang mencemooh atau apa pun itu."Tidak. Kau berdosa jika hanya berniat mengejekku," ucap Charlene."Siapa bilang aku se
Charlene ingin menarik dirinya mundur. Namun, Lee mencegahnya dengan mempererat pelukannya. Ya! Posisi mereka saat ini sedang berbaring sambil berpelukan. "Lepas, Lee." Charlene mendorong dada pria itu. "Tidak, sampai kau tenang dulu." Lee tetap menahannya. Charlene masih terus menggeliat. Tidak mengacuhkan apa yang Lee katakan. "Teruslah melawan, tetapi kau harus tahu kalau aku tidak ingin melukaimu." Ucapan Lee seketika itu sukses menghentikan serangan yang Charlene lakukan. Gadis itu berusaha mengumpulkan udara setelah tadi mengeluarkan cukup banyak tenaga agar bisa terlepas dari belenggu Lee. Charlene harus mendongak untuk bisa menatap netra pria itu. "Kau janji akan melepaskanku, bukan? Kenapa belum dilepaskan juga?" tuntut Charlene. "Akan kulepaskan asalkan kau tidak menyerangku lagi," tawar Lee. Charlene memejamkan matanya untuk mengatur emosinya. Ia lantas kembali membuka matanya untuk menatap mata Lee. "Aku janji tidak akan menyerangmu. Jadi tolong lepaskan ak
"Aturannya masih tetap sama. Jangan melewati batas yang telah aku buat," ujar Charlene. Ia lantas mengempaskan bokongnya ke atas tempat tidur Lee disusul dengan menghela napas. "Aku merasa belakangan ini ibumu terlalu sering menginap di sini." "Kenapa? Kau keberatan?" lontar Lee yang tengah bersandar pada kepala tempat tidur dengan tablet di tangan. Ia sedang sibuk mengerjakan sesuatu yang tidak Charlene ketahui. Namun, kini ia tengah mengalihkan tatapan dari tabletnya ke arah Charlene. "Tidak. Kenapa harus keberatan?" Charlene balik bertanya. "Ini rumahmu. Wajar jika ibumu datang dan menginap.""Kalau tidak keberatan, kenapa mengeluh?" tuding Lee."Aku tidak mengeluh," bantah Charlene.Ia bukan memang bukan mengeluh, tetapi hanya merasa ada sesuatu yang janggal dengan apa yang Hana lakukan."Apa yang kau pikirkan?" selidik Lee kala mendapati Charlene seperti sedang memikirkan sesuatu. "Tidak. Tidak ada." "Jangan berbohong. Kalau aku memaksamu untuk berkata jujur, nanti kau akan
Charlene menggeleng. "Kalau begitu, ayo kita makan siang bersama." Lee menawarkan tangannya. Charlene hampir tidak berani bergerak, tetapi ia mengerling ke arah rekan kerjanya. Tidak perlu waktu yang lama baginya untuk memutuskan menyambut tangan Lee. Lebih cepat, lebih baik sebelum teman-temannya itu terkena masalah.Sebab, Charlene merasa Lee sedang marah. Hal itu membuatnya yakin jika Lee cukup banyak mendengar pembicaraan mereka. Lee pun menariknya pergi setelah tangan Charlene berada di dalam genggamannya.Charlene sempat menoleh ke arah rekan-rekan kerjanya hanya untuk melempar senyuman sembari memberi isyarat 'oke' dengan jari-jarinya, agar mereka tidak cemas. Lee lantas membawa Charlene menuju ke depan gedung kantor. Di sana sudah ada Marvin yang tampak stand by di samping mobil Lee. Mereka masuk ke dalam mobil dan Marvin pun melajukan mobilnya di tengah kepadatan lalu lintas di siang hari. Setelah beberapa saat berlalu, Charlene diam-diam melirik ke arah Lee yang duduk di
"Kenapa dia terlihat lesu?" tanya Charlene kala bergabung dengan rekan sekantornya di salah satu kafe kantor."Dia sedang patah hati karena akhirnya kau menikah dengan bos," terang Beatrice."Padahal dari awal aku sudah katakan padanya kalau dia bukanlah saingan bos," timpal Victor.Wajah Charlene menunjukkan tanda tidak nyaman dan serba salah."Kalian ini, jangan sembarangan bicara. Ronald hanya mengganggapku sebagai teman."Sementara itu, Ronald yang sedari tadi menjadi topik pembicaraan mereka, sama sekali tidak memberikan komentar. Charlene pun menarik kursi yang ada di hadapan pria itu. "Kau tahu, kami cukup kesal karena kau tidak berkata jujur pada kami saat pertama kali bekerja di sini," tukas Rebecca yang duduk di sebelah Ronald. "Kenapa kau tidak terus terang mengatakan bahwa kau memang punya hubungan dengan bos?"Charlene menjadi semakin tidak enak. Teman-temannya menjadi salah paham dan ia sendiri tidak tahu harus bagaimana menjelaskan pada mereka bahwa dirinya memang tida
Charlene menatap Lee dengan mata menipis. Ia memang telah dibohongi Lee. Ugh! Harus terlihat romantis di depan Hana? Justru mertuanya itu jadi merasa mengganggu mereka. Charlene lalu membalikkan tubuhnya menghadap ke Hana. Ekspresinya yang gusar kini telah berganti dengan senyuman. "Tidak, sama sekali tidak mengganggu." Hana tersenyum balik. "Apa kau sudah selesai mengupas kentangnya? Aku sudah menyajikan steak-nya ke atas meja makan," jelas Hana. Senyum Charlene mendadak lenyap. Ia melirik tajam ke arah Lee yang berdiri di belakangnya. Lee menatap balik ke arahnya tanpa rasa bersalah. Satu lagi kebohongan pria itu. Well, dia akan membuat perhitungan dengan suaminya nanti. "Belum. Sebentar lagi. Aku akan meminta Lee untuk membantuku," ujar Charlene. "Baiklah, kalau begitu aku akan memanggil Pieter dulu." Hana kemudian meninggalkan Charlene dan Lee di dapur. "Kau menipuku." Itu bukan pertanyaan dan Charlene bahkan belum menoleh ke arah Lee karena tatapannya masih tertuju ke amb
Charlene sedang menyiapkan makan malam di dapur bersama dengan Hana. Baru dua hari lalu, Charlene menikah dengan Lee, tetapi Hana sudah datanf untuk menginap. Bukannya Charlene merasa tidak nyaman dengan kehadiran Hana ataupun merasa keberatan. Ia justru sangat senang karena bisa mengobrol banyak hal dengan wanita paruh baya itu. Hanya saja, Charlene merasa sedikit aneh. Apakah Hana memang sengaja menginap di sana untuk memata-matai Charlene dan Lee? "Makan apa kita malam ini?" tanya Lee. Kemunculan Lee yang mendadak, sebenarnya tidak akan membuat Charlene terkejut seandainya pria itu tidak tiba-tiba memeluk tubuh Charlene dari belakang dan kemudian mengecup pelipis Charlene. Sontak saja sekujur tubuh Charlene terasa meremang. Ia melirik Lee dengan keberadaan wajah pria itu yang begitu dekat dengan wajahnya. Lee tersenyum menggoda. Menilai dari ekspresi pria itu, sepertinya Lee memang sengaja mengambil kesempatan itu agar dapat memeluk dan mencium Charlene. Charlene ingin marah, t
Charlene tidak tahu sejak kapan Lee menanggalkan penutup dada yang ia kenakan karena terlalu sibuk memikirkan hal lain tadi. Namun, setelah menyadari apa yang tengah Lee lakukan padanya saat ini, membuat darah Charlene seakan bergejolak di dalam sana. Tubuhnya terasa panas dan tanpa ia inginkan, bagian bawah tubuhnya terasa sangat hangat.Lee mengisap bongkahan kenyal itu sambil memainkan puncak berwarna pink merona yang berada di dalam mulutnya, dengan menggunakan lingualnya. Sesekali Lee mengisapnya dengan sangat kuat, membuat tubuh Charlene menegang karena rasa nikmat. Kali lainnya, pria itu memindahkan bibirnya pada bagian bongkahan hanya untuk meninggalkan tanda kepemilikan di sana.Satu tangan Lee memilin puncak yang lainnya, mempermainkannya. Charlene merasa sangat basah. Hanya desahan dan lenguhan yang keluar dari bibirnya tanpa adanya penolakan."Lee ...," lirih Charlene. Tidak ada pria mana pun yang pernah menyentuhnya seintim ini, termasuk Axel. Namun, bukan berarti ia pol