"Astaga, Syafa ... entah sudah yang keberapa kali dia menghubungiku?" Ponsel Paul terus berdering. Namun, Ia tak bisa menjawab karena sedang mengemudi. Terlihat ada nama Syafa pada layar. Akhirnya Paul memutuskan menepikan mobilnya di depan sebuah minimarket, lalu meraih ponsel yang ada di jok sebelahnya. "Hallo, ada apa, Syaa?" Paul mendengkus kesal karena istrinya yang masih muda itu sama sekali tidak sabar. "Kak Paul kok lamaaa? Ini ditunggu Ayah. Ada yang mau Ayah bicarakan." "Iyaaaa. Aku sedang menuju ke sana. Kamu tunggu saja!" sahut Paul dengan nada sedikit kesal, lalu menutup panggilan itu segera. Pikiran pria bule itu masih terus tertuju pada Rein. Entah apa yang sedang direncanakan saudara kembarnya itu? Bagaimana dengan semua kontrak kerjanya dengan beberapa perusahaan? "Astaga! Bukankah Rein saat ini sedang ikut andil dalam mengembangkan perusahaan baru milik Lintang? Aku harus tanyakan nanti pada Lintang dan mertuaku itu. Mereka pasti akan bertemu Rein dalam wakt
" Apa maksudmu, Paul?" Suara Boy Azka mulai meninggi. "Begini, Pak. Maksud Aku ..." "Seharusnya sebagai suami Kamu mendukung kebahagiaan istri Seharusnya Kamu bangga memiliki istri yang punya potensi." Suara Boy semakin terdengar menggelegar menyela ucapan Paul. "Maaass ... tenang. Jangan emosi!" Firda mencoba menenangkan suaminya dengan mengusap-usap lengan kokoh itu. Syafa hanya diam. Ia bingung. Gadis cantik itu menoleh pada Boy dan Paul secara bergantian. "Maaf, Pak. Justru maksudnya agar ..." "Alasan apa lagi? Jangan.menghalang-halangi kesuksesan istri. Syafa masih muda. Seharusnya dia belum menikah di usia semuda ini. Seharusnya dia masih bisa bebas meraih cita-citanya. Bukannya malah disuruh mengurus suami terus di rumah." Kini Boy Azka justru bicara sambil berdiri menghadap ke arah Paul. Ruang keluarga yang nyaman dan sejuk karena pendingin itu mendadak terasa panas . "Ayah .cukup!" Tiba-tiba Syafa berdiri. Lalu mendekat pada Paul. Ia khawatir Paul akan marah dan mening
"Kamu harus kuat walau tanpa Rein. Perusahaan membutuhkanmu." Laura membelai lembut lengan Maira yang masih berbaring di ranjang besar miliknya. Sudah satu bulan Rein pergi tanpa kabar. Tak ada satupun yang tau dimana pria itu berada.Paul pun tak mendapatkan informasi apapun. Yuda dan Elkan juga belum menemukan petunjuk. Semalam Maira kembali ke dokter ditemani Laura untuk memeriksakan kehamilannya. Wanita itu sedikit terhibur karena dokter mengatakan kandungannya baik-baik saja. Said beberapa kali menghubungi bahwa banyak kerjasama yang tertunda karena para calon investor dan partner bisnis ingin bertemu langsung dengan Maira. "Rasanya berat sekali, Maa ... Separuh dari nyawa Aku seakan lenyap." Suara parau Maira terdengar lemah. Dada Laura terasa nyeri melihat wajah Maira yang kacau. Sejak Rein pergi, Maira sama sekali tak mau berhias. Sering menangis dan sulit tidur. "Ingat, Sayang! Kamu masih punya Kaisar dan calon bayi yang ada di perutmu. Mana Maira yang kuat yang selama i
"Andai saja Aku bisa mendampingimu selamanya, Maira ..." lirih Rein dengan suara bergetar. Napasnya memburu menahan gemuruh yang kian menyesakkan dada. Tanpa ia sadari air matanya luruh begitu saja. Tubuhnya bergetar hebat. Tangan kokohnya memukul stir bertubi-tubi. Menumpahkan segala amarah. Ya, Rein marah pada dirinya sendiri. Karena tidak bisa membahagiakan wanita yang ia cintai. Dari area parkir yang berada persis di depan lobby, Rein tergugu di dalam sebuah mobil berbeda dari yang biasa ia gunakan. Ia tak mau ada satupun yang mengenalinya. Rein juga menggunakan kacamata gelap dan masker. Walau kaca mobil itu tak dapat melihat jelas dari luar. Lima belas menit kemudian Rein melihat Raka dan Pratama memasuki lobby utama. Ada rasa gelisah memenuhi relung hatinya. "Untuk apa Raka dan Ayah Pratama ke sini? Apa mereka akan aktif kembali di Eternal Group setelah Aku tak ada?" Semua pikiran buruk mulai terlintas di benak pria itu. "Maira ... Maira ... Aku rindu!" Pria tampan dengan j
"Hah ... ? Astaga! Reein ..!" Terdengar suara Elkan terkejut dari seberang sana. "Kemana aja, Bro? Tega banget Kamu pergi tanpa jejak begini! Lain kali bilang kalau mau pergi kemana. Setidaknya bicara dulu padaku, sebagai pengacara pribadimu." Elkan terus mencecar Rein dengan bertubi-tubi pertanyaan. Pengacara itu juga tak segan-segan memperingatkan Rein tentang kepergianya. "Elkan, tolong dengar dulu! Aku mau kita bertemu. Aku ingin ceritakan semuanya. Ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku punya alasan yang kuat melakukan semua ini." Rein menyanggah ucapan Elkan. "Maaf Rein. Saat ini Aku sedang dalam perjalanan ke Bandara. Aku dan anak istriku akan berangkat ke Paris bersama keluargaku. Mungkin kembalinya dari sana kita baru bisa bertemu." Rein kembali merasakan sesak di dada ketika Elkan bicara tentang anak dan istrimya. Sekelebat bayangan Maira dan Kaisar terlintas di benaknya. Tanpa disadarinya, Rein bernapas lega karena perceraiannya dengan Maira harus tertunda. Ia meras
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re