InsyaAllah cerita ini sedang menuju Tamat. Jadi, jangan sampai ada Bab yang terlewatkan. Mohon bersabar menunggu tiap kelanjutan Babnya. Karena memang Mak Author matanya tidak sanggup mengetik banyak-banyak. Namun selalu diusahakan ada update Bab setiap harinya. Makasih atas pengertiannya.
"Mairaaa ...., Kamu kenapa, Sayang? Ada apa dengan Rein? Rein kenapa? Bilang sama Mama ...!" Laura ikut-ikutan panik dan histeris. Kedua tangannya mengguncang tubuh Maira. Paul memandang kedua wanita di depannya dengan tatapan penuh tanda tanya. Pria itu bingung harus bagaimana. Rasa khawatir mulai menyerang dirinya. Secepat kilat Paul meraih ponsel Maira yang hampir terlepas dari tangan kakak iparnya itu. "Maira ... awaas!" Beruntung ponsel itu tak jatuh. Paul menepikan kursi roda Maira dari lalu lalang orang-orang hendak melalui lorong yang menuju poliklinik. Kemudian ia membuka ponsel itu dan membaca pesan yang ada di layar. Pesan yang membuat Maira histeris. [ Kamu berhak mendapatkan yang terbaik. Maaf telah mengecewakanmu. Aku pergi. Secepatnya Elkan akan mengurus perceraian kita. Aku selalu mencintaimu, Maira. Selamanya akan mencintaimu. Peluk cium untuk jagoanku[ Tangan Paul gemetar. Wajahnya berubah tegang. Ia terkesiap saat ponsel milik Maira kembali diraih oleh Laura
"Sayang Aku mau segera punya anak. Kamu nggak keberatan, kan? Kita bisa minta cuti dulu untuk kuliahmu selama satu tahun setelah anak kita lahir." Ucapan Paul menyentak Syafa. Lagi-lagi ia tak bisa menjawab. Apalagi ia memang belum menginginkan hadirnya seorang bayi. Ia masih sangat muda. Namun, sanggupkah ia mengabaikan permintaan Paul? "Kenapa diam, Sya ...?" Paul memandang intens pada Syafa yang tampak gugup. "Mmm ... nggak apa-apa, Kak. Aku juga mau kok punya anak." Syafa tersenyum lebar. Ia tak mungkin menceritakan keinginan ayahnya agar menunda kehamilannya selama menjadi brand ambasador perusahaan keluarganya nanti. "Syukurlah. Aku tadi lihat betapa bahagianya Mama saat tahu kalau Maira hamil. Aku juga ingin mama bahagia saat tau kamu hamil, Sayang."Paul merebahkan tubuhnya di ranjang. Ia merasa sangat lelah akibat ketegangan yang diciptakan Rein tadi pagi. "Sya, sini ...!" Paul menepuk-nepuk sisi ranjang yang kosong di sebelahnya. Dengan semangat, Syafa malah menghambur
"Apa sudah ada kabar dari Rein?" Paul mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu Maira. Setelah dari PT Yudatara, pria bule itu kembali mendatangi Maira di rumahnya. Kakak iparnya itu sedang melamun sendirian saat ia tiba. "Belum, Paul. Aku sudah minta Pak Pardi cari ke rumah lamanya, dia tidak ada di sana. Semua asisten pribadinya juga tidak tau. Rein sama sekali tidak muncul di semua perusahaan hari ini. Paul memandang iba pada Maira. Ada rasa geram pada saudara kembarnya itu. "Tega-teganya dia menyiksa wanita sebaik dan setulus Maira. Andai saja Aku yang lebih dulu mendapatkan Maira, Aku tidak akan pernah mengecewakan dia. Astaga, apa yang Aku pikirkan ini." Paul menepuk keningnya sambil geleng-geleng. "Kamu kenapa, Paul? Pusing ya? Maaf ya, Aku jadi ngerepotin Kamu." Maira merasa bersalah. Ia telah membebani Paul.. "Ya nggak dong. Rein itu kan saudaraku. Aku juga ingin kalian bahagia," sanggah Paul. "Maira, tadi Aku bertemu Yuda." Paul melanjutkan ucapannya. Mata Maira melebar.
"Astaga, Syafa ... entah sudah yang keberapa kali dia menghubungiku?" Ponsel Paul terus berdering. Namun, Ia tak bisa menjawab karena sedang mengemudi. Terlihat ada nama Syafa pada layar. Akhirnya Paul memutuskan menepikan mobilnya di depan sebuah minimarket, lalu meraih ponsel yang ada di jok sebelahnya. "Hallo, ada apa, Syaa?" Paul mendengkus kesal karena istrinya yang masih muda itu sama sekali tidak sabar. "Kak Paul kok lamaaa? Ini ditunggu Ayah. Ada yang mau Ayah bicarakan." "Iyaaaa. Aku sedang menuju ke sana. Kamu tunggu saja!" sahut Paul dengan nada sedikit kesal, lalu menutup panggilan itu segera. Pikiran pria bule itu masih terus tertuju pada Rein. Entah apa yang sedang direncanakan saudara kembarnya itu? Bagaimana dengan semua kontrak kerjanya dengan beberapa perusahaan? "Astaga! Bukankah Rein saat ini sedang ikut andil dalam mengembangkan perusahaan baru milik Lintang? Aku harus tanyakan nanti pada Lintang dan mertuaku itu. Mereka pasti akan bertemu Rein dalam wakt
" Apa maksudmu, Paul?" Suara Boy Azka mulai meninggi. "Begini, Pak. Maksud Aku ..." "Seharusnya sebagai suami Kamu mendukung kebahagiaan istri Seharusnya Kamu bangga memiliki istri yang punya potensi." Suara Boy semakin terdengar menggelegar menyela ucapan Paul. "Maaass ... tenang. Jangan emosi!" Firda mencoba menenangkan suaminya dengan mengusap-usap lengan kokoh itu. Syafa hanya diam. Ia bingung. Gadis cantik itu menoleh pada Boy dan Paul secara bergantian. "Maaf, Pak. Justru maksudnya agar ..." "Alasan apa lagi? Jangan.menghalang-halangi kesuksesan istri. Syafa masih muda. Seharusnya dia belum menikah di usia semuda ini. Seharusnya dia masih bisa bebas meraih cita-citanya. Bukannya malah disuruh mengurus suami terus di rumah." Kini Boy Azka justru bicara sambil berdiri menghadap ke arah Paul. Ruang keluarga yang nyaman dan sejuk karena pendingin itu mendadak terasa panas . "Ayah .cukup!" Tiba-tiba Syafa berdiri. Lalu mendekat pada Paul. Ia khawatir Paul akan marah dan mening
"Kamu harus kuat walau tanpa Rein. Perusahaan membutuhkanmu." Laura membelai lembut lengan Maira yang masih berbaring di ranjang besar miliknya. Sudah satu bulan Rein pergi tanpa kabar. Tak ada satupun yang tau dimana pria itu berada.Paul pun tak mendapatkan informasi apapun. Yuda dan Elkan juga belum menemukan petunjuk. Semalam Maira kembali ke dokter ditemani Laura untuk memeriksakan kehamilannya. Wanita itu sedikit terhibur karena dokter mengatakan kandungannya baik-baik saja. Said beberapa kali menghubungi bahwa banyak kerjasama yang tertunda karena para calon investor dan partner bisnis ingin bertemu langsung dengan Maira. "Rasanya berat sekali, Maa ... Separuh dari nyawa Aku seakan lenyap." Suara parau Maira terdengar lemah. Dada Laura terasa nyeri melihat wajah Maira yang kacau. Sejak Rein pergi, Maira sama sekali tak mau berhias. Sering menangis dan sulit tidur. "Ingat, Sayang! Kamu masih punya Kaisar dan calon bayi yang ada di perutmu. Mana Maira yang kuat yang selama i
"Andai saja Aku bisa mendampingimu selamanya, Maira ..." lirih Rein dengan suara bergetar. Napasnya memburu menahan gemuruh yang kian menyesakkan dada. Tanpa ia sadari air matanya luruh begitu saja. Tubuhnya bergetar hebat. Tangan kokohnya memukul stir bertubi-tubi. Menumpahkan segala amarah. Ya, Rein marah pada dirinya sendiri. Karena tidak bisa membahagiakan wanita yang ia cintai. Dari area parkir yang berada persis di depan lobby, Rein tergugu di dalam sebuah mobil berbeda dari yang biasa ia gunakan. Ia tak mau ada satupun yang mengenalinya. Rein juga menggunakan kacamata gelap dan masker. Walau kaca mobil itu tak dapat melihat jelas dari luar. Lima belas menit kemudian Rein melihat Raka dan Pratama memasuki lobby utama. Ada rasa gelisah memenuhi relung hatinya. "Untuk apa Raka dan Ayah Pratama ke sini? Apa mereka akan aktif kembali di Eternal Group setelah Aku tak ada?" Semua pikiran buruk mulai terlintas di benak pria itu. "Maira ... Maira ... Aku rindu!" Pria tampan dengan j
"Hah ... ? Astaga! Reein ..!" Terdengar suara Elkan terkejut dari seberang sana. "Kemana aja, Bro? Tega banget Kamu pergi tanpa jejak begini! Lain kali bilang kalau mau pergi kemana. Setidaknya bicara dulu padaku, sebagai pengacara pribadimu." Elkan terus mencecar Rein dengan bertubi-tubi pertanyaan. Pengacara itu juga tak segan-segan memperingatkan Rein tentang kepergianya. "Elkan, tolong dengar dulu! Aku mau kita bertemu. Aku ingin ceritakan semuanya. Ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku punya alasan yang kuat melakukan semua ini." Rein menyanggah ucapan Elkan. "Maaf Rein. Saat ini Aku sedang dalam perjalanan ke Bandara. Aku dan anak istriku akan berangkat ke Paris bersama keluargaku. Mungkin kembalinya dari sana kita baru bisa bertemu." Rein kembali merasakan sesak di dada ketika Elkan bicara tentang anak dan istrimya. Sekelebat bayangan Maira dan Kaisar terlintas di benaknya. Tanpa disadarinya, Rein bernapas lega karena perceraiannya dengan Maira harus tertunda. Ia meras