"Aku kangen, loh, Bun." Syafa bergelayut manja pada Firda. "Sama. Bunda juga kangen. Padahal baru seminggu nggak ketemu." Keduanya tertawa hangat. Mereka tak menyadari banyak pasang mata yang memperhatikan mereka. Bahkan ruangan itu seketika senyap karena beberapa orang yang sedang bicara, terpaksa menghentikan pembicaraan demi melihat ke arah mereka. Termasuk Boy Azka. Pria gagah yang tak lagi muda itu cukup terkesima dengan pemandangan yang berada beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Ia juga sempat melihat kalung yang dikenakan oleh dua wanitanya sama persis. "Apa Aku sedang bermimpi saat ini?" gumamnya dengan perasaan haru yang tak terkatakan. Tanpa ia sadari, kedua netranya telah mengembun. Lintang pun menoleh ke arah Bundanya, melihat pandangan Sang Ayah tak berpindah sedikitpun. "Ayah, apa Aku tidak salah lihat? Mereka ..." Tatapan Lintang pun semakin intens pada Firda dan Syafa. Boy Azka hendak menghampiri istri dan putrinya. Namun sebuah tangan tiba-tiba mencegahnya.
"Ada apa sebenarnya,Rein? Apa yang Kamu sembunyikan dariku?" Maira menatap intens suami tampannya. Mata elang itu tak mau membalas tatapan Maira. Rein membuang pandangannya ke arah lain. Hal ini membuat dugaan Maira semakin kuat. Ada sesuatu yang sedang ditutupi Rein darinya. Terdengar helaan napas panjang dari pria berahang kokoh itu. Raut wajah cemas semakin terlihat jelas. "Tidak ada apa-apa. Sudah Aku bilang. Kaisar masih butuh perhatian Kita." Suara Rein semakin meninggi. Namun nampak ada keraguan di sana. "Omong kosong! Selama ini Kita tidak pernah menunda kehamilan. Bahkan Kita tidak pernah menggunakan kontrasepsi. Iya, kan? Jadi, bisa saja suatu saat Aku akan hamil, bukan? Lalu kenapa Kamu bicara seolah-olah kita sedang menunda kehamilan di depan semua orang?"Maira mencecar dengan berbagai pertanyaan. Kesabarannya mulai habis. Ia kesal melihat Rein yang masih tak mau terus terang. Rein yang sudah melepas semua kancing kemejanya, terduduk di ranjang dengan menutup wajah.
"Bu Maira ... Bu Maira ...!" Ketiga Security itu secepat kilat menghampiri Maira yang sudah tergeletak di lantai. "Mbaak, Mbaak, tolongin ini Bu Maira pingsan!" Salah satu security berteriak memanggil para ART. Tubuh Maira diangkat oleh security dan salah satu ART ke dalam rumah, lalu dibaringkan di atas sofa. "Aduuh bagaimana ini? Ayo, telepon Pak Rein!" Para ART dan security panik. Salah satu dari mereka mencoba menghubungi ponsel Rein. Namun setelah berkali-kali mencoba tetap tak terhubung. "Atau coba hubungi Bu Laura saja!" ujar salah satu ART. "Ada apa ini?" Tiba-tiba Pak Pardi datang dan bergegas menghampiri kerumunan para ART itu. "ini Pak Pardi, Bu Maira pingsan." Pak Pardi lantas mendekat dan melihat wajah Maira yang pucat."Kita bawa saja ke rumah sakit sekarang. Ayo bantu bawa ke mobil!" Pak Pardi berlari menyiapkan mobil, sementara Para ART dan security membantu kembali mengangkat tubuh Maira ke dalam mobil. Pak Pardi dengan salah satu ART membawa Maira ke rumah
"Mairaaa ...., Kamu kenapa, Sayang? Ada apa dengan Rein? Rein kenapa? Bilang sama Mama ...!" Laura ikut-ikutan panik dan histeris. Kedua tangannya mengguncang tubuh Maira. Paul memandang kedua wanita di depannya dengan tatapan penuh tanda tanya. Pria itu bingung harus bagaimana. Rasa khawatir mulai menyerang dirinya. Secepat kilat Paul meraih ponsel Maira yang hampir terlepas dari tangan kakak iparnya itu. "Maira ... awaas!" Beruntung ponsel itu tak jatuh. Paul menepikan kursi roda Maira dari lalu lalang orang-orang hendak melalui lorong yang menuju poliklinik. Kemudian ia membuka ponsel itu dan membaca pesan yang ada di layar. Pesan yang membuat Maira histeris. [ Kamu berhak mendapatkan yang terbaik. Maaf telah mengecewakanmu. Aku pergi. Secepatnya Elkan akan mengurus perceraian kita. Aku selalu mencintaimu, Maira. Selamanya akan mencintaimu. Peluk cium untuk jagoanku[ Tangan Paul gemetar. Wajahnya berubah tegang. Ia terkesiap saat ponsel milik Maira kembali diraih oleh Laura
"Sayang Aku mau segera punya anak. Kamu nggak keberatan, kan? Kita bisa minta cuti dulu untuk kuliahmu selama satu tahun setelah anak kita lahir." Ucapan Paul menyentak Syafa. Lagi-lagi ia tak bisa menjawab. Apalagi ia memang belum menginginkan hadirnya seorang bayi. Ia masih sangat muda. Namun, sanggupkah ia mengabaikan permintaan Paul? "Kenapa diam, Sya ...?" Paul memandang intens pada Syafa yang tampak gugup. "Mmm ... nggak apa-apa, Kak. Aku juga mau kok punya anak." Syafa tersenyum lebar. Ia tak mungkin menceritakan keinginan ayahnya agar menunda kehamilannya selama menjadi brand ambasador perusahaan keluarganya nanti. "Syukurlah. Aku tadi lihat betapa bahagianya Mama saat tahu kalau Maira hamil. Aku juga ingin mama bahagia saat tau kamu hamil, Sayang."Paul merebahkan tubuhnya di ranjang. Ia merasa sangat lelah akibat ketegangan yang diciptakan Rein tadi pagi. "Sya, sini ...!" Paul menepuk-nepuk sisi ranjang yang kosong di sebelahnya. Dengan semangat, Syafa malah menghambur
"Apa sudah ada kabar dari Rein?" Paul mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu Maira. Setelah dari PT Yudatara, pria bule itu kembali mendatangi Maira di rumahnya. Kakak iparnya itu sedang melamun sendirian saat ia tiba. "Belum, Paul. Aku sudah minta Pak Pardi cari ke rumah lamanya, dia tidak ada di sana. Semua asisten pribadinya juga tidak tau. Rein sama sekali tidak muncul di semua perusahaan hari ini. Paul memandang iba pada Maira. Ada rasa geram pada saudara kembarnya itu. "Tega-teganya dia menyiksa wanita sebaik dan setulus Maira. Andai saja Aku yang lebih dulu mendapatkan Maira, Aku tidak akan pernah mengecewakan dia. Astaga, apa yang Aku pikirkan ini." Paul menepuk keningnya sambil geleng-geleng. "Kamu kenapa, Paul? Pusing ya? Maaf ya, Aku jadi ngerepotin Kamu." Maira merasa bersalah. Ia telah membebani Paul.. "Ya nggak dong. Rein itu kan saudaraku. Aku juga ingin kalian bahagia," sanggah Paul. "Maira, tadi Aku bertemu Yuda." Paul melanjutkan ucapannya. Mata Maira melebar.
"Astaga, Syafa ... entah sudah yang keberapa kali dia menghubungiku?" Ponsel Paul terus berdering. Namun, Ia tak bisa menjawab karena sedang mengemudi. Terlihat ada nama Syafa pada layar. Akhirnya Paul memutuskan menepikan mobilnya di depan sebuah minimarket, lalu meraih ponsel yang ada di jok sebelahnya. "Hallo, ada apa, Syaa?" Paul mendengkus kesal karena istrinya yang masih muda itu sama sekali tidak sabar. "Kak Paul kok lamaaa? Ini ditunggu Ayah. Ada yang mau Ayah bicarakan." "Iyaaaa. Aku sedang menuju ke sana. Kamu tunggu saja!" sahut Paul dengan nada sedikit kesal, lalu menutup panggilan itu segera. Pikiran pria bule itu masih terus tertuju pada Rein. Entah apa yang sedang direncanakan saudara kembarnya itu? Bagaimana dengan semua kontrak kerjanya dengan beberapa perusahaan? "Astaga! Bukankah Rein saat ini sedang ikut andil dalam mengembangkan perusahaan baru milik Lintang? Aku harus tanyakan nanti pada Lintang dan mertuaku itu. Mereka pasti akan bertemu Rein dalam wakt
" Apa maksudmu, Paul?" Suara Boy Azka mulai meninggi. "Begini, Pak. Maksud Aku ..." "Seharusnya sebagai suami Kamu mendukung kebahagiaan istri Seharusnya Kamu bangga memiliki istri yang punya potensi." Suara Boy semakin terdengar menggelegar menyela ucapan Paul. "Maaass ... tenang. Jangan emosi!" Firda mencoba menenangkan suaminya dengan mengusap-usap lengan kokoh itu. Syafa hanya diam. Ia bingung. Gadis cantik itu menoleh pada Boy dan Paul secara bergantian. "Maaf, Pak. Justru maksudnya agar ..." "Alasan apa lagi? Jangan.menghalang-halangi kesuksesan istri. Syafa masih muda. Seharusnya dia belum menikah di usia semuda ini. Seharusnya dia masih bisa bebas meraih cita-citanya. Bukannya malah disuruh mengurus suami terus di rumah." Kini Boy Azka justru bicara sambil berdiri menghadap ke arah Paul. Ruang keluarga yang nyaman dan sejuk karena pendingin itu mendadak terasa panas . "Ayah .cukup!" Tiba-tiba Syafa berdiri. Lalu mendekat pada Paul. Ia khawatir Paul akan marah dan mening