"Kamu nggak menginginkan ini, Mas? Bukannya Aina sedang bedrest? Jadi, Kamu bisa melakukannya bersamaku." Anita memainkan jemarinya pada bagian-bagian tubuh Indra, hingga ke bagian sensitifnya. Anita sangat hapal bagian-bagian mana yang membuat Indra tak berdaya menolaknya. Namun lagi-lagi wanita itu kesal karena Indra sama sekali tidak merespon. Bahkan Indra membuang muka ketika Anita ingin menciumnya. "Maaf. Aku belum bisa." Dengan berat hati Indra akhirnya menolak. Bayangan Anita bersama pria lain selalu membayanginya. Entah sampai kapan tak bisa memberi nafkah batin pada istrinya itu. Namun ia pun tak sampai hati menceraikan istri pertamanya itu. "Pakai lagi bajumu!" Indra menepis tangan Anita, lalu bangkit dan menjauh. Anita tersentak. Dadanya bergemuruh. Seketika air mata lolos begitu saja dari kedua netranya. Rasa sesak yang menghimpit membuatnya sulit untuk bicara. Perlahan ia bangkit, meraih dan memakai kembali blouse model pas body dan celana selutut yang baru saja kema
" Bagaimana istriku? Apa ada masalah di salon?" Saat tiba di rumah, Boy langsung memghubungi anak buahnya. "Aman, Bos. Tidak terjadi apa-apa. Situasi tenang, tidak ada yang berubah." "Baiklah. Kalian boleh pergi dari sana." Boy Azka menutup panggilan ponselnya. Namun ia tetap merasa cemas. Sebenarnya, ia ingin sekali jika Firda bisa dekat dengan Syafa. Bukankah Firda pernah mendambakan seorang anak perempuan? Sementara itu di tempat lain, Setelah melakukan perawatan tubuh dan wajah yang memakan waktu berjam-jam, Firda dan Syafa memutuskan untuk melanjutkan aktivitas mereka dengan berbelanja bareng di mall. Sebelumnya mereka makan di restoran yang berada di samping salon. "Bun, kalau hari sabtu begini, Bumi dan Kak Lintang kemana?" tanya Syafa saat mereka sedang makan siang. "Yang pasti dua-duanya nggak ada di rumah. Bahkan sampai malam." Firda dengan senang menjawab semua pertanyaan Syafa yang tak henti-hentinya bicara. "Terus, Bunda sama siapa? Sama Ayah?" Wanita paruh baya i
"Lintang, Lintang ...! Buka pintunya!" Boy Azka mengetuk keras pintu kamar putra sulungnya. Sementara Firda mengikuti suaminya dari belakang dengan cemas. Ia sangat paham dengan raut wajah Boy yang mendadak emosi. Ia berharap agar tidak terjadi keributan diantara ayah dan anak itu. "Mas, ..., sabar, Mas!" Firda berusaha menenangkan suaminya. Satu tangannya mengusap lembut punggung Boy Azka. Perlahan pintu terbuka. Lintang memang sudah rapi. Tapi tidak memakai pakaian formil. Pria tampan itu justru hanya memakai kaos polos dan jaket jeansnya. "Mau kemana, Kamu?" tanya Boy tegas. "Nongkrong. Udah ditungguin teman," sahut Lintang asal tanpa menoleh pada kedua orang tuanya. Boy Azka menghela napas panjang. Berusaha meredam emosi yang hampir meledak. Namun sentuhan jemari Firda menyadarkan dirinya. Lintang sedang merasa cemburu. Semua tentang Syafa terlihat buruk dimatanya. "Lintang, sudah saatnya Kamu tinggalkan kebiasaan nongkrongmu itu. Kamu sekarang seorang CEO. Jangn pernah mai
"Aku kangen, loh, Bun." Syafa bergelayut manja pada Firda. "Sama. Bunda juga kangen. Padahal baru seminggu nggak ketemu." Keduanya tertawa hangat. Mereka tak menyadari banyak pasang mata yang memperhatikan mereka. Bahkan ruangan itu seketika senyap karena beberapa orang yang sedang bicara, terpaksa menghentikan pembicaraan demi melihat ke arah mereka. Termasuk Boy Azka. Pria gagah yang tak lagi muda itu cukup terkesima dengan pemandangan yang berada beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Ia juga sempat melihat kalung yang dikenakan oleh dua wanitanya sama persis. "Apa Aku sedang bermimpi saat ini?" gumamnya dengan perasaan haru yang tak terkatakan. Tanpa ia sadari, kedua netranya telah mengembun. Lintang pun menoleh ke arah Bundanya, melihat pandangan Sang Ayah tak berpindah sedikitpun. "Ayah, apa Aku tidak salah lihat? Mereka ..." Tatapan Lintang pun semakin intens pada Firda dan Syafa. Boy Azka hendak menghampiri istri dan putrinya. Namun sebuah tangan tiba-tiba mencegahnya.
"Ada apa sebenarnya,Rein? Apa yang Kamu sembunyikan dariku?" Maira menatap intens suami tampannya. Mata elang itu tak mau membalas tatapan Maira. Rein membuang pandangannya ke arah lain. Hal ini membuat dugaan Maira semakin kuat. Ada sesuatu yang sedang ditutupi Rein darinya. Terdengar helaan napas panjang dari pria berahang kokoh itu. Raut wajah cemas semakin terlihat jelas. "Tidak ada apa-apa. Sudah Aku bilang. Kaisar masih butuh perhatian Kita." Suara Rein semakin meninggi. Namun nampak ada keraguan di sana. "Omong kosong! Selama ini Kita tidak pernah menunda kehamilan. Bahkan Kita tidak pernah menggunakan kontrasepsi. Iya, kan? Jadi, bisa saja suatu saat Aku akan hamil, bukan? Lalu kenapa Kamu bicara seolah-olah kita sedang menunda kehamilan di depan semua orang?"Maira mencecar dengan berbagai pertanyaan. Kesabarannya mulai habis. Ia kesal melihat Rein yang masih tak mau terus terang. Rein yang sudah melepas semua kancing kemejanya, terduduk di ranjang dengan menutup wajah.
"Bu Maira ... Bu Maira ...!" Ketiga Security itu secepat kilat menghampiri Maira yang sudah tergeletak di lantai. "Mbaak, Mbaak, tolongin ini Bu Maira pingsan!" Salah satu security berteriak memanggil para ART. Tubuh Maira diangkat oleh security dan salah satu ART ke dalam rumah, lalu dibaringkan di atas sofa. "Aduuh bagaimana ini? Ayo, telepon Pak Rein!" Para ART dan security panik. Salah satu dari mereka mencoba menghubungi ponsel Rein. Namun setelah berkali-kali mencoba tetap tak terhubung. "Atau coba hubungi Bu Laura saja!" ujar salah satu ART. "Ada apa ini?" Tiba-tiba Pak Pardi datang dan bergegas menghampiri kerumunan para ART itu. "ini Pak Pardi, Bu Maira pingsan." Pak Pardi lantas mendekat dan melihat wajah Maira yang pucat."Kita bawa saja ke rumah sakit sekarang. Ayo bantu bawa ke mobil!" Pak Pardi berlari menyiapkan mobil, sementara Para ART dan security membantu kembali mengangkat tubuh Maira ke dalam mobil. Pak Pardi dengan salah satu ART membawa Maira ke rumah
"Mairaaa ...., Kamu kenapa, Sayang? Ada apa dengan Rein? Rein kenapa? Bilang sama Mama ...!" Laura ikut-ikutan panik dan histeris. Kedua tangannya mengguncang tubuh Maira. Paul memandang kedua wanita di depannya dengan tatapan penuh tanda tanya. Pria itu bingung harus bagaimana. Rasa khawatir mulai menyerang dirinya. Secepat kilat Paul meraih ponsel Maira yang hampir terlepas dari tangan kakak iparnya itu. "Maira ... awaas!" Beruntung ponsel itu tak jatuh. Paul menepikan kursi roda Maira dari lalu lalang orang-orang hendak melalui lorong yang menuju poliklinik. Kemudian ia membuka ponsel itu dan membaca pesan yang ada di layar. Pesan yang membuat Maira histeris. [ Kamu berhak mendapatkan yang terbaik. Maaf telah mengecewakanmu. Aku pergi. Secepatnya Elkan akan mengurus perceraian kita. Aku selalu mencintaimu, Maira. Selamanya akan mencintaimu. Peluk cium untuk jagoanku[ Tangan Paul gemetar. Wajahnya berubah tegang. Ia terkesiap saat ponsel milik Maira kembali diraih oleh Laura
"Sayang Aku mau segera punya anak. Kamu nggak keberatan, kan? Kita bisa minta cuti dulu untuk kuliahmu selama satu tahun setelah anak kita lahir." Ucapan Paul menyentak Syafa. Lagi-lagi ia tak bisa menjawab. Apalagi ia memang belum menginginkan hadirnya seorang bayi. Ia masih sangat muda. Namun, sanggupkah ia mengabaikan permintaan Paul? "Kenapa diam, Sya ...?" Paul memandang intens pada Syafa yang tampak gugup. "Mmm ... nggak apa-apa, Kak. Aku juga mau kok punya anak." Syafa tersenyum lebar. Ia tak mungkin menceritakan keinginan ayahnya agar menunda kehamilannya selama menjadi brand ambasador perusahaan keluarganya nanti. "Syukurlah. Aku tadi lihat betapa bahagianya Mama saat tahu kalau Maira hamil. Aku juga ingin mama bahagia saat tau kamu hamil, Sayang."Paul merebahkan tubuhnya di ranjang. Ia merasa sangat lelah akibat ketegangan yang diciptakan Rein tadi pagi. "Sya, sini ...!" Paul menepuk-nepuk sisi ranjang yang kosong di sebelahnya. Dengan semangat, Syafa malah menghambur