"Kamu ...? Untuk apa Kamu ke sini, Mas?" Firda terkejut. Dari mana suaminya tahu alamat apartemennya? Wanita itu memandang tak percaya pada Boy Azka yang kini memakai switer dan celana jeans, sudah berada di dalam unitnya. "Untuk apa? Aku suamimu Firda. Aku mengkhawatirkan dirimu. Suami mana yang bisa tenang melihat istrinya dijemput oleh pria lain? Suami mana yang bisa tenang, istrinya pergi dalam keadaan kalut?"" Firda tertegun mendengar semua ucapan suaminya. Ia mematung menatap Boy Azka yang semakin mendekat. Dalam hatinya ia bertanya-tanya. Apakah benar suamimya mengkhawatirkan dirinya? Apakah benar suaminya cemburu? Sekali lagi Firda mencari alasan, kenapa hingga kini suaminya tidak menceraikannya? Apa hanya karena untuk pencitraan? Atau ... Apa benar suaminya memiliki sebuah rasa untuknya?Firda tersentak saat tiba-tiba saja Pria gagah yang sangat ia cintai itu semakin mengikis jarak dengannya. Seakan terhipnotis, wanita itu hanya diam saat Boy meraih kedua jemarinya dan
"Dokter, tolong istri Saya. Demamnya tinggi sekali!" Boy membopong istrinya keluar dari mobil, lalu membawanya masuk ke ruang Gawat Darurat. Dua orang petugas sempat ternganga melihat wajah yang tidak asing dan sangat dihormati itu tiba-tiba berada di rumah sakit ini. Namun beberapa detik kemudian mereka langsung meraih brankar dan membawanya menghampiri Boy Azka.. "Silakan pasiennya dibaringkan di sini, Pak!" Tanpa menjawab, Boy segera membaringkan Firda diatas brankar dan mengikutinya ke ruang pemeriksaan. "Mohon maaf, Pak. Silakan tunggu saja dulu di sini. Kami akan tangani dengan baik." Boy pasrah saat tirai itu ditutup. Saat ini dua orang perawat sedang memeriksa kondisi Firda "Apa yang terjadi pada pasien?" Seorang pria berpakaian dokter datang menghampiri Boy Azka yang terlihat sangat panik. "Istri saya sepertinya kelelahan dan demam tinggi, Dok. Tubuhnya menggigil hingga tidak sadarkan diri." Boy Azka menjelaskan dengan cepat. "Baiklah. Kami akan segera tangani. Bapak
Boy tersentak saat ponselnya berdering. Sementara Firda yang lemah masih bersandar di dada bidangnya. "Ponsel Mas bunyi," lirih wanita yang masih nampak pucat itu. Saat ini mereka masih berada di mobil dalam perjalanan pulang. Boy meraih ponsel di sakunya. Matanya melebar saat melihat nama Syafa di sana. Dia ingin angkat tapi khawatir membuat Frida kembali drop. Akhirnya ia memutuskan untuk merijek panggilan itu. "Kenapa dirijek, Mas? Memangnya dari siapa?"tanya Firda lirih. "Dari karyawan di kantor. Nanti saja di rumah Aku hubungi kembali" Mobil mewah milik Boy Azka sudah memasuki gerbang rumahnya. Disusul.oleh mobil Lintang di belakangnya. Boy kembali hendak menggendong istrinya saat keluar dari mobil dan akan masuk ke dalam rumah. "Nggak usah, Mas. Aku sudah mulai kuat." "Oke. Ayo Aku tuntun saja!' Boy yang awalnya kecewa karena Firda menolak untuk digendong, akhirnya dengan pelan ia menuntun istrinya itu masuk ke dalam kamar. "Baju kamu basah oleh keringat. Aku gantiin, ya
"Hallo Paul, bagaimana operasi Syafa? Apa berjalan dengan lancar?" Maira baru saja selesai meeting pagi itu dan langsung menghubungi Paul. Sejak semalam ia sampai kesulitan untuk tidur menunggu kabar dari Paul tentang operasi Syafa yang berlangsung lebih dari enam jam. Entah pukul berapa semalam ia tertidur hingga ia belum mendapat kabar tentang Syafa. "Operasinya berjalan lancar. Kondisi Syafa stabil. Namun masih dalam perawatan khusus," sahut Paul dari seberang sana. "Syukurlah. Kabari cepat jika ada sesuatu. Jika pekerjaan di Bandung beres, Rein dan Mama akan menyusul ke sana." "Maira, Apa Rein masih berada di Bandung?" "Ya, Paul. Kenapa?" Terdengar hempasan napas Paul dari sebrang sana. "Maaf, Bukannya Aku ikut campur dengan masalah rumah tanggamu. Tapi tidak seharusnya Rein terlalu sering meninggalkan Kamu di Jakarta. Bukankah di Bandung sudah ada orang kepercayaan Mama?" Maira terdiam. Sesungguhnya Ia pun masih merasa trauma dengan kegagalan rumah tangganya bersama Raka d
"Kenapa ada suara wanita yang mengangkat ponsel Rein? Siapa dia? Apakah yang dikatakan Raka itu benar?" Maira bertanya-tanya dalam hati dengan dada bergemuruh. Setelah menghela napas sejenak, ia mencoba menjawab suara wanita iru. "Selamat siang. Saya istrinya Pak Rein. Anda siapa, ya? Kenapa berani sekali menjawab panggilan ponsel suami Saya?" ujar Maira dengan suara dan nada tegas. "Hah? M-maaf, Bu. S-saya ... sekretaris Pak Rein." jawab wanita itu gugup. "Di mana suami Saya?" "Mmm ... Bapak sedang di ... Toilet, Bu." Suara wanita itu terdengar gemetar. Lagi-lagi Maira tersentak. Sebuah pikiran buruk terlintas begitu saja di benaknya. "Di toilet? Sedang dimana mereka?" bathin Maira dengan rasa gundah dan gemuruh di dada. "Tolong beritahu Pak Rein agar segera menghubungi Saya!" pinta Maira sebelum menutup panggilannya. Maira terdiam dengan ponsel masih berada di dalam gengamannya "Mama, Aku harus hubungi Mama." Maira segera menekan kontak ibu mertuanya. "Hallo, Ma. Rein ada
"Aawww ...! Lepasin ..!" Maira terkejut saat sepasang tangan kokoh telah memeluknya dari belakang.. Namun aroma tubuh dan hembusan napas yang berada di tengkuknya kini terasa tak asing bagi Maira. Dirinya seakan mengenal tubuh tinggi dan besar yang saat ini berada di belakangnya. "Rein? Kamu udah pulang?" Maira sontak memutar tubuhnya. "Iya Sayang. Setelah menghubungimu tadi Aku langsung pulang. Aku rindu!" Rein kembali mendekap tubuh istrinya yang terlihat cantik dan elegan itu. Tak satupun wanita dimatanya yang mampu menandingi kecantikan yang nyaris sempurna dari seorang Humaira Pratama. Maira pun sesungguhnya juga rindu. Bahkan sangat rindu. Namun kejadian siang tadi membuatnya terlanjur kecewa dan sedih. Hingga ia merasa kepulangan Rein tak seperti yang ia bayangkan sebelumnya.Senyum Rein mendadak hilang melihat wajah Maira yang murung. Pria tampan berahang kokoh dengan bulu-bulu halus di sekitar pipi dan dagunya itu menatap cemas istrinya. "Maafkan, Aku!" bisiknya dengan s
"Besok kamu ikut Aku ke Bandung! Kita ajak Kaisar dan Nina." Rein yang masih nampak sedih karena Kaisar selalu menolak saat ingin digendongnya, tak bisa tidur hingga malam. "Tapi Aku masih ada kerjaan, Rein," lirih Maira yang sudah mulai memejamkan mata. "Sementara percayakan dulu pada Said. Aku ingin berada dekat Kaisar dalam beberapa hari ini." "Ya sudah. Terserah Kamu aja." Maira menyerah. Beruntung beberapa hari ke depan tidak ada meeting penting. Mungkin Said bisa menghandle semua pekerjaanya. Lagipula, Maira sangat penasaran dengan sekretaris Rein yang di Bandung. Cantik dan seksi kah ia? Seperti apa perempuan bernama Viola itu? Pikir Maira. ----- Keesokan paginya, Maira sudah menghubungi Said dan Dewi. Wanita pemilik tunggal perusahaan Eternal Group itu menyerahkan dan mempercayakan semua pekerjannya pada asisten pribadi dan sekretarisnya. "Segera kabari Saya jika ada yang tidak beres!" "Baik Bu Shinta," sahut Said terdengar dari ponselnya. "Sudah siap? Kaisar mana?" Re
"Sayang, kenalkan ini Viola, sekretarisku di sini." Maira terpaku menatap wajah wanita yang sejak semalam ia pikirkan. Ia tak menyangka bahwa penampilan Viola yang ia lihat sekarang jauh dari yang ia bayangkan. "Saya Viola, Bu!" Wanita memakai hijab phasmina instan dan pakaian serba tertutup itu menangkupkan kedua tangan di depan dada seraya sedikit membungkukkan badan. Maira kembali terkesiap saat wanita berkulit putih itu menegakkan wajahnya. Sebuah noda hitam seperti bekas luka bakar hampir memenuhi sebagian wajah wanita itu. Viola kembali mengangguk sopan sambil tersenyum pada Maira. Wanita berumur sekitar dua puluhan itu seakan sudah terbiasa mendapat tatapan iba ataupun pandangan aneh dari setiap orang. "Maafkan Saya, Bu. Kemarin Saya sudah lancang. Saya hanya khawatir jika ada sesuatu yang penting." Raut wajah Viola mendadak merasa bersalah. Sorot matanya nampak cemas. Maira yang sejak tadi terdiam dan mematung. Kini mulai beranjak mendekati Viola. Wanita cantik.dan anggu