"Kenapa lama sekali, sih? Lagi ngapain mereka di dalam?" Air mata Firda sudah berjatuhan. Susah payah ia menahan diri untuk tidak menangis. Namun bulir-bulir bening itu mengalir begitu saja. Firda nyaris menahan napas saat menunggu pintu dibuka. Namun sekian detik berlalu, pintu unit suaminya itu tak kunjung terbuka. Firda tak menyerah. Ia terus menekan bel hingga tiba-tiba pintu bergerak. Detak jantung Firda semakin berpacu. Sebentar lagi ia akan melihat suaminya sedang bersama seorang wanita muda dan cantik. "Firda! K-kamu di sini?" Boy hampir terlonjak saat melihat ternyata yang datang adalah istrinya. Firda menatap wajah suaminya dengan napas memburu. "Kamu tau darimana kalau aku ..." Boy sangat gugup, Pria itu saat ini hanya memakai handuk yang dilingkarkan dipinggang.Oleh sebab itu ia sengaja tak membuka pintu terlalu lebar. Tanpa menjawab, Firda menerobos masuk. Dadanya semakin nyeri saat melihat suaminya hanya memakai handuk dan rambut masih basah. Boy menutup pintu,
"Kamu mau apa, Mas?" Firda nampak panik melihat wajah suaminya yang memandangnya dengan tatapan yang begitu dalam dan napas yang memburu. Boy Azka semakin menempelkan tubuhnya pada Firda. Hingga hawa panas mulai mengalir di kedua tubuh mereka. Apalagi saat ini pria paruh baya yang masih memiliki tubuh nyaris sempurna itu hanya memakai handuk yang dililit di pinggang. Hingga memperlihatkan dada bidang yang berbulu dan perut sixpacknya. Sejak muda hingga kini Boy Azka memang rutin berolah raga di sela-sela kesibukannya. Tak berbeda jauh dengan Firda. Wanita yang tak lagi muda itu rela mengeluarkan uang hingga ratusan juta demi perawatan tubuhnya yang terlihat tak pernah menua. Ia pun rajin melakukan olahraga yang menunjang kecantikan tubuhnya. Boy memandang wajah cantik Firda dengan debaran yang begitu hebat di dada. Netra bulat serta hidung mancung yang menjulang dantara alis yang tersusun rapi itu nampak sangat indah. Bibir mungil namun penuh milik Firda sedikit terbuka, membuatnya
"Astaga ...!" Mata Firda membelalak saat kain putih itu berhasil ia tarik, nampaklah sebuah lukisan wanita setengah tak berbusana di sana. Dada Firda semakin bergemuruh ketika melihat wajah perempuan di lukisan itu sangat mirip dengan Syafa, namun tampak lebih dewasa. Jantung Boy Azka berdegup kencang. Sungguh ia khawatir dengan apa yang akan terjadi setelah ini. "Lukisan siapa ini, Mas?" Firda bertanya dengan suara gemetar dan serak, menahan tangis dan gejolak emosi yang meledak-ledak di dalam sana. Boy Azka hanya dia tak menjawab. Mulutnya seakan terkunci. "Jawab, Mas! Lukisan siapa ini?" Firda menatap jijik pada lukisan yang menampakkan sebegian lekuk tubuh hingga bagian-bagian sensitif wanita itu. "Apaa ... dia adalah ... Kirana?" Firda menatap suaminya dengan tajam dan napas memburu. "Tolong jawab Aku Mas!" Suara Firda semakin meninggi. "Sayang, dia hanya wanita masa laluku. Sedangkan Kamu adalah masa depanku." "Oh, jadi benar? Jadi benar dia adalah Kirana? Kenapa kamu
"Kamu ...? Untuk apa Kamu ke sini, Mas?" Firda terkejut. Dari mana suaminya tahu alamat apartemennya? Wanita itu memandang tak percaya pada Boy Azka yang kini memakai switer dan celana jeans, sudah berada di dalam unitnya. "Untuk apa? Aku suamimu Firda. Aku mengkhawatirkan dirimu. Suami mana yang bisa tenang melihat istrinya dijemput oleh pria lain? Suami mana yang bisa tenang, istrinya pergi dalam keadaan kalut?"" Firda tertegun mendengar semua ucapan suaminya. Ia mematung menatap Boy Azka yang semakin mendekat. Dalam hatinya ia bertanya-tanya. Apakah benar suamimya mengkhawatirkan dirinya? Apakah benar suaminya cemburu? Sekali lagi Firda mencari alasan, kenapa hingga kini suaminya tidak menceraikannya? Apa hanya karena untuk pencitraan? Atau ... Apa benar suaminya memiliki sebuah rasa untuknya?Firda tersentak saat tiba-tiba saja Pria gagah yang sangat ia cintai itu semakin mengikis jarak dengannya. Seakan terhipnotis, wanita itu hanya diam saat Boy meraih kedua jemarinya dan
"Dokter, tolong istri Saya. Demamnya tinggi sekali!" Boy membopong istrinya keluar dari mobil, lalu membawanya masuk ke ruang Gawat Darurat. Dua orang petugas sempat ternganga melihat wajah yang tidak asing dan sangat dihormati itu tiba-tiba berada di rumah sakit ini. Namun beberapa detik kemudian mereka langsung meraih brankar dan membawanya menghampiri Boy Azka.. "Silakan pasiennya dibaringkan di sini, Pak!" Tanpa menjawab, Boy segera membaringkan Firda diatas brankar dan mengikutinya ke ruang pemeriksaan. "Mohon maaf, Pak. Silakan tunggu saja dulu di sini. Kami akan tangani dengan baik." Boy pasrah saat tirai itu ditutup. Saat ini dua orang perawat sedang memeriksa kondisi Firda "Apa yang terjadi pada pasien?" Seorang pria berpakaian dokter datang menghampiri Boy Azka yang terlihat sangat panik. "Istri saya sepertinya kelelahan dan demam tinggi, Dok. Tubuhnya menggigil hingga tidak sadarkan diri." Boy Azka menjelaskan dengan cepat. "Baiklah. Kami akan segera tangani. Bapak
Boy tersentak saat ponselnya berdering. Sementara Firda yang lemah masih bersandar di dada bidangnya. "Ponsel Mas bunyi," lirih wanita yang masih nampak pucat itu. Saat ini mereka masih berada di mobil dalam perjalanan pulang. Boy meraih ponsel di sakunya. Matanya melebar saat melihat nama Syafa di sana. Dia ingin angkat tapi khawatir membuat Frida kembali drop. Akhirnya ia memutuskan untuk merijek panggilan itu. "Kenapa dirijek, Mas? Memangnya dari siapa?"tanya Firda lirih. "Dari karyawan di kantor. Nanti saja di rumah Aku hubungi kembali" Mobil mewah milik Boy Azka sudah memasuki gerbang rumahnya. Disusul.oleh mobil Lintang di belakangnya. Boy kembali hendak menggendong istrinya saat keluar dari mobil dan akan masuk ke dalam rumah. "Nggak usah, Mas. Aku sudah mulai kuat." "Oke. Ayo Aku tuntun saja!' Boy yang awalnya kecewa karena Firda menolak untuk digendong, akhirnya dengan pelan ia menuntun istrinya itu masuk ke dalam kamar. "Baju kamu basah oleh keringat. Aku gantiin, ya
"Hallo Paul, bagaimana operasi Syafa? Apa berjalan dengan lancar?" Maira baru saja selesai meeting pagi itu dan langsung menghubungi Paul. Sejak semalam ia sampai kesulitan untuk tidur menunggu kabar dari Paul tentang operasi Syafa yang berlangsung lebih dari enam jam. Entah pukul berapa semalam ia tertidur hingga ia belum mendapat kabar tentang Syafa. "Operasinya berjalan lancar. Kondisi Syafa stabil. Namun masih dalam perawatan khusus," sahut Paul dari seberang sana. "Syukurlah. Kabari cepat jika ada sesuatu. Jika pekerjaan di Bandung beres, Rein dan Mama akan menyusul ke sana." "Maira, Apa Rein masih berada di Bandung?" "Ya, Paul. Kenapa?" Terdengar hempasan napas Paul dari sebrang sana. "Maaf, Bukannya Aku ikut campur dengan masalah rumah tanggamu. Tapi tidak seharusnya Rein terlalu sering meninggalkan Kamu di Jakarta. Bukankah di Bandung sudah ada orang kepercayaan Mama?" Maira terdiam. Sesungguhnya Ia pun masih merasa trauma dengan kegagalan rumah tangganya bersama Raka d
"Kenapa ada suara wanita yang mengangkat ponsel Rein? Siapa dia? Apakah yang dikatakan Raka itu benar?" Maira bertanya-tanya dalam hati dengan dada bergemuruh. Setelah menghela napas sejenak, ia mencoba menjawab suara wanita iru. "Selamat siang. Saya istrinya Pak Rein. Anda siapa, ya? Kenapa berani sekali menjawab panggilan ponsel suami Saya?" ujar Maira dengan suara dan nada tegas. "Hah? M-maaf, Bu. S-saya ... sekretaris Pak Rein." jawab wanita itu gugup. "Di mana suami Saya?" "Mmm ... Bapak sedang di ... Toilet, Bu." Suara wanita itu terdengar gemetar. Lagi-lagi Maira tersentak. Sebuah pikiran buruk terlintas begitu saja di benaknya. "Di toilet? Sedang dimana mereka?" bathin Maira dengan rasa gundah dan gemuruh di dada. "Tolong beritahu Pak Rein agar segera menghubungi Saya!" pinta Maira sebelum menutup panggilannya. Maira terdiam dengan ponsel masih berada di dalam gengamannya "Mama, Aku harus hubungi Mama." Maira segera menekan kontak ibu mertuanya. "Hallo, Ma. Rein ada
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”Kehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Berita tentang Syafa ada hubungan dengan pejabat bernama Boy Azka yang dihubungkan dengan artis lawas bernama Kirana memang sempat memanas di masyarakat dan media sosial. Namun hal itu perlahan hilang dari media. Tentu saja ini adalah hasil kerja beberapa anak buah Boy Azka. Ternyata dalam hal ini, dengan uang segalanya akan menjadi mudah. Tak ada lagi media yang mengekspos berita tersebut. Sejak kejadin itu Boy Azka mulai hati-hati. Ia tak lagi berani bertemu Syafa di tempat umum, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai gantinya, setiap sebulan sekali Syafa akan menginap di rumah Boy Azka bersama Paul. Hubungan keluarga mereka sudah sangat harmonis. Lintang yang tadinya memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Syafa, justru kini sangat perhatian pada adik tirinya itu. Bahkan kadang membuat Paul cemburu karena Syafa begitu dekat dengan kedua kakak lelakinya. "Kak, hari ini acara syukuran Bapak dan Ibu pulang dari Haji. Kita ke sana, yuk!" Syafa bergelayut manja pada suaminya yang
"Dia tampan sekali seperti Kamu, Mas." Anita memandang takjub pada bayi laki-laki yang menggeliat di dalam box bayi milik rumah sakit itu. "Ya, dia yang akan menggantikan kita nanti di perusahaan. Dia akan menjadi pebisnis handal," lirih Indra tanpa senyum. Perasaan pria itu masih belum tenang karena ibu dari sang bayi tersebut masih belum.sadar. "Semoga ibumu segera bangun, Nak!" parau suara Indra menahan sedih. Dokter bilang Aina kelihangan banyak darah ketika melahirkan tadi. Saat ini istri mudanya itu sedang ditangani oleh dokter ahli. "Sabar, Mas. Kita doakan saja semoga Aina segera sadar." Anita membelai pelan punggung suaminya. Dadanya sesak melihat Indra memandang bayinya dengan tatapan sedih. "Anita, jika terjadi sesuatu pada Aina, apakah Kamu mau merawat anak ini?" "Astaghfirullah, Mas. Ayo optimis, dong, Mas! Aina pasti akan sembuh. Aku pasti akan membantu Aina merawat dan menyayangi bayi ini sepenuh hati." Anita memandang gemas bayi merah yang berwajah tampan itu. M
"Om Indraaa ...! Aduh, sakit, Om ...! Om Indraaa ...!" Aina berteriak sambil memegang perutnya yang sudah semakin besar. Ia terduduk lemas di ranjang kamarnya. Suaranya terdengar hingga keluar karena pintu kamar yang sengaja ia buka sejak tadi. Indra yang sedang berada di ruang kerjanya bersama Anita tergopoh-gopoh menghampiri istri mudanya. Anita pun mengikuti dari belakang dengan panik. "Kenapa Aina? Apa Kamu mau melahirkan?" cecar Indra bingung. Pria paruh baya itu berjalan mondar mandir di depan Aina, entah apa yang harus ia lakukan melihat wajah pucat Aina. Keringat dingin membasahi wajah istrinya itu. "Aduh, Om. Sakit sekalii. Aku nggak tahan ...!"Aina terus merintih. Tubuhnya bergetar hebat menahan sakit. "Maas, cepetan siapin mobil! Kita bawa Aina ke rumah sakit, segera!" teriak Anita yang juga sibuk kesana-kemari di kamar Aina seperti sedang mencari sesuatu "Mbaaak, Mbaaak, ini ART pada kemana, sih?" Anita masih berteriak memanggil para ARTnya. "Ya, Bu. Ada apa?" seora
"Tolong cepat, Pak!" Rein menepuk pelan bahu sang supir yang melajukan mobil ke Bandar Udara International Kuala Lumpur. Supir itu mengangguk. Berkali-kali Rein menoleh pada jam tangannya. Ia tak ingin terlambat ikut penerbangan pagi itu. Semalam, setelah menerima panggilan dari Yuda, Rein merenung. Awalnya ia berpikir Yuda tidak serius. Bagaimana mungkin Maira bisa hamil, sementara ia sudah divonis oleh dokter akan sulit untuk memiliki keturunan? Lalu ia ingat kata-kata Maira yang mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sulit untuk punya keturunan, bukan berarti tidak bisa. Sempat terlintas di benaknya hal negatif tentang Maira. Jangan-jangan itu bukan anaknya? Namun dugaan itu segera ia tepis, karena ia sangat percaya Maira adalah seorang istri yang setia. Pria dengan jambang lebat itu ingin membuktikan sendiri ucapan Yuda semalam. Apa ini hanya akal-akalan sahabatnya saja agar dia kembali ke indonesia? Akhirnya malam itu juga Rein yang belum tidur sejak kemarin,
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b