"Selamat datang, Rein!" Indra menyambut Rein dengan senang hati. Wajahnya berseri-seri. Suatu kehormatan baginya, Rein mau datang ke kantornya. "Duduklah. Sebentar lagi Aku akan perkenalkan Kamu dengan semua manager dan kepala divisi perusahaanku." Indra mempersilakan Rein duduk di sofa dan meraih dua kaleng soft drink dari lemari pendingin yang ada di ruangan itu, lalu diletakkan di meja. "Silakan minum, Rein!" "Terimakasih Pak Indra. Oh ya, Aku tidak menyangka Pak Teguh ada di kantor ini. Apa dia bekerja di sini?" Rein menjatuhkan tubuhnya yang tinggi tegap itu di sofa, lalu meraih satu kaleng soft drink di meja.. Indra terkejut. "Kamu kenal denganTeguh?" tanyanya sambil mengerutkan dahi "Tidak begitu dekat. Namun dia dulu pernah menjalin bisnis dengan Ayahku. Perusahaan Teguh cukup besar, namun Aku dengar kabar, perusahaan itu bangkrut karena proyeknya tertipu." Indra mengangguk-angguk.. Tak lama kemudian Indra menghubungi Anita agar mengumpulkan semua managwr dan kepala d
"Kita akan menikah besok. Kamu siap-siap ya, Sayang!" Indra baru saja tiba di apartemennya dan tidak sabar memberi tahukan berita bahagia itu pada Aina. "A-paaa? Besok? Kok mendadak, Om? Mamiku gimana?" tanya Aina panik. "Malam ini juga belikan tiket untuk Mami kamu. Minta Mami berangkat besok dengan pesawat paling pagi. Kita akan menikah siang, di apartemen ini." Aina tercengang dan masih terkejut dengan ucapan Indra. "Kita menikah di apartemen ini saja, Om?" Wajah Aina nampak kecewa. Indra melihat wajah calon istrinya yang berubah murung dan sedih. Perlahan ia mendekati Aina dan membawa Aina ke dalam dekapannya. "Maafin Aku, Sayang! Bukannya Aku tak mau merayakan pernikahan kita selayaknya sebuah pernikahan pada umumnya. Tapi, selama Anita masih berstatus jadi istriku, Aku khawatir dia akan membuat kekacauan di pernikahan kita nanti." Indra berbisik sambil mendekapkan kepala Aina ke dadanya dengan penuh kasih sayang. "Aku ingin kita segera sah. Aku khawatir jika kita selalu b
"Ainaaa ...!" "Mamiii ...!" Aina yang masih dirias terpekik melihat Maminya yang tina-tiba muncul di pintu kamar. Wajahnya bahagia campur haru. Aina bangkit dan langsung menghambur ke pelukan Maminya. Mereka berpelukan sangat erat. Aina tak sanggup menahan haru hingga air matanya menetes. Namun hatinya nyeri melihat Maminya yang terlihat kurus dan nampak semakin tua. Aina mengurai pelukan dan memandang Maminya dari atas ke bawah. "Mami sakit? Kok Mami kurusan dan kelihatan pucat?" Yulia tersenyum sambil menggeleng. "Nggak Aina, Mami baik-baik aja. Mana suamimu?" Yulia mengedarkan pandangannya.. Indra yang berada di sisi lain ruangan itu tersenyum sambil sedikit membungkuk saat bertemu mata dengan Yulia. Sejak tadi ia memperhatikan suasana haru antara ibu dan anak itu. "Ini Om Indra Mi, yang semalam Aina ceritain." Yulia tercengang melihat Indra. Aina sudah cerita kalau Indra seumuran dengan papinya. Aina juga bilang kalau Indra adalah suami dari wanita yang dekat dengan papin
"Saya minta Kamu ke sini sekarang juga, atau Saya akan pecat Kamu!" Indra bicara lewat ponselnya dengan wajah gusar. Ia sampai tidak menyadari bahwa yang baru saja ia bentak adalah calon mertuanya. Aina mendekati Indra dan mengusap lembut tangan pria itu. "Maaf, Aku sudah bentak papi.Kamu!" Setelah menutup ponselnya, Indra menatap Aina dengan penuh rasa bersalah. "Biar saja. Laki-laki itu memang pantas dibentak. Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab!" Yulia berbicara dengan nada geram. Wanita paruh baya itu ikut emosi. "Ada masalah, Pak Indra?" tanya Rein. Indra menggeleng lemah.. "Katakan saja, Pak! Barangkali Aku bisa bantu," lanjut Rein lagi."Teguh sepertinya tidak punya nyali untuk datang ke sini," desis Indra. "Dia itu memang laki-laki pengecut!" Yulia lagi-lagi meluapkan emosinya. "Kita tunggu saja dulu. Aku yakin dia akan takut dengan ancamanku. Dia pasti takut dipecat," pinta Indra. Indra kembali merengkuh bahu Aina dan membawa calon istrinya itu duduk. Mereka sali
"Aku kangen banget!" ungkap Indra sambil memeluk istri barunya itu. Saat ini mereka sudah berada di dalam kamar. Indra mengecup lembut bibir Aina beberapa detik. Mereka memejamkan mata, merasakan sensasi yang berbeda. Kini mereka telah sah menjadi suami istri. Aina sudah halal bagi Indra. "Kita ganti baju dulu!" ajak Indra yang melihat betapa rumitnya pakaian yang dikenakan oleh Aina. Istri Indra itu terkikik. "Sabar ya, Om!" "Kamu kenapa masih panggil Aku Om? Aku ini suamimu sekarang!" protes Indra yang juga mulai membuka pakaiannya satu persatu. "Tapi aku lebih suka panggil Om. Aku berasa muda gitu," sahut Aina dengan senyum nakalnya. "Curang ya kamu. Aku jadi merasa tua terus." Indra pura-pura cemberut. "Tapi kalau kita punya anak panggilnya mama dan papa, ya!" pinta Indra. "Oke siap, Om!" sahut Aina bersemangat. Walaupun pernah divonis sulit untuk punya anak, entah kenapa Indra begitu yakin akan memiliki anak dari Aina. Dalam hatinya ia terus berdoa agar segera diberi ke
"Kayla!" Sontak Kayla dan Maira menoleh ke arah suara yang sangat mereka kenali. "Kayla Sayang!" Mata Kayla membelalak melihat Raka menghampirinya. Ia menoleh pada Maira. Tidak mungkin Raka tidak melihat Maira yang ada di dekatnya. Apa Raka akan mengakuinya sebagai istri? Maira tersenyum. Ia lega melihat Raka sudah memanggil Kayla dengan kata Sayang. Ia berharap Raka bisa berubah. "Maira, apa kabar?" Raka yang kini sudah berada di depan Maira dan Kayla, menyapa mantan istrinya itu. "Baik," sahut Maira menatap Raka dan Kayla secara bergantian dengan tersenyum. "Kalian mau makan siang? Silakan! Makan yang banyak ya Kay, biar kandunganmu sehat!" bisik Maira lagi. Raka sempat tersentak saat mendengar Maira mengetahui kehamilan Kayla. Raka menggamit jemari Kayla. Lagi-lagi kayla merasa heran. Apalagi di lobby sudah mulai banyak karyawan yang melewati mereka hendak keluar makan siang. "Makasih Maira. Aku ajak istriku dulu makan siang. Ayo, Sayang!" "Silakan. Hati-hati Kay! Jaga
"Kenapa senyum-senyum, Sayang?'" Raka melirik Kayla yang sudah duduk di sebelahnya "Mas Raka nggak malu sama karyawan di sana tadi? Bukankah mereka semua kenal sama Mas?" Raka menghampas napas kasar. Lalu mengusap lembut kepala Kayla. "Maafin Aku! Kemarin-kemarin Aku ini mungkin terlalu egois. Aku tidak memikirkan perasaanmu.Sekarang Aku baru sadar. Cuma kamu yang Aku cintai. Kamu segala-galanya untukku. Jadi, kenapa Aku harus malu mengakui bahwa Kamu adalah istriku?" Wajah Raka nampak penuh penyesalan. Air mata Kayla sontak mengalir di kedua pipinya. Ia sangat terbaru. "Justru Aku bangga punya istri yang luar biasa sabar seperti Kamu, Kayla." bisik Raka yang sempat mencuri ciuman pada pipi istrinya saat berhenti di lampu merah. "Maafin Aku ya, Sayang!" Raka kembali mengusap kepala Kayla yang tertutup hijab. Kayla mengangguk sambil tersenyum. Namun air mata haru itu belum juga berhenti mengalir. "Kamu mau makan apa? Mungkin kamu lagi ngidam sesuatu?" Mendengar pertanyaan Ra
"Kak Paul!" Syafa membawa kursi rodanya mengelilingi rumah mencari suaminya. "Maaf, Non. Tuan Paul baru saja ke club. Tadi Non Syafa masih tidur." "Kenapa dia nggak bangunin Aku Bi?" tanya Syafa sedikit kecewa, ia merasa Paul tidak menghiraukannya. "Tadi Tuan bilang, Ia nggak tega bangunin Non." "Ya sudah nggak apa-apa, Bi. Biar Aku telpon saja nanti.". Syafa kembali memutar kursi rodanya menuju kamarnya. Sampai di kamar, perlahan ia coba untuk berdiri dengan berpegangan pada meja. Syafa senang ia sudah mulai bisa berjalan walau masih harus berpegangan pada sesuatu. Ia minta agar Paul membelikan ia tongkat atau kruk. Namun Paul belum berani melepas Syafa berjalan dengan kruk. Karena menurut dokter ada beberapa syaraf pada tubuh syafa yang belum bisa berfungsi, hingga belum kuat untuk lepas dari kursi roda. Namun diam-diam Syafa terus mencoba berusaha berjalan walau masih berpegangan. Kakinya pun sesekali masih harus diseret. Syafa akhirnya bisa masuk ke kamar mandi dan melaku