"Ada apa dengan Maira? Setahuku dia baik-baik saja," Rein berkata tenang. Ia melihat wajah Raka yang tak suka padanya. Pria itu sudah duduk di ruang tamu menunggu Laura. "Kamu membiarkan Maira bekerja sendiri. Bahkan urusan perusahaanmu pun dia yang tangani. Sedangkan kamu enak-enakan santai di sini!" Raka berkata sambil memandang sinis pada pria bule itu.. "Loh dari mana kamu tahu kalau Maira bekerja sendiri? Kami masing-masing punya asisten." Emosi Rein mulai.terpancing. Raka tertawa meremehkan. "Apapun tentang Maira Aku tahu. Walaupun dia sudah bukan istfiku lagi. Tapi dia tidak pernah lepas dari pantauanku. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitinya." Rein tersenyum miring mendengar ucapan pria klimis mantan suami Maira itu. "Maira dan Aku bekerjasama dalam mengelola perusahaan kami," ungkap Rein tegas. "Halaah, Aku tau kamu itu hanya ingin memanfaatkan Maira, bukan!" Lagi-lagi Raka tersenyum sinis.. "Cukup, Raka! Kamu ke sini mau ketemu Bu Laura, kan? Jadi tolong ja
"Paul, kamu jadi ke Jakarta hari ini untuk menjemput kekasihmu?" Laura baru saja hendak sarapan pagi bersama kedua anak kembarnya. "Iya, jadi, Ma." sahut Paul yang mulai memoleskan selai pada dua potong roti tawar di piringnya.. Rein menoleh pada saudara kembarnya. Wajah Paul tampak sangat yakin." Laura pun terlihat berseri-seri. Sejak semalam ia menolak untuk memakai kursi roda. Semangatnya menjadi berlipat-lipat ketika mendengar Paul akan menikahi wanita cantik dan cerdas, seperti yang paul katakan padanya. "Apa Maira juga akan ke sini, Josh? Kapan kamu akan jemput Maira?" Kali ini Laura menoleh dan menatap penuh tanya pada Rein. "Maira akan ke sini dengan supir kami, Mah. Kalau kami semua ke Jakarta, siapa yang akan temani Mama di sini?" sahut Rein yang memilih sarapan nasi goreng pagi ini. "Kalian itu terlalu berlebihan. Mama sudah sehat. Asisten rumah tangga di sini ada tiga. Kalian tidak perlu khawatir!" protes Laura, walaupun jauh di lubuk hatinya ia sangat merasa bahagi
"Kak Paul ..." Paul menoleh pada arah suara yang sangat ia rindukan. Seorang gadis cantik dengan rambut tergerai indah duduk di atas kursi roda, baru saja keluar dari satu-satunya kamar di rumah itu. Paul bangkit dan menghampiri gadis yang belakangan ini bayangannya selalu mengisi hari-harinya. "Apa kabar, Syaa ...?" Sapa Paul lembut. Pria bule itu berjongkok di depan Syafa hingga kini tinggi mereka sejajar. Paul meraih jemari lentik dan putih milik Syafa, kemudian menciumnya cukup lama dalam mata terpejam. "Aku rindu ...," lirihnya. Syafa tersenyum haru. Ada tetesan embun yang menggantung di kedua pelupuk matanya. Ia pun merasakan hal yang sama. Rindu. Sangat rindu. Rindu dalam kegelisahan yang tak menentu dalam beberapa hari ini. Tidak ada kabar dari Paul sejak ia pulang dari rumah sakit. Ia gelisah karena takut tidak akan melihat pria itu lagi. Namun tiba-tiba pria itu saat ini sudah berada di depannya. Bahagia yang terkira ia rasakan kini. Paul kembali membuka matanya dan
"Maaf, ya. Ke Bandungnya tertunda beberapa jam!" Paul meraih jemari Syafa. "Iya, Kak. Nggak apa-apa. Aku juga sudah lama banget nggak jalan-,jalan ke Jakarta." Paul tersenyum mendengar jawaban Syafa. Ia lega gadis itu tidak protes. Cinta Pria bule itu semakin bertambah pada Syafa, karena sikap lembut dan penurutnya. Paul berjanji dalam hati, bahwa ia akan menjaga gadis itu seutuhnya hingga tiba waktunya nanti. Setelah melalui perjalanan kurang lebih satu jam, mereka tiba di depan nigth club yang masih tutup. Syafa tercengang melihat gedung tiga lantai yang cukup besar milik paul. "Ayo Aku bantu turun, Syaa!" Syafa menggeleng. "Kenapa?"."Aku di sini aja, Kak." Syafa tertunduk. ia malu dengan kondisinya. "Tidak! Kamu harus ikut denganku! Paul membantu membuka sabuk pengaman Syafa hingga Pria tampan berwajah bule itu merasakan hembusan napas Syafa serta detak jantung gadis itu yang terdengar lebih cepat olehnya. Mereka bertatapan sesaat. Ada aura kegelisahan yang nampak di waja
"Lusa Saya akan kembali lagi. Aku harap masalahnya sudah selesai saat Aku kembali!" Syafa buru-buru menghapus air matanya saat mendengar suara Paul mendekat. Gadis itu memastikan agar tak ada sedikitpun sisa air mata di wajahnya. Ia berusaha untuk menahan rasa sesak dan nyeri di dada. Ingin rasanya untuk tidak percaya akan kata-kata wanita yang bernama Aina tadi. Namun hati kecil Syafa justru sulit untuk melupakan kata-kata tajam yang keluar dari mulut Aina tadi. "Syaa, yuk Kita berangkat!" Paul langsung mendorong kursi roda Syafa menuju mobil. Ia menggendong tubuh gadis itu untuk masuk ke mobil. Paul sempat mengusap kepala Syafa dengan penuh kasih sayang sebelum ia beranjak dan menutup pintu mobil. Kemudian Paul melipatkursi roda itu dan memasukkannya kembali ke dalam bagasi. Setelahnya, pria bule itu masuk ke dalam mobi, lalu mulai melajukannya. Dari kejauhan Aina melihat semua itu dengan rasa marah yang meletup-letup. "Apa sih yang diharapkan Paul dari gadis cacat itu? Lihat
"Mama ..., Rein." Laura sontak berdiri. Ia memandang Paul yang mendorong kursi roda Syafa dengan tatapan dingin. "Maaa, kenalkan ini Syafa!" Paul mendekatkan kursi roda Syafa ke hadapan mamanya. Namun Laura malah spontan melangkah mundur. Tatapannya tak berpindah pada Syafa yang terus menunduk. Sedetik kemudian Syafa mengangkat wajahnya dan mengulurkan tangannya sambil tersenyum gugup. "Maa, ini Syafa. Belum lama ini Syafa mengalami kecelakaan." Rein menyentuh bahu Laura, berharap agar mamanya itu mau menerima tangan Syafa yang sudah terulur.. Sementara Paul menahan rasa sesak yang begitu menghimpit dadanya saat ini, melihat sikap dingin mamanya yang jelas terlihat oleh Syafa. Mamanya itu memang sejak dulu tak pernah bisa menyembunyikan sikap dan berpura-pura di depan siapapun. "Kecelakaan?" Laura mengulang kata-kata Rein. Melihat itu Rein hendak bicara menjelaskan kejadian sebenarnya pada Laura, namun Paul memberi kode agar Rein tidak melakukan itu. "Iya, Ma, dan dokter bilan
"'Syafa, ini kamarmu. Kamarku di sebelah. Jika ada apa-apa kamu telpon Aku aja!" Syafa ternganga melihat kamar yang begitu besar. Mungkin ukurannya lima kali lipat dari besar kamarnya. Ada ranjang berukuran kingsize serta barang-barang mewah lainnya. "Kalau mau ke kamar mandi, nanti aku minta salah satu asisten rumah tangga di sini yang membantu," lanjut Paul yang masih menatap gadis itu dengan intens. Ia gemas melihat wajah Syafa yang terkagum-kagum dengan kamar tamu yang ia tempati. "Kamarnya besar sekali Kak. Bagus." Paul tersenyum. Ia bahagia melihat wajah Syafa yang mulai ceria, pria bule itu mendorong kursi roda Syafa ke kamar mandi. Lalu ia membuka pintu kamar mandi itu. "Kamar mandinya aman dan muat jika kamu membawa kursi roda ini ke dalamnya." Syafa kembali tercengang. Karena kamar mandi itu jauh lebih bagus dari pada ruang tamu rumahnya di bogor. Lantai keramik yang kering serta kaca besar membuat kamar mandi itu nampak lebih luas. "Kak, kamar mandi ini bagus bange
"Makan malam sudah siap , Tuan Rein!" Rein yang sedang asik bermain dengan kaisar mendengar ketukan dari luar.. "Iya, sebentar lagi kami ke sana!" teriak Rein dari dalam. Maira baru saja selesai melaksanakan salat Isya, bergantian dengan Rein tadi. Karena Kaisar sedikit rewel. "Kaisar sepertinya mengantuk. Biar Aku panggilkan Nina agar dibuatkan susu." Maira bergegas ke kamar sebelah.. Rein menggendong Kaisar dan mengayun-ayunkan tubuh bocah lucu itu. Matanya mulai terpejam. Tak lama.kemudian Nina datang dan mengambil alih Kaisar dari tangan Rein, lalu membawanya ke kamar sebelah. Maira membuka mukenanya lalu membuka lemari hendak mengambil satu gamis. Tiba-tiba Rein memeluknya dari belakang. Ia tak tahan melihat tubuh seksi Maira dengan pakaian favoritenya. Kaos longgar dan celana pendek. Maira medesah saat kedua tangan kekar Rein mulai menyusup ke dalam kaos tipisnya.. "Aku kangen ini, Sayang!" bisiknya sambil meremas sesuatu yang ada di dalam sana.. "Nanti, ya! Kita kelu
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”Kehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Berita tentang Syafa ada hubungan dengan pejabat bernama Boy Azka yang dihubungkan dengan artis lawas bernama Kirana memang sempat memanas di masyarakat dan media sosial. Namun hal itu perlahan hilang dari media. Tentu saja ini adalah hasil kerja beberapa anak buah Boy Azka. Ternyata dalam hal ini, dengan uang segalanya akan menjadi mudah. Tak ada lagi media yang mengekspos berita tersebut. Sejak kejadin itu Boy Azka mulai hati-hati. Ia tak lagi berani bertemu Syafa di tempat umum, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai gantinya, setiap sebulan sekali Syafa akan menginap di rumah Boy Azka bersama Paul. Hubungan keluarga mereka sudah sangat harmonis. Lintang yang tadinya memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Syafa, justru kini sangat perhatian pada adik tirinya itu. Bahkan kadang membuat Paul cemburu karena Syafa begitu dekat dengan kedua kakak lelakinya. "Kak, hari ini acara syukuran Bapak dan Ibu pulang dari Haji. Kita ke sana, yuk!" Syafa bergelayut manja pada suaminya yang
"Dia tampan sekali seperti Kamu, Mas." Anita memandang takjub pada bayi laki-laki yang menggeliat di dalam box bayi milik rumah sakit itu. "Ya, dia yang akan menggantikan kita nanti di perusahaan. Dia akan menjadi pebisnis handal," lirih Indra tanpa senyum. Perasaan pria itu masih belum tenang karena ibu dari sang bayi tersebut masih belum.sadar. "Semoga ibumu segera bangun, Nak!" parau suara Indra menahan sedih. Dokter bilang Aina kelihangan banyak darah ketika melahirkan tadi. Saat ini istri mudanya itu sedang ditangani oleh dokter ahli. "Sabar, Mas. Kita doakan saja semoga Aina segera sadar." Anita membelai pelan punggung suaminya. Dadanya sesak melihat Indra memandang bayinya dengan tatapan sedih. "Anita, jika terjadi sesuatu pada Aina, apakah Kamu mau merawat anak ini?" "Astaghfirullah, Mas. Ayo optimis, dong, Mas! Aina pasti akan sembuh. Aku pasti akan membantu Aina merawat dan menyayangi bayi ini sepenuh hati." Anita memandang gemas bayi merah yang berwajah tampan itu. M
"Om Indraaa ...! Aduh, sakit, Om ...! Om Indraaa ...!" Aina berteriak sambil memegang perutnya yang sudah semakin besar. Ia terduduk lemas di ranjang kamarnya. Suaranya terdengar hingga keluar karena pintu kamar yang sengaja ia buka sejak tadi. Indra yang sedang berada di ruang kerjanya bersama Anita tergopoh-gopoh menghampiri istri mudanya. Anita pun mengikuti dari belakang dengan panik. "Kenapa Aina? Apa Kamu mau melahirkan?" cecar Indra bingung. Pria paruh baya itu berjalan mondar mandir di depan Aina, entah apa yang harus ia lakukan melihat wajah pucat Aina. Keringat dingin membasahi wajah istrinya itu. "Aduh, Om. Sakit sekalii. Aku nggak tahan ...!"Aina terus merintih. Tubuhnya bergetar hebat menahan sakit. "Maas, cepetan siapin mobil! Kita bawa Aina ke rumah sakit, segera!" teriak Anita yang juga sibuk kesana-kemari di kamar Aina seperti sedang mencari sesuatu "Mbaaak, Mbaaak, ini ART pada kemana, sih?" Anita masih berteriak memanggil para ARTnya. "Ya, Bu. Ada apa?" seora
"Tolong cepat, Pak!" Rein menepuk pelan bahu sang supir yang melajukan mobil ke Bandar Udara International Kuala Lumpur. Supir itu mengangguk. Berkali-kali Rein menoleh pada jam tangannya. Ia tak ingin terlambat ikut penerbangan pagi itu. Semalam, setelah menerima panggilan dari Yuda, Rein merenung. Awalnya ia berpikir Yuda tidak serius. Bagaimana mungkin Maira bisa hamil, sementara ia sudah divonis oleh dokter akan sulit untuk memiliki keturunan? Lalu ia ingat kata-kata Maira yang mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sulit untuk punya keturunan, bukan berarti tidak bisa. Sempat terlintas di benaknya hal negatif tentang Maira. Jangan-jangan itu bukan anaknya? Namun dugaan itu segera ia tepis, karena ia sangat percaya Maira adalah seorang istri yang setia. Pria dengan jambang lebat itu ingin membuktikan sendiri ucapan Yuda semalam. Apa ini hanya akal-akalan sahabatnya saja agar dia kembali ke indonesia? Akhirnya malam itu juga Rein yang belum tidur sejak kemarin,
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b