"Non ..., Non Shinta! Maaf Non, ada Ayah Non dan Tuan Raka datang." "Hah? Apaa?" Shinta yang merasa belum lama tertidur terkejut mendengar salah satu pelayan membangunkannya" Nina masih tertidur di sofa tak jauh darinya. Shinta sengaja minta babysitter itu untuk menemaninya di kamar Kaisar agar tak terjadi fitnah. Pintu kamar pun sejak tadi dibuka lebar-lebar. Sementara Rein masih tertidur dengan posisi semula. Sepertinya pria itu tidak benar-benar tidur. Dia hanya tak mau Kaisar terbangun. "Non, ada Tuan Pratama dan Tuan Raka. Mereka baru aja parkir mobil," ulang pelayan itu. Shinta melihat jam di dinding menunjukkan pukul tiga pagi. "Untuk apa mereka datang malam-malam begini?" pikir Shinta gusar. Ia melirik sekali lagi pada Rein. Dia semakin cemas akan ada keributan di rumah ini. Shinta membangunkan Nina, lalu beranjak menuju kamarnya melewati pintu yang terhubung dengan kamar Kaisar. Shinta membasuh wajahnya sesaat sebelum keluar dari kamarnya. Sementara di luar, Pratama d
"Pulanglah, Rein. Kamu pasti lelah!" Rein tersenyum. Sebenarnya Shinta sama sekali tidak melihat wajah Rein yang kelelahan. Itu hanya asumsinya saja. Karena semalaman Rein menjaga Kaisar. "Aku tidak lelah. Aku masuh sanggup menjaga Kaisar dua malam lagi," ujarnya datar. Pria tampan itu membuka switernya karena sudah pagi. Tampak jelas tubuh atletisnya di balik kaos polosnya yang berukuran pas body. Shinta tanpa sadar melebarkan matanya dan ternganga melihat pemandangan indah di depannya. Seketika tenggorokannya tercekat. Susah payah ia menelan salivanya sendiri. Shinta tersadar, ia spontan langsung memalingkan wajahnya yang bersemu merah. Rein yang menyadari hal itu mengulum senyumnya. Ia gemas melihat Shinta malu-malu melihat dirinya saat ini. "Sayang, kamu kenapa?" bisik Rein. Pria dengan bentuk tubuh yang nyaris sempurna itu sengaja melangkah lebih mendekat. Ia tau Shinta sedang berusaha menghindarinya. "Nggak apa-apa. Kamu kalau mau pulang, pulang aja!" Shinta pura-pura mem
"Maira ... betapa aku merindukanmu, Sayang." Napas Raka mulai memburu. Bagai seekor singa sedang kelaparan, Raka memandang Shinta penuh nafsu. Sorot matanya begitu tajam dan bersemangat. Berkali-kali pria itu susah payah menelan salivanya. Ia akui, mantan istrinya itu jauh lebih cantik dan seksi dari pada Aina dan Kayla. Shinta jauh lebih terawat dan fresh walau sudah pernah melahirkan. Kulitnya tampak sangat bersih dan bercahaya. Perlahan Raka berbaring miring di sebelah Shinta. Satu tangannya menopang tubuhnya. Ia mengecup pipi Shinta yang masih sangat pulas. Tangan Raka mulai membelai wajah cantik alami yang selalu ia rindukan setiap malam. Raka sudah tak tahan lagi. Ia tak bisa menahan diri untuk melumat bibir tipis menggoda di hadapannya. "Mmmh ..." Shinta menggeliat merasakan sesuatu yang mengganggu tidurnya. Raka tak peduli. Pria itu terus melumat bibir Shinta dengan lembut. Sementara tangannya mulai bermain di sekitar leher dan dada mantan istrinya Itu. Shinta mulai mer
"Mau makan sekarang, Tuan?" "Ya, Mbok. Siapin aja. Saya mau mandi dulu." Rein baru saja sampai di rumahnya. Tubuhnya sangat lelah Pria itu langsung masuk ke kamarnya. Merebahkan diri sejenak dengan melipat kedua tangannya di bawah kepala. Berbaring menatap langit-langit kamar yang berwarna putih bersih Sebenarnya ia ingin sekali menjebloskan Raka ke dalam penjara. Namun tadi Shinta melarangnya. Banyak hal yang wanita itu pikirkan demi menjaga nama baik keluarga dan perusahaannya. Shinta hanya ingin tau reaksi Ayahnya jika mengetahui satu lagi perbuatan bejad Raka. Tiba-tiba Rein senyum-senyum membayangkan sesuatu yang terus terlintas di kepalanya sejak tadi. Ia mengulang kembali kejadian yang terjadi di kamar Shinta pagi tadi. Entah kenapa ada yang tak bisa lepas dari ingatannya. Sesaat tadi ia sempat melihat tubuh Shinta setengah terbuka. Walau sesaat namun itu terekam sempurna di kepalanya. Bahkan ia bisa sedikit melupakan apa yang dilakukan Raka pada calon istrinya itu. Ia m
"Rein sialan! Untuk apa dia balik lagi ke rumah itu? Dari mana dia tau kalau aku datang kembali ke sana? Apa jangan-jangan ada salah satu orang di rumah itu yang mengkhianatiku?" Raka terus mengumpat sambil mengobati luka-luka di wajahnya. Pagi tadi ia diantar pulang oleh salah satu security ke apartemennya. Ia menolak di bawa ke rumah sakit. Akan panjang urusannya jika ada yang mengenalinya dalam keadaan babak belur seperti itu. Ia hanya meminta Mang Ujang mampir ke apotik untuk membeli kassa, perban dan obat luka. "Sial! Hasratku pada Maira hampir saja terpenuhi. Aku yakin, jika saja bule sialan itu tidak datang, sedikit lagi Maira pasti akan menikmati permainanku. Aawww ...!!" Raka mengerang kesakitan. Sepertinya tangannya juga memar. Hingga ia kesulitan mengobati lukanya sendiri. "Harus ada seseorang yang membantuku mengobati luka-luka ini," gumamnya. Raka merogoh saku celananya untuk meraih ponselnya, lalu mencoba menghubungi seseorang. "Kayla, apa kamu bisa datang ke ap
"Ternyata Pria ini lebih kaya dari pada Raka. Selama ini Aku nggak pernah tau," gumam Aina. Sejak hari itu Aina dan Maminya-Yulia tinggal di rumah mewah milik Paul. Sudah lebih dari seminggu mereka di sana. Dua wanita yang merupakan ibu dan anak itu menikmati hidup mewah tanpa harus bekerja di rumah tiga lantai itu. Selama itu pula Paul masih belum kembali ke Jakarta. "Andai saja papi kamu kemarin buru-buru mengambil alih salah satu hotel Raka, kita pasti tidak sebingung ini, Aina. Si tua bangka itu malah kepincut dengan janda kaya." Yulia tak henti-hentinya meratapi nasibnya. Sejak awal dua ibu dan anak itu tak punya keahlian apapun. Mereka sudah terbiasa tinggal minta apa yang mereka inginkan. Hingga sekarang mereka bingung karena tak punya tempat hidup untuk bergantung. "Aina, kenapa kamu nggak nikah aja sama Paul. Kelihatannya dia sangat kaya. Kita bisa tinggal di sini sesuka kita. Rumah segini besarnya cuma dihuni para pelayan aja." Aina yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya
"M-maaf, Bu. T-tapi.ini masih jam tujuh pagi." Aina membalas dengan gugup. Wanita itu melotot dan bicara dengan nada tinggi. "Apa? Jam segini kamu bilang masih pagi? Perempuan macam apa kalian. Ayo bangun! Tinggal di sini nggak gratis! Kalian harus kerja!" "Hah? Apa? Kerja?" protes Aina tentunya dalam hati. "Aina, siapa sih pagi-pagi begini sudah berisik. Ganggu orang tidur aja!" Yulia yang merasa sangat terganggu sontak bangkit dan melangkah ke pintu dengan wajah kesal. "Mami ... !" Panggil Aina berbisik sambil menggelengkan kepalanya pada sang Mami.. "Ibu dan anak sama saja..Pantas aja kalian jatuh miskin. Dasar pemalas!" Yulia terkejut melihat wanita cantik dengan tubuh tinggi semampai, dengan usia mungkin tak beda jauh darinya. Hanya saja kulit wanita itu sangat terawat. "Hei, kamu ini siapa, sih? Marah-marah nggak jelas!" Yulia maju dan berdiri tepat di depan wanita itu. "Mau tau siapa Aku? Aku adalah pemilik rumah ini! Paham kalian?" Yulia ternganga mendengarnya. "L
"Hallo, Paul! Kamu kapan pulang ke Bandung?" "Mama sudah sampai rumah? Sudah bertemu Aina?" tanya Paul antusias saat menerima panggilan dari Mamanya. "Sudah," sahut Laura singkat. "Trus gimana, Ma? Aina nggak Mama apa-apain, kan?" tanya pria bule itu sedikit curiga. Ia tau seperti apa Mamanya itu. Tawa renyah terdengar dari seberang sana. Namun itu justru membuat Paul semakin curiga. "Maaa, jangan bilang kalau Mama udah ngerjain Aina dan Maminya." Paul terus mencecar dengan pertanyaan-pertanyaan. Sementara Maminya hanya tertawa saja mendengarnya. "Sudah kamu nggak usah khawatir. Mereka baik-baik aja. Mama cuma kasih tau sedikit aturan di rumah ini. Agar mereka terbiasa jika nanti tinggal di sini," sahut Laura tenang.. "Oh gitu. Terimakasih Mama udah bisa menerima Aina dan Maminya tinggal di sana. Kerjaanku banyak banget di sini." Paul menjawab lega. Terdengar hembusan napas panjang Laura dari ponsel. "Andai dari dulu kamu mau melanjutkan bisnis papamu di Amerika, kamu tidak