"Aku akan menemanimu hari ini," ujar Shinta tanpa menoleh. Ia masih belum sanggup membalas tatapan Rein yang mendebarkan. Rein yang sudah lepas infus, sengaja menutup sebagian tirai di dekat ranjangnya. "Tapi aku mau kamu menemaniku selamanya," lirih Rein membuat Shinta semakin salah tingkah. "Mungkin kita harus lebih bersabar, Rein!!" Rein menghela napas panjang. "Baiklah. Minggu depan. Tidak bisa ditawar lagi. Minggu depan aku akan melamarmu pada Bapak Pratama." Shinta berpikir sejenak. Ia pun tak ingin menunda-nunda. Ia sudah sangat yakin dengan keputusannya. "Rein, bagaimana jika Ayah tidak merestui?" lirih Shinta lemah. Ada rasa khawatir yang begitu besar tersirat dari ucapannya. "Kita terus berjuang. Aku minta kamu jangan pernah menyerah. Kita sudah berjanji akan berjuang bersama-sama." Rein meraih jemari Shinta dan mengenggamnya erat. Pria tampan berhidung mancung itu mengecup jemari lentik Shinta cukup lama. Napas Shinta seakan berhenti saat merasakan sentuhan bibir
"Shinta ... kamu cantik. Sejak dulu kamu memang cantik." Rein terus membelai lembut kepala Shinta yang tertutup hijab. Jarak wajah mereka hanya beberapa senti saja. Shinta merasakan hangatnya hembusan napas Rein pada wajahnya. Debaran pada dadanya semakin berdetak. Rein semakin mendekat. "Kamu mau apa?" Shinta ingin sekali bangkit untuk menghindari pria di hadapannya. Namun tubuhnya seakan tak sanggup untuk berdiri. Rein tersenyum dan menggeleng. "Aku hanya ingin memandang wajahmu. Setiap malam wajah ini menemaniku sebelum tidur. Bertahun-tahun lamanya. Kamu mungkin tidak tau seperti apa rasanya mencintai seseorang yang sangat sulit untuk diraih. Mungkin sebentar lagi aku akan benar-benar gila jika tak segera menikahimu." Rein masih terus membelai kepala Shinta dengan lembut. Ya, hanya sebatas itu. Tak lebih. Shinta tak menyangka begitu dalamnya cinta Rein padanya. Mungkin cintanya tak sebesar itu pada Rein. Entahlah. Shinta memberanikan diri meraih tangan Rein yang masih memb
"Dasar bodoh, kenapa kamu balik ke sini lagi? Aku sudah menyuruhmu menginap di sana! Malam ini kita harus bisa menjebak bule sialan itu!" Alif menatap geram penuh emosi pada Ayu. Perempuan itu gemetar setelah dibentak kasar oleh pria gondrong yang membayarnya beberapa waktu lalu. "Ingat! Kamu sudah menerima uang dariku! Bagaimana kalau rencana kita gagal? Bisa habis kita!" Alif meremas rambutnya frustasi. Raka sudah memberinya uang cukup banyak. Namun sampai saat ini ia belum juga berhasil menghabisi Rein. Ternyata tak semudah yang ia bayangkan. Dia pikir dengan pengalamannya selama dipenjara akan mudah menyingkirkan Rein. "Bu-bukan begitu, Tuan. S-saya diminta pulang oleh Tuan Rein.Tapi saya sudah memasukkan obat perangsang itu ke dalam minumannya. Saya akan kembali lagi malam ini. S-saya akan pura-pura nggak bisa pulang." Alif menyeringai. Diam-diam dia memuji ide gadis itu. "Baiklah. Ayo saya antar sekarang juga ke sana. Pastikan si bule bodoh itu sudah meminum obat perangsang
"Ya Tuhan. Apa yang sudah kamu lalukan pada Ayu, Rein? K-kamu--" "Non Shinta ..., tolong lepasin Saya. Tuan Rein hampir saja memperkosa saya. Huhuhu ...!" Ayu menangis meraung-raung. Dia terus berteriak seolah- olah dialah korbannya. Rein geleng-geleng kepala mendengar ucapan Ayu yang dia anggap bodoh. Wajah Shinta semakin terkejut. Namun beberapa saat dia berpikir. Jika Rein yang ingin memperkosanya, kenapa Rein justru membawanya keluar dalam keadaan seperti itu? Shinta mencoba untuk tenang dan meredam emosinya. Ia harus berpikir jernih saat ini. Perlahan wanita cantik itu melangkah mendekati Ayu. Ia sungguh risih dengan pakaian Ayu yang terbuka. "Kancing bajumu!" ujar Shinta datar. "T-tangan Saya diikat oleh Tuan Rein, Non," lirih Ayu. Ia menunduk. Shinta semakin yakin dengan pendapat yang ada di pikirannya. Dengan cepat ia memasang kembali kancing kemeja Ayu yang terbuka. Rein terus menatap wajah kekasihnya dengan cemas. Ia masih belum tau apa yang ada dalam pikiran Shinta.
"Aku dimana? Raka ..., Raka ..." Aina membuka matanya perlahan. Awalnya semua terlihat samar. Sesaat kemudian dia tersadar bahwa sedang berada di rumah sakit. "Aina, kamu sudah sadar?" Aina menoleh pada pria bule yang menghampirinya. Pria itu tampak kusut sekali masih dengan pakaian terakhir kali Aina melihatnya. Kenapa Paul yang ada disampingnya? Kenapa bukan Raka?, pikirnya. "Paul, dimana suamiku?" Paul terdiam menahan sesak mendengar pertanyaan Aina. Apa yang harus dia katakan? "Istirahatlah, Aina. Kamu baru saja sadar setelah menjalankan operasi sore tadi. Kondisimu masih lemah." Pria mancung dengan rambut kecoklatan itu berusaha untuk mengalihkan pembicaraan."Apa? Operasi?" Seketika Aina panik dan meraba perutnya yang memang belum.membesar. "Paul, operasi apa? Aku kenapa?" cecar Aina dengan wajah sangat panik. "Sial! Kenapa jadi aku yang harus menjelaskan ini semua pada Aina? Kemana laki-laki keparat itu?" umpat Paul dalam hati. "Paul, kenapa diam?"lirih Aina dengan suar
"Kurang ajar! Kalian sudah tidak bisa mengelak lagi. Tertangkap basah kalian sekarang!" Aina buru-buru melepaskan diri dari pagutan Paul. Wanita itu sontak duduk dan menggeser tubuhnya sedikit menjauh dari Paul. "Hebat permainan kalian!" Raka menatap keduanya dengan mata berkilat-kilat. Langkah kakinya semakin mendekat. Paul melihat ketakutan dari wajah Aina. Ia menatap wanita itu tak tega. "Raka ..." lirih Aina putus asa. Dia merutuki dirinya yang sudah dua kali tertangkap.basah oleh suaminya sendiri. Tak bisa ia pungkiri. Ia sangat menikmati ciuman tadi. Namun ia hanya menganggap itu adalah bentuk perhatian yang diberikan oleh Paul padanya. Dan saat ini ia sangat membutuhkan itu. "Kenapa? Kamu mencintainya? Atau kamu memang mengumbar cintamu ke semua pria?" Sorot mata Raka begitu tajam hingga menembus iris mata hitam milik Aina. Wajah Aina yang masih pucat semakin memutih. "Dasar perempuan murahan!" "Cukup, Raka! Jangan menghina Aina. Dia istrimu!" Paul geram dengan sikap kasa
"Maira .... kamu milikku. Tidak akan ada yang bisa memilikimu selain Aku," desis Raka. Matanya masih tertuju pada Shinta yang berada di dalam sana. Raka tau persis laki-laki pemilik suara di ponsel itu. Hatinya begitu sakit. Ia tak bisa melihat Shinta berduaan dengan pria lain. Walaupun hanya lewat ponsel. Mantan istrinya itu tersenyum bahagia, duduk bersandar pada kursi kebesarannya. Shinta sampai tak menyadari kehadirannya di pintu. Raka memutuskan untuk melangkah lebih mendekat setelah membuang buket bunga yang sudah remuk di tong sampah. "Maira ...!" Shinta mendongakkan kepalanya. Ia terkejut, Raka sudah berada di dalam ruang kerjanya. "Rein. Maaf, ada yang datang. Nanti aku akan menghubungimu lagi." "Oke. love you!" Shinta tersenyum malu-malu menatap layar ponselnya. Mereka nyaris seperti remaja yang sedang jatuh cinta. Semua itu tak luput dari perhatian Raka. Hatinya semakin panas seakan ada bara api yang bersemayam di sana. Dadanya terasa begitu nyeri. Matanya memejam s
"Hari ini aku akan bawa Kaisar ke rumah Ayah. Tolong siapkan beberapa pakaiannya. Kemungkinan Kita menginap," ujar Shinta pada salah satu baby sitter Kaisar. Shinta sudah tampil segar dengan pakaian casualnya. Sabtu ini dia tak ada meeting atau pekerjaan apapun di luar. Dia memutuskan untuk berkunjung ke rumah Pratama. Sang Ayah pun sudah sangat rindu dangan cucunya. Shinta tersenyum saat membaca pesan dari Hafiz. Dia pun akan membawa Hikmah untuk menginap. Kakak tirinya itu berjanji akan mendampinginya untuk bicara pada Ayah mereka tentang lamaran Rein. Shinta harus bicara lebih dulu pada Ayahnya sebelum Rein datang melamar secara resmi. Ponsel di meja rias bergetar. Shinta yang sedang memakai hijabnya berhenti. Ternyata panggilan video dari Rein. Ia buru-buru merapikan hijabnya sebelum menerima panggilan itu. "Hallo." "Hai, Cantik banget. Mau kemana?" Wajah tampan itu memenuhi permukaan layar ponsel Shinta. "Aku dan Kaisar mau ke rumah Ayah." "Apa? Ke rumah Ayah? Tunggu di sa
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”Kehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Berita tentang Syafa ada hubungan dengan pejabat bernama Boy Azka yang dihubungkan dengan artis lawas bernama Kirana memang sempat memanas di masyarakat dan media sosial. Namun hal itu perlahan hilang dari media. Tentu saja ini adalah hasil kerja beberapa anak buah Boy Azka. Ternyata dalam hal ini, dengan uang segalanya akan menjadi mudah. Tak ada lagi media yang mengekspos berita tersebut. Sejak kejadin itu Boy Azka mulai hati-hati. Ia tak lagi berani bertemu Syafa di tempat umum, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai gantinya, setiap sebulan sekali Syafa akan menginap di rumah Boy Azka bersama Paul. Hubungan keluarga mereka sudah sangat harmonis. Lintang yang tadinya memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Syafa, justru kini sangat perhatian pada adik tirinya itu. Bahkan kadang membuat Paul cemburu karena Syafa begitu dekat dengan kedua kakak lelakinya. "Kak, hari ini acara syukuran Bapak dan Ibu pulang dari Haji. Kita ke sana, yuk!" Syafa bergelayut manja pada suaminya yang
"Dia tampan sekali seperti Kamu, Mas." Anita memandang takjub pada bayi laki-laki yang menggeliat di dalam box bayi milik rumah sakit itu. "Ya, dia yang akan menggantikan kita nanti di perusahaan. Dia akan menjadi pebisnis handal," lirih Indra tanpa senyum. Perasaan pria itu masih belum tenang karena ibu dari sang bayi tersebut masih belum.sadar. "Semoga ibumu segera bangun, Nak!" parau suara Indra menahan sedih. Dokter bilang Aina kelihangan banyak darah ketika melahirkan tadi. Saat ini istri mudanya itu sedang ditangani oleh dokter ahli. "Sabar, Mas. Kita doakan saja semoga Aina segera sadar." Anita membelai pelan punggung suaminya. Dadanya sesak melihat Indra memandang bayinya dengan tatapan sedih. "Anita, jika terjadi sesuatu pada Aina, apakah Kamu mau merawat anak ini?" "Astaghfirullah, Mas. Ayo optimis, dong, Mas! Aina pasti akan sembuh. Aku pasti akan membantu Aina merawat dan menyayangi bayi ini sepenuh hati." Anita memandang gemas bayi merah yang berwajah tampan itu. M
"Om Indraaa ...! Aduh, sakit, Om ...! Om Indraaa ...!" Aina berteriak sambil memegang perutnya yang sudah semakin besar. Ia terduduk lemas di ranjang kamarnya. Suaranya terdengar hingga keluar karena pintu kamar yang sengaja ia buka sejak tadi. Indra yang sedang berada di ruang kerjanya bersama Anita tergopoh-gopoh menghampiri istri mudanya. Anita pun mengikuti dari belakang dengan panik. "Kenapa Aina? Apa Kamu mau melahirkan?" cecar Indra bingung. Pria paruh baya itu berjalan mondar mandir di depan Aina, entah apa yang harus ia lakukan melihat wajah pucat Aina. Keringat dingin membasahi wajah istrinya itu. "Aduh, Om. Sakit sekalii. Aku nggak tahan ...!"Aina terus merintih. Tubuhnya bergetar hebat menahan sakit. "Maas, cepetan siapin mobil! Kita bawa Aina ke rumah sakit, segera!" teriak Anita yang juga sibuk kesana-kemari di kamar Aina seperti sedang mencari sesuatu "Mbaaak, Mbaaak, ini ART pada kemana, sih?" Anita masih berteriak memanggil para ARTnya. "Ya, Bu. Ada apa?" seora
"Tolong cepat, Pak!" Rein menepuk pelan bahu sang supir yang melajukan mobil ke Bandar Udara International Kuala Lumpur. Supir itu mengangguk. Berkali-kali Rein menoleh pada jam tangannya. Ia tak ingin terlambat ikut penerbangan pagi itu. Semalam, setelah menerima panggilan dari Yuda, Rein merenung. Awalnya ia berpikir Yuda tidak serius. Bagaimana mungkin Maira bisa hamil, sementara ia sudah divonis oleh dokter akan sulit untuk memiliki keturunan? Lalu ia ingat kata-kata Maira yang mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sulit untuk punya keturunan, bukan berarti tidak bisa. Sempat terlintas di benaknya hal negatif tentang Maira. Jangan-jangan itu bukan anaknya? Namun dugaan itu segera ia tepis, karena ia sangat percaya Maira adalah seorang istri yang setia. Pria dengan jambang lebat itu ingin membuktikan sendiri ucapan Yuda semalam. Apa ini hanya akal-akalan sahabatnya saja agar dia kembali ke indonesia? Akhirnya malam itu juga Rein yang belum tidur sejak kemarin,
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b