Sebagai permintaan maaf atas kesalahan upload sebelumnya, Author mau kasih gratis khusus Bab 178. Yuk komentar di bab ini. Bukan cuma Rein yang rindu sama Shinta, Author juga rindu komentar kakak pembaca semua. Love you ...
"Hari ini aku akan bawa Kaisar ke rumah Ayah. Tolong siapkan beberapa pakaiannya. Kemungkinan Kita menginap," ujar Shinta pada salah satu baby sitter Kaisar. Shinta sudah tampil segar dengan pakaian casualnya. Sabtu ini dia tak ada meeting atau pekerjaan apapun di luar. Dia memutuskan untuk berkunjung ke rumah Pratama. Sang Ayah pun sudah sangat rindu dangan cucunya. Shinta tersenyum saat membaca pesan dari Hafiz. Dia pun akan membawa Hikmah untuk menginap. Kakak tirinya itu berjanji akan mendampinginya untuk bicara pada Ayah mereka tentang lamaran Rein. Shinta harus bicara lebih dulu pada Ayahnya sebelum Rein datang melamar secara resmi. Ponsel di meja rias bergetar. Shinta yang sedang memakai hijabnya berhenti. Ternyata panggilan video dari Rein. Ia buru-buru merapikan hijabnya sebelum menerima panggilan itu. "Hallo." "Hai, Cantik banget. Mau kemana?" Wajah tampan itu memenuhi permukaan layar ponsel Shinta. "Aku dan Kaisar mau ke rumah Ayah." "Apa? Ke rumah Ayah? Tunggu di sa
"Aku harus bilang apa pada Ayah jika datang bersama Rein? Bisa-bisa Ayah marah dan malah akan sulit nantinya untuk meminta restu." Shinta terus berpikir. Beberapa kali mencoba menghubungi Rein, namun tak diangkat. sepertinya pria itu sudah dalam perjalanan menuju rumahnya. Sambil menunggu kedatangan Rein, wanita cantik memakai kemeja lengan panjang dan celana jeans itu melangkah menuju kamar Kaisar, hendak memeriksa perlengkapan putranya itu. "Sudah siap semua?" tanyanya setelah mengingat satu persatu apa saja barang yang dibutuhkan Kaisar. Mulai dari susu, pakaian ganti dan beberapa mainan. "Sudah, Non." ujar Nina, baby sitter yang akan ikut Shinta ke rumah Pratama. Oke. Saya ke depan dulu..Kaisar di ajak main saja. Saya mau ada tamu sebentar. "Baik, Non." Shinta membawa langkahnya menuju teras. Jika hari sabtu, perjalanan dari rumah Rein menuju rumahnya hanya memakan waktu lima belas menit. Apalagi jika masih pagi jalanan belum macet. Sebuah mobil CRV hitam masuk melewati ger
"Kenapa dia ada di sini?" lirih Shinta dengan wajah berubah murung. Perasaannya tidak enak. Sesaat ia menoleh pada Rein. Menatapnya dengan rasa tak menentu. Pria itu pasti tidak akan nyaman bicara dengan Ayah nanti. "Ada Raka." Rein membelokkan mobilnya ke tepi memarkirnya di sana. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Shinta. Wajahnya mendadak lesu. "Memangnya kenapa?" Rein terlihat baik-baik saja. "Maksud Aku--" "Jangan pikirkan Aku. Justru Aku takut kamu akan jadi bimbang." Rein mematikan mesin mobil. Lalu turun, kemudian memutar bagiam mobil untuk membukakan pintu untuk Shinta. Rein meraih Kaisar dari pangkuan Shinta. "Deddii ... deddii ..." Rein mencium gemas pipi tembam Kaisar ketika anak itu mulai bisa memanggilnya. "Jagoan Daddy cepat pintar." Shinta terkekeh, suasana yang tadi sempat tegang kembali mencair. Nina mengeluarkan tas dan stroller dari bagasi. Lalu mereka mulai melangkah menuju pintu rumah yang terbuka. Terdengar dari dalam suara Pratama sedang berbincang dengan Rak
"Maira, ikut Ayah!" Wajah Shinta memucat. Wajah Ayahnya sedang tidak baik-baik saja. Kepalanya menerka-nerka kira-kira apa yang akan dikatakan ayahnya. Pratama melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya diikuti Shinta. "Duduk!" Shinta mengikuti perintah ayahnya. "Benar kamu saling mencintai dengan anak si Robert itu?" tanya Pratama dengan suara meninggi. Pria paruh baya itu nampak gusar. Shinta terdiam sejenak. Kemudian memutuskan untuk menjawab pertanyaan ayahnya dengan sebuah anggukan. BRAAK!! Sontak Shinta terkejut dan berdiri saat Ayahnya memukul meja dengan sangat keras. Shinta gemetar. Ayahnya selama ini tidak pernah semarah ini. "Ada Apa ini?" Hafiz tiba-tiba muncul di depan pintu ruang kerja Pratama.. "Aku tidak sudi kamu bersatu dengan anak si Robert itu. Dia ... Robert ... yang menyebabkan Bundamu pergi dari dunia ini. Laki-laki di depan itu adalah anak dari pembunuh Bundamu, Maira!" Suara Pratama serak dan bergetar. Dadanya naik turun menahan emosi... Shinta terng
"Sayang, jangan jauh-jauh dari Aku." Rein meraih lengan Shinta agar berjalan di sampingnya. Shinta tersenyum malu. Wajahnya memerah. Rein kini lebih sering memanggilnya dengan kata sayang. Sepanjang berjalan di mall Shinta merasa risih. Hampir setiap wanita yang berpapasan dengan mereka memandang Rein tak berkedip. Rein memang terlihat mencolok diantara para pengunjung mall. Tubuhnya yang tinggi di atas rata-rata terlihat menjulang tinggi di keramaian. Wajahnya berperawakan bule dengan rahang yang begitu kokoh, mata tegas di bawah alis tebal yang berbaris rapi. Hidungnya mancung tegak berdiri di atas bibirnya yang tipis. Tubuh yang tegap membuat ketampanannya semakin paripurna. Beberapa karyawan Shinta bilang, Rein itu mirip artis-artis Hollywood. Setiap wanita yang memandangnya akan merasa berdebar. Tiba-tiba langkah mereka terhenti di dekat sebuah coffe shop, dimana banyak remaja yang nongkrong di sana. "Wah, lucu banget anaknya ..." "Adduh gemesnyaa ...." "Adeeek, lucu bange
"Rein? Kamu ... kok ada di sini?" Shinta menatap Rein bingung. Kaisar masih tertidur pulas digendongannya. Bocah itu sangat nyaman menyandarkan kepalanya pada pahu Rein. "Kamu belum.jawab pertanyaanku." Tatapan Rein masih belum berubah. Sorot matanya tajam menyelidik pada Shinta. Wajahnya tegang. "Pertanyaan apa? Oh, itu. Pria tadi ..." "Jawab aja, Sayang. Jangan bertele-tele!" pungkas Rein tak sabar "Ck, siapa yang bertele-tele? Ini Aku mau jawab, kok." Shinta cemberut. Ia kesal dengan sikap Rein seakan mencurigainya. Melihat wajah Shinta berubah, Rein tersadar kalau dia terbawa emosi, dan melihat Shinta tersenyum dengan seorang pria tampan sudah membuatnya cemburu. "Maaf ...!" Pria berjambang cukup lebat itu membuang pandangannya. Ada rasa menyesal dihatinya. "Namanya Paul. Sepertinya teman dekat Aina." "Tadi Nina bilang ada wanita yang menyerangmu. Apa itu Aina?" Shinta menghempas napas kasar. Ternyata Nina yang membuat Rein menghampirinya. "Iyaa. Enggak perlu khawatir
"Nuri, bikinkan Aku kopi!" Pratama sedang berada di dalam ruang kerjanya. Sudah sejak lama Ayah kandung Shinta itu mengelola sebuah perusahaan kecil di bidang pembuatan dan pendustribusian tas ke kota-kota besar di indonesia. Perusahaan itu berdiri dibantu oleh Raka, dan hingga saat ini Raka masih sering mendampingi Pratama jika mengalami beberapa kendala."Nuri, kamu kenapa? Sakit? Sejak kemarin kamu banyak diam." Pratama bangkit dan menghampiri istrinya yang melangkah ke dapur untuk membuat kopi. "Aku nggak apa-apa." Nuri menjawab pelan namun penuh penekanan. Wajahnya sama sekali tak menoleh pada Pratama. Pria tinggi dengan tubuh berisi itu mengingat-ingat kesalahan apa yang telah dia lakukan. Nuri bukan wanita yang memiliki emosi yang meledak-ledak atau mudah mengungkapkan kemarahannya. Namun, wanita itu akan banyak diam jika ada sesuatu yang membuatnya kecewa, dan sikap diamnya itu sangat membuat pratama tersiksa. "Katakan apa kesalahanku." bisik Pratama, Pria gagah yang me
"Menikahlah denganku!" Paul mengenggam tangan Aina yang berada di atas meja di dalam club. Malam itu mereka sedang menikmati suasana club yang belum terlalu ramai karena masih sore. Sejak pertemuannya dengan Shinta beberapa hari yang lalu, Aina sering uring-uringan. Ia kesal Paul membela wanita itu dihadapannya. Sejak diceraikan oleh Raka, entah yang keberapa kalinya pria tampan berwajah bule itu melamar Aina. Pria itu tak kenal menyerah. Ia akan berjuang terus demi mendapatkan cintanya. Aina menghella napas panjang. Ia membiarkan tangannya digenggam erat bahkan diremas oleh Paul dengan hangat. Sesekali jemarinya menyelipkan anak rambut Aina ke balik telinga. Wanita itu selalu tampak cantik di matanya. "Kenapa kamu tidak pernah menyerah? Padahal Aku sudah berkali-kali menolakmu." Netra wanita cantik itu menatap bosan pada Paul. Ia sendiri sudah jenuh mendengar ungkapan cinta bahkan ajakan menikah dari pria berambut coklat itu. "Aku tidak akan pernah menyerah sampai kapanpun," ba
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”Kehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Berita tentang Syafa ada hubungan dengan pejabat bernama Boy Azka yang dihubungkan dengan artis lawas bernama Kirana memang sempat memanas di masyarakat dan media sosial. Namun hal itu perlahan hilang dari media. Tentu saja ini adalah hasil kerja beberapa anak buah Boy Azka. Ternyata dalam hal ini, dengan uang segalanya akan menjadi mudah. Tak ada lagi media yang mengekspos berita tersebut. Sejak kejadin itu Boy Azka mulai hati-hati. Ia tak lagi berani bertemu Syafa di tempat umum, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai gantinya, setiap sebulan sekali Syafa akan menginap di rumah Boy Azka bersama Paul. Hubungan keluarga mereka sudah sangat harmonis. Lintang yang tadinya memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Syafa, justru kini sangat perhatian pada adik tirinya itu. Bahkan kadang membuat Paul cemburu karena Syafa begitu dekat dengan kedua kakak lelakinya. "Kak, hari ini acara syukuran Bapak dan Ibu pulang dari Haji. Kita ke sana, yuk!" Syafa bergelayut manja pada suaminya yang
"Dia tampan sekali seperti Kamu, Mas." Anita memandang takjub pada bayi laki-laki yang menggeliat di dalam box bayi milik rumah sakit itu. "Ya, dia yang akan menggantikan kita nanti di perusahaan. Dia akan menjadi pebisnis handal," lirih Indra tanpa senyum. Perasaan pria itu masih belum tenang karena ibu dari sang bayi tersebut masih belum.sadar. "Semoga ibumu segera bangun, Nak!" parau suara Indra menahan sedih. Dokter bilang Aina kelihangan banyak darah ketika melahirkan tadi. Saat ini istri mudanya itu sedang ditangani oleh dokter ahli. "Sabar, Mas. Kita doakan saja semoga Aina segera sadar." Anita membelai pelan punggung suaminya. Dadanya sesak melihat Indra memandang bayinya dengan tatapan sedih. "Anita, jika terjadi sesuatu pada Aina, apakah Kamu mau merawat anak ini?" "Astaghfirullah, Mas. Ayo optimis, dong, Mas! Aina pasti akan sembuh. Aku pasti akan membantu Aina merawat dan menyayangi bayi ini sepenuh hati." Anita memandang gemas bayi merah yang berwajah tampan itu. M
"Om Indraaa ...! Aduh, sakit, Om ...! Om Indraaa ...!" Aina berteriak sambil memegang perutnya yang sudah semakin besar. Ia terduduk lemas di ranjang kamarnya. Suaranya terdengar hingga keluar karena pintu kamar yang sengaja ia buka sejak tadi. Indra yang sedang berada di ruang kerjanya bersama Anita tergopoh-gopoh menghampiri istri mudanya. Anita pun mengikuti dari belakang dengan panik. "Kenapa Aina? Apa Kamu mau melahirkan?" cecar Indra bingung. Pria paruh baya itu berjalan mondar mandir di depan Aina, entah apa yang harus ia lakukan melihat wajah pucat Aina. Keringat dingin membasahi wajah istrinya itu. "Aduh, Om. Sakit sekalii. Aku nggak tahan ...!"Aina terus merintih. Tubuhnya bergetar hebat menahan sakit. "Maas, cepetan siapin mobil! Kita bawa Aina ke rumah sakit, segera!" teriak Anita yang juga sibuk kesana-kemari di kamar Aina seperti sedang mencari sesuatu "Mbaaak, Mbaaak, ini ART pada kemana, sih?" Anita masih berteriak memanggil para ARTnya. "Ya, Bu. Ada apa?" seora
"Tolong cepat, Pak!" Rein menepuk pelan bahu sang supir yang melajukan mobil ke Bandar Udara International Kuala Lumpur. Supir itu mengangguk. Berkali-kali Rein menoleh pada jam tangannya. Ia tak ingin terlambat ikut penerbangan pagi itu. Semalam, setelah menerima panggilan dari Yuda, Rein merenung. Awalnya ia berpikir Yuda tidak serius. Bagaimana mungkin Maira bisa hamil, sementara ia sudah divonis oleh dokter akan sulit untuk memiliki keturunan? Lalu ia ingat kata-kata Maira yang mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sulit untuk punya keturunan, bukan berarti tidak bisa. Sempat terlintas di benaknya hal negatif tentang Maira. Jangan-jangan itu bukan anaknya? Namun dugaan itu segera ia tepis, karena ia sangat percaya Maira adalah seorang istri yang setia. Pria dengan jambang lebat itu ingin membuktikan sendiri ucapan Yuda semalam. Apa ini hanya akal-akalan sahabatnya saja agar dia kembali ke indonesia? Akhirnya malam itu juga Rein yang belum tidur sejak kemarin,
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b