[Aku rindu. Apa bisa kita ketemu besok?] Rein baru saja mengirim pesan pada Shinta. Dia tak yakin wanita itu akan membalas pesannya. Jarum jam di dindingnya menunjukkan pukul sebelas malam. Saat ini Pria mancung bermata elang itu berbaring di atas ranjang berukuran king size dengan pandangan kosong tertuju pada langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Rein tak bisa memejamkan matanya. Sejak tadi bayangan wajah cantik Shinta terus bergelayut di benaknya. Rasa rindu itu seakan membunuh jiwa dan raganya. Rein langsung terlonjak saat mendengar ponselnya bergetar. Senyum terbit di wajah yang memiliki jambang halus di sekitar pipi dan dagunya itu. [ Bisa. Dimana? Kirim aja alamatnya!]Balasan pesan dari Shinta membuatnya semakin berdebar. Dengan semangat Rein kembali mengetik pesan. [ Aku jemput saat jam pulang kantor] Rein terus memandangi ponselnya, menunggu balasan.lagi dari Shinta. [Kirim aja alamatnya, Rein. Aku seperti biasa akan datang bersama Pak Pardi.] Rein menghela na
"Ehm ...!" "Astaga, Shinta! Maaf, apa sejak tadi kamu di sana?" Rein terkejut setelah menutup ponselnya. Ternyata Shinta sudah berdiri tak jauh dari saungnya. Wanita itu sangat cantik dengan stelan kulot dan outer model kekinian. Shinta selalu tampil mempesona di mata Rein. Shinta tersenyum. "Aku baru datang, kok." "Yuk duduk sini! Mau pesan apa?" Rein bergeser agar Shinta duduk di sebelahnya. Lalu pria berkemeja putih itu menyodorkan sebuah daftar menu pada Shinta. Wanita berwajah oval itu mulai membukanya dan melihat-lihat masakan apa saja yang ada di restauran itu. "Hmm ... kayaknya aku pengen makan gurame kremes sama sayur asem." Shinta yang memilih duduk di depan Rein mulai memilih menu yang akan dipesan. Rein merasakan detak jantungnya begitu cepat. Netranya menatap bebas wanita yang sangat ia rindukan. Kini Shinta berada tepat di hadapannya. Mereka hanya dipisahkan oleh sebuah meja pendek berbentuk persegi yang terbuat dari kayu. Rein menahan dirinya untuk tidak memelu
"Shinta, please aku mohon ....!" Rein semakin gelisah melihat Shinta hanya diam saja. Sementara Shinta masih mencoba menyelami perasaannya terhadap pria yang kini sedang menatapnya penuh harap. Sejenak mereka terdiam. Shinta masih menunduk. Ia tak kuasa menatap mata elang yang telah memporak-porandakan hatinya itu. "Maaf, jika aku terlalu memaksamu. Seharusnya aku bisa lebih bersabar menunggu. Ini memang terlalu cepat untukmu. Mungkin lain waktu saja kita bicarakan hal ini." Seketika jemari kokoh milik Rein terulur hendak meraih kembali kotak kecil yang berada tepat di tengah-tengah meja. "Rein, Jangan ...!" Tangan kokoh itu terhenti di udara saat jemari lentik milik Shinta dengan cepat meraih kotak itu lebih dulu. Rein menurunkan tangannya perlahan. Napasnya tertahan sejenak. Pandangannya tak lepas pada Shinta yang mulai membuka kotak berbentuk hati itu.Setetes embun menetes dari kedua sudut netra pria tampan itu. "Teimakasih ..." lirihnya bergetar. Rein merasakan kebahagiaa
"Ya Tuhan, pusing sekali." Shinta memijit keningnya saat terbangun subuh. Entah pukul berapa ia tertidur semalam. Rasa kantuk dan lelah tak membuatnya lekas tidur karena rasa gelisah yang melanda. Semalam Shinta mengirim pesan pada Rein. Ia meminta pria itu agar membatalkan janjinya untuk menjemputnya pagi ini. Mengingat ada Raka di rumah ini, Ia tak mau sampai ada keributan nantinya. Namun hingga pagi ini pesan itu belum dibaca sama sekali. Tidak biasanya Shinta merasa begitu gelisah seperti ini semalaman. Shinta bergegas mandi dan salat subuh. Lalu bersiap -siap untuk berangkat ke kantor. Seperti biasa, setiap pagi Shinta menghampiri Kaisar, bermain dan sarapan bersama menjelang ke kantor. Namun Kaisar dan babysitter tidak ada di kamarnya. Shinta melangkah hendak mencari keberadaan anaknya. "Kaisar ada di mana, Mbak?" tanya Shinta pada salah satu pelayan yang ditemuinya. "Oh, Kaisar ada sama Tuan di ruang makan, Non." "Terimakasih." Shinta bergegas ke ruang makan. Dia hampir
"Siapa wanita yang sedang bersama Rein itu?" Shinta merasakan gemuruh di dadanya ketika melihat seorang wanita cantik yang sangat sederhana sedang menyuapi Rein makan. Wanita berambut panjang itu masih sangat muda. Tentunya jauh lebih menarik dari dirinya. "Astaga apa yang sedang aku pikirkan? Apa aku cemburu pada wanita itu?" Shinta bertanya dalam hati. Suasana hatinya yang sedang tak baik-baik saja pagi ini, membuat pikirannya ikut menyimpulkan sesuatu dengan buruk. Shinta melihat Rein baik-baik saja. Walau ada perban di kepalanya, pria itu menerima suapan dari wanita berambut panjang dengan lahap. Tatapan Rein kosong menghadap dinding. Pria itu duduk bersandar pada ranjang tanpa bicara sepatah kata pun. "Kenapa mereka saling diam? Siapa sebenarnya gadis itu?" pikir Shinta. Rein dan gadis itu tak menyadari kehadirannya sejak tadi. Sesaat ada rasa nyeri dirasakan Shinta di dadanya. "Sebaiknya aku tidak jadi masuk. Rein ternyata baik-baik saja, dan sudah ada yang mengurusnya.
"Aku pulang dulu. Aku akan kembali lagi besok!" Shinta meraih tas cangklongnya yang tadi ia letakkan di atas sofa yang berada di pojok ruang VIP itu. "Kalau kamu pulang, siapa yang akan menyuapiku makan nanti?" tanya Rein. Tatapannya tak lepas pada wajah cantik Shinta yang kini mengenakan hijab berwarna marun. "Ada Ayu. Dia nanti ke sini lagi, kan?" "Ayu itu anak Mbok Sum. Katanya, Ia menggantikan Mbok Sum selama ibunya itu pulang kampung. Kamu enggak cemburu?" Rein memiringkan kepalanya mengikuti langkah Shinta. Shinta menggeleng sambil tersenyum. Ia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Walau sejak awal mendengar nama Ayu, hatinya sudah panas. Rein membuang pandangannya dengan napas kasar. "Kenapa?" tanya Shinta. "Aku pikir kamu cemburu," sahut Rein kecewa. Hal ini membuat Shinta terkikik dalam hati. "Aku pulang sekarang. Pastikan orang-orangmu menjagamu dengan baik malam ini." Shinta pamit dan bersiap untuk melangkah. "Tunggu!" Satu tangan Rein berhasil meraih lengan Sh
"Aku ... Aku dilamar Rein semalam." Hafiz dan Hikmah saling menatap. "Rein?" Hikmah mengerutkan keningnya. "Pria yang menolongmu saat penculikan dulu?" lanjutnya lagi. Shinta mengangguk antusias. Dia senang sepertinya Hikmah mendukungnya. "Kak Hafiz yang cerita," jelas Hikmah. "Trus gimana? Kamu terima?" tanya Hikmah penasaran. "Sayang, biarkan Maira melanjutkan ceritanya dulu!" ucap Hafiz lembut. Pria berbadan kekar itu membelai lembut hijab istrinya. "Oh iyaa, maaf ya, Shin. Aku kok jadi kepo." ujar Hikmah malu-malu. Shinta terkekeh. Ia senang melihat kemesraan Hikmah dan kakaknya. "Aku ...dan Rein saling mencintai. Kami ingin segera menikah. Aku butuh bantuan kalian untuk meyakinkan Ayah." Hafiz menatap Shinta tak percaya. "Bukankah ini terlalu cepat? Jujur, Aku tidak yakin Ayah akan menyetujui pernikahan kalian." "Justru itu, Aku membicarakan hal ini pada kalian. Aku butuh bantuan kalian." Shinta memandang keduanya dengan tatapan memohon. "Tunggu, apa kamu sudah yaki
"Cari tahu segera dimana Rein dirawat!" Hafiz menutup ponselnya. Ia meminta orang kepercayaannya untuk mencari keberadaan Rein. Sebenarnya ia bisa saja menanyakan hal ini pada Shinta. Namun ia tak mau adik tirinya itu tau rencana yang akan dia lakukan selanjutnya pada Rein. Tidak menunggu lama, sebuah balasan pesan masuk pada ponselnya. Hafiz bangkit, meraih jaket kulit dan kunci mobilnya. "Sayang, Aku keluar dulu. Mungkin agak lama." "Loh, mau kemana, Kak? Ini sudah hampir jam delapan malam." Hikmah memandang cemas pada suaminya.. "Ada perlu sebentar. Aku akan usahakan untuk pulang lebih cepat. Kamu kalau mengantuk tidur aja. Ada anak-anak sedang berlatih di depan. Mereka akan berjaga di sini sampai aku pulang." Hikmah menghela napas panjang. Ia selalu khawatir setiap Hafiz pergi malam hari. Apalagi kalau bukan urusan adu otot, pikirnya.. "Aku pergi, ya!" Hafiz melangkah keluar setelah mencium kening Hikmah. Wanita yang ia nikahi karena dijodohkan oleh Shinta, dan siapa yang
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”Kehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Berita tentang Syafa ada hubungan dengan pejabat bernama Boy Azka yang dihubungkan dengan artis lawas bernama Kirana memang sempat memanas di masyarakat dan media sosial. Namun hal itu perlahan hilang dari media. Tentu saja ini adalah hasil kerja beberapa anak buah Boy Azka. Ternyata dalam hal ini, dengan uang segalanya akan menjadi mudah. Tak ada lagi media yang mengekspos berita tersebut. Sejak kejadin itu Boy Azka mulai hati-hati. Ia tak lagi berani bertemu Syafa di tempat umum, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai gantinya, setiap sebulan sekali Syafa akan menginap di rumah Boy Azka bersama Paul. Hubungan keluarga mereka sudah sangat harmonis. Lintang yang tadinya memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Syafa, justru kini sangat perhatian pada adik tirinya itu. Bahkan kadang membuat Paul cemburu karena Syafa begitu dekat dengan kedua kakak lelakinya. "Kak, hari ini acara syukuran Bapak dan Ibu pulang dari Haji. Kita ke sana, yuk!" Syafa bergelayut manja pada suaminya yang
"Dia tampan sekali seperti Kamu, Mas." Anita memandang takjub pada bayi laki-laki yang menggeliat di dalam box bayi milik rumah sakit itu. "Ya, dia yang akan menggantikan kita nanti di perusahaan. Dia akan menjadi pebisnis handal," lirih Indra tanpa senyum. Perasaan pria itu masih belum tenang karena ibu dari sang bayi tersebut masih belum.sadar. "Semoga ibumu segera bangun, Nak!" parau suara Indra menahan sedih. Dokter bilang Aina kelihangan banyak darah ketika melahirkan tadi. Saat ini istri mudanya itu sedang ditangani oleh dokter ahli. "Sabar, Mas. Kita doakan saja semoga Aina segera sadar." Anita membelai pelan punggung suaminya. Dadanya sesak melihat Indra memandang bayinya dengan tatapan sedih. "Anita, jika terjadi sesuatu pada Aina, apakah Kamu mau merawat anak ini?" "Astaghfirullah, Mas. Ayo optimis, dong, Mas! Aina pasti akan sembuh. Aku pasti akan membantu Aina merawat dan menyayangi bayi ini sepenuh hati." Anita memandang gemas bayi merah yang berwajah tampan itu. M
"Om Indraaa ...! Aduh, sakit, Om ...! Om Indraaa ...!" Aina berteriak sambil memegang perutnya yang sudah semakin besar. Ia terduduk lemas di ranjang kamarnya. Suaranya terdengar hingga keluar karena pintu kamar yang sengaja ia buka sejak tadi. Indra yang sedang berada di ruang kerjanya bersama Anita tergopoh-gopoh menghampiri istri mudanya. Anita pun mengikuti dari belakang dengan panik. "Kenapa Aina? Apa Kamu mau melahirkan?" cecar Indra bingung. Pria paruh baya itu berjalan mondar mandir di depan Aina, entah apa yang harus ia lakukan melihat wajah pucat Aina. Keringat dingin membasahi wajah istrinya itu. "Aduh, Om. Sakit sekalii. Aku nggak tahan ...!"Aina terus merintih. Tubuhnya bergetar hebat menahan sakit. "Maas, cepetan siapin mobil! Kita bawa Aina ke rumah sakit, segera!" teriak Anita yang juga sibuk kesana-kemari di kamar Aina seperti sedang mencari sesuatu "Mbaaak, Mbaaak, ini ART pada kemana, sih?" Anita masih berteriak memanggil para ARTnya. "Ya, Bu. Ada apa?" seora
"Tolong cepat, Pak!" Rein menepuk pelan bahu sang supir yang melajukan mobil ke Bandar Udara International Kuala Lumpur. Supir itu mengangguk. Berkali-kali Rein menoleh pada jam tangannya. Ia tak ingin terlambat ikut penerbangan pagi itu. Semalam, setelah menerima panggilan dari Yuda, Rein merenung. Awalnya ia berpikir Yuda tidak serius. Bagaimana mungkin Maira bisa hamil, sementara ia sudah divonis oleh dokter akan sulit untuk memiliki keturunan? Lalu ia ingat kata-kata Maira yang mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sulit untuk punya keturunan, bukan berarti tidak bisa. Sempat terlintas di benaknya hal negatif tentang Maira. Jangan-jangan itu bukan anaknya? Namun dugaan itu segera ia tepis, karena ia sangat percaya Maira adalah seorang istri yang setia. Pria dengan jambang lebat itu ingin membuktikan sendiri ucapan Yuda semalam. Apa ini hanya akal-akalan sahabatnya saja agar dia kembali ke indonesia? Akhirnya malam itu juga Rein yang belum tidur sejak kemarin,
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b