"Kapan kamu bebas, Lif?" tanya Raka penasaran. Alif benar-benar berubah. Wajahnya kini penuh brewok, rambutnya panjang tanpa diikat. Tubuhnya lebih kurus, namun tampak lebih berotot dan terkesan kekar. "Dua hari yang lalu," sahut mantan suami Shinta itu dengan wajah datar. "Aku minta maaf tidak bisa membantumu waktu itu. Aku tau kamu hanya disuruh oleh seseorang untuk membunuhku." Raka menepuk ringan punggung Alif. Alif hanya mendengkus, lalu menyeringai. Raka memandang ngeri pada seringai Alif yang berbeda. Teman SMA nya itu telah berubah. "Sepertinya penjara telah merubahmu, Lif." Alif terkekeh. Kini raut wajahnya terlihat angkuh dan sombong. "Kenapa? Apa aku terlihat menakutkan?" tanya Alif dengan senyum sinisnya. "Bukan menakutkan. Tapi kamu lebih berani dari dulu. Apa kamu sudah dapat pekerjaan?"tanya Raka. Alif menggeleng. Sebatang rokok baru saja dia nyalakan. Sementara minuman di depannya sudah tandas tak bersisa. "Apa ada pekerjaan untukku?" tanyanya lagi setelah me
"Rein, itu mobil Rein," gumam Shinta nyaris tak terdengar. Dengan semangat Shinta keluar hendak menghampiri mobil mewah yang sedang parkir di halamannya. Namun langkahnya terhenti karena yang keluar dari mobil itu ternyata bukan pria yang dia rindukan. "Selamat malam, Bu Shinta. Saya Peter, utusan dari Pak Rein. Apa ada masalah di rumah ini?" Seorang pria berbadan tegap dengan jaket kulit hitam menghampiri pemilik rumah mewah itu. Shinta belum sempat menjawab, sudah terrdengar suara teriakan Aina dari dalam. Pria berpakaian preman itu menoleh ke asal suara itu. "Saya dari kepolisian. Pak Rein meminta saya untuk mengamankan keributan di sini." ujarnya seraya memperlihatkan tanda pengenalnya.Shinta mengerutkan keningnya. "Dari mana Rein tau di sini ada keributan?" Pria berambut cepak itu tersenyum. "Sudah beberapa hari ini ada satu anggota saya bertugas berjaga di sekitar rumah ini" Jawaban Peter membuat Shinta tercengang. "Terimakasih, Rein. Ternyata selama ini kamu selal
Tiga tahun yang lalu, di sebuah night club daerah jakarta utara, Aina terus bergoyang mengikuti alunan musik hingar bingar. Wanita yang terbiasa tinggal di luar negri dengan gaya hidup kebarat-baratan, sudah terbiasa menghabiskan waktunya di tempat semacam itu. Rambutnya yang terurai bergelombang hingga sedada, sebagian menutupi belahan yang sengaja ingin dia pertontonkan. Aina merasa sangat tersanjung jika ada pria yang memuji keindahan tubuhnya. Hampir tiap malam wanita berpenampilam sexy itu menghabiskan malamnya di sana. Lalu, pulang ke rumahnya di saat menjelang pagi. Harta yang melimpah dari orang tuanya, menjadikan Aina sebagai wanita yang tak mau dibantah, apa yang dia inginkan harus tercapai. Setelah hampir satu jam melantai, seorang pria tampan pemimpin PT Ramajaya dengan jas berwarna navy menghampiri Aina dan langsung memeluknya. "Aku butuh kamu malam ini!" bisiknya seraya mulai mencumbu mesra. Tak peduli dengan pengunjung sekitar yang sibuk dengan dirinya masing-masing
"Tidak kusangka kamu tega melakukan itu padaku, Mas." Shinta tak bisa menahan bulir-bulir bening yang tiba-tiba luruh membasahi kedua pipinya. Betapa sakit rasanya ketika mendengar suatu kenyataan yang tidak pernah ia duga. Peter menutup ponsel Aina yang baru saja memutar video tentang pengakuan Raka di masa lalu. Tanpa sepengetahuan Aina, pria itu langsung mengirim video itu ke kontak Rein yang sudah ada di ponsel Aina, kemudian menghapus riwayat pesannya. Dari video itu terdengar jelas oleh Shinta, bahwa Raka tidak pernah mencintainya. Tubuhnya bergetar hebat saat mengetahui Raka berniat ingin merebut Eternal Group dari tangannya. Pria yang selama ini dia pikir tulus mencintainya, ternyata hanya bohong belaka. Semuanya ternyata palsu. Bagaimana mungkin selama ini ia bisa sangat percaya bahwa Raka benar-benar jatuh cinta padanya. "Kamu tega membohongiku selama ini. Sejak awal kita bertemu, kebaikanmu, bahkan perhatianmu, ternyata semua itu palsu." Suara Shinta parau dan bergetar
"Siapkan pakaian kantorku, mulai hari ini aku akan aktif kembali ke kantor!" Pagi-pagi sekali Shinta sudah sibuk mempersiapkan diri untuk kembali aktif bekerja, setelah tiga bulan berada di rumah. Selama itu pula dirinya tidak bertemu dengan Raka atau pun Rein. Raka sesekali.datang untuk bermain dengan Kaisar. Akan tetapi Shinta enggan untuk menemuinya. Rein mulai berani mengirim pesan mesra pada Shinta. Pria dingin dan terkesan kaku itu perlahan mulai berubah. Hidupnya kini seakan lebih berwarna dengan status Shinta yang kembali sendiri. [Aku jemput kamu] Sebuah pesan singkat dari Rein ketika Shinta sedang menikmati sarapannya. Wanita berhijab motif bunga-bunga yang berwarna senada dengan outer silvernya itu hanya tersenyum tanpa membalas, setelah membaca pesan dari Rein. Sejujurnya Shinta pun sudah tidak sabar ingin bertemu dengan pria berdarah campuran eropa itu. Shinta sungguh tak habis pikir, bisa secepat ini hatinya berpaling. Namun begitu, ia mati-matian berusaha menyembu
"Maira, Kamu dan Rein ..., kenapa kalian sedekat ini?" Wajah Raka menggelap, seakan tak terima melihat kedekatan Rein dan Shinta. Sorot matanya memandang tajam pada pria berjambang itu. "Aku memang sedang dekat dengan Shinta. Ada masalah?" tanya Rein tenang. Ia meraih tangan Shinta, kemudian membawanya keluar dari lift. Setelah melangkah keluar, Rein kembali melepaskannya. Ia tau Shinta pasti tidak nyaman jika mereka berpegangan tangan. Raka memperhatikan mereka dengan gemuruh di dada. Rein dan Shinta berjalan berdampingan menuju ruang masing-masing. Namun Shinta terheran melihat Rein yang terus mengikutinya. "Ruangan kamu di sana Tuan Rein. Apa kamu lupa?" Shinta mencoba mengingatkan dengan gurauan. Ia yakin Rein tidak lupa. Atau mungkin ada yang ingin dia bicarakan? "Apa bisa jika ruanganku pindah ke sini aja, Bu Shinta?" gurau Rein seraya duduk di hadapan Shinta yang baru saja menjatuhkan tubuhnya di kursi kebesaran. Shinta terkekeh mendengar ucapan Rein yang dianggapnya ngel
"Maaf aku enggak bisa bantu kamu untuk meyakinkan ayah." Hafiz tidak tega melihat Shinta bersedih. Akan tetapi ia juga tidak bisa ikut campur terlalu dalam masalah ini. "Aku mau pulang aja, Kak. Enggak bisa kerja kalau pikiranku kacau begini. Ayah di mana?" Hafiz menghempas napas kasar. "Ya, sebaiknya kamu pulang tenangkan pikiranmu. Ayah ada diruangan Raka.." "Apaa? Di ruangan Raka?" Shinta mengerutkan dahinya. "Untuk apa Ayah di sana? Apa semua ini karena Mas Raka?" pikir Shinta. Berbagai prasangka buruk ia tujukan pada mantan suaminya itu. Shinta gegas berdiri dan beranjak hendak pulang. "Aku pulang, Kak. Pamitkan aku pada Ayah! " Hafiz mengangguk, lalu memandang Shinta yang berjalan lesu menuju lift. "Kasian dia. Tapi aku memahami perasaan Ayah. Kesalahan Robert pada keluarga Shinta sudah sangat fatal." ----- Selama perjalanan Shinta hanya diam. Mencoba menyelami perasaannya pada Rein. Kenapa bisa secepat ini hatinya berpaling. Atau mungkin perasaan ini sudah ad
"Selamat pagi, Sayang." Shinta terkejut, pagi-pagi sekali Raka sudah datang ke rumahnya. Shinta memang tidak pernah melarang Raka untuk masuk ke rumahnya, selama untuk kepentingan Kaisar. "Ada apa pagi-pagi udah ke sini? Kaisar belum bangun." Shinta yang sedang memotong tanaman bunga di teras tidak mempersilakan Raka masuk. "Ini hari sabtu. Aku ingin mengajakmu dan Kaisar jalan-jalan," sahut Raka bersemangat. "Kalau mau ketemu Kaisar di sini aja. Enggak usah kemana-mana!" sahut Shinta dingin. "Sekali-kali nggak apa-apa dong kita kasih perhatian sama Kaisar. Mau, ya?" Shinta menggeleng. "Kalau mau ketemu Kaisar, di sini aja," sahut Shinta tanpa menoleh. Raka menghempas napas kasar seraya menjatuhkan tubuhnya di kursi teras. Memandang mantan istrinya yang sedang sibuk dengan beberapa tanaman. "Tidak seperti biasanya Maira seperti ini. Apa dia sedang kesepian?" gumam Raka pelan. Seorang pelayan meletakkan segelas minuman untuk Raka. "Silakan diminum, Tuan." "Makasih." Raka