"Rein, itu mobil Rein," gumam Shinta nyaris tak terdengar. Dengan semangat Shinta keluar hendak menghampiri mobil mewah yang sedang parkir di halamannya. Namun langkahnya terhenti karena yang keluar dari mobil itu ternyata bukan pria yang dia rindukan. "Selamat malam, Bu Shinta. Saya Peter, utusan dari Pak Rein. Apa ada masalah di rumah ini?" Seorang pria berbadan tegap dengan jaket kulit hitam menghampiri pemilik rumah mewah itu. Shinta belum sempat menjawab, sudah terrdengar suara teriakan Aina dari dalam. Pria berpakaian preman itu menoleh ke asal suara itu. "Saya dari kepolisian. Pak Rein meminta saya untuk mengamankan keributan di sini." ujarnya seraya memperlihatkan tanda pengenalnya.Shinta mengerutkan keningnya. "Dari mana Rein tau di sini ada keributan?" Pria berambut cepak itu tersenyum. "Sudah beberapa hari ini ada satu anggota saya bertugas berjaga di sekitar rumah ini" Jawaban Peter membuat Shinta tercengang. "Terimakasih, Rein. Ternyata selama ini kamu selal
Tiga tahun yang lalu, di sebuah night club daerah jakarta utara, Aina terus bergoyang mengikuti alunan musik hingar bingar. Wanita yang terbiasa tinggal di luar negri dengan gaya hidup kebarat-baratan, sudah terbiasa menghabiskan waktunya di tempat semacam itu. Rambutnya yang terurai bergelombang hingga sedada, sebagian menutupi belahan yang sengaja ingin dia pertontonkan. Aina merasa sangat tersanjung jika ada pria yang memuji keindahan tubuhnya. Hampir tiap malam wanita berpenampilam sexy itu menghabiskan malamnya di sana. Lalu, pulang ke rumahnya di saat menjelang pagi. Harta yang melimpah dari orang tuanya, menjadikan Aina sebagai wanita yang tak mau dibantah, apa yang dia inginkan harus tercapai. Setelah hampir satu jam melantai, seorang pria tampan pemimpin PT Ramajaya dengan jas berwarna navy menghampiri Aina dan langsung memeluknya. "Aku butuh kamu malam ini!" bisiknya seraya mulai mencumbu mesra. Tak peduli dengan pengunjung sekitar yang sibuk dengan dirinya masing-masing
"Tidak kusangka kamu tega melakukan itu padaku, Mas." Shinta tak bisa menahan bulir-bulir bening yang tiba-tiba luruh membasahi kedua pipinya. Betapa sakit rasanya ketika mendengar suatu kenyataan yang tidak pernah ia duga. Peter menutup ponsel Aina yang baru saja memutar video tentang pengakuan Raka di masa lalu. Tanpa sepengetahuan Aina, pria itu langsung mengirim video itu ke kontak Rein yang sudah ada di ponsel Aina, kemudian menghapus riwayat pesannya. Dari video itu terdengar jelas oleh Shinta, bahwa Raka tidak pernah mencintainya. Tubuhnya bergetar hebat saat mengetahui Raka berniat ingin merebut Eternal Group dari tangannya. Pria yang selama ini dia pikir tulus mencintainya, ternyata hanya bohong belaka. Semuanya ternyata palsu. Bagaimana mungkin selama ini ia bisa sangat percaya bahwa Raka benar-benar jatuh cinta padanya. "Kamu tega membohongiku selama ini. Sejak awal kita bertemu, kebaikanmu, bahkan perhatianmu, ternyata semua itu palsu." Suara Shinta parau dan bergetar
"Siapkan pakaian kantorku, mulai hari ini aku akan aktif kembali ke kantor!" Pagi-pagi sekali Shinta sudah sibuk mempersiapkan diri untuk kembali aktif bekerja, setelah tiga bulan berada di rumah. Selama itu pula dirinya tidak bertemu dengan Raka atau pun Rein. Raka sesekali.datang untuk bermain dengan Kaisar. Akan tetapi Shinta enggan untuk menemuinya. Rein mulai berani mengirim pesan mesra pada Shinta. Pria dingin dan terkesan kaku itu perlahan mulai berubah. Hidupnya kini seakan lebih berwarna dengan status Shinta yang kembali sendiri. [Aku jemput kamu] Sebuah pesan singkat dari Rein ketika Shinta sedang menikmati sarapannya. Wanita berhijab motif bunga-bunga yang berwarna senada dengan outer silvernya itu hanya tersenyum tanpa membalas, setelah membaca pesan dari Rein. Sejujurnya Shinta pun sudah tidak sabar ingin bertemu dengan pria berdarah campuran eropa itu. Shinta sungguh tak habis pikir, bisa secepat ini hatinya berpaling. Namun begitu, ia mati-matian berusaha menyembu
"Maira, Kamu dan Rein ..., kenapa kalian sedekat ini?" Wajah Raka menggelap, seakan tak terima melihat kedekatan Rein dan Shinta. Sorot matanya memandang tajam pada pria berjambang itu. "Aku memang sedang dekat dengan Shinta. Ada masalah?" tanya Rein tenang. Ia meraih tangan Shinta, kemudian membawanya keluar dari lift. Setelah melangkah keluar, Rein kembali melepaskannya. Ia tau Shinta pasti tidak nyaman jika mereka berpegangan tangan. Raka memperhatikan mereka dengan gemuruh di dada. Rein dan Shinta berjalan berdampingan menuju ruang masing-masing. Namun Shinta terheran melihat Rein yang terus mengikutinya. "Ruangan kamu di sana Tuan Rein. Apa kamu lupa?" Shinta mencoba mengingatkan dengan gurauan. Ia yakin Rein tidak lupa. Atau mungkin ada yang ingin dia bicarakan? "Apa bisa jika ruanganku pindah ke sini aja, Bu Shinta?" gurau Rein seraya duduk di hadapan Shinta yang baru saja menjatuhkan tubuhnya di kursi kebesaran. Shinta terkekeh mendengar ucapan Rein yang dianggapnya ngel
"Maaf aku enggak bisa bantu kamu untuk meyakinkan ayah." Hafiz tidak tega melihat Shinta bersedih. Akan tetapi ia juga tidak bisa ikut campur terlalu dalam masalah ini. "Aku mau pulang aja, Kak. Enggak bisa kerja kalau pikiranku kacau begini. Ayah di mana?" Hafiz menghempas napas kasar. "Ya, sebaiknya kamu pulang tenangkan pikiranmu. Ayah ada diruangan Raka.." "Apaa? Di ruangan Raka?" Shinta mengerutkan dahinya. "Untuk apa Ayah di sana? Apa semua ini karena Mas Raka?" pikir Shinta. Berbagai prasangka buruk ia tujukan pada mantan suaminya itu. Shinta gegas berdiri dan beranjak hendak pulang. "Aku pulang, Kak. Pamitkan aku pada Ayah! " Hafiz mengangguk, lalu memandang Shinta yang berjalan lesu menuju lift. "Kasian dia. Tapi aku memahami perasaan Ayah. Kesalahan Robert pada keluarga Shinta sudah sangat fatal." ----- Selama perjalanan Shinta hanya diam. Mencoba menyelami perasaannya pada Rein. Kenapa bisa secepat ini hatinya berpaling. Atau mungkin perasaan ini sudah ad
"Selamat pagi, Sayang." Shinta terkejut, pagi-pagi sekali Raka sudah datang ke rumahnya. Shinta memang tidak pernah melarang Raka untuk masuk ke rumahnya, selama untuk kepentingan Kaisar. "Ada apa pagi-pagi udah ke sini? Kaisar belum bangun." Shinta yang sedang memotong tanaman bunga di teras tidak mempersilakan Raka masuk. "Ini hari sabtu. Aku ingin mengajakmu dan Kaisar jalan-jalan," sahut Raka bersemangat. "Kalau mau ketemu Kaisar di sini aja. Enggak usah kemana-mana!" sahut Shinta dingin. "Sekali-kali nggak apa-apa dong kita kasih perhatian sama Kaisar. Mau, ya?" Shinta menggeleng. "Kalau mau ketemu Kaisar, di sini aja," sahut Shinta tanpa menoleh. Raka menghempas napas kasar seraya menjatuhkan tubuhnya di kursi teras. Memandang mantan istrinya yang sedang sibuk dengan beberapa tanaman. "Tidak seperti biasanya Maira seperti ini. Apa dia sedang kesepian?" gumam Raka pelan. Seorang pelayan meletakkan segelas minuman untuk Raka. "Silakan diminum, Tuan." "Makasih." Raka
"Sialan kau, Raka! Begini rupanya kelakuanmu selama aku ke Bandung." Aina menatap geram ponselnya, setelah berhasil melacak keberadaan Raka melalui salah satu aplikasi. "Apa saja yang kamu lakukan di rumah perempuan kampungan itu seharian." Wajah Aina memerah menahan emosi. Napasnya memburu naik turun. Seketika ia meraih kunci mobilnya dan melangkah keluar. "Aina, mau ke mana kamu?" Bu Yulia bergegas menyusul anak semata wayangnya. "Ke Jakarta, Mi. Nggak beres kalau Raka aku tinggal sendirian lama-lama.". "Terus bagaimana dengan Mami, Aina? Papimu betingkah terus. Lagi sakit masih aja main perempuan." Aina mengacak rambutnya frustasi. "Aku juga pusing sama suamiku, Mi!" teriaknya seraya melangkah masuk ke dalam mobil. "Aina, Aina ..., jangan pergi dulu. Bantu Mami urus papimu yang sedang sakit!" Bu Yulia berteriak sekencang mungkin. Namun Aina tidak peduli. Wanita itu langsung tancap gas menuju jakarta. Dengan kecepatan tinggi Aina membawa mobilnya ke Jakarta. Emosi dan ce
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”Kehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Berita tentang Syafa ada hubungan dengan pejabat bernama Boy Azka yang dihubungkan dengan artis lawas bernama Kirana memang sempat memanas di masyarakat dan media sosial. Namun hal itu perlahan hilang dari media. Tentu saja ini adalah hasil kerja beberapa anak buah Boy Azka. Ternyata dalam hal ini, dengan uang segalanya akan menjadi mudah. Tak ada lagi media yang mengekspos berita tersebut. Sejak kejadin itu Boy Azka mulai hati-hati. Ia tak lagi berani bertemu Syafa di tempat umum, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai gantinya, setiap sebulan sekali Syafa akan menginap di rumah Boy Azka bersama Paul. Hubungan keluarga mereka sudah sangat harmonis. Lintang yang tadinya memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Syafa, justru kini sangat perhatian pada adik tirinya itu. Bahkan kadang membuat Paul cemburu karena Syafa begitu dekat dengan kedua kakak lelakinya. "Kak, hari ini acara syukuran Bapak dan Ibu pulang dari Haji. Kita ke sana, yuk!" Syafa bergelayut manja pada suaminya yang
"Dia tampan sekali seperti Kamu, Mas." Anita memandang takjub pada bayi laki-laki yang menggeliat di dalam box bayi milik rumah sakit itu. "Ya, dia yang akan menggantikan kita nanti di perusahaan. Dia akan menjadi pebisnis handal," lirih Indra tanpa senyum. Perasaan pria itu masih belum tenang karena ibu dari sang bayi tersebut masih belum.sadar. "Semoga ibumu segera bangun, Nak!" parau suara Indra menahan sedih. Dokter bilang Aina kelihangan banyak darah ketika melahirkan tadi. Saat ini istri mudanya itu sedang ditangani oleh dokter ahli. "Sabar, Mas. Kita doakan saja semoga Aina segera sadar." Anita membelai pelan punggung suaminya. Dadanya sesak melihat Indra memandang bayinya dengan tatapan sedih. "Anita, jika terjadi sesuatu pada Aina, apakah Kamu mau merawat anak ini?" "Astaghfirullah, Mas. Ayo optimis, dong, Mas! Aina pasti akan sembuh. Aku pasti akan membantu Aina merawat dan menyayangi bayi ini sepenuh hati." Anita memandang gemas bayi merah yang berwajah tampan itu. M
"Om Indraaa ...! Aduh, sakit, Om ...! Om Indraaa ...!" Aina berteriak sambil memegang perutnya yang sudah semakin besar. Ia terduduk lemas di ranjang kamarnya. Suaranya terdengar hingga keluar karena pintu kamar yang sengaja ia buka sejak tadi. Indra yang sedang berada di ruang kerjanya bersama Anita tergopoh-gopoh menghampiri istri mudanya. Anita pun mengikuti dari belakang dengan panik. "Kenapa Aina? Apa Kamu mau melahirkan?" cecar Indra bingung. Pria paruh baya itu berjalan mondar mandir di depan Aina, entah apa yang harus ia lakukan melihat wajah pucat Aina. Keringat dingin membasahi wajah istrinya itu. "Aduh, Om. Sakit sekalii. Aku nggak tahan ...!"Aina terus merintih. Tubuhnya bergetar hebat menahan sakit. "Maas, cepetan siapin mobil! Kita bawa Aina ke rumah sakit, segera!" teriak Anita yang juga sibuk kesana-kemari di kamar Aina seperti sedang mencari sesuatu "Mbaaak, Mbaaak, ini ART pada kemana, sih?" Anita masih berteriak memanggil para ARTnya. "Ya, Bu. Ada apa?" seora
"Tolong cepat, Pak!" Rein menepuk pelan bahu sang supir yang melajukan mobil ke Bandar Udara International Kuala Lumpur. Supir itu mengangguk. Berkali-kali Rein menoleh pada jam tangannya. Ia tak ingin terlambat ikut penerbangan pagi itu. Semalam, setelah menerima panggilan dari Yuda, Rein merenung. Awalnya ia berpikir Yuda tidak serius. Bagaimana mungkin Maira bisa hamil, sementara ia sudah divonis oleh dokter akan sulit untuk memiliki keturunan? Lalu ia ingat kata-kata Maira yang mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sulit untuk punya keturunan, bukan berarti tidak bisa. Sempat terlintas di benaknya hal negatif tentang Maira. Jangan-jangan itu bukan anaknya? Namun dugaan itu segera ia tepis, karena ia sangat percaya Maira adalah seorang istri yang setia. Pria dengan jambang lebat itu ingin membuktikan sendiri ucapan Yuda semalam. Apa ini hanya akal-akalan sahabatnya saja agar dia kembali ke indonesia? Akhirnya malam itu juga Rein yang belum tidur sejak kemarin,
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b