"Sini, biar Aku yang bawa barang-barangmu." Rein mengambil alih koper dari tangan Shinta, lalu menaikkannya ke atas trolli. Pesawat yang membawa Rein dan Shinta telah mendarat setengah jam yang lalu. Kini mereka sedang berjalan menuju lobby penjemputan. Selama di kota padang Shinta telah mempersiapkan salah satu karyawan kantor cabang Sumatera untuk antar dan jemput selama dia dan Rein berada di sana. Dalam hatinya Rein tak henti-hentinya memuji keanggunan Shinta. Dia sangat bersyukur, dengan adanya perjalanan bisnis ini, ia bisa lebih dekat dengan wanita pujaan hatinya. Dalam hatinya Rein bertekad akan selalu menjaga dan membuat Shinta bahagia, walaupun saat ini Ia tak bisa memilikinya. "Selamat siang Bu Shinta. Kita langsung ke Hotel atau ...." "Ke Hotel dulu. Setelah makan siang, baru kita menuju ke lokasi," sahut Shinta pada Arman, salah satu manager di kantor cabang Palembang. Arman sengaja datang ke kota Padang untuk membantu Shinta mengawasi proyek wisata dan penginapan ya
"Apa kamu dan Maira sedang ada masalah?" Pratama memandang Raka dengan tatapan menyelidik. Raka yang sejak tadi gemetar, merasa tidak tenang saat duduk di salah satu kursi di ruang kerja Shinta yang cukup luas. Ruangan yang dirancang istrinya itu berfungsi tidak hanya sebagai ruang kerja, tapi sekaligus ruang keluarga. Maksudnya, Shinta bisa memantau perusahaannya dari rumah sambil mengawasi Kaisar bermain di dekatnya. Namun kenyataannya selama ini dia hanya mempercayakan pengelolaan perusahaan seratus persen pada suaminya. Raka merasa sangat bersalah, karena tidak bisa menjaga kepercayaan Shinta. Kini dia pun takut Ayah mertuanya mengetahui kesalahan yang dia lakukan. "Raka, jawab pertanyaan Ayah!" "K-kenapa Ayah berpikir seperti itu?" Raka balik bertanya dengan jantung berdebar. Dirinya sejak dulu memang sudah dekat dengan Pratama. Jauh sebelum dia menemukan Shinta kembali. Namun tatapan Pratama yang begitu tajam tetap saja membuatnya gentar. "Kenapa kamu membiarkan Maira
"Kamu kenapa? Sakit?" Rein memandang Shinta penuh rasa khawatir. Sejak makan siang tadi, Shinta banyak murung dan tak banyak bicara "Shinta ..." "Eh, iy-iyaa, kenapa?" sahut Shinta gugup "Kamu sakit?" tatapan Rein semakin lekat, membuat Shinta gelagapan dan merasa salah tingkah. "Ah, tidak. Kata siapa?" tanyanya kembali. "Sejak tadi kamu hanya diam. Wajah kamu murung. Tidak biasanya kamu seperti ini. Apa ada masalah?" Shinta melangkah ke arah rerumputan hijau yang nampak sangat indah. Saat ini mereka sedang meninjau lokasi proyek di salah satu daerah wisata di sumatera barat. Rein mengikuti langkah Shinta menuju sungai kecil tak jauh dari tempat mereka berdiri. Hari sudah sore. Mereka baru saja selesai diskusi dengan beberapa perwakilan dari warga sekitar lokasi dan kontraktor yang akan bekerja sama. Rein menghampiri Shinta yang berdiri membelakanginya. Bahu wanita itu sedikit berguncang. "Kamu menangis lagi, Shinta," gumam Rein nyaris tak terdengar. Perlahan Rein melangka
Rein membuka matanya dan langsung tertuju pada Shinta yang masih terbaring. Jam pada pergelangan tangannya nenunjukkan pukul enam pagi. Perlahan dia bangkit mendekati ranjang. Punggung tangannya yang kokoh ditempelkan pada dahi wanita yang masih memakai hijabnya itu. "Demam ....," gumamnya. Shinta mengerjapkan matanya merasakan sesuatu yang hangat menempel di keningnya. "Rein, tolong antar aku ke kamarku!" lirih Shinta dengan suara yang mulai serak. "Baiklah. Ayo!" Rein membungkuk hendak menggendong Shinta. "Ja-jangan, Aku bisa berjalan!" Shinta menahan kedua tangan Rein yang hendak mengangkat tubuhnya. Akhirnya Rein membantu Shinta untuk berdiri dan memapahnya keluar kamar. Dia mengerti. Shinta pasti tidak akan nyaman berada di kamarnya terus. Debaran demi debaran mereka rasakan saat ini. Tubuh mereka sangat dekat bahkan saling bersentuhan. Tak ada yang sanggup berbicara hingga Shinta sampai ke kamarnya. Mereka sibuk menahan rasa yang tak menentu serta detak jantung yang semak
Rein perlahan melangkahkan kakinya keluar dari kamar Shinta. Saat ini Raka lebih berhak atas diri Shinta. Dia tak punya hak apapun untuk menjauhkan Shinta dari suaminya. Sementara Raka tersenyum senang melihat Rein tak lagi berdekatan dengan istrinya. Setelah menutup pintu, Raka kembali menghampiri Shinta. "Sayang, Aku akan merawatmu di sini sampai kamu pulih, kemudian kita pulang." Raka merubah rencana untuk segera kembali ke Jakarta. Mungkin beberapa hari berdua saja dengan istrinya itu akan memperbaiki hubungannya kembali. Shinta tak menjawab. Dia masih tak percaya dengan kehamilan keduanya ini. Bagaimana nanti dengan perusahaannya. Apa dia masih bisa terjun mengawasi perusahannya secara langsung? Lalu bagaimana dengan skandal antara suaminya dengan wanita bernama Aina itu? "Sayang, kamu mau makan apa? Biar nanti aku pesankan. Kamu pasti belum sarapan." Raka terus berbicara sambil mengompres istrinya. Sesekali mengecup mesra kening Shinta dan membelainya dengan lembut. "Aku ing
"Maira Sayang, kamu dimana?" Shinta yang baru saja kembali masuk ke kamar mandi, bernapas lega. Ternyata yang datang adalah suaminya. Perlahan melangkah keluar masih menggunakan jubah mandinya. "Aku di sini, Mas," sahutnya dingin seraya melepas jubah mandi dan kembali menggantungnya di dekat pintu kamar mandi. "Kenapa tidak tunggu Aku?" Raka menghampiri Shinta yang kini hanya berbalut handuk. Dirinya hanya bisa menelan saliva melihat pemandangan yang memancing hasratnya. Andai saja Shinta sedang tidak sakit, tentu ia sudah tak sabar ingin membawanya ke ranjang. Raka akui, Shinta jauh lebih cantik dari pada Aina. Hanya saja Aina sangat pandai memuaskannya di ranjang. Shinta adalah wanita yang sangat lembut dan sangat menjaga kehormatannya. Oleh sebab itu, Shinta tidak pernah berskap seliar Aina dimanapun dia berada. Kadang Raka merasa menyesal, kenapa tak pernah bisa menolak Aina dalam masalah ranjang. Istri simpanannya itu sukses membuatnya candu pada tubuhnya. Namun untuk cinta
"Maira, ada apa?" Sontak Shinta menoleh ke belakang. Ternyata Raka telah terjaga dan duduk di belakangnya. Raka kembali hendak meraihnya. Namun Shinta beringsut mundur. Merasa tak sudi jika Raka kembali memeluknya. Shinta menghapus air mata dengan punggung tangan. Dadanya naik turun menahan emosi. "Maira ... kenapa ...?" "Cukup, Mas! Lebih baik kamu kembali ke Jakarta dan temui perempuan itu!" Shinta berkata tegas dengan gemuruh hebat di dadanya. "Sayang ... kamu bicara apa? Perempuan apa?" Raka pura-pura bingung dengan senyum yang dibuat-buat. Padahal di dalam hatinya dia merasa sangat cemas mendengar perkataan Shinta. Dari mana istrinya itu tau kalau Aina ada di Jakarta? Tanpa menjawab, Shinta bangkit ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya sebentar, kemudian merapikan pakaiannya dan mengenakan hijabnya. "Kamu mau ke mana, Sayang?" Wajah Raka terlihat panik melihat Shinta sudah rapi. Setelah meraih tasnya yang berada di meja rias, Shinta melangkah menuju pintu keluar t
Raka masih menahan emosinya. Ingin rasanya menyusul Shinta dan mengajaknya kembali ke kamar. Namun itu tak mungkin dia lakukan. Shinta akan semakin marah. Hubungan mereka pun akan semakin buruk. Dia tak ingin kehilangan Shinta. Cintanya pada Shinta tak pernah berubah. Susah payah Raka menahan emosinya. Menekan sikap egonya sebagai laki-laki. Mengesampingkan rasa cemburu yang membabi-buta. Padahal tangannya sudah gatal sejak tadi ingin menghajar Rein. Tak peduli tubuh pria setengah bule itu jauh lebih besar darinya. Namun dia tak ingin ceroboh. Biarlah saat ini mengalah, demi keutuhan rumah tangganya bersama dengan Shinta. Raka merasakan getaran di saku celana yang ternyata berasal dari ponselnya. Perlahan diraihnya telepon genggam itu dan membukanya.Ternyata panggilan pada ponselnya itu dari Aina. Wanita yang tak bisa dia hindari. Kemanapun Raka pergi, Aina akan terus mengejar dan mengancamnya. "H-hallo!" "Raka, kamu di mana? Aku menunggumu di hotel sejak kemarin. Jangan main-mai
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”Kehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Berita tentang Syafa ada hubungan dengan pejabat bernama Boy Azka yang dihubungkan dengan artis lawas bernama Kirana memang sempat memanas di masyarakat dan media sosial. Namun hal itu perlahan hilang dari media. Tentu saja ini adalah hasil kerja beberapa anak buah Boy Azka. Ternyata dalam hal ini, dengan uang segalanya akan menjadi mudah. Tak ada lagi media yang mengekspos berita tersebut. Sejak kejadin itu Boy Azka mulai hati-hati. Ia tak lagi berani bertemu Syafa di tempat umum, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai gantinya, setiap sebulan sekali Syafa akan menginap di rumah Boy Azka bersama Paul. Hubungan keluarga mereka sudah sangat harmonis. Lintang yang tadinya memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Syafa, justru kini sangat perhatian pada adik tirinya itu. Bahkan kadang membuat Paul cemburu karena Syafa begitu dekat dengan kedua kakak lelakinya. "Kak, hari ini acara syukuran Bapak dan Ibu pulang dari Haji. Kita ke sana, yuk!" Syafa bergelayut manja pada suaminya yang
"Dia tampan sekali seperti Kamu, Mas." Anita memandang takjub pada bayi laki-laki yang menggeliat di dalam box bayi milik rumah sakit itu. "Ya, dia yang akan menggantikan kita nanti di perusahaan. Dia akan menjadi pebisnis handal," lirih Indra tanpa senyum. Perasaan pria itu masih belum tenang karena ibu dari sang bayi tersebut masih belum.sadar. "Semoga ibumu segera bangun, Nak!" parau suara Indra menahan sedih. Dokter bilang Aina kelihangan banyak darah ketika melahirkan tadi. Saat ini istri mudanya itu sedang ditangani oleh dokter ahli. "Sabar, Mas. Kita doakan saja semoga Aina segera sadar." Anita membelai pelan punggung suaminya. Dadanya sesak melihat Indra memandang bayinya dengan tatapan sedih. "Anita, jika terjadi sesuatu pada Aina, apakah Kamu mau merawat anak ini?" "Astaghfirullah, Mas. Ayo optimis, dong, Mas! Aina pasti akan sembuh. Aku pasti akan membantu Aina merawat dan menyayangi bayi ini sepenuh hati." Anita memandang gemas bayi merah yang berwajah tampan itu. M
"Om Indraaa ...! Aduh, sakit, Om ...! Om Indraaa ...!" Aina berteriak sambil memegang perutnya yang sudah semakin besar. Ia terduduk lemas di ranjang kamarnya. Suaranya terdengar hingga keluar karena pintu kamar yang sengaja ia buka sejak tadi. Indra yang sedang berada di ruang kerjanya bersama Anita tergopoh-gopoh menghampiri istri mudanya. Anita pun mengikuti dari belakang dengan panik. "Kenapa Aina? Apa Kamu mau melahirkan?" cecar Indra bingung. Pria paruh baya itu berjalan mondar mandir di depan Aina, entah apa yang harus ia lakukan melihat wajah pucat Aina. Keringat dingin membasahi wajah istrinya itu. "Aduh, Om. Sakit sekalii. Aku nggak tahan ...!"Aina terus merintih. Tubuhnya bergetar hebat menahan sakit. "Maas, cepetan siapin mobil! Kita bawa Aina ke rumah sakit, segera!" teriak Anita yang juga sibuk kesana-kemari di kamar Aina seperti sedang mencari sesuatu "Mbaaak, Mbaaak, ini ART pada kemana, sih?" Anita masih berteriak memanggil para ARTnya. "Ya, Bu. Ada apa?" seora
"Tolong cepat, Pak!" Rein menepuk pelan bahu sang supir yang melajukan mobil ke Bandar Udara International Kuala Lumpur. Supir itu mengangguk. Berkali-kali Rein menoleh pada jam tangannya. Ia tak ingin terlambat ikut penerbangan pagi itu. Semalam, setelah menerima panggilan dari Yuda, Rein merenung. Awalnya ia berpikir Yuda tidak serius. Bagaimana mungkin Maira bisa hamil, sementara ia sudah divonis oleh dokter akan sulit untuk memiliki keturunan? Lalu ia ingat kata-kata Maira yang mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sulit untuk punya keturunan, bukan berarti tidak bisa. Sempat terlintas di benaknya hal negatif tentang Maira. Jangan-jangan itu bukan anaknya? Namun dugaan itu segera ia tepis, karena ia sangat percaya Maira adalah seorang istri yang setia. Pria dengan jambang lebat itu ingin membuktikan sendiri ucapan Yuda semalam. Apa ini hanya akal-akalan sahabatnya saja agar dia kembali ke indonesia? Akhirnya malam itu juga Rein yang belum tidur sejak kemarin,
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b