Mohon maaf jika update bab nya lama ya kakak, sambil menunggu Bab baru, baca juga karya aku berjudul AIR MATA MADUKU.
"Maira Sayang, kamu dimana?" Shinta yang baru saja kembali masuk ke kamar mandi, bernapas lega. Ternyata yang datang adalah suaminya. Perlahan melangkah keluar masih menggunakan jubah mandinya. "Aku di sini, Mas," sahutnya dingin seraya melepas jubah mandi dan kembali menggantungnya di dekat pintu kamar mandi. "Kenapa tidak tunggu Aku?" Raka menghampiri Shinta yang kini hanya berbalut handuk. Dirinya hanya bisa menelan saliva melihat pemandangan yang memancing hasratnya. Andai saja Shinta sedang tidak sakit, tentu ia sudah tak sabar ingin membawanya ke ranjang. Raka akui, Shinta jauh lebih cantik dari pada Aina. Hanya saja Aina sangat pandai memuaskannya di ranjang. Shinta adalah wanita yang sangat lembut dan sangat menjaga kehormatannya. Oleh sebab itu, Shinta tidak pernah berskap seliar Aina dimanapun dia berada. Kadang Raka merasa menyesal, kenapa tak pernah bisa menolak Aina dalam masalah ranjang. Istri simpanannya itu sukses membuatnya candu pada tubuhnya. Namun untuk cinta
"Maira, ada apa?" Sontak Shinta menoleh ke belakang. Ternyata Raka telah terjaga dan duduk di belakangnya. Raka kembali hendak meraihnya. Namun Shinta beringsut mundur. Merasa tak sudi jika Raka kembali memeluknya. Shinta menghapus air mata dengan punggung tangan. Dadanya naik turun menahan emosi. "Maira ... kenapa ...?" "Cukup, Mas! Lebih baik kamu kembali ke Jakarta dan temui perempuan itu!" Shinta berkata tegas dengan gemuruh hebat di dadanya. "Sayang ... kamu bicara apa? Perempuan apa?" Raka pura-pura bingung dengan senyum yang dibuat-buat. Padahal di dalam hatinya dia merasa sangat cemas mendengar perkataan Shinta. Dari mana istrinya itu tau kalau Aina ada di Jakarta? Tanpa menjawab, Shinta bangkit ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya sebentar, kemudian merapikan pakaiannya dan mengenakan hijabnya. "Kamu mau ke mana, Sayang?" Wajah Raka terlihat panik melihat Shinta sudah rapi. Setelah meraih tasnya yang berada di meja rias, Shinta melangkah menuju pintu keluar t
Raka masih menahan emosinya. Ingin rasanya menyusul Shinta dan mengajaknya kembali ke kamar. Namun itu tak mungkin dia lakukan. Shinta akan semakin marah. Hubungan mereka pun akan semakin buruk. Dia tak ingin kehilangan Shinta. Cintanya pada Shinta tak pernah berubah. Susah payah Raka menahan emosinya. Menekan sikap egonya sebagai laki-laki. Mengesampingkan rasa cemburu yang membabi-buta. Padahal tangannya sudah gatal sejak tadi ingin menghajar Rein. Tak peduli tubuh pria setengah bule itu jauh lebih besar darinya. Namun dia tak ingin ceroboh. Biarlah saat ini mengalah, demi keutuhan rumah tangganya bersama dengan Shinta. Raka merasakan getaran di saku celana yang ternyata berasal dari ponselnya. Perlahan diraihnya telepon genggam itu dan membukanya.Ternyata panggilan pada ponselnya itu dari Aina. Wanita yang tak bisa dia hindari. Kemanapun Raka pergi, Aina akan terus mengejar dan mengancamnya. "H-hallo!" "Raka, kamu di mana? Aku menunggumu di hotel sejak kemarin. Jangan main-mai
Shinta merasakan tubuhnya sangat lelah. Mungkin seharusnya dia memang istirahat. Tapi berlama-lama bersama Raka di kamar hotel membuatnya kembali mengingat wanita yang bernama Aina itu. Dengan bekerja, masalah dapat dia lupakan walau sesaat. "Wajahmu pucat. Sebaiknya kita makan dulu!" ajak Rein saat perjalanan kembali ke hotel. "Boleh. Sepertinya Aku memang sering lapar belakangan ini Bisa bahaya kalau berat badanku naik banyak," sahut Shinta terkekeh. "Wajarlah. kamu makan bukan untuk dirimu sendiri. Tapi ada seseorang di dalam sana yang juga harus sehat." Rein berkata lembut sambil melirik sekilas pada perut wanita di sampingnya.Shinta tersentuh karena merasa Rein lebih perhatian ketimbang Raka. Padahal anak yang sedang dikandungnya saat ini adalah anak Raka. "Arman, kita berhenti di restoran depan!""Baik, Pak!" Arman menuruti permintaan Rein dan berhenti di depan sebuah restoran padang yang cukup mewah. "Mau makan apa, hum ..? Soto padang atau sup iga?" Tawaran Rein membu
"Mesra apanya? Ah, kamu ada-ada aja, Sayang. Kamu pasti salah dengar." Raka mencoba tertawa untuk menutupi kecerobohannya barusan. Dalam hati dia merutuki kebodohannya. Semoga saja istrinya itu tidak marah lagi padanya. Shinta menatap Raka dengan ekspresi datar. Entahlah, saat ini dia sedang tidak berminat untuk bicara lebih banyak dengan suaminya itu. "Jelas-jelas Aku mendengar nada bicaranya yang begitu lembut tadi," bathin Shinta kesal. Tanpa kata, Shinta melangkah melewati Raka menuju lift. Di belakangnya menyusul Rein dan Arman. "Sayang ..., tunggu sebentar! Aku ada kejutan untukmu." Raka meraih tangan Shinta dan menahannya tepat di depan lift. Tak jauh dari tempat mereka, Rein dan Arman berdiri menunggu lift terbuka. "Maaf, Mas. Aku lelah. Mau istirahat," sahut Shinta singkat masih dengan ekspresi datar. "Sebentar saja. Aku hanya ingin mengajakmu makan malam. Mau, Ya? Kamu pasti belum makan." Raka hampir putus aja melihat sikap Shinta yang masih saja dingin dan acuh pa
Hafiz merasa ada sesuatu yang tidak beres pada rumah tangga adiknya. Sejak Shinta menceritakan munculnya kembali wanita bernama Aina padanya waktu itu, dirinya tak tenang. Dalam beberapa hari ini Pratama meminta Hafiz untuk mengawasi Eternal Group selama kepergian Shinta dan Raka ke Sumatera. Untuk itu hari ini Hafiz datang menghampiri Dewi-sekretaris pribadi Shinta. "Apa ada masalah?" tanya Hafiz seraya membuka agenda pertemuan yang seharusnya dihadiri oleh Raka hari ini. "Untuk sementara tidak ada, Pak!" Hafiz mengangguk. Namun sejak tadi dia melihat Said sangat sibuk, bahkan tidak keluar untuk makan siang. Perlahan Hafiz menghampiri meja Said yang berada di depan ruangan Raka. "Said, apa ada masalah?" Hafiz melihat Said sangat terkejut dan gugup. "Ah, ti-tidak, Pak. Tidak ada masalah, Kok!" Entah kenapa Hafiz melihat ada yang sedang disembunyikan oleh asisten pribadi Raka itu. "Baiklah. Jika ada sesuatu yang bisa aku bantu, katakan saja!" pesan Hafiz sebelum meninggalkan
"Maira, boleh Ayah bicara sebentar?" Pratama duduk tak jauh dari putrinya itu. Saat ini mereka masih berada di ruang keluarga bersama Bu Nuri dan Kaisar. "Ada apa, Yah?" Seorang babysitter meraih Kaisar dari pangkuan Shinta dan membawanya ke dalam. Bu Nuri yang tidak ingin ikut campur dalam perbincangan yang sepertinya serius, pamit hendak membantu menyiapkan makan siang mereka yang telah tertunda. "Tadi di bandara Ayah melihat Reinhard-putra Robert berjalan tak jauh di depan kalian. Apa kalian satu pesawat?" Tenggorokan Shinta seakan tercekat. Apa yang harus dia katakan? Apakah sang Ayah akan murka jika dia berterus terang? "Maira ..., kenapa diam?" Shinta mendesah cemas. "Iy-iya, Ayah. Rein adalah relasi bisnisku sekarang ini." Shinta memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya. "Apaa? Relasi bisnis? Kamu tidak salah?" Kepanikan mulai merasuki Pratama. Dia menganggap Rein dapat mengancam keselamatan putri satu-satunya itu. "Rein kini mengelola sebuah perusahaan. Aku yakin,
"Makan yang banyak bumil, biar kuat!" Hafiz menambahkan sesendok tumisan capcai ke piring Shinta. Sontak membuat adik tirinya itu melotot melihat isi piringnya semakin penuh. "Kuat ngapain? Kamu pikir aku mau melahirkan sekarang?" sanggah Shinta. "Agar kamu kuat menghadapi kenyataan hidup nantinya!" sahut Hafiz santai, namun sukses membuat Raka tersedak minuman yang sedang diteguknya. "Kamu kenapa, Mas?" Shinta menoleh pada wajah Raka yang memerah. "Nggak, nggak apa-apa. Hanya tersedak," jawab Raka sedikit gugup. Makan siang kali ini cukup hangat karena kehadiran Pratama bersama Bu Nuri dan Hafiz.Shinta memiliki kesempatan bermanja-manja dengan Ayahnya. Sementara Hafiz beberapa kali menggoda adik tirinya. "Lusa Aku mau ke Bandung. Rencananya Aku dan para managerku akan mengadakan meeting di sana selama tiga hari." Hafiz mulai berbicara serius. "Oh ya, Aku dengar Raka memiliki beberapa hotel mewah di sana. Bisa rekomendasikan padaku, hotel mana saja dan fasilitasnya?"lanjut Ha
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”Kehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Berita tentang Syafa ada hubungan dengan pejabat bernama Boy Azka yang dihubungkan dengan artis lawas bernama Kirana memang sempat memanas di masyarakat dan media sosial. Namun hal itu perlahan hilang dari media. Tentu saja ini adalah hasil kerja beberapa anak buah Boy Azka. Ternyata dalam hal ini, dengan uang segalanya akan menjadi mudah. Tak ada lagi media yang mengekspos berita tersebut. Sejak kejadin itu Boy Azka mulai hati-hati. Ia tak lagi berani bertemu Syafa di tempat umum, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai gantinya, setiap sebulan sekali Syafa akan menginap di rumah Boy Azka bersama Paul. Hubungan keluarga mereka sudah sangat harmonis. Lintang yang tadinya memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Syafa, justru kini sangat perhatian pada adik tirinya itu. Bahkan kadang membuat Paul cemburu karena Syafa begitu dekat dengan kedua kakak lelakinya. "Kak, hari ini acara syukuran Bapak dan Ibu pulang dari Haji. Kita ke sana, yuk!" Syafa bergelayut manja pada suaminya yang
"Dia tampan sekali seperti Kamu, Mas." Anita memandang takjub pada bayi laki-laki yang menggeliat di dalam box bayi milik rumah sakit itu. "Ya, dia yang akan menggantikan kita nanti di perusahaan. Dia akan menjadi pebisnis handal," lirih Indra tanpa senyum. Perasaan pria itu masih belum tenang karena ibu dari sang bayi tersebut masih belum.sadar. "Semoga ibumu segera bangun, Nak!" parau suara Indra menahan sedih. Dokter bilang Aina kelihangan banyak darah ketika melahirkan tadi. Saat ini istri mudanya itu sedang ditangani oleh dokter ahli. "Sabar, Mas. Kita doakan saja semoga Aina segera sadar." Anita membelai pelan punggung suaminya. Dadanya sesak melihat Indra memandang bayinya dengan tatapan sedih. "Anita, jika terjadi sesuatu pada Aina, apakah Kamu mau merawat anak ini?" "Astaghfirullah, Mas. Ayo optimis, dong, Mas! Aina pasti akan sembuh. Aku pasti akan membantu Aina merawat dan menyayangi bayi ini sepenuh hati." Anita memandang gemas bayi merah yang berwajah tampan itu. M
"Om Indraaa ...! Aduh, sakit, Om ...! Om Indraaa ...!" Aina berteriak sambil memegang perutnya yang sudah semakin besar. Ia terduduk lemas di ranjang kamarnya. Suaranya terdengar hingga keluar karena pintu kamar yang sengaja ia buka sejak tadi. Indra yang sedang berada di ruang kerjanya bersama Anita tergopoh-gopoh menghampiri istri mudanya. Anita pun mengikuti dari belakang dengan panik. "Kenapa Aina? Apa Kamu mau melahirkan?" cecar Indra bingung. Pria paruh baya itu berjalan mondar mandir di depan Aina, entah apa yang harus ia lakukan melihat wajah pucat Aina. Keringat dingin membasahi wajah istrinya itu. "Aduh, Om. Sakit sekalii. Aku nggak tahan ...!"Aina terus merintih. Tubuhnya bergetar hebat menahan sakit. "Maas, cepetan siapin mobil! Kita bawa Aina ke rumah sakit, segera!" teriak Anita yang juga sibuk kesana-kemari di kamar Aina seperti sedang mencari sesuatu "Mbaaak, Mbaaak, ini ART pada kemana, sih?" Anita masih berteriak memanggil para ARTnya. "Ya, Bu. Ada apa?" seora
"Tolong cepat, Pak!" Rein menepuk pelan bahu sang supir yang melajukan mobil ke Bandar Udara International Kuala Lumpur. Supir itu mengangguk. Berkali-kali Rein menoleh pada jam tangannya. Ia tak ingin terlambat ikut penerbangan pagi itu. Semalam, setelah menerima panggilan dari Yuda, Rein merenung. Awalnya ia berpikir Yuda tidak serius. Bagaimana mungkin Maira bisa hamil, sementara ia sudah divonis oleh dokter akan sulit untuk memiliki keturunan? Lalu ia ingat kata-kata Maira yang mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sulit untuk punya keturunan, bukan berarti tidak bisa. Sempat terlintas di benaknya hal negatif tentang Maira. Jangan-jangan itu bukan anaknya? Namun dugaan itu segera ia tepis, karena ia sangat percaya Maira adalah seorang istri yang setia. Pria dengan jambang lebat itu ingin membuktikan sendiri ucapan Yuda semalam. Apa ini hanya akal-akalan sahabatnya saja agar dia kembali ke indonesia? Akhirnya malam itu juga Rein yang belum tidur sejak kemarin,
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b