Raka berjalan maju beberapa langkah untuk mengetahui lebih jelas. Tiba-tiba wajahnya menggelap dengan kedua tangannya mengepal kencang. Jantungnya berdetak cepat dengan napas yang memburu. "Rein ...!" geramnya. Dari jarak beberapa meter Raka memperhatikan kedekatan antara istrinya dan Rein. Suami Shinta itu duduk pada meja yang agak tersembunyi dan tidak mudah terlihat dari tempat Shinta dan Rein duduk. Memang tidak ada yang istimewa. Namun Shinta terlihat sangat rileks dan nyaman berbincang dengan Rein. Raka heran. Kenapa Istrinya itu sama sekali tidak takut pada Rein. Jelas-jelas pria itu pernah menjadi ancaman untuknya. Bahkan Rein pernah masuk penjara. Raka bangkit hendak menghampiri mereka. Namun tiba -tiba langkahnya terhenti. Bagaimana jika Rein nanti membongkar rahasianya pada Shinta? Bagaiman jika Rein menceritakan pertemuannya di Bandung kemarin? Akhirnya Raka memutuskan mengurungkan niatnya untuk menghampiri istrinya. Setelah menyadari begitu banyak panggilam tak ter
Shinta melihat kekecewan pada Rein. Dia dapat merasakannya. Namun memang itu jawaban yang harus dia katakan. "Baiklah. Terima kasih untuk meeting kali ini. Aku tunggu kabar berikutnya." Shinta berdiri dan bersiap hendak pergi. "Aku antar!" Rein ikut berdiri "Tidak usah. Seperti biasa, Aku pakai supir."tegas shinta seraya menangkupkan kedua tangannya di dada, kemudian berbalik meninggalkan Rein. Pria tampan yang tingginya di atas rata-rata itu hanya bisa menatap punggung wanita yang selalu mengisi hatinya, hingga menghilang di balik pintu kaca restauran ini. --------- "Maira, aku ingin bicara." Raka tiba-tiba masuk dan menghampiri Shinta yang masih berkutat dengan laptopnya. "Siapa sebenarnya pemilik Anggada Jaya?" tanya Raka berapi-api. Pria itu tak bisa menyembunyikan emosinya. Sementara Shinta masih tenang. Pandangannya masih fokus pada layar laptop di hadapannya. "Mas mau tau aja apa mau tau banget?" jawab Shinta berusaha meredam emosi suaminya. Dia menduga Raka sudah tah
Raka kembali mengatakan hendak ke Bandung pagi ini. Seperti biasa, Shinta membantu menyiapkan pakaian dan segala sesuatu untuk keperluan suaminya.Walaupun sebagai pemilik tunggal sebuah perusahaan besar, Shinta tetaplah seorang istri. Dia masih punya kewajiban mengurus suaminya. Inilah salah satu yang membuat Raka kagum pada wanita itu. Shinta selalu mengurusnya dengan baik. "Berapa hari, Mas?" tanya wanita itu seraya menutup koper yang sudah selesai ditata isinya. "Mungkin tiga hari," sahut Raka yang masih sibuk membalas pesan pada ponselnya. Shinta yang sejak tadi juga sudah rapi dengan pakaian kantornya, juga akan bersiap-siap hendak ke kantor. "Nyetir sendiri lagi, Mas?" Raka mengangguk. Shinta sudah menduga jawaban dari Raka. Tentu Raka tak ingin diketahui siapapun tentang apa yang dia lakukan di Bandung. Diam-diam Shinta telah memesan taksi dan meminta pengemudinya menunggu di seberang rumahnya. Setelah selesai sarapan, Raka yang nampak terburu-buru bergegas pergi. Tan
Sungguh ia tak percaya akan melihat Aina di sini. Jantungnya berdetak cepat melihat Aina yang tampak jauh lebih cantik dan seksi. Hatinya semakin gelisah ketika langkah wanita itu menuju arah meja tempat suaminya berada. Hatinya memanas kala suaminya berdiri menyambut kedatangan wanita berpakaian ketat dan terbuka itu. Tak terasa air mata mulai mengalir dari kedua sudut netranya. Kali ini hatinya terasa remuk redam saat kemudian wanita itu menghambur ke dalam pelukan suaminya. Mereka begitu mesra. Shinta merasakan dadanya penuh sesak, seakan dihimpit batu besar. Aina, wanita masa lalu Raka. Wanita yang dulu sangat dekat dengan suaminya ketika mereka kuliah di luar negri. Sampai-sampai Aina hamil oleh Raka. Beruntung Aina keguguran, hingga perbuatan yang memalukan itu tidak sampai terdengar oleh keluarga mereka. Namun wanita itu tak pernah bisa melupakan Raka. Apapun akan dia lakukan untuk bisa kembali bersama Raka. Sepasang manusia yang sedang bermesraan itu tak menyadari ada hat
"Raka, jika kamu tetap mengejar perempuan itu, Aku akan bongkar semua rahasiamu sekarang juga!" Raka terperanjat, tiba-tiba saja Aina sudah berada di belakangnya. "Dia istriku, Aina!" sahut Raka dengan suara meninggi. "Aku juga istrimu! Apa kamu lupa, hah?"Aina berdiri dengan sombong seraya melipat kedua tangannya di bawah dada. Sorot matanya tajam semakin tampak angkuh dengan gaya rambutnya yang berkibar. Raka meremas rambutnya sendiri. Dalam hatinya tak henti-hentinya merutuki diri yang tak sanggup melawan Aina. Ancaman demi ancaman yang perempuan itu ucapkan membuatnya tak berdaya hingga mengabaikan Shinta, Istri sahnya. Raka dan Aina kembali ke meja mereka. Dalam hatinya Raka berdoa semoga Shinta baik-,baik saja. Dia yakin Istrinya ke Bandung pasti dengan supir. Mungkin dia akan menghubungi supirnya itu nanti untuk menanyakan keadaan Shinta. "Aina, sampai kapan kamu selalu akan mengancamku seperti ini? Semua keinginanmu sudah aku turuti. Bahkan aku rela menikahimu, meningg
"Siapkan laporan keuangan selama enam bulan terakhir. Aku ingin lebih detail dan rinci. Bukan garis besar seperti yang kamu berikan beberapa hari yang lalu." Said tampak kebingungan. Wajahnya memucat.Tubuhnya mulai gemetar. Shinta terheran dan menatap tajam pada pria tinggi berkacamata itu. "Kenapa diam? Ada apa sebenarnya?" Shinta melipat tangannya di dada dan memiringkan kepalanya. Sorot mata tajam seakan menyelidik, masih tertuju pada Said. "Eeh ... t-tidak ada apa-apa, Bu. S-saya siapkan dulu. Permisi!" Said memutar badannya dan langsung melangkah keluar. "Sudah kuduga. Pasti ada yang tidak beres," pikir Shinta. Shinta Humaira, mulai hari ini dia akan datang ke kantor setiap hari setelah mencurigai adanya skandal antara suaminya dan Aina, wanita masa lalu Raka. Sebagai pemilik tunggal PT Eternal Group, Shinta akan memeriksa satu persatu kondisi keuangan semua anak perusahaannya. Pagi itu, tanpa kehadiran Raka, Shinta hendak mengadakan rapat besar dengan semua pimpinan da
"Mau kemana Raka? Aku masih ingin bersamamu." Aina protes melihat Raka beranjak dari ranjang Tubuh polos mereka masih basah oleh keringat. Mereka baru saja bercinta sepanjang malam layaknya pengantin baru. "Aku harus kembali ke Jakarta pagi ini. Shinta tak menjawab panggilan telponku sejak kemarin." Aina menyeringai. "Bagus dong. Semoga dia mampus sekalian," gumamnya pelan nyaris tak terdengar, seraya membuang pandangan ke arah lain. Aina mengikuti Raka yang sudah masuk ke kamar mandi. Dia berniat hendak kembali mengajak Raka bercinta di sana. Sungguh dia tak mau Raka sampai kembali ke Jakarta secepat ini. Raka tak ingin menghiraukan Aina. Di kepalanya saat ini hanya ada Shinta. Wajah istrinya itu selalu berputar di kepalanya. "Sudahlah Aina. Aku harus segera ke Jakarta. Aku janji akan segera kembali setelah urusanku dan Shinta selesai." Raka bergegas hendak menyelesaikan ritual mandinya. Namun Aina terus mencoba menggodanya dengan gerakan sensual yang begitu menggoda. Raka
"Maira ..., maafkan Aku. Yang kemarin kamu lihat itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku memang sedang ada bisnis dengan sebuah perusahaan. Aku baru tau kemarin bahwa perwakilan dari perusahaan itu adalah Aina." Shinta tak mampu lagi membendung air matanya yang sejak kemarin ingin tumpah setelah melihat kemesraan suaminya dengan Aina. Luka itu terasa sangat nyeri hingga ke dasar hati. Shinta hanya diam. Dia menunggu alasan Raka kenapa tidak menyusulnya saat itu. Namun ternyata Raka tak membahasnya sedikitpun. Perlahan Shinta mengurai pelukan Raka yang tak lagi terasa hangat. Menghapus air matanya dan kembali duduk di kursi kebesarannya "Mulai hari ini. Ruangan ini adalah milikku. Dewi sudah memindahkan barang-barang Mas Raka ke ruang sebelah. Jika ingin lebih fokus dengan bisnis di Bandung, silakan!" Shinta bicara tegas tanpa menoleh pada Raka. Saat ini Shinta kembali membuka laporan keuangan pada laptopnya. Tanpa mempedulikan Raka yang masih berdiri memperhatikannya. Raka
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”Kehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Berita tentang Syafa ada hubungan dengan pejabat bernama Boy Azka yang dihubungkan dengan artis lawas bernama Kirana memang sempat memanas di masyarakat dan media sosial. Namun hal itu perlahan hilang dari media. Tentu saja ini adalah hasil kerja beberapa anak buah Boy Azka. Ternyata dalam hal ini, dengan uang segalanya akan menjadi mudah. Tak ada lagi media yang mengekspos berita tersebut. Sejak kejadin itu Boy Azka mulai hati-hati. Ia tak lagi berani bertemu Syafa di tempat umum, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai gantinya, setiap sebulan sekali Syafa akan menginap di rumah Boy Azka bersama Paul. Hubungan keluarga mereka sudah sangat harmonis. Lintang yang tadinya memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Syafa, justru kini sangat perhatian pada adik tirinya itu. Bahkan kadang membuat Paul cemburu karena Syafa begitu dekat dengan kedua kakak lelakinya. "Kak, hari ini acara syukuran Bapak dan Ibu pulang dari Haji. Kita ke sana, yuk!" Syafa bergelayut manja pada suaminya yang
"Dia tampan sekali seperti Kamu, Mas." Anita memandang takjub pada bayi laki-laki yang menggeliat di dalam box bayi milik rumah sakit itu. "Ya, dia yang akan menggantikan kita nanti di perusahaan. Dia akan menjadi pebisnis handal," lirih Indra tanpa senyum. Perasaan pria itu masih belum tenang karena ibu dari sang bayi tersebut masih belum.sadar. "Semoga ibumu segera bangun, Nak!" parau suara Indra menahan sedih. Dokter bilang Aina kelihangan banyak darah ketika melahirkan tadi. Saat ini istri mudanya itu sedang ditangani oleh dokter ahli. "Sabar, Mas. Kita doakan saja semoga Aina segera sadar." Anita membelai pelan punggung suaminya. Dadanya sesak melihat Indra memandang bayinya dengan tatapan sedih. "Anita, jika terjadi sesuatu pada Aina, apakah Kamu mau merawat anak ini?" "Astaghfirullah, Mas. Ayo optimis, dong, Mas! Aina pasti akan sembuh. Aku pasti akan membantu Aina merawat dan menyayangi bayi ini sepenuh hati." Anita memandang gemas bayi merah yang berwajah tampan itu. M
"Om Indraaa ...! Aduh, sakit, Om ...! Om Indraaa ...!" Aina berteriak sambil memegang perutnya yang sudah semakin besar. Ia terduduk lemas di ranjang kamarnya. Suaranya terdengar hingga keluar karena pintu kamar yang sengaja ia buka sejak tadi. Indra yang sedang berada di ruang kerjanya bersama Anita tergopoh-gopoh menghampiri istri mudanya. Anita pun mengikuti dari belakang dengan panik. "Kenapa Aina? Apa Kamu mau melahirkan?" cecar Indra bingung. Pria paruh baya itu berjalan mondar mandir di depan Aina, entah apa yang harus ia lakukan melihat wajah pucat Aina. Keringat dingin membasahi wajah istrinya itu. "Aduh, Om. Sakit sekalii. Aku nggak tahan ...!"Aina terus merintih. Tubuhnya bergetar hebat menahan sakit. "Maas, cepetan siapin mobil! Kita bawa Aina ke rumah sakit, segera!" teriak Anita yang juga sibuk kesana-kemari di kamar Aina seperti sedang mencari sesuatu "Mbaaak, Mbaaak, ini ART pada kemana, sih?" Anita masih berteriak memanggil para ARTnya. "Ya, Bu. Ada apa?" seora
"Tolong cepat, Pak!" Rein menepuk pelan bahu sang supir yang melajukan mobil ke Bandar Udara International Kuala Lumpur. Supir itu mengangguk. Berkali-kali Rein menoleh pada jam tangannya. Ia tak ingin terlambat ikut penerbangan pagi itu. Semalam, setelah menerima panggilan dari Yuda, Rein merenung. Awalnya ia berpikir Yuda tidak serius. Bagaimana mungkin Maira bisa hamil, sementara ia sudah divonis oleh dokter akan sulit untuk memiliki keturunan? Lalu ia ingat kata-kata Maira yang mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sulit untuk punya keturunan, bukan berarti tidak bisa. Sempat terlintas di benaknya hal negatif tentang Maira. Jangan-jangan itu bukan anaknya? Namun dugaan itu segera ia tepis, karena ia sangat percaya Maira adalah seorang istri yang setia. Pria dengan jambang lebat itu ingin membuktikan sendiri ucapan Yuda semalam. Apa ini hanya akal-akalan sahabatnya saja agar dia kembali ke indonesia? Akhirnya malam itu juga Rein yang belum tidur sejak kemarin,
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b