“Jadi, Bina dan El .. El siapa lagi namanya, lupa ... mereka itu anak kandungnya Ayah?” tanyaku dengan kilat gairah keingintahuan yang tinggi.
Tante Maya tersenyum, kemudian mengangguk. "Bina sama Elizha. Iya, mereka nasabnya sama sepertimu, Nak. Anak kandung Jian Prasaya. Hanya saja, kalian lahir dari rahim yang berbeda.”Aku kembali menatap keluar jendela. Menyadari betapa telah memupuk kebencian pada seseorang selama bertahun-tahun karena salah paham.Aku menunduk, menutup wajah dengan satu tangan. Hingga tanpa sadar, pertahananku yang telah rapuh sedari kemarin kembali meluruh.Tante Maya sigap merengkuh tubuh ini ke dalam pelukannya. Ia mengusap lembut rambutku dan membisikkan kata-kata untuk sekadar menguatkan.“Maafin Asha, Tante,” lirihku lalu perlahan mengurai pelukan. “Asha telah salah paham sama Tante dan Ayah.”“Tante tidak apa-apa. Tante hanya membantu Ayahmu menjelaskan kebenarannya. Dia takut kamu tidak mau berbAezar POVSudah seharian lebih, Asha pergi dari rumah. Aku benar-benar tidak tahu harus mencarinya di mana lagi sekarang?Ke kos Vina? Malam itu, aku ke sana dan ia mengaku tak tahu ke mana Asha?Jujur, aku tak percaya padanya, hingga kembali kudatangi esoknya lagi, tapi tidak lagi kutemukan wujudnya di sana. Kata Ibu kosnya, Vina pulang ke Makassar. Ke Sukabumi? Keluarganya Asha di sana sama sekali tak mau menemuiku. Jangankan mengobrol, pintu rumah saja enggan untuk dibuka. Pikiranku kalut hanya memikirkan Asha. Dia di mana? Apakah baik-baik saja atau tidak? Pesanku di i*******m sama sekali tak direspons. Sedangkan, aku tak punya nomor cadangannya. Hal yang membuatku semakin sakit karena ia meninggalkan kartu debit dan ponsel pemberianku untuk hadiah ulang tahunnya. Dia benar-benar pergi, tanpa ingin membawa jejakku. Bahkan, cincin kawin kami pun dilepas. Dia hanya menyematkan salam perpisahannya pada selembar kertas. Dear,Mas EzarMaaf, jika hadirku selama ini menyakitimu.
Lagi, napasku dibuat tercekat dengan kenyataan yang ada. Aku merasa sangat bodoh yang tak tahu apa-apa tentang istri sendiri. Selama ini, aku memang tak pernah berinisiatif bertanya padanya. “Saat umurnya Asha masih 9 tahun, mamanya bunuh diri karena gak terima suaminya menikah lagi diam-diam. Kamu ingat kemarin saat dia menyelamatkan orang bunuh diri?”Aku mengangguk pelan menjawab pertanyaan Bunda. “Bunda rasa itu karena dia ingat kejadian yang dialaminya dulu. Dia tidak mau hal itu terulang lagi. Asha gak bilang, tapi Bunda bisa baca dari sorot matanya,” ungkap Bunda. “Lebih jelasnya, kamu tanyakan pada Paman dan Bibinya Asha.”“Pergilah, temui mereka kembali,” pinta Bunda.“Tapi, Bun. Mereka gak mau bertemu denganku.”"Jadi kamu mau menyerah begitu saja?” tanya Papa menatapku nyalang. “Kamu mau kehilangan Asha?”Aku menggeleng kuat-kuat. Betapa tak bisa kubayangkan jika harus kehilangan Asha. “K
Terkejut?Pasti. Aku tak menyangka jika perginya Asha sudah sejauh ini. Aku bisa santai jika dia sengaja menghindar, tapi aku khawatir kondisinya yang belum stabil. Barangkali dia sudah menebak kalau aku akan mencarinya ke Sukabumi. Jadi, langsung pergi menjauh lintas pulau. Ah, aku tidak peduli. Walaupun bermil-mil pergi menjauh dariku, cinta untuknya tetap tumbuh subur. Rindu yang menggebu menjadikan rasa ini semakin dalam. “Aku akan menyusul Asha, Bu, Pak.”Mereka mengangguk-angguk sambil tersenyum tipis. “Pergilah besok saja, Nak. Nanti Bapak kirimkan alamat rumahnya. Kalau Nak Ezar kenal Vina— temannya Asha, mungkin bisa minta bantuan juga sama dia. Kemarin mereka berangkat bareng ke Makassar.”Jadi? Ternyata benar dugaanku kalau Vina memang tahu keberadaan Asha. “Ibu cuma berpesan sama Nak Ezar. Tolong jangan sakiti Asha. Jiwa dan hatinya sudah hancur sejak kecil. Nak Ezar mungkin melihatnya
“Nak, di luar ada yang mau ketemu sama kamu. Katanya dari Jakarta,” ucap Tante Maya mengalihkan fokusku dari ponsel. Jakarta? Siapa orang Jakarta yang tahu aku di sini? “Cowok apa cewek, Tante?”“Cowok.”“Orangnya tinggi gak, Tante?”Tante Maya mengangguk. “Tampan juga, Nak. Kayak aktor-aktor Cina gitu.”Huft!Aku memutar bola mata malas. Si Tante ini sepertinya juga doyan nonton drama Cina? Dari kriteria yang disebutkan, sepertinya aku sudah bisa menebak orangnya. “Disuruh pulang aja, Tante. Asha males ketemu orang,” ucapku dingin. “Baiklah.”Begitu Tante Maya berlalu, aku mengembuskan napas berat. Bangkit dari sofa dan mengintip ke arah pintu dari balik gorden. Samar, kudengar suara yang tak asing di telinga itu tengah mengobrol dengan Tante Maya. Mengapa dia datang ke sini? Beberapa saat kemudian, Tante Maya sudah duduk di dekatku. “Kamu
“Asha.”Mulut ini kembali terkunci mendapat teguran cinta dari Ayah. Alhasil, aku pun memasrahkan diri untuk masuk ke kamar, diikuti Pak Ezar. Tapi, Asha itu pintar. Di kamar, tak ada kesempatan Pak Ezar untuk bicara panjang lebar.Aku tak mau mendengar alasannya yang udah basi. Pun malas mendengar bualan manisnya yang pada akhirnya menyakitiku.Ah, memang benar kata orang bahwa yang manis-manis itu gampang menyakiti. Contohnya, mengkonsumsi permen dan cokelat secara berlebihan bisa bikin sakit gigi. "Kamu udah lepas gips?” tanya Pak Ezar yang duduk di tepi ranjang. Sedang aku, duduk di kursi dekat jendela dengan pandangan mengarah halaman.“Hmm. Kemarin ditemani Ayah buat lepas.”“Masih sakit?” tanyanya lagi. Aku mengangguk. Setidaknya, sudut mata ini melihatnya tak lepas menatapku dari kejauhan. ‘Duh, kan jadi gerogi ditatap begini.’“Kaki kamu masih sakit juga?”
Aku melongo sambil menyenggol lengan Bina. Sesekali melirik Pak Ezar yang susah payah menahan tawa. “Bin, jelaskan padanya itu pas apa?” pintaku pada Bina. “Pas saya lagi sendok itu es ke mulut, cuttt... itu ngilunya. Saya benar-benar langsung kehilangan momen kebersamaan ama sahabat-sahabat saya. Saya langsung beralih ke sensodyne. Semenjak saya pake sensodyne, udah gak ada lagi tuh rasa gigi ngilu. Sekarang wah saya mungkin makan paling banyak tuh. Kata teman-teman, ‘Eh, Rin. Pelan-pelan dong makannya. Kita belum kebagian, nih.’ Mas, es-nya yang banyak ya!”Aku dan Pak Ezar tak kuasa menahan tawa mendengar respons Bina menirukan gaya iklan di televisi itu. Bisa hapal begitu, ya? Duh, jadi keingat sama Almarhumah Mika. Dia juga doyan niru iklan. “Bina belum khatam pelajaran IPA bagian bab reproduksi, Kak. Jadi otak mungilnya Bina masih polos. Mending Kakak aja atau Kak Ezar yang jelaskan, waktu dan tempat disilakan.”
Menjelang subuh, aku bangun dan memutuskan untuk kembali ke kamar sebelum ketahuan sama Ayah dan Tante Maya kalau semalam aku tak tidur bareng suami. Bahaya kalau ketahuan, bisa diceramahi 7 hari 7 malam.Begitu masuk kamar, aku terpana melihat Pak Ezar tengah sibuk berkutat dengan laptopnya. Hah? Apa dia sangat sibuk sampai-sampai bangun secepat itu untuk bekerja? Atau jangan-jangan, dia memang tak tidur semalaman? ‘Hadeuh! Cari penyakit aja ini orang.’“Pak Ezar gak tidur semalaman?” tanyaku memecahkan keheningan. “Tidur, setengah 4 baru bangun buat kerja tadi.”Aku mengangguk-angguk membulatkan mulut berbentuk O. “Sibuk banget ya, Pak?” tanyaku yang sudah duduk di sudut ranjang. Dia menoleh ke arahku sebentar, lalu kembali memandang laptopnya. “Gak juga. Hanya ada sedikit pekerjaan resto yang harus diselesaikan sama bikin tugas untuk mahasiswa.”“Sibuk dikit gak apa
Mendengar ucapanku, raut wajah Vina seketika berubah. Dia menyenggol tanganku, lalu berkata, “Ih, Sha. Jangan diomongin, makeup-ku luntur nanti.”Aku terkekeh pelan guna menghiburnya. Salah memang jika membahas tentang Mika sekarang. Pastinya, akan banyak air mata yang keluar dari pelupuk kami masing-masing. “Iya deh, iya. Maaf.” Aku melap sudut mata indahku dengan ujung telunjuk. Berkedip berulang kali sekadar menahan buliran bening yang akan meluruh. “Sha, kamu ke sini bareng Pak Ezar?” tanya Vina mengalihkan pembicaraan. Aku mengangguk. “Lu sih yang ngundang dia gak omong-omong dulu ke gue.”“Kalian udah berbaikan?”Sebuah helaan napas kuberikan sebagai respons. "Rasanya gue belum bisa maafin dia.”“Iya, aku ngerti perasaan kamu. Tapi, gak ada salahnya juga kamu dengar penjelasannya Pak Ezar. Coba kamu bayangin? Dia bela-belain terbang ke Makassar, buat siapa coba kalo gak buat kamu?”“
Mas Ezar membawaku ke samping resto yang sepi-sepi orang. Entah ada tujuan apa dia membawaku ke sini? Sudah persis gadis polos mau diperkaos pria hidung belang. “Mas, kenapa dibawa ke sini?” tanyaku mengerucutkan bibir kesal. “Padahal masih pengen nyinyirin si pirang gatal itu.”“Makanya aku bawa ke sini untuk menepi sejenak, Sayang. Jangan nyinyir lagi ya. Yang ada nanti kamu stres kebawa janin kamu juga ikutan stres,” ujar Mas Ezar. Dia menopang tubuh dengan kedua tangannya pada tembok agar tubuh kami tak bersentuhan walau posisinya mengurungku pada tembok. Aku menghela napas panjang. Sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain agar terkesan judes. “Kamu kok belain dia, sih?”Mas Ezar menangkup wajahku dan menatap mata ini lekat. “Bukan membela, Sayang. Aku juga gak suka sikap dia tadi, tapi aku gak mau dia nyakitin kamu. Kamu tadi liat? Dia emosi kamu bilangin gatal. Untung gak jambak kamu.”“Aku kan bisa jambak balik,” cici
Begitu Bagas telah selesai bernyanyi dan Naila sedikit berlari turun dari panggung, barangkali lupa membawa stok urat malu. Hahaha. Bercanda urat malu!Seketika itu, aku pun terlintas ide untuk merayakan ulang tahun suamiku yang ke-29. Dari kemarin, aku berpikir keras bagaimana mengucapkan agar terkesan romantis dan tidak kaku macam sikapnya saat awal kami menikah. Aku pun naik ke panggung. Bukan untuk goyang ngebor di sana, tapi buat ngambil mic, lalu diskusi sebentar dengan Akang piano. Gak usah penasaran kami diskusi apaan? Intinya, setelah itu aku kembali ke tempat dudukku dengan mic di tangan. Saat ini, aku percaya diri dengan suaraku yang membahana, walau nyatanya seperti suara kodok. Masa bodoh dengan pandangan orang-orang, tapi aku bangga punya suara yang seksi ini, walau tak seseksi orangnya jika hanya berdua dengan Mas Ezar di kamar. Eya!Begitu musik mulai mengalun, aku membuka ponsel dan melihat lirik la
Belum sempat kusambut uluran tangan Ahsan, Mas Ezar yang entah muncul darimana lebih dulu menyambut tangan duda beranak satu itu. “Kami baik,” katanya sambil menarik pinggangku posesif hingga tubuh ini menabrak tubuhnya. “Duh, pocecip detected,” ucap Kak Akmal pelan. Dia sampai menutup mulut dan menoleh ke arah lain. Ia terlihat susah payah menahan tawanya. Ahsan tersenyum tipis. Barangkali menyadari kecemburuan Mas Ezar padanya. “Maaf ini, Mas, karena datang gak diundang. Cuma ikut-ikutan Kak Akmal,” kekeh Ahsan tak enak hati. “Gak apa-apa. Malah senang kalau banyak yang datang.”Mas Ezar mengulas senyum tipis berlagak sangat ramah. Padahal, kutahu hatinya tengah meradang melihat Ahsan mengulurkan tangannya padaku tadi. Dia pasti mengingat kejadian di pernikahan Vina kemarin, di mana saat itu Ahsan melamarku. Barangkali, sekarang ia tetap takut istrinya masih diincar oleh duduk beranak satu itu.
“Jangan cantik-cantik, Sayang. Aku takut nanti malah banyak yang naksir kamu di sana.” Lengan kekar Mas Ezar tiba-tiba saja sudah melingkar di perutku. Bahkan, kini hidungnya pun semakin liar menjelajahi leher ini.Ia sesekali memejamkan mata, kulihat dari cermin di hadapan kami..“Kalau aku jelek yang ada nanti kamu malu bersanding denganku. Katanya mau didampingi meresmikan resto,” ujarku masih mengoles tipis-tipis lipstik ke bibir. “Iya, tapi kalau cantiknya kebangetan aku takut kamu digodain laki-laki lain. Kamu gak pake makeup aja aku pede aja gandeng kamu, kok,” tutur Mas Ezar.Dia masih memeluk erat tubuh ini dari belakang. Napasnya yang hangat sesekali menyapu lembut di kulit leherku, aku bisa rasakan itu. “Aku yang malu tampil dengan muka burik tanpa polesan walau tipis, takut kebanting kegantengan Pak Dosen.”"Hmm, ya udah. Ayo kita pergi,” ajak Mas Ezar. Aku mengecek jam tangan, ternyata sudah puk
Sampai di rumah Ayah, aku memutuskan untuk istirahat sebentar. Habis perjalanan jauh dari Jakarta ke Makassar rasanya capek banget.Padahal, tadi di pesawat cuma duduk doang. Tak sedang mencoba goyang ngebor sambil kayang. Mungkin efek hamil juga jadi badan serasa pegal-pegal dari ujung kepala hingga ujung kaki.Entah berapa lama aku istirahat sampai tertidur hingga kembali terbangun saat alarm pengingat meeting berbunyi. Sore ini, aku memang ada meeting online dengan Bu Aina dan para karyawan Aina Fashion. Begitu meeting berakhir, aku keluar kamar dan mendapati Mas Ezar yang sedang main ular tangga dengan Elizha di ruang tengah. ‘Astaga, laki gue mau-mau aja diajak main ular tangga.’Aku tertawa cekikikan melihat wajah Mas Ezar kayak ditekuk bak orang terpaksa. Aku tebak, dia pasti dipaksa nemanin main oleh Elizha. Soalnya, anak itu kalau keinginannya ditolak suka ngambek sampai 7 hari 7 malam. “Udah gede
“Sayang, dia tadi cuma nanya kabar, jangan salah paham, ya.”Nanya kabar? Penting amat gitu tahu kabar suami orang? Mas Ezar langsung duduk di sampingku, tapi aku sengaja tak memedulikan. Terlihat jelas dari gelagatnya kalau dia bingung bagaimana cara menjelaskan keberadaan Manda padaku? Ah, kurasa hatinya sedang gundah gulana, takut aku marah padanya. Kuraih ponsel dan pura-pura sibuk chat-an untuk menambah kesan judes ini. “Zar, Sha ... karena kebetulan kita ketemu di sini ....” ‘Lah, terus kenapa kalau ketemu di sini? Mau kopral sambil kayang?’“Jadi, sekalian aja gue minta maaf dan pamit pada kalian, terkhusus pada lu, Zar,” lanjut Manda.Setidaknya, aku memasang telinga baik-baik untuk lebih memperjelas pendengaran.Benarkah dia minta maaf? ‘Tumbenan banget seorang Manda minta maaf? Gak salah orang gue, kan, ya?’Takutnya aku cuma mimpi dan pas bangun malah ketampa
Sore ini, ketika pulang dari rumah sakit menjenguk Kak Kyra, aku mengajak Mas Ezar untuk ke makamnya Almarhumah Mika.Sebelumnya aku juga sudah janjian dengan Vina untuk bertemu di gerbang masuk pemakaman.Setelah bertemu Vina, kami sama-sama menyusuri makam hingga berhenti di sebuah makam yang di nisannya bertuliskan nama Ditya Diatmika binti Gilang Baskara. Aku dan Vina berjongkok secara bersamaan disusul oleh Mas Ezar dan Kak Akmal yang juga ikut berjongkok di samping kami.Sejurus kemudian, aku dan Vina bergantian menyiram air ke tanah makan, menabur bunga untuk Mika, dan bersama-sama membacakan doa untuknya. “Mika, terima kasih banyak atas semua warna yang pernah lu berikan pada hidup gue. Saat hidup gue suram, lu yang datang dan susah payah menghibur walau mulanya gue gak pernah ngerespons baik kedatangan lu di masa laluJahatnya gue, karena berpikir kalau lu sama pengkhianatnya dengan orang-orang yang gue kenal sebelumny
Aku yang penasaran dengan wujud Baby Boy Kak Ghazaar dan Kak Kyra tak bisa menunggu lama lagi untuk melongoknya. Selesai sarapan dan mandi, aku langsung mengajak Mas Ezar ke rumah sakit. Untungnya, karena dia tak banyak neko-neko. Sampai di rumah sakit, Mas Ezar langsung membuka pintu ruang rawat Kak Kyra hingga perhatian semua orang yang fokus pada Baby Boy beralih ke kami sebentar. “Assalamualaikum,” ucap kami kompak.Di ruangan sudah ada Bunda, Papa, Kak Ghazaar, ibunya Kak Kyra, juga Bu Aina yang tampaknya malah sudah bergegas untuk pulang."Waalaikumsalam,” jawab mereka kompak.“Gak jodoh banget sama ponakan ganteng dan cantik yang satu ini. Giliran mereka datang, Tante mau pulang,” ujar Bu Aina. “Kenapa buru-buru, Bu?” tanyaku. “Mau ke butik. Ada klien yang nungguin di sana.”Kuanggukkan kepala berulang kali tanda mengerti. “Ibu gak ke toko kan?” tanyaku memicing. “Kenapa emang?” tanya wanita berhijab itu menyelidik. “Soalnya Asha bolos,” ucapku jujur, sengaja memasang eks
Bunda Ola tersenyum tipis, lalu celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu. “Itu dia orangnya.” Ibu mertuaku itu menunjuk dua orang pria yang kegantengannya tak diragukan lagi tengah berjalan beriringan ke arah kami. “Selamat ya, Nak.” Papa menyodorkan tangan yang langsung kusambut dan mencium punggung tangannya dengan takzim. “Mau lanjut kuliah magister di UNNUS juga, gak?” tanya Papa. Aku terkekeh pelan sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal. “Nanti dipikir-pikir lagi, Pa. Kalau gak mager, boleh di-gas tanpa rem.”Aku beralih menatap Mas Ezar yang sedari tadi hanya tersenyum tanpa membuka suara. Satu tangannya berada di belakang, entah apa yang disembunyikan itu? Aku berusaha mengintip, tapi pria tampanku itu bergeser seolah tak membiarkanku melihatnya.“Bawa apa, sih?” tanyaku penasaran. Seketika itu, Mas Ezar mengusap-usap kepala ini pelan dan langsung mengeluarkan benda dari balik punggungnya.