Mendengar pertanyaanku, Pak Ezar jadi kalut. Dia lebih banyak merenung daripada berbicara selama di jalan tadi.
Aku jadi menyesal sendiri menanyakan hal itu padanya. Dia mendadak irit bicara, bahkan berbicara saat aku menanyai hal lain.Sampai di rumah pun, dia seperti tak berniat mengungkap posisi seorang Asha di hatinya.Aku mengembuskan napas pasrah dan masuk ke kamar tanpa menagih jawabannya.‘Sepertinya, gue memang tak diharapkan.’Begitu selesai mandi, aku keluar kamar dan menuju dapur. Hendak untuk memasak makan malam kami sambil menunggu azan magrib.“Tangan kamu masih sakit, gak usah masak. Kita pesan makan aja malam ini,” ucap Pak Ezar.Aku menoleh ke arahnya sambil menelan ludah dalam-dalam. Sudut bibirku ikut tertarik ke belakang tanpa diminta.Ah, selalu saja lemah jika sudah melihat sisi lembut dosen galak itu.Sayangnya, sampai sekarang dia agaknya belum bisa memproklamirkan posisik“Berapa hari lu di Makassar?” tanyaku pada Vina pagi ini. “Aku abis lamaran maunya balik ke Jakarta lagi. Kan masih kerja dan kuliah juga. Tapi, gak tau gimana keluarga tuh yang suka gak bolehin ini dan itu setelah lamaran,” jelas Vina. “Kita difasilitasi gak nih ke Makassar?” Mika menaikturunkan alisnya ke arah Vina. “Nanti aku omongin ke Kak Akmal, bilang ada teman aku dua biji rada tidak waras mau datang, tapi perhitungan banget, gak mau pake dana sendiri.”Aku dan Mika tertawa puas mendengar ucapan Vina.“Dua biji gak tuh!” Aku menepuk jidat pelan. “Gaes, si Adit ada di Jakarta. Dia semalam ngechat gue.”Aku menoleh ke arah Mika begitu mendengar ucapannya. Saat ini, raut wajahnya berubah sendu. Aku tau, dalam hatinya pasti senang dihubungi kembali oleh Adit, seseorang yang membuatnya tak bisa move on. Walau sudah mencoba setengah mati, tapi tetap saja ia gagal. Aku ingat betul saat Mika curhat pada kami berdua tentang Adit. Dia mengatakan, ‘Jangan coba-coba menjalin hubungan
Pada akhirnya, aku harus pulang dengan tangan kosong. Aku tak berminat menunggu Pak Ezar di kampus, karena ia pun tidak jelas kapan akan datang. Beruntung, karena aku punya teman yang selalu ada di segala situasi dan kondisi. Dia mengajakku jalan-jalan untuk sekadar melepaskan penat sebelum nanti sore harus bekerja. “Gue bingung banget sama Pak Ezar, Ka. Dia sendiri yang bilang jadwalnya full di kampus hari ini, giliran gue datang. Dia gak ada. Padahal, dia hadir loh di sempronya Fadly.” Aku berjalan ke arah pagar besi jembatan dan menyender di sana. “Mungkin ada urusan yang genting banget, Sha,” ucap Mika menenangkan. “Setidaknya balas pesan gue kek atau minimal angkat telepon,” cetusku. Mika berdehem pelan. Dia sesekali memejamkan mata, merasakan hamparan angin menyapu di wajahnya. “Sabar. Kata Vina, orang sabar disayang Tuhan,” ujar Mika. “Terlalu sabar diinjak-injak,” cibirku. “Kalau udah g
Aku terpaksa meninggalkan kampus setelah selesai menguji salah satu mahasiswa yang konon dijuluki mahasiswa abadi dan playboy cap kadal itu.Selalu saja, aku tak bisa menolak ataupun membantah permintaan Manda yang ingin bertemu denganku. Katanya, dia akan membicarakan hal penting. Ah, palingan itu juga masalah Asha. Dia selalu menyuruhku meminta Asha pergi dari rumah dan mengancam akan memutuskan hubungan jika tak mengindahkan permintaannya. Nyatanya, saat aku menerima memutuskan hubungan, dia mengemis dan menangis memintaku kembali. Paling parah, ia mengancam akan mengakhiri hidupnya jika aku meninggalkannya.Selalu saja begitu. Dia membuatku tak bisa berkutit dengan alasan konyolnya, bunuh diri. Padahal, hari ini aku tahu sendiri kalau Asha akan datang ke kampus. Dia pasti kecewa jika tak mendapatiku berada di ruangan. “Maafkan aku, Asha. Lagi dan lagi, aku membuatmu terluka.”Aku meremas rambut frustras
Aku berlari cepat dengan perasaan tak menentu memasuki rumah sakit. Selama di jalan tadi, aku menelepon Bunda untuk menanyakan kondisi Asha, tetapi tak ada respons. Sempat menelpon Kyra juga, tetapi dia cuma bilang kalau belum ada kabar.‘Ya Tuhan, ini semua karena salahku. Seandainya aku berada di kampus, Asha pasti tidak akan pergi.’Pertama kalinya dalam hidup, aku merasa takut kehilangan seorang wanita. Dulu, kehilangan Manda karena tak ada restu, sakit sedikit walau akhirnya terbiasa.Tapi Asha? Aku tidak tahu, seperti apa hancurnya hidupku kelak jika harus kehilangannya. Gemuruh dalam dada semakin tak karuan begitu melihat pasien yang didorong keluar dari ruang ICU ditutupi dengan kain putih. “Sus, pasien ini meninggal karena apa?” Aku berusaha mengumpulkan sisa-sisa tenaga untuk bertanya. “Pasien ini korban kecelakaan satu jam yang lalu, Pak.”Jantung di dalam sana seakan berpindah
Asha POVAku mengerjap perlahan sambil menarik napas dalam-dalam. Entah apa yang terjadi, tapi aku merasakan tubuhku seperti habis dihantam? Padahal sebelumnya aku tak habis baku hantam. Aku melirik ke kiri dan melihat tanganku dipakaikan gift. Entahkah patah atau kenapa? Tapi ini sakit banget kalau digerakkan. Di sisi lain, aku merasakan tanganku justru dipegang oleh seseorang. Aku menoleh dan mendapati Pak Ezar duduk tertidur sambil memegang tangan ini seakan tak ingin melepaskan.Bibirku tersungging tipis melihat pemandangan ini.‘Tuhan, jika ini mimpi, tolong jangan bangunkan. Ini terlalu indah.’‘Kenapa dia tidur di sini?’ ‘Gue di mana?’Aku berusaha mengingat kejadian tadi siang, di mana mobil truk menghantam mobil Mika dari belakang. Tak ada kejadian yang bisa kuingat jelas hingga aku tak sadarkan diri. ‘Lalu, bagaimana dengan keadaan Mika?’‘Apakah dia baik-baik saja?’‘Ah, gue tau Mika adalah gadis kuat. Dia pasti akan baik-baik saja.’Merasakan badan yang seakan sangat
Aku menelan ludah yang getir berkali-kali, tak lepas memandangi tanah kuburan Mika yang basah. “Terima kasih atas semuanya, Ka. Tentang apa pun itu, atas warna yang lu berikan sama hidup gue beberapa tahun terakhir. Gue gak akan pernah lupain itu,” ucapku dengan mata berkaca-kaca. “Mika, walaupun ragamu sudah tidak ada di sini, tapi ketahuilah bahwa jiwamu masih bersama kami. Kamu akan tetap ada di hati kami, Ka,” ucap Vina sambil menabur bunga di atas kuburan Mika. “Sha, pulang, yuk. Kamu masih harus istirahat,” bisik Pak Ezar beberapa saat kemudian.“Bentar lagi, Pak. Aku masih mau di sini.”“Tapi, Sha. Kondisi kamu ....” Pak Ezar memandangku penuh kekhawatiran, tetapi tak lama ia menghela napas berat. Aku tahu, dia pasti tak bisa berkata-kata sekarang. Di satu sisi, ia ingin menyeretku pulang, tetapi di sisi lain justru tak tega membantah keinginanku yang masih ingin tetap di makam Mika. “Sha, benar kata Pak Ezar
Aku terpana mendengar ucapan Pak Ezar yang kedengarannya sangat manis. Seperti senyumnya. Bahkan, aku sampai tak bisa tersenyum sekarang saking tidak percayanya dengan apa yang baru saja diucapkan.Benarkah dia Pak Ezar yang galak? Seseorang yang menikahiku kurang lebih sebulan lalu?“Ah, kamu makan dulu, ya. Aku suapin.”Lagi dan lagi, aku melongo tanpa kata sambil meneguk ludah yang terasa tercekat di leher. Ini Pak Ezar habis makan apa, sih? Kenapa sikapnya mendadak manis? Kayak ada pisang di balik tepung. “Pak, saya bisa makan sendiri,” tolakku. Walaupun, dalam hati sebenarnya tertawa riang dan gembira saking bahagianya mau disuapin Pak Ezar. Tapi, sebagai cewek yang tak sedang men-diskon harga diri kudu jual mahal sedikit. Minimal, biar tidak terkesan sangat menginginkannya. Hahaha. “Gak! Aku suapin aja,” ucapnya cepat. “Dan satu lagi, mulai sekarang jangan panggil Pak kalau di luar
Spontan, Mika memelukku dan mengusap lembut punggung ini seolah mentransfer kekuatannya padaku. “Mulai sekarang, lu jangan ngerasa sendirian lagi. Anggap saja apa yang pergi dari hidup lu itu memang gak baik buat lu. Gue yakin, akan ada hal-hal indah yang datang ke hidup lu nanti,” tuturnya sambil tersenyum. Aku menggeleng berulang kali manakala air mata kembali berjatuhan membasahi pipi.Spontan, aku tertunduk lemas dan menyembunyikan wajah di antara lutut. Menangis, menahan sesak dalam dada. ‘Mika, lu benar-benar udah pergi ya? Lu ninggalin gue, Ka.’‘Lu bilang bakal liat gue bahagia, tapi gue belum bahagia lu malah pergi duluan.’Aku mendongak dan menghapus sisa air mata. Kemudian, meraih bingkai foto yang kusimpan di atas nakas. Ludahku terteguk sempurna memandangi foto candid kami bertiga dalam bingkai itu. ‘Mika, lu tau gak? Semenjak kecelakaan itu, sikap Pak Ezar berubah drastis ke gue. Dia jadi lembut banget. Kalau lu tau kabar ini, lu pasti heboh banget, deh.’Aku menarik
Mas Ezar membawaku ke samping resto yang sepi-sepi orang. Entah ada tujuan apa dia membawaku ke sini? Sudah persis gadis polos mau diperkaos pria hidung belang. “Mas, kenapa dibawa ke sini?” tanyaku mengerucutkan bibir kesal. “Padahal masih pengen nyinyirin si pirang gatal itu.”“Makanya aku bawa ke sini untuk menepi sejenak, Sayang. Jangan nyinyir lagi ya. Yang ada nanti kamu stres kebawa janin kamu juga ikutan stres,” ujar Mas Ezar. Dia menopang tubuh dengan kedua tangannya pada tembok agar tubuh kami tak bersentuhan walau posisinya mengurungku pada tembok. Aku menghela napas panjang. Sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain agar terkesan judes. “Kamu kok belain dia, sih?”Mas Ezar menangkup wajahku dan menatap mata ini lekat. “Bukan membela, Sayang. Aku juga gak suka sikap dia tadi, tapi aku gak mau dia nyakitin kamu. Kamu tadi liat? Dia emosi kamu bilangin gatal. Untung gak jambak kamu.”“Aku kan bisa jambak balik,” cici
Begitu Bagas telah selesai bernyanyi dan Naila sedikit berlari turun dari panggung, barangkali lupa membawa stok urat malu. Hahaha. Bercanda urat malu!Seketika itu, aku pun terlintas ide untuk merayakan ulang tahun suamiku yang ke-29. Dari kemarin, aku berpikir keras bagaimana mengucapkan agar terkesan romantis dan tidak kaku macam sikapnya saat awal kami menikah. Aku pun naik ke panggung. Bukan untuk goyang ngebor di sana, tapi buat ngambil mic, lalu diskusi sebentar dengan Akang piano. Gak usah penasaran kami diskusi apaan? Intinya, setelah itu aku kembali ke tempat dudukku dengan mic di tangan. Saat ini, aku percaya diri dengan suaraku yang membahana, walau nyatanya seperti suara kodok. Masa bodoh dengan pandangan orang-orang, tapi aku bangga punya suara yang seksi ini, walau tak seseksi orangnya jika hanya berdua dengan Mas Ezar di kamar. Eya!Begitu musik mulai mengalun, aku membuka ponsel dan melihat lirik la
Belum sempat kusambut uluran tangan Ahsan, Mas Ezar yang entah muncul darimana lebih dulu menyambut tangan duda beranak satu itu. “Kami baik,” katanya sambil menarik pinggangku posesif hingga tubuh ini menabrak tubuhnya. “Duh, pocecip detected,” ucap Kak Akmal pelan. Dia sampai menutup mulut dan menoleh ke arah lain. Ia terlihat susah payah menahan tawanya. Ahsan tersenyum tipis. Barangkali menyadari kecemburuan Mas Ezar padanya. “Maaf ini, Mas, karena datang gak diundang. Cuma ikut-ikutan Kak Akmal,” kekeh Ahsan tak enak hati. “Gak apa-apa. Malah senang kalau banyak yang datang.”Mas Ezar mengulas senyum tipis berlagak sangat ramah. Padahal, kutahu hatinya tengah meradang melihat Ahsan mengulurkan tangannya padaku tadi. Dia pasti mengingat kejadian di pernikahan Vina kemarin, di mana saat itu Ahsan melamarku. Barangkali, sekarang ia tetap takut istrinya masih diincar oleh duduk beranak satu itu.
“Jangan cantik-cantik, Sayang. Aku takut nanti malah banyak yang naksir kamu di sana.” Lengan kekar Mas Ezar tiba-tiba saja sudah melingkar di perutku. Bahkan, kini hidungnya pun semakin liar menjelajahi leher ini.Ia sesekali memejamkan mata, kulihat dari cermin di hadapan kami..“Kalau aku jelek yang ada nanti kamu malu bersanding denganku. Katanya mau didampingi meresmikan resto,” ujarku masih mengoles tipis-tipis lipstik ke bibir. “Iya, tapi kalau cantiknya kebangetan aku takut kamu digodain laki-laki lain. Kamu gak pake makeup aja aku pede aja gandeng kamu, kok,” tutur Mas Ezar.Dia masih memeluk erat tubuh ini dari belakang. Napasnya yang hangat sesekali menyapu lembut di kulit leherku, aku bisa rasakan itu. “Aku yang malu tampil dengan muka burik tanpa polesan walau tipis, takut kebanting kegantengan Pak Dosen.”"Hmm, ya udah. Ayo kita pergi,” ajak Mas Ezar. Aku mengecek jam tangan, ternyata sudah puk
Sampai di rumah Ayah, aku memutuskan untuk istirahat sebentar. Habis perjalanan jauh dari Jakarta ke Makassar rasanya capek banget.Padahal, tadi di pesawat cuma duduk doang. Tak sedang mencoba goyang ngebor sambil kayang. Mungkin efek hamil juga jadi badan serasa pegal-pegal dari ujung kepala hingga ujung kaki.Entah berapa lama aku istirahat sampai tertidur hingga kembali terbangun saat alarm pengingat meeting berbunyi. Sore ini, aku memang ada meeting online dengan Bu Aina dan para karyawan Aina Fashion. Begitu meeting berakhir, aku keluar kamar dan mendapati Mas Ezar yang sedang main ular tangga dengan Elizha di ruang tengah. ‘Astaga, laki gue mau-mau aja diajak main ular tangga.’Aku tertawa cekikikan melihat wajah Mas Ezar kayak ditekuk bak orang terpaksa. Aku tebak, dia pasti dipaksa nemanin main oleh Elizha. Soalnya, anak itu kalau keinginannya ditolak suka ngambek sampai 7 hari 7 malam. “Udah gede
“Sayang, dia tadi cuma nanya kabar, jangan salah paham, ya.”Nanya kabar? Penting amat gitu tahu kabar suami orang? Mas Ezar langsung duduk di sampingku, tapi aku sengaja tak memedulikan. Terlihat jelas dari gelagatnya kalau dia bingung bagaimana cara menjelaskan keberadaan Manda padaku? Ah, kurasa hatinya sedang gundah gulana, takut aku marah padanya. Kuraih ponsel dan pura-pura sibuk chat-an untuk menambah kesan judes ini. “Zar, Sha ... karena kebetulan kita ketemu di sini ....” ‘Lah, terus kenapa kalau ketemu di sini? Mau kopral sambil kayang?’“Jadi, sekalian aja gue minta maaf dan pamit pada kalian, terkhusus pada lu, Zar,” lanjut Manda.Setidaknya, aku memasang telinga baik-baik untuk lebih memperjelas pendengaran.Benarkah dia minta maaf? ‘Tumbenan banget seorang Manda minta maaf? Gak salah orang gue, kan, ya?’Takutnya aku cuma mimpi dan pas bangun malah ketampa
Sore ini, ketika pulang dari rumah sakit menjenguk Kak Kyra, aku mengajak Mas Ezar untuk ke makamnya Almarhumah Mika.Sebelumnya aku juga sudah janjian dengan Vina untuk bertemu di gerbang masuk pemakaman.Setelah bertemu Vina, kami sama-sama menyusuri makam hingga berhenti di sebuah makam yang di nisannya bertuliskan nama Ditya Diatmika binti Gilang Baskara. Aku dan Vina berjongkok secara bersamaan disusul oleh Mas Ezar dan Kak Akmal yang juga ikut berjongkok di samping kami.Sejurus kemudian, aku dan Vina bergantian menyiram air ke tanah makan, menabur bunga untuk Mika, dan bersama-sama membacakan doa untuknya. “Mika, terima kasih banyak atas semua warna yang pernah lu berikan pada hidup gue. Saat hidup gue suram, lu yang datang dan susah payah menghibur walau mulanya gue gak pernah ngerespons baik kedatangan lu di masa laluJahatnya gue, karena berpikir kalau lu sama pengkhianatnya dengan orang-orang yang gue kenal sebelumny
Aku yang penasaran dengan wujud Baby Boy Kak Ghazaar dan Kak Kyra tak bisa menunggu lama lagi untuk melongoknya. Selesai sarapan dan mandi, aku langsung mengajak Mas Ezar ke rumah sakit. Untungnya, karena dia tak banyak neko-neko. Sampai di rumah sakit, Mas Ezar langsung membuka pintu ruang rawat Kak Kyra hingga perhatian semua orang yang fokus pada Baby Boy beralih ke kami sebentar. “Assalamualaikum,” ucap kami kompak.Di ruangan sudah ada Bunda, Papa, Kak Ghazaar, ibunya Kak Kyra, juga Bu Aina yang tampaknya malah sudah bergegas untuk pulang."Waalaikumsalam,” jawab mereka kompak.“Gak jodoh banget sama ponakan ganteng dan cantik yang satu ini. Giliran mereka datang, Tante mau pulang,” ujar Bu Aina. “Kenapa buru-buru, Bu?” tanyaku. “Mau ke butik. Ada klien yang nungguin di sana.”Kuanggukkan kepala berulang kali tanda mengerti. “Ibu gak ke toko kan?” tanyaku memicing. “Kenapa emang?” tanya wanita berhijab itu menyelidik. “Soalnya Asha bolos,” ucapku jujur, sengaja memasang eks
Bunda Ola tersenyum tipis, lalu celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu. “Itu dia orangnya.” Ibu mertuaku itu menunjuk dua orang pria yang kegantengannya tak diragukan lagi tengah berjalan beriringan ke arah kami. “Selamat ya, Nak.” Papa menyodorkan tangan yang langsung kusambut dan mencium punggung tangannya dengan takzim. “Mau lanjut kuliah magister di UNNUS juga, gak?” tanya Papa. Aku terkekeh pelan sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal. “Nanti dipikir-pikir lagi, Pa. Kalau gak mager, boleh di-gas tanpa rem.”Aku beralih menatap Mas Ezar yang sedari tadi hanya tersenyum tanpa membuka suara. Satu tangannya berada di belakang, entah apa yang disembunyikan itu? Aku berusaha mengintip, tapi pria tampanku itu bergeser seolah tak membiarkanku melihatnya.“Bawa apa, sih?” tanyaku penasaran. Seketika itu, Mas Ezar mengusap-usap kepala ini pelan dan langsung mengeluarkan benda dari balik punggungnya.