Aku terpana mendengar ucapan Pak Ezar yang kedengarannya sangat manis. Seperti senyumnya.
Bahkan, aku sampai tak bisa tersenyum sekarang saking tidak percayanya dengan apa yang baru saja diucapkan.Benarkah dia Pak Ezar yang galak? Seseorang yang menikahiku kurang lebih sebulan lalu?“Ah, kamu makan dulu, ya. Aku suapin.”Lagi dan lagi, aku melongo tanpa kata sambil meneguk ludah yang terasa tercekat di leher.Ini Pak Ezar habis makan apa, sih?Kenapa sikapnya mendadak manis? Kayak ada pisang di balik tepung.“Pak, saya bisa makan sendiri,” tolakku.Walaupun, dalam hati sebenarnya tertawa riang dan gembira saking bahagianya mau disuapin Pak Ezar. Tapi, sebagai cewek yang tak sedang men-diskon harga diri kudu jual mahal sedikit.Minimal, biar tidak terkesan sangat menginginkannya. Hahaha.“Gak! Aku suapin aja,” ucapnya cepat. “Dan satu lagi, mulai sekarang jangan panggil Pak kalau di luarSpontan, Mika memelukku dan mengusap lembut punggung ini seolah mentransfer kekuatannya padaku. “Mulai sekarang, lu jangan ngerasa sendirian lagi. Anggap saja apa yang pergi dari hidup lu itu memang gak baik buat lu. Gue yakin, akan ada hal-hal indah yang datang ke hidup lu nanti,” tuturnya sambil tersenyum. Aku menggeleng berulang kali manakala air mata kembali berjatuhan membasahi pipi.Spontan, aku tertunduk lemas dan menyembunyikan wajah di antara lutut. Menangis, menahan sesak dalam dada. ‘Mika, lu benar-benar udah pergi ya? Lu ninggalin gue, Ka.’‘Lu bilang bakal liat gue bahagia, tapi gue belum bahagia lu malah pergi duluan.’Aku mendongak dan menghapus sisa air mata. Kemudian, meraih bingkai foto yang kusimpan di atas nakas. Ludahku terteguk sempurna memandangi foto candid kami bertiga dalam bingkai itu. ‘Mika, lu tau gak? Semenjak kecelakaan itu, sikap Pak Ezar berubah drastis ke gue. Dia jadi lembut banget. Kalau lu tau kabar ini, lu pasti heboh banget, deh.’Aku menarik
‘Apa maksudnya omongan mereka?’ Batinku bertanya-tanya. Aku masih terpaku manakala Pak Ezar menyentuh lenganku dan hendak membawa pergi. Hanya saja, kaki ini seakan enggan untuk melangkah. Aku masih ingin memperjelas siapa dan apa maksud omongan para wanita tadi?Aku merasa, mereka bercerita tentang diriku. Terlihat dari gelagatnya yang mengobrol sambil melihat ke arahku, sesekali memandang ponselnya. “Sha, ayo pergi,” ajak Mas Ezar.“Mas, mereka ngomongin aku kan?” tanyaku butuh penjelasan. Mas Ezar bungkam cukup lama. Aku melihatnya menoleh ke arah wanita-wanita sok tahu itu sekejap, lalu ganti memandangku dalam. Dia menggeleng pelan sambil berkata, “Tidak. Mereka gak ngomongin kamu, kok. Ayo pergi dari sini.”Tentu, aku tak percaya ucapan Mas Ezar begitu saja. Jelas-jelas, omongan mereka sangat tertuju padaku. Aku tak merasa menjadi simpanan dosen, karena dosen itu adalah suamiku, tapi aku sepe
Pada akhirnya, aku pulang ke rumah diantar oleh Kak Kyra. Tadinya, aku ingin menelepon Vina, tapi tak sengaja bertemu dengan Kak Ghazaar dan Kak Kyra yang juga datang ke mall. Mereka panik melihatku duduk di tangga sambil mengusap kaki yang entah tiba-tiba sakit, padahal seharusnya hati yang sakit. Menunggu Mas Ezar? Entahlah! Aku sungguh malas menunggunya, walau dia berpesan padaku agar tak ke mana-mana.“Sha, Aku boleh tanya sesuatu?” tanya Kak Kyra setelah kami berada di kamar. Sedang Kak Ghazaar tak ikut masuk, ia memilih duduk di ruang tamu. “Tanya apa, Kak?” tanyaku. “Apa di kampus gak ada yang tahu hubungan kalian?”Aku diam sejenak. Aku tebak, pasti Kak Kyra juga sudah melihat gosip murahan yang rame itu di sosial media. “Selain Papa mungkin gak ada, Kak.”“Ezar bodoh banget, sih. Kenapa coba main rahasiakan pernikahannya. Kan masalahnya jadi melebar begini,” gerutu Kak Kyra. “Kamu gak usah dengarin
“Terus Mama kamu?” tanya Kak Kyra lagi.Dia menatap lekat wajahku, seakan ingin mengupas tuntas sesuatu yang berkaitan tentangku.Sesaat, aku menunduk sambil menarik-narik ujung baju. Setidaknya mata ini mulai berkaca-kaca mengingat Mama yang pergi tanpa pamit dan tidak akan pernah kembali lagi. “Karena sakit hati Ayah diam-diam menikah lagi, Mama bunuh diri, Kak. Dia ....” Aku terisak begitu air mata berhasil menetes.“... dia nekat melompat dari jembatan.”Aku memutar memori di saat umurku masih 9 tahun. Saat itu, aku sedang manjat di pohon jambu sama teman. Namun, tiba-tiba ada tetangga yang datang mencariku. “Asha ... Asha!” panggilnya dengan nada panik. “Iya, Tante. Ada apa?” tanyaku dari atas pohon jambu. “Turun sini, buruan! Tante mau ngomong sesuatu.”Aku pun terpaksa turun, walau sebenarnya lagi asik-asiknya bergelantungan seolah-olah pohon jambu itu adalah pesawat yang membawa terbang.
Aku langsung bertolak pulang ke rumah setelah membaca pesan Kak Ghazaar. Setidaknya, aku merasa tenang karena ternyata Asha dibawa pulang oleh mereka. Walaupun aku merasa bersalah karena telah meninggalkan Asha sendirian di saat suasana hatinya memburuk karena kabar-kabar tak mengenakkan yang tengah seliweran. Sungguh, aku bukan bermaksud meninggalkan Asha demi mengejar Manda. Hanya saja, aku curiga kalau Manda adalah dalang keladi dari tersebarnya fotoku dengan Asha. Aku hanya ingin membersihkan nama baikku dan nama baik Asha. Namun, ternyata keputusanku untuk mengejar Manda lagi dan lagi menyakiti Asha secara tidak langsung. Mengapa aku tak sadar dengan semua itu? Seandainya tahu Asha terluka, aku tak akan mengejar Manda tadi. Aku berjalan dari garasi, bersamaan dengan Kak Ghazaar dan Kak Kyra yang berada di depan pintu. Sepertinya mereka akan pulang. Napas ini serasa tercekat manakala meliha
Pov AshaBegitu Vina sudah pulang ke kosnya, aku masih betah nongkrong sendiri di meja makan sambil menikmati banana crispy alias pisang nugget buatanku dan Vina tadi.Tak lupa, menonton drama Cina untuk sekadar melupakan skandal murahan yang hingga saat ini masih rame jadi perbincangan publik. Aku mendadak jadi artis. Bahkan, akun instagramku mendadak rame banyak yang follow, mention, tag, sampai DM. Isinya tak jauh-jauh dari menghujat, tapi juga masih ada beberapa yang support dan tidak percaya dengan skandal itu. Demi apa pun, aku mengatakan orang yang menyebarkan fotoku dengan Mas Ezar sangat tak ngotak. Di sela aktivitasku, Mas Ezar tiba-tiba datang dan duduk di sampingku. Ia mengaku ingin berbicara serius denganku. Ah, palingan juga tentang gosip kami berdua itu. Paling tidak, aku juga penasaran bagaimana dia akan menyingkapi masalah ini? Mungkinkah akan mengumumkan pernikahan kami atau diam bak oran
Walaupun ponsel Mas Ezar meraung meminta untuk dijawab, ia sama sekali tak menggubris dan memilih tetap tidur dengan tenang di sampingku.“Mas, hape kamu berisik. Aku gak bisa tidur,” protesku. Kupikir Mas Ezar mengambil ponselnya untuk mengangkat panggilan Mantan kekasihnya, ternyata dia justru me-reject dan mematikan benda pipih itu. Sebisa mungkin aku menahan senyum melihat sikapnya. Kupikir dia memang benar-benar berusaha keras untuk memperbaiki hubungan kami. Tentu, aku senang jika dia tak lagi menganggap pernikahan kami terjadi karena terpaksa. Artinya, perjuanganku mengambil hatinya dua bulan terakhir ini membuahkan hasil. Seandainya Mika masih ada, aku akan sangat berterima kasih padanya. Sebab, karena ia yang selalu mensupport dan mengajariku menggunakan rayuan-rayuan bucinnya di setiap celah jika bersama Mas Ezar. Aku pun berharap, kalau Mas Ezar berubah memang murni karena hatinya. Bukan karena menjadika
Entah berapa lama aku tidur, hingga terpaksa bangun saat merasakan ada yang menyentuh dahiku. Pelan, aku mengerjap dan mendapati Ibu duduk di sisi ranjang dengan raut wajah khawatirnya. “Salat Asar dulu, Neng. Sejaman lagi masuk waktu magrib.”Aku mengangguk dan beranjak ke kamar mandi. Membasuh wajah dengan air wudu dan lalu salat menengadah memohon ampun pada Sang Pencipta.Begitu selesai salat, aku keluar kamar dan bergabung dengan keluargaku yang sedang berkumpul di ruang tengah. “Teh, kok balik gak bareng Bang Ezar?” tanya Naila.“Lah iya. Teteh mah gak seru. Kan Bang Ezar kemarin janji mau beliin Agam sepeda listrik. Tapi, ini malah datang sendirian.” Agam mengerucutkan bibirnya kesal. “Heh, kalian berdua diam dulu. Sana masuk kamar. Ibu sama Bapak mau bicara sama Teteh,” ujar Ibu. “Mau bicara mah bicara aja, Bu. Kok, nyuruh kita berdua ke kamar. Iya gak, Teh Nai?” tanya Agam ke Naila.Bapak
Mas Ezar membawaku ke samping resto yang sepi-sepi orang. Entah ada tujuan apa dia membawaku ke sini? Sudah persis gadis polos mau diperkaos pria hidung belang. “Mas, kenapa dibawa ke sini?” tanyaku mengerucutkan bibir kesal. “Padahal masih pengen nyinyirin si pirang gatal itu.”“Makanya aku bawa ke sini untuk menepi sejenak, Sayang. Jangan nyinyir lagi ya. Yang ada nanti kamu stres kebawa janin kamu juga ikutan stres,” ujar Mas Ezar. Dia menopang tubuh dengan kedua tangannya pada tembok agar tubuh kami tak bersentuhan walau posisinya mengurungku pada tembok. Aku menghela napas panjang. Sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain agar terkesan judes. “Kamu kok belain dia, sih?”Mas Ezar menangkup wajahku dan menatap mata ini lekat. “Bukan membela, Sayang. Aku juga gak suka sikap dia tadi, tapi aku gak mau dia nyakitin kamu. Kamu tadi liat? Dia emosi kamu bilangin gatal. Untung gak jambak kamu.”“Aku kan bisa jambak balik,” cici
Begitu Bagas telah selesai bernyanyi dan Naila sedikit berlari turun dari panggung, barangkali lupa membawa stok urat malu. Hahaha. Bercanda urat malu!Seketika itu, aku pun terlintas ide untuk merayakan ulang tahun suamiku yang ke-29. Dari kemarin, aku berpikir keras bagaimana mengucapkan agar terkesan romantis dan tidak kaku macam sikapnya saat awal kami menikah. Aku pun naik ke panggung. Bukan untuk goyang ngebor di sana, tapi buat ngambil mic, lalu diskusi sebentar dengan Akang piano. Gak usah penasaran kami diskusi apaan? Intinya, setelah itu aku kembali ke tempat dudukku dengan mic di tangan. Saat ini, aku percaya diri dengan suaraku yang membahana, walau nyatanya seperti suara kodok. Masa bodoh dengan pandangan orang-orang, tapi aku bangga punya suara yang seksi ini, walau tak seseksi orangnya jika hanya berdua dengan Mas Ezar di kamar. Eya!Begitu musik mulai mengalun, aku membuka ponsel dan melihat lirik la
Belum sempat kusambut uluran tangan Ahsan, Mas Ezar yang entah muncul darimana lebih dulu menyambut tangan duda beranak satu itu. “Kami baik,” katanya sambil menarik pinggangku posesif hingga tubuh ini menabrak tubuhnya. “Duh, pocecip detected,” ucap Kak Akmal pelan. Dia sampai menutup mulut dan menoleh ke arah lain. Ia terlihat susah payah menahan tawanya. Ahsan tersenyum tipis. Barangkali menyadari kecemburuan Mas Ezar padanya. “Maaf ini, Mas, karena datang gak diundang. Cuma ikut-ikutan Kak Akmal,” kekeh Ahsan tak enak hati. “Gak apa-apa. Malah senang kalau banyak yang datang.”Mas Ezar mengulas senyum tipis berlagak sangat ramah. Padahal, kutahu hatinya tengah meradang melihat Ahsan mengulurkan tangannya padaku tadi. Dia pasti mengingat kejadian di pernikahan Vina kemarin, di mana saat itu Ahsan melamarku. Barangkali, sekarang ia tetap takut istrinya masih diincar oleh duduk beranak satu itu.
“Jangan cantik-cantik, Sayang. Aku takut nanti malah banyak yang naksir kamu di sana.” Lengan kekar Mas Ezar tiba-tiba saja sudah melingkar di perutku. Bahkan, kini hidungnya pun semakin liar menjelajahi leher ini.Ia sesekali memejamkan mata, kulihat dari cermin di hadapan kami..“Kalau aku jelek yang ada nanti kamu malu bersanding denganku. Katanya mau didampingi meresmikan resto,” ujarku masih mengoles tipis-tipis lipstik ke bibir. “Iya, tapi kalau cantiknya kebangetan aku takut kamu digodain laki-laki lain. Kamu gak pake makeup aja aku pede aja gandeng kamu, kok,” tutur Mas Ezar.Dia masih memeluk erat tubuh ini dari belakang. Napasnya yang hangat sesekali menyapu lembut di kulit leherku, aku bisa rasakan itu. “Aku yang malu tampil dengan muka burik tanpa polesan walau tipis, takut kebanting kegantengan Pak Dosen.”"Hmm, ya udah. Ayo kita pergi,” ajak Mas Ezar. Aku mengecek jam tangan, ternyata sudah puk
Sampai di rumah Ayah, aku memutuskan untuk istirahat sebentar. Habis perjalanan jauh dari Jakarta ke Makassar rasanya capek banget.Padahal, tadi di pesawat cuma duduk doang. Tak sedang mencoba goyang ngebor sambil kayang. Mungkin efek hamil juga jadi badan serasa pegal-pegal dari ujung kepala hingga ujung kaki.Entah berapa lama aku istirahat sampai tertidur hingga kembali terbangun saat alarm pengingat meeting berbunyi. Sore ini, aku memang ada meeting online dengan Bu Aina dan para karyawan Aina Fashion. Begitu meeting berakhir, aku keluar kamar dan mendapati Mas Ezar yang sedang main ular tangga dengan Elizha di ruang tengah. ‘Astaga, laki gue mau-mau aja diajak main ular tangga.’Aku tertawa cekikikan melihat wajah Mas Ezar kayak ditekuk bak orang terpaksa. Aku tebak, dia pasti dipaksa nemanin main oleh Elizha. Soalnya, anak itu kalau keinginannya ditolak suka ngambek sampai 7 hari 7 malam. “Udah gede
“Sayang, dia tadi cuma nanya kabar, jangan salah paham, ya.”Nanya kabar? Penting amat gitu tahu kabar suami orang? Mas Ezar langsung duduk di sampingku, tapi aku sengaja tak memedulikan. Terlihat jelas dari gelagatnya kalau dia bingung bagaimana cara menjelaskan keberadaan Manda padaku? Ah, kurasa hatinya sedang gundah gulana, takut aku marah padanya. Kuraih ponsel dan pura-pura sibuk chat-an untuk menambah kesan judes ini. “Zar, Sha ... karena kebetulan kita ketemu di sini ....” ‘Lah, terus kenapa kalau ketemu di sini? Mau kopral sambil kayang?’“Jadi, sekalian aja gue minta maaf dan pamit pada kalian, terkhusus pada lu, Zar,” lanjut Manda.Setidaknya, aku memasang telinga baik-baik untuk lebih memperjelas pendengaran.Benarkah dia minta maaf? ‘Tumbenan banget seorang Manda minta maaf? Gak salah orang gue, kan, ya?’Takutnya aku cuma mimpi dan pas bangun malah ketampa
Sore ini, ketika pulang dari rumah sakit menjenguk Kak Kyra, aku mengajak Mas Ezar untuk ke makamnya Almarhumah Mika.Sebelumnya aku juga sudah janjian dengan Vina untuk bertemu di gerbang masuk pemakaman.Setelah bertemu Vina, kami sama-sama menyusuri makam hingga berhenti di sebuah makam yang di nisannya bertuliskan nama Ditya Diatmika binti Gilang Baskara. Aku dan Vina berjongkok secara bersamaan disusul oleh Mas Ezar dan Kak Akmal yang juga ikut berjongkok di samping kami.Sejurus kemudian, aku dan Vina bergantian menyiram air ke tanah makan, menabur bunga untuk Mika, dan bersama-sama membacakan doa untuknya. “Mika, terima kasih banyak atas semua warna yang pernah lu berikan pada hidup gue. Saat hidup gue suram, lu yang datang dan susah payah menghibur walau mulanya gue gak pernah ngerespons baik kedatangan lu di masa laluJahatnya gue, karena berpikir kalau lu sama pengkhianatnya dengan orang-orang yang gue kenal sebelumny
Aku yang penasaran dengan wujud Baby Boy Kak Ghazaar dan Kak Kyra tak bisa menunggu lama lagi untuk melongoknya. Selesai sarapan dan mandi, aku langsung mengajak Mas Ezar ke rumah sakit. Untungnya, karena dia tak banyak neko-neko. Sampai di rumah sakit, Mas Ezar langsung membuka pintu ruang rawat Kak Kyra hingga perhatian semua orang yang fokus pada Baby Boy beralih ke kami sebentar. “Assalamualaikum,” ucap kami kompak.Di ruangan sudah ada Bunda, Papa, Kak Ghazaar, ibunya Kak Kyra, juga Bu Aina yang tampaknya malah sudah bergegas untuk pulang."Waalaikumsalam,” jawab mereka kompak.“Gak jodoh banget sama ponakan ganteng dan cantik yang satu ini. Giliran mereka datang, Tante mau pulang,” ujar Bu Aina. “Kenapa buru-buru, Bu?” tanyaku. “Mau ke butik. Ada klien yang nungguin di sana.”Kuanggukkan kepala berulang kali tanda mengerti. “Ibu gak ke toko kan?” tanyaku memicing. “Kenapa emang?” tanya wanita berhijab itu menyelidik. “Soalnya Asha bolos,” ucapku jujur, sengaja memasang eks
Bunda Ola tersenyum tipis, lalu celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu. “Itu dia orangnya.” Ibu mertuaku itu menunjuk dua orang pria yang kegantengannya tak diragukan lagi tengah berjalan beriringan ke arah kami. “Selamat ya, Nak.” Papa menyodorkan tangan yang langsung kusambut dan mencium punggung tangannya dengan takzim. “Mau lanjut kuliah magister di UNNUS juga, gak?” tanya Papa. Aku terkekeh pelan sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal. “Nanti dipikir-pikir lagi, Pa. Kalau gak mager, boleh di-gas tanpa rem.”Aku beralih menatap Mas Ezar yang sedari tadi hanya tersenyum tanpa membuka suara. Satu tangannya berada di belakang, entah apa yang disembunyikan itu? Aku berusaha mengintip, tapi pria tampanku itu bergeser seolah tak membiarkanku melihatnya.“Bawa apa, sih?” tanyaku penasaran. Seketika itu, Mas Ezar mengusap-usap kepala ini pelan dan langsung mengeluarkan benda dari balik punggungnya.