Sore itu, saat Mas Ezar tengah mengobrol dengan Bapak dan Ibu di teras, sedang aku memilih menghampiri Naila yang berada di kamarnya. Sungguh, aku penasaran dengan kisah cinta jarak jauh antara dia dan Bagas--sepupuku dari pihak Mama.Kupikir, benih-benih cinta yang tampaknya timbul saat mereka bertemu di Jakarta waktu itu tak akan bertahan lama.Setelah mereka pulang ke kota masing-masing semua usai begitu saja terbawa angin. Nyatanya, masih berlanjut sampai sekarang.“Nai, Teteh boleh masuk, gak?” tanyaku menyembulkan kepala dari balik pintu. Di kamar, Naila tengah rebahan memeluk boneka teddy bear yang gede banget, sambil nonton drama Korea. Naila memang penggemar Oppa Korea. Dia sering meracuniku agar mau berhalu punya suami aktor sana. Namun, aku tak pernah bisa kena racunnya. Justru aku malah kepincut pesona Koko Cina. Naila menoleh sebentar, lalu berkata, “Masuk aja, Teh.”Aku masu
Cepat, aku berlari ke luar ruangan menuju toilet dan memuntahkan segala isinya yang memang cuma sedikit, karena sedari kemarin aku makan kadang cuma asal ada. Ya mau bagaimana lagi? Rasanya tak bernafsu.Selesai mencuci mulut dan wajah, aku hendak kembali ke ruangan dengan langkah gontai. Tiba-tiba, aku merasa dunia berputar. Penglihatanku sedikit memburam, tapi kucoba untuk menahan diri agar tak ambruk. “Sha,” lirih Vina yang saat ini sudah berdiri di hadapanku. “Kamu kenapa?”“Gak apa-apa, Vin. Sedikit pusing aja. Mungkin karena kecapekan juga abis dari Sukabumi.”“Haih, kalau kamu sakit gak usah kerja dulu,” ujar Vina. Aku tak menjawab karena perasaanku semakin tak enak. Aku memegang kepala dan berlalu begitu saja melewati Vina, hingga tak sadar tubuhku terhuyung menabrak pintu.Untungnya, karena Vina gesit menahan tubuhku agar tak ambruk ke lantai. “Sha, sakit kamu parah. Kita ke rumah sakit se
“Sha, mulai sekarang kamu atur pola makan, ya. Biar gak pingsan kayak tadi lagi. Paksain makanan masuk ke perut kamu supaya tubuh kamu gak lemah,” ujar Kak Kyra. Tatapannya padaku, jelas sebuah perhatian Kakak pada adiknya. Walaupun cuma ipar, tapi rasa Kakak kandung. “Jangan dituruti itu mualnya. Meski mual tetap harus makan. Nanti Kakak kasi vitamin pereda mual, biar kamu gak terlalu mabok.”“Terus selama hamil kamu juga harus rajin-rajin konsumsi vitamin ibu hamil, ya. Nanti Kakak juga kasih vitamin untuk usia kehamilan trisemester pertama untuk bantu pembentukan sel-sel dan sistem organ pada janin kamu. Biar daya tahan tubuh kamu juga tetap terjaga.”Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasan Kak kyra yang kurasa cukup jelas. Alamat bakal di-overprotektif-in lagi sama mereka ini.“Kalau gitu, Kakak ke ruangan dulu, ya. Nanti ke sini lagi. Bunda masih mau di sini?”“Bunda juga mau balik ke ruangan, takut ada pasien
Setelah Fadly pamit pulang dengan alasan sudah kelamaan berada di sini, giliran Vina dan suaminya yang datang. Sebelum itu, Bu Aina dan keluarga juga sempat datang menjengukku sebentar. Dia juga memberikan banyak wejangan untuk kehamilanku yang pertama ini. Ah, senangnya dalam hati punya keluarga mertua yang pada baik hati dan tidak sombong. “Fadly dari sini, Sha? Aku ketemu di parkiran tadi,” tanya Vina sambil meletakkan tas milikku ke atas meja. Disusul Kak Akmal yang juga meletakkan bingkisan buah-buahan. “Heem. Katanya nyari kelakuan baik biar dapat A+ dan sekalian cari restu juga dia tuh,” jawabku.Selang beberapa detik, Vina menoleh ke arah Freya yang tengah duduk di sofa sambil mengutak-atik ponselnya. “Emang Freya mau sama playboy cap kadal kayak Kak Fadly?”Aku mengunci mulut menahan tawa, bersamaan dengan itu tangan ini terayun memukul lengan Vina. “Mulut lu sampoin, Vin. Mau lu omong jellek kala
[Zar, besok kamu mau ke acara nikahannya teman kelas kita, kan? Bareng ya, aku juga besok datang.]Alisku terangkat begitu notifikasi pesan masuk di ponsel Mas Ezar yang saat ini berada di tanganku.Aku memang meminjam ponselnya untuk main game karena ponselku masih di-charger. Iseng, aku mengetuk nomor tak dikenal itu. Ternyata si belut gorong-gorong. Masih tak habis akal rupanya dia menganggu suamiku? ‘Awas aja, akan kubikin lu panas bak sedang terbakar api.’“Mas,” panggilku. Mas Ezar yang tengah mengusap-usap perutku sambil nonton sepak bola di tivi pun berdehem.Dia menoleh sekilas untuk mengecup singkat kepalaku yang sedari tadi bersandar di dadanya. “Coba liat ini chat dari siapa?” Aku menunjukkan chat dari Manda itu. “Siapa tuh?” tanyanya seakan tak peduli. Pandangannya kembali fokus ke televisi dengan tangan yang masih berada di perut rataku.“Tebak itu siapa?”
Aku menarik kasar tangan Manda dari dress-ku dan mencengkeram sekuat tenaga hingga ia menjerit kesakitan. “Asha Sialan!” pekiknya menatapku nyalang. Tapi, aku tak menggubris. Aku tetap mencengkeram tangan itu, sedikit memutar hingga ia semakin kesakitan. Setelah puas, aku menghempaskan tangan Manda dengan kasar sampai ia mundur. Wanita di sebelahnya tak bisa berbuat apa-apa, walau Manda berharap pertolongan. Dia hanya diam menganga, barangkali takut aku melakukan hal yang sama padanya jika berani ikut campur. “Mbak, tolong itu temannya di bawa ke rumah sakit karena sepertinya dia terkena gejala kudis, soalnya suka gatal-gatal sama suami orang,” ucapku penuh penekanan sambil melirik Manda yang tampak menahan erosinya, eh emosi. Setidaknya, aku melihat wanita itu menahan tawa. Duh, kasihan sekali jadi Mbak Manda. Temannya saja bahkan menertawainya dalam diam.“Jaga ucapan lu, ya!” bentak Manda. Tangannya mengepal ker
Huek! Huek! Huek!Lagi, aku memuntahkan isi perut saat tengah.makan malam. Padahal, makananku belum habis, tapi yang sudah masuk malah keluar lagi. Aku menutup mata merasakan perut bergejolak bak diaduk-aduk di dalam sana. Aku sampai tak tega melihat Mas Ezar yang rela menghentikan makan malamnya demi mengikutiku ke wastafel. Dia setia mengusap-usap punggung ini, sesekali memijat leherku dengan pelan.Setelah merasa perut ini sudah lebih baik, aku berkumur dan mencuci wajah. Lantas kembali ke meja makan, diikuti Mas Ezar. “Kamu bisanya makan apa, Sayang? Biar gak muntah?” tanya Mas Ezar khawatir. Dia sambil menyelipkan anak rambutku ke telinga, memandang iba diriku yang baru makan sedikit saja sudah mabok parah.“Maunya gak makan aja kali, ya,” cicitku. “Dih, gak boleh gitu, Sayang. Kan Kak Kyra bilang sendiri, harus paksain. Biar tubuh kamu kuat. Nanti kalau perutnya udah enakan, makan lagi ya. Y
Aku menarik napas dalam-dalam, lantas melepas paksa tangan Mas Ezar yang semakin liar bergerilya ke mana-mana. Mata ini melotot tajam ke arahnya, hingga suamiku itu memanyunkan bibir, lalu membelakangiku seperti bocah yang lagi ngambek. ‘Duh, gemes sekali.’“Emm, terus lu sekarang di mana?” tanyaku. “Masih di parkiran mobil. Nungguin Kak Akmal. Tadi aku gak nemuin dia, langsung ke mobil. Males banget liat drama tak menarik itu.”“Positif thinking dulu, Vin. Siapa tau itu sodaranya Kak Akmal yang udah lama berpisah. Jadi peluk-pelukan,” ujarku berusaha meredakan amarah Vina. Cewek kalau cemburu, air laut pun mau dikuras habis. “Ya tetap aja gak boleh peluk-pelukan, Asha. Bukan mahram.”“Iya, Ibu Ustazah ... ah!” Aku memukul paha Mas Ezar yang tiba-tiba meremas melon kembarku. Aku menoleh menatapnya nyalang, tetapi dia hanya cengengesan tanpa rasa bersalah. “Tapi apa, Sha? Kamu lagi ngapai
Mas Ezar membawaku ke samping resto yang sepi-sepi orang. Entah ada tujuan apa dia membawaku ke sini? Sudah persis gadis polos mau diperkaos pria hidung belang. “Mas, kenapa dibawa ke sini?” tanyaku mengerucutkan bibir kesal. “Padahal masih pengen nyinyirin si pirang gatal itu.”“Makanya aku bawa ke sini untuk menepi sejenak, Sayang. Jangan nyinyir lagi ya. Yang ada nanti kamu stres kebawa janin kamu juga ikutan stres,” ujar Mas Ezar. Dia menopang tubuh dengan kedua tangannya pada tembok agar tubuh kami tak bersentuhan walau posisinya mengurungku pada tembok. Aku menghela napas panjang. Sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain agar terkesan judes. “Kamu kok belain dia, sih?”Mas Ezar menangkup wajahku dan menatap mata ini lekat. “Bukan membela, Sayang. Aku juga gak suka sikap dia tadi, tapi aku gak mau dia nyakitin kamu. Kamu tadi liat? Dia emosi kamu bilangin gatal. Untung gak jambak kamu.”“Aku kan bisa jambak balik,” cici
Begitu Bagas telah selesai bernyanyi dan Naila sedikit berlari turun dari panggung, barangkali lupa membawa stok urat malu. Hahaha. Bercanda urat malu!Seketika itu, aku pun terlintas ide untuk merayakan ulang tahun suamiku yang ke-29. Dari kemarin, aku berpikir keras bagaimana mengucapkan agar terkesan romantis dan tidak kaku macam sikapnya saat awal kami menikah. Aku pun naik ke panggung. Bukan untuk goyang ngebor di sana, tapi buat ngambil mic, lalu diskusi sebentar dengan Akang piano. Gak usah penasaran kami diskusi apaan? Intinya, setelah itu aku kembali ke tempat dudukku dengan mic di tangan. Saat ini, aku percaya diri dengan suaraku yang membahana, walau nyatanya seperti suara kodok. Masa bodoh dengan pandangan orang-orang, tapi aku bangga punya suara yang seksi ini, walau tak seseksi orangnya jika hanya berdua dengan Mas Ezar di kamar. Eya!Begitu musik mulai mengalun, aku membuka ponsel dan melihat lirik la
Belum sempat kusambut uluran tangan Ahsan, Mas Ezar yang entah muncul darimana lebih dulu menyambut tangan duda beranak satu itu. “Kami baik,” katanya sambil menarik pinggangku posesif hingga tubuh ini menabrak tubuhnya. “Duh, pocecip detected,” ucap Kak Akmal pelan. Dia sampai menutup mulut dan menoleh ke arah lain. Ia terlihat susah payah menahan tawanya. Ahsan tersenyum tipis. Barangkali menyadari kecemburuan Mas Ezar padanya. “Maaf ini, Mas, karena datang gak diundang. Cuma ikut-ikutan Kak Akmal,” kekeh Ahsan tak enak hati. “Gak apa-apa. Malah senang kalau banyak yang datang.”Mas Ezar mengulas senyum tipis berlagak sangat ramah. Padahal, kutahu hatinya tengah meradang melihat Ahsan mengulurkan tangannya padaku tadi. Dia pasti mengingat kejadian di pernikahan Vina kemarin, di mana saat itu Ahsan melamarku. Barangkali, sekarang ia tetap takut istrinya masih diincar oleh duduk beranak satu itu.
“Jangan cantik-cantik, Sayang. Aku takut nanti malah banyak yang naksir kamu di sana.” Lengan kekar Mas Ezar tiba-tiba saja sudah melingkar di perutku. Bahkan, kini hidungnya pun semakin liar menjelajahi leher ini.Ia sesekali memejamkan mata, kulihat dari cermin di hadapan kami..“Kalau aku jelek yang ada nanti kamu malu bersanding denganku. Katanya mau didampingi meresmikan resto,” ujarku masih mengoles tipis-tipis lipstik ke bibir. “Iya, tapi kalau cantiknya kebangetan aku takut kamu digodain laki-laki lain. Kamu gak pake makeup aja aku pede aja gandeng kamu, kok,” tutur Mas Ezar.Dia masih memeluk erat tubuh ini dari belakang. Napasnya yang hangat sesekali menyapu lembut di kulit leherku, aku bisa rasakan itu. “Aku yang malu tampil dengan muka burik tanpa polesan walau tipis, takut kebanting kegantengan Pak Dosen.”"Hmm, ya udah. Ayo kita pergi,” ajak Mas Ezar. Aku mengecek jam tangan, ternyata sudah puk
Sampai di rumah Ayah, aku memutuskan untuk istirahat sebentar. Habis perjalanan jauh dari Jakarta ke Makassar rasanya capek banget.Padahal, tadi di pesawat cuma duduk doang. Tak sedang mencoba goyang ngebor sambil kayang. Mungkin efek hamil juga jadi badan serasa pegal-pegal dari ujung kepala hingga ujung kaki.Entah berapa lama aku istirahat sampai tertidur hingga kembali terbangun saat alarm pengingat meeting berbunyi. Sore ini, aku memang ada meeting online dengan Bu Aina dan para karyawan Aina Fashion. Begitu meeting berakhir, aku keluar kamar dan mendapati Mas Ezar yang sedang main ular tangga dengan Elizha di ruang tengah. ‘Astaga, laki gue mau-mau aja diajak main ular tangga.’Aku tertawa cekikikan melihat wajah Mas Ezar kayak ditekuk bak orang terpaksa. Aku tebak, dia pasti dipaksa nemanin main oleh Elizha. Soalnya, anak itu kalau keinginannya ditolak suka ngambek sampai 7 hari 7 malam. “Udah gede
“Sayang, dia tadi cuma nanya kabar, jangan salah paham, ya.”Nanya kabar? Penting amat gitu tahu kabar suami orang? Mas Ezar langsung duduk di sampingku, tapi aku sengaja tak memedulikan. Terlihat jelas dari gelagatnya kalau dia bingung bagaimana cara menjelaskan keberadaan Manda padaku? Ah, kurasa hatinya sedang gundah gulana, takut aku marah padanya. Kuraih ponsel dan pura-pura sibuk chat-an untuk menambah kesan judes ini. “Zar, Sha ... karena kebetulan kita ketemu di sini ....” ‘Lah, terus kenapa kalau ketemu di sini? Mau kopral sambil kayang?’“Jadi, sekalian aja gue minta maaf dan pamit pada kalian, terkhusus pada lu, Zar,” lanjut Manda.Setidaknya, aku memasang telinga baik-baik untuk lebih memperjelas pendengaran.Benarkah dia minta maaf? ‘Tumbenan banget seorang Manda minta maaf? Gak salah orang gue, kan, ya?’Takutnya aku cuma mimpi dan pas bangun malah ketampa
Sore ini, ketika pulang dari rumah sakit menjenguk Kak Kyra, aku mengajak Mas Ezar untuk ke makamnya Almarhumah Mika.Sebelumnya aku juga sudah janjian dengan Vina untuk bertemu di gerbang masuk pemakaman.Setelah bertemu Vina, kami sama-sama menyusuri makam hingga berhenti di sebuah makam yang di nisannya bertuliskan nama Ditya Diatmika binti Gilang Baskara. Aku dan Vina berjongkok secara bersamaan disusul oleh Mas Ezar dan Kak Akmal yang juga ikut berjongkok di samping kami.Sejurus kemudian, aku dan Vina bergantian menyiram air ke tanah makan, menabur bunga untuk Mika, dan bersama-sama membacakan doa untuknya. “Mika, terima kasih banyak atas semua warna yang pernah lu berikan pada hidup gue. Saat hidup gue suram, lu yang datang dan susah payah menghibur walau mulanya gue gak pernah ngerespons baik kedatangan lu di masa laluJahatnya gue, karena berpikir kalau lu sama pengkhianatnya dengan orang-orang yang gue kenal sebelumny
Aku yang penasaran dengan wujud Baby Boy Kak Ghazaar dan Kak Kyra tak bisa menunggu lama lagi untuk melongoknya. Selesai sarapan dan mandi, aku langsung mengajak Mas Ezar ke rumah sakit. Untungnya, karena dia tak banyak neko-neko. Sampai di rumah sakit, Mas Ezar langsung membuka pintu ruang rawat Kak Kyra hingga perhatian semua orang yang fokus pada Baby Boy beralih ke kami sebentar. “Assalamualaikum,” ucap kami kompak.Di ruangan sudah ada Bunda, Papa, Kak Ghazaar, ibunya Kak Kyra, juga Bu Aina yang tampaknya malah sudah bergegas untuk pulang."Waalaikumsalam,” jawab mereka kompak.“Gak jodoh banget sama ponakan ganteng dan cantik yang satu ini. Giliran mereka datang, Tante mau pulang,” ujar Bu Aina. “Kenapa buru-buru, Bu?” tanyaku. “Mau ke butik. Ada klien yang nungguin di sana.”Kuanggukkan kepala berulang kali tanda mengerti. “Ibu gak ke toko kan?” tanyaku memicing. “Kenapa emang?” tanya wanita berhijab itu menyelidik. “Soalnya Asha bolos,” ucapku jujur, sengaja memasang eks
Bunda Ola tersenyum tipis, lalu celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu. “Itu dia orangnya.” Ibu mertuaku itu menunjuk dua orang pria yang kegantengannya tak diragukan lagi tengah berjalan beriringan ke arah kami. “Selamat ya, Nak.” Papa menyodorkan tangan yang langsung kusambut dan mencium punggung tangannya dengan takzim. “Mau lanjut kuliah magister di UNNUS juga, gak?” tanya Papa. Aku terkekeh pelan sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal. “Nanti dipikir-pikir lagi, Pa. Kalau gak mager, boleh di-gas tanpa rem.”Aku beralih menatap Mas Ezar yang sedari tadi hanya tersenyum tanpa membuka suara. Satu tangannya berada di belakang, entah apa yang disembunyikan itu? Aku berusaha mengintip, tapi pria tampanku itu bergeser seolah tak membiarkanku melihatnya.“Bawa apa, sih?” tanyaku penasaran. Seketika itu, Mas Ezar mengusap-usap kepala ini pelan dan langsung mengeluarkan benda dari balik punggungnya.