Suara ponsel yang berdering, kembali membuat perhatian Aditya teralihkan pada benda pipih yang dia simpan di dalam saku celana nya.Merogoh masuk mengambil benda pipih itu, dan mendapati nama 'Sinta' Sekretaris, pribadi nya. Mendesah lelah, dengan hati yang berat Aditya menjawab panggilan telepone dari nya."Aku jawab telepone dulu," pamit Aditya, dengan menggeser icon berwarna hijau, dan melangkah menjauh dari Dita. Mendapati bagaimana sibuk nya Aditya sedari tadi, membuat rasa bersalah seketika memenihi relung jiwa Dita. Suami nya itu sebagai seorang Presdir, yang tentu nya memiliki tanggung jawab begitu besar. Dengan pergi nya pria itu meninggalkan pekerjaan nya, tentu saja membuat orang-orang yang bernaung di bawah nya kelimpungan."Seharus nya, aku tidak menahan nya terlalu lama," gumam Dita, dengan tatapan nanar pada Aditya-yang masih membelakangi nya. Pria itu terlihat begitu serius, saat membicarakan masalah pekerjaan dengan Sekretaris pribadi nya. Hingga, Alisa segera mengu
Berniat hanya berganti baju dan akan kembali ke kantor- agar dapat kembali mengurus pekerjaan yang tertunda. Namun, semua itu harus Aditya urungkan-karena kondisi kehamilan Jeni yang sedang tidak baik. Kedua orang tua nya-menyalahkan Aditya, atas apa yang terjadi pada Menantu mereka.Rasa rindu-yang kian menyiksa, membuat Aditya tak mampu menahan diri nya lagi. Pria itu kini berusaha mencari celah, agar bisa menghubungi Dita. Aditya mendatangi taman yang berada di samping rumah nya, ingin melepas rindu dengan melakukan VC, sekaligus mengatakan kalau dia telah tiba dengan selamat. Namun, harus Aditya urungkan niat nya itu-saat terdengar suara bariton yang sangat tidak asing untuk nya. "Kau sedang apa, di sini?!" Bertanya pada sang putra, namun nada bicara Papa Herman terdengar seperti sedang marah. "Aku sedang mencari angin saja," sahut Aditya, berusaha untuk menormalkan suasana hati nya yang mulai tak menentu. Papa Herman mensejajarkan jarak nya dengan Aditya. Ke dua pria beda gener
Beberapa menit melakukan perjalanan, Jeni kini telah tiba di depan sebuah gedung bertingkat-dengan dinding kaca yang mendominasi. Menempel sebuah 2 huruf besar pada badan gedung, kian menambah elegent nya perusahaan raksasa itu. Mengambil langka lebar nya, Jeni terlihat panik-dengan keringat yang membasahi sedikit dahi nya. Telah memijakkan kaki nya di lantai-di mana ruang kerja suami nya berada, wanita itu segera melontarkan pertanyaan tentang ada nya, tidak, Aditya, di dalam ruangan nya. "Sinta, suami saya ada?!" Dengan napas tersenggal, Jeni melontrarkan pertanyaan pada Sinta yang sama sekali tidak menyadari kedatangan nya. Mengangkat wajah nya, mimik wajah itu seketika tak lagi sama-begitu mendapati keberadaan istri, dari Bos-nya. "Ada, Nyonya! Tuan sedang berada di dalam ruangan, namun saat ini beliau sedang menerima tamu." Jawaban dari bibir Sinta, semakin membuat jantung Jeni tak bekerja dengan baik. Ber-irama dengan semakin cepat, bersama rasa takut yang semakin saja m
Rasa rindu itu tak mampu terbendung lagi. Dengan berbagai alasan yang mampu dipercaya oleh Jeni, Aditya kembali menemui wanita lain, yang juga berstatus istri nyamSetelah memarkirkan kendaraan roda empat nya, pria itu segera turun dari dalam mobil, dan mengambil langka kaki nya yang panjang. Lelaki bermanik hitam legam itu-nampak seperti sudah tidak sabar untuk bertemu dengan wanita yang dia cintai.Melangkah dengan setengah berlari, saat melewati anak tangga-Aditya langsung mendorong pintu kamar, begitu tiba di depan nya. Masuk ke dalam nya, seraya menyeruhkan nama sang istri. "Dit---, Dita----," panggil nya, dengan langka kaki yang terus Aditya ayunkan. Mengintai setiap sudut ruangan, namun tak menemukan sosok yang dia cari itu," Di mana, dia?" Aditya bergumam dengan diri nya sendiri. Dan memutuskan untuk mencari Dita di lantai bawa. Menjelajahi setiap ruangan, Aditya tak henti-henti nya menyeruhkan nama Dita. Hingga, langka kaki itu dia jeda saat mendapati Bibi Supi yang tengah m
Telah mengetahui perasaan masing-masing, membuat Aditya dan Dita, berakhir di atas ranjang. Saling berbagi peluh dengan sentuhan-sentuhan memabukkan, Aditya dan Dita baru menyudahi pergulatan panas mereka setelah satu jam lama nya. Tubuh polos tanpa helaian apa pun, Aditya dan Dita masih menikmati sisa-sisa kenikmatan yang baru saja mereka arungi bersama. Berpelukan, menikmati hangat nya dekapan itu-kala sentuhan kulit tanpa penghalang mampu kembali memancing datang nya gairah.Aditya mengerang pelan-memejamkan erat mata itu, saat jemari lentik Dita bergerak indah di atas dada bidang nya. Hanya sebuah sentuhan, namun sanggup membuat nya mendesah."Dit...," lirih Aditya. Nada suara yang berat, begitu menikmati hingga enggan membuka mata itu.Suara dering telepone seketika terdengar-membuat gairah yang mulai bangkit-menyurut seketika, hingga sang pejantan mendecak."Ck! Mengganggu saja!" umpat Aditya, saat ponsel nya terus saja mendendangkan nada nya."Angkat saja-siapa tahu penting," p
Aditya, dan Jeni baru saja tiba di rumah mereka setelah melakukan pemeriksaan pada kandungan Jeni. Hasil nya tak ada yang mengkhawatirkan, sebab ibu dan calon bayi nya dalam keadaan sehat. Lelah yang begitu menggorogoti tubuh nya, membuat Aditya langsung menghempaskan tubuh nya ke atas sebuah sofa panjang, begitu pria itu telah berada di dalam rumah nya. Melepas lelah yang teramat sangat, Aditya begitu menikmati kegiatan nya--sampai tidak menyadari kedatangan Jeni yang kini telah bergabung."Seperti nya dia benar-benar lelah," gumam Jeni, bola mata hitam wanita itu-begitu tajam menatap Aditya, yang kini tengah bersandar malas pada sofa panjang, dengan mata yang dia pejamkan.Lama menatap Aditya, membuat pikiran Jeni berkelana kemana-mana, hingga terhantar pada hal, di mana Aditya yang akhir-akhir ini sering meninggalkan diri nya dengan alasan yang tidak jelas."Adit!" panggil Jeni tiba-tiba, dengan masih menatap Aditya dengan lekat.Suara panggilan dari Jeni, membuat Aditya terjaga da
Aditya benar-benar membuktikan janji nya pada Dita, istri nya. Sudah sangat tidak sabar mengetahui jenis kelamin anak nya, Aditya segera membawa Dita ke tempat praktek Dokter OBGYN terdekat-begitu pria itu tiba di villa.Dress yang Dita pakai telah di singkap mencapai buahdada nya. Sang Dokter pun telah mengoles jel ke atas perut buncit Dita-sebagai langka awal, dan mengambil sebuah alat yang yang di sebut transduker yang berada di dekat nya. Dokter mulai menggesek-gesekkan benda itu di atas perut Dita, dengan serius menatap layar monitor.Berbaring di atas bed hospital, Dita setia menoleh ke arah layar monitor. Mendapati ada nya penampakan pada layar monitor itu, suasana hati Dita mendadak haru. Rasa hangat memenuhi seluruh relung jiwa nya, semua nya sangat sulit untuk di ungkapkan dengan kata-kata. Tak ingin meneteskan air mata, namun kebahagian tak mampu terbendung lagi oleh nya. Air mata itu kini telah menetes, lewat kedua sudut mata nya. Namun, Dita segera menyekah nyamTak sengaj
Jeni, segera menurunkan ke dua kaki nya dari dalam mobil, saat kendaraan yang membawa nya telah tiba di depan rumah Arman. Mengambil langka lebar nya, wanita muda itu sudah tidak sabar-untuk bertemu dengan Arman. Namun, sekejap--raut wajah itu tak lagi sama saat diri nya di sambut dengan sunyi nya suasana rumah. Arman memang tinggal seorang diri tanpa ada nya seorang pelayan. Namun, kali ini diri nya mendapati rumah yang benar-benar dalam keadaan lengang. "Di mana, dia?" gumam Jeni-bertanya pada diri nya sendiri-dengan langka kaki yang terus dia ayunkan. Ruang-demi ruang Jeni datangi, namun tak kunjung menemukan sosok Kakak laki-laki nya, itu. Puas mencari Arman di lantai atas, Jeni kembali turun menuju lantai bawa. Mengedarkan pandangan nya-menjelajahi seisi ruang. Jeni, memutuskan untuk memanggil Arman. "Kakak----, Kakak-----," panggil Jeni dengan teriakan, berharap Arman dapat menyambut satu panggilan nya. Namun, walaupun telah sepersekian detik berlalu-Kakak laki-laki nya it
Beberapa jam kemudianBeberapa menit menempuh perjalanan--akhirnya mobil yang membawa Dita telah kembali berada di rumahnya. Saat akan turun dari dalam mobil, mimik wajah Dita seketika berubah setelah mendapati adanya sebuah mobil asing yang terparkir di depan rumah. Melangkahkan kakinya--namun pandangan itu tak Dita putuskan dari mobil berwarna merah itu. "Dita---." Panggil suara tidak asing-membuat pandangan Dita teralihkan, dan seketika mimik wajah Dita berubah kaget--setelah mendapati siapa yang menyeruhkan namanya itu."Anita!" gumam Dita dengan tatapan tidak percayanya. Dita segera mengambil langka lebarnya menghampiri wanita yang sudah lama tidak dia temuinya itu.Namun, adanya baby Damar dalam gendongan Anita membuat antusias di dalam diri Dita hilang sekejap. "Kapan kau datang?" tanya Dita, tanpa meminta persetujuan Anita--wanita itu segera mengambil alih Damar dalam gendongan sahabatnya, dan melabuhkan kecupan singkat pada pipi gembul baby Damar. "Sekitar dua puluh menit y
Kendaraan yang membawa Dita--telah terparkir di halaman depan rumah sakit. Dengan ragu, wanita bernama Anandita Setiawan itu menurunkan kedua kakinya. "Apakah perlu saya temani, Nyonya?" tanya sang sopir tiba-tiba, saat Dita tak kunjung melangkahkan kakinya ke dalam bangunan di depannya. "Tidak perlu Pak, Bapak tunggu di sini saja," sahut Dita dengan menoleh sebentar pada sopir pribadinya, dan kembali membawa pandangan pada bangunan yang berada di depan."Baiklah Nyonya, kalau begitu saya akan memarkirkan mobil-dan menunggu anda di sana saja," ujar sang sopir memberitahu, seraya jari telunjuknya mengarah pada sebuah pohon yang rindang yang berada di dekat halaman parkir. "Baik Pak," sahut Dita, dan sang sopir segera melajukan kembali kendaraan roda empat itu. Dita menghembuskan napasnya kasar, meraup udara sebanyak mungkin--saat merasa pasukan oksigen di dalam dadanya berkurang. Suasana hatinya tiba-tiba tak karuan. Antara iya, dan tidak, untuk dirinya masuk ke dalam bangunan rum
Awan tak lagi putih, langit tak lagi biru--sebab kini bumi telah diselimuti kegelapan kala malam kembali menyapa. Angin berhembus sedikit kencang, membuat tirai yang menggelantung tertiup kala angin berhasil mencuri masuk ke dalamnya. Mendapati hal itu Dita segera menghampiri. Kedua tangannya menarik ujung gorden, dan menyatukannya dengan lebih rapat lagi. Mengedarkan pandangannya menjelajahi seisi ruangan. Suasana kamar kini sangat berbanding terbalik dengan tadi. Tadinya kamar ini sangat riuh, dengan celotehan, dan tangisan ketiga buahatinya. Namun, kini telah lenggang karena bayi-bayi miliknya sudah terlelap. Menghembuskan napasnya panjang, Dita meraup oksigen sebanyak mungkin melepas lelah yang begitu menggerogoti di tubuh. Dita merasa seperti baru saja melepaskan beban yang cukup berat. "Ternyata ada asam-manisnya," gumam Dita, dengan senyuman yang dia ukir di wajahnya. Dita memutuskan untuk kembali melihat ketiga bayinya. Menyingkap tirai tipis yang menghalangi pandangan, s
Sangat tidak keberatan untuk seorang Aditya Wijaya jika Dion memberikan putranya untuk dia asuh--sebab perasaan memiliki itu sudah ada untuk anak dari sahabat baiknya itu sejak dia lahir. Namun, yang jadi pertanyaan untuk Aditya--kenapa Dion ingin memberikan anaknya pada dia, sebab pria itu sendiri pernah meminta padanya agar Aditya mengikhlaskan Damar untuknya."Katakan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi, sampai kau ingin memberikan Damar padaku?" tanya Aditya, dengan nada suaranya yang terdengar menuntut. Kedua alis tebal Aditya menyurut, saat pupil hitam pekat pria itu semakin tajam ketika menatap Dion. Bukan hanya Aditya saja yang dibuat kaget dengan permintaan Dion, namun Dita juga. Dirinya sama sekali tidak keberatan jika Dion memberikan putranya pada dia, dan Adtya, untuk diasuh oleh mereka. Namun, yang membuat Dita heran---sebab Dion--dulu ingin merawat putranya sendiri. "Iya, Dion. Aku sama sekali tidak masalah kalau kau memberikan Damar pada aku, dan Aditya. Aku akan mer
Baby Adrian yang sudah mabuk ASI perlahan melepaskan puting susu ibunya sendiri, dan kini sudah terlihat jauh lebih tenang dari sebelumnya. Dan saat Dita kembali menyodorkan putingnya, bayi itu kembali melepaskannya dan kini justru memasukkan gumpalan jari ke dalam mulutnya. Baby Adrian kini fokus bermain."Sepertinya dia sudah kenyang," ujar Aditya. "Iya Mas," sahut Dita membenarkan, dan wanita itu memutuskan untuk membaringkan putranya disamping saudara kembarnya. Dalam keadaan kenyang, membuat baby Adrian dan juga Adriana tak lagi rewel. Kedua bayi itu kini bermain, menendang-nendang kecil kaki mereka, ataupun mengemut jari-jarinya. Dan, kegiatan kecil yang dilakukan oleh bayi kembar itu mampu membuat perasaan kedua orang tuanya terhibur. "Mereka sangat menggemaskan ya, Dit?" ujar Aditya-dengan senyuman yang terukir di wajahnya. Sekilas menatap pada Dita, dan kembali memfokuskan pandangannya pada kedua anaknya. Aditya nampak sangat menikmati apa yang dia lakukan saat ini. "Mas-
Dua bulan kemudianWaktu berlalu begitu cepat. Tidak terasa dua bulan telah berlalu, sejak kelahiran baby Adrian, dan Adriana. Banyak hal yang telah dilewati dalam dua bulan terakhir ini. Salahsatunya Dita yang kini telah pindah dari villa, dan menempati rumah barunya, yang barus atu bulan ini dibeli oleh Aditya.Hari-hari yang dilewati Dita penuh dengan kebahagiaan. Suami yang sangat mencintainya, dan memiliki kedua anak yang semakin hari, semakin menggemaskan di matanya. Dita, seperti memiliki mainan baru-sebab sejak kehadiran baby Adrian, dan baby Adriana membuat hari-hari dari Ibu muda itu terasa jauh lebih berwarna. Namun, kadang Dita suka menemukan kerepotan kalau kedua bayi kembar itu rewel bersamaan.Dan, tanpa Dita sadari dirinya sering mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang istri. Seperti biasa, saat pagi hari sebelum Aditya bangun Dita telah berkunjung ke kamar bayi yang bersebelahan dengan kamarnya, dan Aditya. Berada di kamar dengan cat berwarna putih yang mendomi
Dunia Dita seperti berhenti berputar, setelah dirinya mendapati kedatangan Mama Nita. Serasa seperti mimpi, bolamata wanita itu tak ada kedipan sama sekali saat menatap pada wanita yang masih berstatus ibu mertuanya nya. Hingga, Dita nampak tercengang saat menyadari kalau saat ini posisinya dan Mama Nita sudah sangat dekat. Sekian tahun tak bersua, membuat suasana canggung begitu terasa untuk kedua wanita beda generasi itu. Saling menatap, namun keduanya tetap dengan diam. Bingung, harus memulainya dari mana. "Dit--." Mama Nita bersuara pelan, setelah sekian detik keheningan melandanya dan Dita. Dia tahu, kalau menantunya itu ingin menyapanya lebih dulu namun merasa sungkan."Maa," sahut Dita, dengan senyum yang terkesan dipaksakan. Sebab, walaupun sang ibu mertua telah bersuara terlebiih dahulu namun dirinya masih merasa canggung. "Maaf, untuk semuanya. Mama sangat menyesal. sebab telah membencimu padahal kau tidak melakukan kesalahan apapun,"lirih Mama Nita. Mimik wajahnya tela
Aditya membeo. Pria itu masih memfokuskan pandangannya pada kedua orangtuanya. Kedatangan mereka sama sekali tidak disangka-sangka pria itu. Terutama sang Bunda--yang juga turut datang bersama ayahnya. "Adit! Bagaimana? Apakah Dita, sudah melahirkan?" tanya Mama Nita. Mimik wajah wanita paruhbaya itu menunjukkan kekhwatirannya yang teramat sangat. Saat melayangkan pertanyaan, Mama Nita melemparkan pandangannya ke arah pintu ruang operasi. Aditya tak langsung menyambut. Sebagai orang yang turut tahu tentang dia dan Dita selama ini, Aditya melirikkan matanya-menatap sang ayah dengan lekat. Dan, Papa Herman yang ditatap seperti itu hanya menganggukkan kepalanya pelan. Pria paruhbaya itu seolah sudah mengerti tatapan dari putranya, itu. "Belum Maa," sahut Aditya, dengan nada suaranya yang terdengar berat. Saat menjawab pertanyaan Mama Nita, hati Aditya mendadak perih sebab operasinya sudah memakan waktu sedikit lama. Raut wajah pria itu mendadak layu. "Kita berdoa semoga operasinya be
Suara dering telepone terdengar di dalam ruangan, membuat keheningan yang melanda seketika membelah. Dan, ternyata itu panggilan telepone yang datang dari gawai milik Aditya yang saat ini sedang dalam pengisian daya. "Dari tadi HPmu terus saja berbunyi, dan sepertinya itu telepone yang penting," ujar Mama Nita memberitahu.Mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Ibunya tanpa menunggu lama lagi, Aditya segera menghampiri gawainya yang tersimpan di atas sebuah kabonet kecil. Melepaskan colokannya, dan mendapati nama Bibi Supi pada layar HPnya. Meyakini ada sesuatu yang serius, Aditya segera melakukan panggilan balik pada Bibi Supi. Saat melakukan telepone balik, Aditya tak berada lagi di ruangan yang sama dengan kedua orang tuanya dan Roki. Lki-laki tampan itumemilih untuk berpisah ruang, menuju teras rumah dengan kolam renang yang berada di depannya. Apa yang Aditya lakukan, membuat ketiga sosok yang bersamanya seketika dilanda rasa penasaran. Dan, mendapati bagaimana gestur tub