Aditya, dan Jeni baru saja tiba di rumah mereka setelah melakukan pemeriksaan pada kandungan Jeni. Hasil nya tak ada yang mengkhawatirkan, sebab ibu dan calon bayi nya dalam keadaan sehat. Lelah yang begitu menggorogoti tubuh nya, membuat Aditya langsung menghempaskan tubuh nya ke atas sebuah sofa panjang, begitu pria itu telah berada di dalam rumah nya. Melepas lelah yang teramat sangat, Aditya begitu menikmati kegiatan nya--sampai tidak menyadari kedatangan Jeni yang kini telah bergabung."Seperti nya dia benar-benar lelah," gumam Jeni, bola mata hitam wanita itu-begitu tajam menatap Aditya, yang kini tengah bersandar malas pada sofa panjang, dengan mata yang dia pejamkan.Lama menatap Aditya, membuat pikiran Jeni berkelana kemana-mana, hingga terhantar pada hal, di mana Aditya yang akhir-akhir ini sering meninggalkan diri nya dengan alasan yang tidak jelas."Adit!" panggil Jeni tiba-tiba, dengan masih menatap Aditya dengan lekat.Suara panggilan dari Jeni, membuat Aditya terjaga da
Aditya benar-benar membuktikan janji nya pada Dita, istri nya. Sudah sangat tidak sabar mengetahui jenis kelamin anak nya, Aditya segera membawa Dita ke tempat praktek Dokter OBGYN terdekat-begitu pria itu tiba di villa.Dress yang Dita pakai telah di singkap mencapai buahdada nya. Sang Dokter pun telah mengoles jel ke atas perut buncit Dita-sebagai langka awal, dan mengambil sebuah alat yang yang di sebut transduker yang berada di dekat nya. Dokter mulai menggesek-gesekkan benda itu di atas perut Dita, dengan serius menatap layar monitor.Berbaring di atas bed hospital, Dita setia menoleh ke arah layar monitor. Mendapati ada nya penampakan pada layar monitor itu, suasana hati Dita mendadak haru. Rasa hangat memenuhi seluruh relung jiwa nya, semua nya sangat sulit untuk di ungkapkan dengan kata-kata. Tak ingin meneteskan air mata, namun kebahagian tak mampu terbendung lagi oleh nya. Air mata itu kini telah menetes, lewat kedua sudut mata nya. Namun, Dita segera menyekah nyamTak sengaj
Jeni, segera menurunkan ke dua kaki nya dari dalam mobil, saat kendaraan yang membawa nya telah tiba di depan rumah Arman. Mengambil langka lebar nya, wanita muda itu sudah tidak sabar-untuk bertemu dengan Arman. Namun, sekejap--raut wajah itu tak lagi sama saat diri nya di sambut dengan sunyi nya suasana rumah. Arman memang tinggal seorang diri tanpa ada nya seorang pelayan. Namun, kali ini diri nya mendapati rumah yang benar-benar dalam keadaan lengang. "Di mana, dia?" gumam Jeni-bertanya pada diri nya sendiri-dengan langka kaki yang terus dia ayunkan. Ruang-demi ruang Jeni datangi, namun tak kunjung menemukan sosok Kakak laki-laki nya, itu. Puas mencari Arman di lantai atas, Jeni kembali turun menuju lantai bawa. Mengedarkan pandangan nya-menjelajahi seisi ruang. Jeni, memutuskan untuk memanggil Arman. "Kakak----, Kakak-----," panggil Jeni dengan teriakan, berharap Arman dapat menyambut satu panggilan nya. Namun, walaupun telah sepersekian detik berlalu-Kakak laki-laki nya it
Dita-mendesah lelah, bagaimana wanita itu mendapati begitu banyak nya belanjaan nya, dan Aditya hari ini. Sepulang dari memeriksakan kandungan nya, dia dan pria itu masih singgah di sebuah supermarket terdekat, dan pulang dengan begitu banyak nya barang. "Kenapa, kau menatap ku seperti itu, Sayang--? Kau membuat ku takut!"protes Aditya. Pria itu bergidik ngeri, bagaimana diri nya mendapati sang istri yang menatap nya dengan horor. Menampilkan mimik cemberut nya, berusaha menekan rasa kesal nya yang teramat sangat-pada Aditya. Dita kembali bersuara setelah sedetik kemudian, "Itu, karena kau terlalu membeli banyak barang. Bahkan susu hamil belum aku minum semua nya. Namun, kini kau sudah membeli nya lagi!" cecar Dita, wanita itu masih menunjukkan mode marah nya pada sang suami. "Sayang istri---, sayang istri----." Aditya berteriak kegirangan, dengan menampilkan senyum terbaik nya. Dan tindakan konyol yang pria itu tunjukkan, semakin menambah rasa kesal Dita, pada suami nya itu.Begitu
Air mata Dita bagai perciikapan api yang semakin menyulut emosi di dalam diri nya. Setiap kali mengingat bagaimana Dita menangis akibat rasa kecewa nya yang teramat sangat pada Arman, membuat api amarah itu semakin saja membarah untuk Arman. Mencengkram kuat bundaran setir bahkan ujung kuku Aditya mampu melukai benda bulat itu, akibat emosi nya yang telah benar-benar berada di puncak. Telah tiba di depan rumah Arman, Aditya sudah tidak sabar ingin memberikan pelajaran pada Kakak ipar nya itu."Arman----, Arman-----," teriak Aditya. Rasa kecewa nya yang teramat sangat pada pria-yang berstatus Kakak ipar nya itu, membuat Aditya tak memandang lagi siapa pria yang saat ini dia teriaki."Aditya," ujar Arman. Aditya yang tidak pernah berteriak sekeras ini pada nya, tentu saja membuat Arman seketika di landa tanda tanya. Ada apa, dengan adik ipar nya itu? Kenapa bertandang ke rumah nya, tak ada sopan santun yang biasa dia temui dalam diri pria itu.Memalingkan pandangan nya pada asal suara.
Memejamkan erat mata nya, menikmati sapuan lembut angin yang menerpa di permukaan kulit. Begitu menenangkan jiwa, mampu membuat lara di hati sedikit terobati dengan keindahan yang dia temui di pagi ini. Hijau nya alam, dengan bukit-bukit kecil yang berada di sekitar nya tertutup oleh kabut membuat lukisan alam yang dia temui pagi ini begitu indah di mata nya. Dion menghembuskan napas nya dalam, kala malam kelam itu kembali melintas di dalam benak nya. Menyisahkan duka yang mendalam, dengan hati yang begitu teriris.Masih belum mau mempercayai nya, namun itu nyata--wanita yang kini telah mengandung darah daging adalah seorang pembunuh. Dan, diri nya tak lebih hanya sebuah alat untuk mencapai ambisi nya dalam mendapatkan cinta sahabat baik nya. Merasakan begitu menyedihkan nasip diri nya, sudut bibir Dion membentuk sebuah bulan sabit-menertawakan takdir hidup nya akibat kenikmatan yang dia dapat dari istri dari sahabat nya, yang justru meninggalkan luka yang begitu dalam. "Ambil lah
Tak dapat tidur dengan nyenyak Papa Herman semalam. Apa yang Aditya katakan pada nya tadi malam, sungguh membuat lelaki paruh baya itu kaget luar biasa. Arman karyawan terbaik nya, dan juga yang tak lain adalah Kakak ipar dari putra nya, ternyata adalah dalang atas penjebakan yang terjadi pada Dita di hotel beberapa waktu lalu. Arman, adalah sosok yang baik dan juga luwes di mata Papa Herman. Pria itu di kenal pekerja keras, dan juga kepintaran nya dalam meyakinkan investor-investor asing untuk dapat bekerja sama dengan Wijaya Group. Hingga, saat kembali memikirkan semua kebaikan dan kelebihan pria itu--membuat Papa Herman begitu kecewa pada lelaki itu. Kenapa, harus Arman? Itu lah yang terlintas di dalam benak seorang Herman Wijaya.Kembali menemukan fakta kalau Dita tidak bersalah, semakin menambah rasa bersalah Papa Herman pada menantu nya. Tak ingin kian larut dalam rasa bersalah yang tak berkesudahan, Papa Herman memutuskan untuk mengunjungi Dita pagi ini. Telah selesai berkeb
Tak ada lagi kecanggungan, atau pun air mata yang mewarnai, sebab kini rona bahagia telah terukir di wajah pasangan mertua dan menantu itu.Tak terlihat sama sekali ada nya jarak-seperti pasangan menantu, dan mertua pada umum nya. Papa Herman, dan Dita terlihat bak ayah, dan anak kandung. Kedua nya terlihat sangat begitu akrab saat berbincang di ruang tamu itu."Katakan pada Papa sudah berepa bulan usia kandungan mu.""Sebentar lagi sudah mau memasuki bulan yang ke enam, Paa,"sahut Dita, dengan sedikit senyum yang dia ukir di wajah. Apa yang Dita katakan berhasil membuat Papa Herman membisu. Tak lagi bersuara, seperti ada sesuatu yang begitu mengganjal namun sangat sulit untuk di ungkapkan,"Bahkan usia kandungan nya sama dengan Jeni--yang juga akan memasuki bulan ke 6," gumam Papa Herman dalam hati, wajah lelaki paruh baya itu tak seceriah tadi lagi.Sentuhan lembut Dita di tangan nya--membuat laki-laki paruh baya itu terjaga. Papa Herman terlihat sedikit kaget, hingga Dita menatap
Beberapa jam kemudianBeberapa menit menempuh perjalanan--akhirnya mobil yang membawa Dita telah kembali berada di rumahnya. Saat akan turun dari dalam mobil, mimik wajah Dita seketika berubah setelah mendapati adanya sebuah mobil asing yang terparkir di depan rumah. Melangkahkan kakinya--namun pandangan itu tak Dita putuskan dari mobil berwarna merah itu. "Dita---." Panggil suara tidak asing-membuat pandangan Dita teralihkan, dan seketika mimik wajah Dita berubah kaget--setelah mendapati siapa yang menyeruhkan namanya itu."Anita!" gumam Dita dengan tatapan tidak percayanya. Dita segera mengambil langka lebarnya menghampiri wanita yang sudah lama tidak dia temuinya itu.Namun, adanya baby Damar dalam gendongan Anita membuat antusias di dalam diri Dita hilang sekejap. "Kapan kau datang?" tanya Dita, tanpa meminta persetujuan Anita--wanita itu segera mengambil alih Damar dalam gendongan sahabatnya, dan melabuhkan kecupan singkat pada pipi gembul baby Damar. "Sekitar dua puluh menit y
Kendaraan yang membawa Dita--telah terparkir di halaman depan rumah sakit. Dengan ragu, wanita bernama Anandita Setiawan itu menurunkan kedua kakinya. "Apakah perlu saya temani, Nyonya?" tanya sang sopir tiba-tiba, saat Dita tak kunjung melangkahkan kakinya ke dalam bangunan di depannya. "Tidak perlu Pak, Bapak tunggu di sini saja," sahut Dita dengan menoleh sebentar pada sopir pribadinya, dan kembali membawa pandangan pada bangunan yang berada di depan."Baiklah Nyonya, kalau begitu saya akan memarkirkan mobil-dan menunggu anda di sana saja," ujar sang sopir memberitahu, seraya jari telunjuknya mengarah pada sebuah pohon yang rindang yang berada di dekat halaman parkir. "Baik Pak," sahut Dita, dan sang sopir segera melajukan kembali kendaraan roda empat itu. Dita menghembuskan napasnya kasar, meraup udara sebanyak mungkin--saat merasa pasukan oksigen di dalam dadanya berkurang. Suasana hatinya tiba-tiba tak karuan. Antara iya, dan tidak, untuk dirinya masuk ke dalam bangunan rum
Awan tak lagi putih, langit tak lagi biru--sebab kini bumi telah diselimuti kegelapan kala malam kembali menyapa. Angin berhembus sedikit kencang, membuat tirai yang menggelantung tertiup kala angin berhasil mencuri masuk ke dalamnya. Mendapati hal itu Dita segera menghampiri. Kedua tangannya menarik ujung gorden, dan menyatukannya dengan lebih rapat lagi. Mengedarkan pandangannya menjelajahi seisi ruangan. Suasana kamar kini sangat berbanding terbalik dengan tadi. Tadinya kamar ini sangat riuh, dengan celotehan, dan tangisan ketiga buahatinya. Namun, kini telah lenggang karena bayi-bayi miliknya sudah terlelap. Menghembuskan napasnya panjang, Dita meraup oksigen sebanyak mungkin melepas lelah yang begitu menggerogoti di tubuh. Dita merasa seperti baru saja melepaskan beban yang cukup berat. "Ternyata ada asam-manisnya," gumam Dita, dengan senyuman yang dia ukir di wajahnya. Dita memutuskan untuk kembali melihat ketiga bayinya. Menyingkap tirai tipis yang menghalangi pandangan, s
Sangat tidak keberatan untuk seorang Aditya Wijaya jika Dion memberikan putranya untuk dia asuh--sebab perasaan memiliki itu sudah ada untuk anak dari sahabat baiknya itu sejak dia lahir. Namun, yang jadi pertanyaan untuk Aditya--kenapa Dion ingin memberikan anaknya pada dia, sebab pria itu sendiri pernah meminta padanya agar Aditya mengikhlaskan Damar untuknya."Katakan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi, sampai kau ingin memberikan Damar padaku?" tanya Aditya, dengan nada suaranya yang terdengar menuntut. Kedua alis tebal Aditya menyurut, saat pupil hitam pekat pria itu semakin tajam ketika menatap Dion. Bukan hanya Aditya saja yang dibuat kaget dengan permintaan Dion, namun Dita juga. Dirinya sama sekali tidak keberatan jika Dion memberikan putranya pada dia, dan Adtya, untuk diasuh oleh mereka. Namun, yang membuat Dita heran---sebab Dion--dulu ingin merawat putranya sendiri. "Iya, Dion. Aku sama sekali tidak masalah kalau kau memberikan Damar pada aku, dan Aditya. Aku akan mer
Baby Adrian yang sudah mabuk ASI perlahan melepaskan puting susu ibunya sendiri, dan kini sudah terlihat jauh lebih tenang dari sebelumnya. Dan saat Dita kembali menyodorkan putingnya, bayi itu kembali melepaskannya dan kini justru memasukkan gumpalan jari ke dalam mulutnya. Baby Adrian kini fokus bermain."Sepertinya dia sudah kenyang," ujar Aditya. "Iya Mas," sahut Dita membenarkan, dan wanita itu memutuskan untuk membaringkan putranya disamping saudara kembarnya. Dalam keadaan kenyang, membuat baby Adrian dan juga Adriana tak lagi rewel. Kedua bayi itu kini bermain, menendang-nendang kecil kaki mereka, ataupun mengemut jari-jarinya. Dan, kegiatan kecil yang dilakukan oleh bayi kembar itu mampu membuat perasaan kedua orang tuanya terhibur. "Mereka sangat menggemaskan ya, Dit?" ujar Aditya-dengan senyuman yang terukir di wajahnya. Sekilas menatap pada Dita, dan kembali memfokuskan pandangannya pada kedua anaknya. Aditya nampak sangat menikmati apa yang dia lakukan saat ini. "Mas-
Dua bulan kemudianWaktu berlalu begitu cepat. Tidak terasa dua bulan telah berlalu, sejak kelahiran baby Adrian, dan Adriana. Banyak hal yang telah dilewati dalam dua bulan terakhir ini. Salahsatunya Dita yang kini telah pindah dari villa, dan menempati rumah barunya, yang barus atu bulan ini dibeli oleh Aditya.Hari-hari yang dilewati Dita penuh dengan kebahagiaan. Suami yang sangat mencintainya, dan memiliki kedua anak yang semakin hari, semakin menggemaskan di matanya. Dita, seperti memiliki mainan baru-sebab sejak kehadiran baby Adrian, dan baby Adriana membuat hari-hari dari Ibu muda itu terasa jauh lebih berwarna. Namun, kadang Dita suka menemukan kerepotan kalau kedua bayi kembar itu rewel bersamaan.Dan, tanpa Dita sadari dirinya sering mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang istri. Seperti biasa, saat pagi hari sebelum Aditya bangun Dita telah berkunjung ke kamar bayi yang bersebelahan dengan kamarnya, dan Aditya. Berada di kamar dengan cat berwarna putih yang mendomi
Dunia Dita seperti berhenti berputar, setelah dirinya mendapati kedatangan Mama Nita. Serasa seperti mimpi, bolamata wanita itu tak ada kedipan sama sekali saat menatap pada wanita yang masih berstatus ibu mertuanya nya. Hingga, Dita nampak tercengang saat menyadari kalau saat ini posisinya dan Mama Nita sudah sangat dekat. Sekian tahun tak bersua, membuat suasana canggung begitu terasa untuk kedua wanita beda generasi itu. Saling menatap, namun keduanya tetap dengan diam. Bingung, harus memulainya dari mana. "Dit--." Mama Nita bersuara pelan, setelah sekian detik keheningan melandanya dan Dita. Dia tahu, kalau menantunya itu ingin menyapanya lebih dulu namun merasa sungkan."Maa," sahut Dita, dengan senyum yang terkesan dipaksakan. Sebab, walaupun sang ibu mertua telah bersuara terlebiih dahulu namun dirinya masih merasa canggung. "Maaf, untuk semuanya. Mama sangat menyesal. sebab telah membencimu padahal kau tidak melakukan kesalahan apapun,"lirih Mama Nita. Mimik wajahnya tela
Aditya membeo. Pria itu masih memfokuskan pandangannya pada kedua orangtuanya. Kedatangan mereka sama sekali tidak disangka-sangka pria itu. Terutama sang Bunda--yang juga turut datang bersama ayahnya. "Adit! Bagaimana? Apakah Dita, sudah melahirkan?" tanya Mama Nita. Mimik wajah wanita paruhbaya itu menunjukkan kekhwatirannya yang teramat sangat. Saat melayangkan pertanyaan, Mama Nita melemparkan pandangannya ke arah pintu ruang operasi. Aditya tak langsung menyambut. Sebagai orang yang turut tahu tentang dia dan Dita selama ini, Aditya melirikkan matanya-menatap sang ayah dengan lekat. Dan, Papa Herman yang ditatap seperti itu hanya menganggukkan kepalanya pelan. Pria paruhbaya itu seolah sudah mengerti tatapan dari putranya, itu. "Belum Maa," sahut Aditya, dengan nada suaranya yang terdengar berat. Saat menjawab pertanyaan Mama Nita, hati Aditya mendadak perih sebab operasinya sudah memakan waktu sedikit lama. Raut wajah pria itu mendadak layu. "Kita berdoa semoga operasinya be
Suara dering telepone terdengar di dalam ruangan, membuat keheningan yang melanda seketika membelah. Dan, ternyata itu panggilan telepone yang datang dari gawai milik Aditya yang saat ini sedang dalam pengisian daya. "Dari tadi HPmu terus saja berbunyi, dan sepertinya itu telepone yang penting," ujar Mama Nita memberitahu.Mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Ibunya tanpa menunggu lama lagi, Aditya segera menghampiri gawainya yang tersimpan di atas sebuah kabonet kecil. Melepaskan colokannya, dan mendapati nama Bibi Supi pada layar HPnya. Meyakini ada sesuatu yang serius, Aditya segera melakukan panggilan balik pada Bibi Supi. Saat melakukan telepone balik, Aditya tak berada lagi di ruangan yang sama dengan kedua orang tuanya dan Roki. Lki-laki tampan itumemilih untuk berpisah ruang, menuju teras rumah dengan kolam renang yang berada di depannya. Apa yang Aditya lakukan, membuat ketiga sosok yang bersamanya seketika dilanda rasa penasaran. Dan, mendapati bagaimana gestur tub