Malam belum terlalu larut, ketika Kirei menutup buku, lalu meletakkannya di meja. Wanita muda itu terdiam beberapa saat, sebelum beranjak dari tempat tidur.
Kirei melangkah keluar kamar, menyusuri koridor berhiaskan lampu tempel dengan jarak yang sudah diatur sedemikian rupa. Tujuannya adalah ruang kerja Dev. Dia tahu pada jam seperti itu, sang suami masih di sana.
Sesaat kemudian, Kirei sudah tiba di depan ruang kerja Dev. Sebelum mengetuk pintu, dia menggulung rambut menggunakan jedai, lalu merapikan tali kimono.
“Ah, bodoh sekali aku!” gerutu Kirei pelan. “Kenapa menemui Dev dengan pakaian seperti ini?”
Kirei sadar hanya akan ‘cari mati’, bila menghadap Dev dengan penampilan seperti itu. Akhirnya, dia berbalik hend
“Ah …. Ya, Tuhan …,” desah manja Kirei kembali terdengar. Kali ini bahkan lebih nyaring dari sebelumnya. Beruntung karena suara wanita muda itu tersamarkan, oleh alunan lagu yang belum dimatikan.Kirei menggigit bibir cukup kencang, merasakan sapuan lembut Dev di area kewanitaannya. Selama ini, dia yang hanya membayangkan, akhirnya, dapat merasakan sendiri seberapa nikmatnya diperlakukan seperti itu.“Oh, Dev. Aku tidak tahan.”Desahan manja mengalir tanpa henti dari bibir Kirei. Lagi dan lagi. Dev membuatnya ingin berteriak sekencang mungkin.“Ah …. Aku menyukainya. Tapi, ini terlalu nikmat …,” racau Kirei. Entah sadar atau tidak, saat berkata demikian. Kirei bagai terlupa akan
“Hm. Benar-benar cantiK,” ucap pria yang tak lain adalah Xander. “Billy memang bisa diandalkan.” Senyum simpul tersungging dari bibir teman sekaligus rekan bisnis Dev tersebut.Xander asyik mengawasi Kirei yang tengah berbicara dengan Tristan. Tak ada yang luput dari pandangan pria 38 tahun itu. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. diperhatikannya secara detail.“Betapa beruntung Dev memilikimu ….” Xander mengalihkan perhatian pada dua lembar kertas, berisi segala informasi tentang Kirei. “Kirei Karenina. Kirei ….”Xander sudah memperoleh apa yang dia inginkan. Entah bagaimana caranya, Billy bisa mendapatkan informasi tentang istri Dev tersebut.“Jadi, kamu adalah putri dari Sigit Surya
Sepulang dari rumah sakit, Kirei langsung disuguhi wajah dingin Dev, yang duduk penuh wibawa, dengan kaki kanan berada di paha kiri. Dari sorot matanya, terlihat jelas bahwa Dev tidak menyukai apa yang Kirei lakukan.Kirei dapat menangkap bahasa tubuh Dev dengan baik. Meskipun belum terlalu lama tinggal dengan pria itu, tetapi dia mulai mengenal karakter pengusaha tampan 38 tahun tersebut.Walaupun tak nyaman, Kirei bersikap sok tenang. Dia juga tidak terlalu memedulikan Dev, dan lebih memilih langsung menuju kamarnya.“Kirei Karenina!” panggil Dev tegas, tanpa mengubah sikap duduk.Kirei yang awalnya berniat menghindari Dev, terpaksa menghentikan langkah. Namun, dia tak menoleh. Tidak juga mengatakan apa-apa.
“Pak Xander?” sapa Kirei sopan.Xander mengangguk tenang. “Aku ingin bertemu dengan Dev,” ucapnya.“Tapi, Dia sedang keluar. Ada urusan pekerjaan,” terang Kirei, sesuai dengan yang Santi katakan tadi.“Oh, begitu. Sayang sekali. Padahal, ada hal penting yang harus kami bahas.”Kirei menatap aneh sejenak. Sesaat kemudian, wanita muda itu kembali terlihat biasa. “Kenapa tidak menghubunginya secara langsung?”Xander langsung menanggapi dengan gelengan. “Dev tidak akan memeriksa telepon genggamnya, bila sedang membahas masalah pekerjaan.”“Kemarin, dia menjawab panggilan telepon dariku,” gumam Kirei po
Tak sesuai yang dikatakan Santi. Ternyata, Dev pulang lebih cepat. Kedatangannya membuat Santi jadi kelabakan, berhubung mengetahui Kirei keluar bersama Xander. “Pak Dev? Bukannya Anda baru akan pulang nanti malam?” “Memangnya kenapa?” Dev menatap datar sang pelayan.Santi segera menggeleng. “Saya belum menyiapkan makan siang. Apa Anda ingin saya buatkan kopi?” tawarnya.“Boleh. Antarkan ke ruang kerja.” Dev berbalik, meninggalkan Santi yang memasang raut tegang.Santi bergegas ke dapur, lalu mengirimkan pesan kepada Kirei.[Pak Dev pulang lebih cepat. Beliau pasti marah kalau tahu Mbak Kirei tidak ada di rumah.]
“Apa maksudmu?” Kirei pura-pura tak mengerti.“Jangan kira aku akan membiarkanmu tanpa pengawasan? Tentu tidak, Sayang.” Dev mencengkram pipi Kirei.Kirei menatap gugup.“Aku tidak sebodoh yang kamu kira.”Kirei menggeleng pelan, berhubung pipinya masih dicengkram Dev.“Kamu sudah melanggar dua hal secara sekaligus. Akan kukembalikan kamu kepada Sigit. Sebagai gantinya ….” Dev seperti sengaja tidak melanjutkan kalimatnya. Dia mengempaskan cengkraman, lalu berbalik hendak meninggalkan kamar.Ketika sudah tiba di dekat pintu, Kirei segera menahannya. Dia memegang tangan Dev, yang berada di pegangan pintu.
Awalnya, Kirei hanya melihat seekor anjing Pit Bull berukuran besar. Sesaat kemudian, dari bagian gelap ruangan itu muncul lagi tiga ekor dengan ukuran sama.“Ya, Tuhan.”Kirei menatap tak percaya. Gugup dan takut bercampur jadi satu, membuat tubuhnya menggigil. Terlebih, tiga dari keempat anjing itu berjalan menghampirinya.“Jangan mendekat!"Namun, ketiga anjing itu tidak menggubris. Mereka justru seperti dapat mencium aroma ketakutan, yang terpancar dari bahasa tubuh Kirei.Anjing-anjing itu tampak sangat buas. Tatapan mereka tajam, bagai hendak memangsa Kirei secara membabi-buta.Sialnya, Kirei justru membalas tatapan salah satu anjing yang be
Kirei menatap resah. Meskipun samar, tetapi dapat dipastikan bahwa itu benar-benar potongan kaki. Sebagian daging paha dari kaki itu terkoyak. Begitu juga dengan betisnya.Sekarang Kirei paham. Mungkin, dari situlah sumber bau tak aneh yang diciumnya saat pertama masuk ke sana. Dia segera mundur, hingga punggungnya menabrak dinding.Kirei melihat sekeliling. Meskipun kepalanya masih terasa sakit, dia memaksakan bangkit. Kirei berjalan cepat menaiki undakan anak tangga, hingga tiba di atas.Setelah itu, Kirei berjalan sebentar, berusaha menemukan letak pintu. Namun, di sana hanya ada dinding tanpa celah.Kirei meraba seluruh permukaan dinding. Akan tetapi, dia tak menemukan apa pun. Lemas, wanita muda itu terduduk di lantai sambil menangis.
Kirei terbelalak lebar, lalu mundur. Namun, Owen langsung pindah ke belakang sehingga dia tak bisa ke mana-mana. “Owen … kau ….” Suara Kirei begitu lirih. Bibirnya pun bergetar menahan kemarahan yang bisa dilampiaskan.“Luis akan memberikan bayaranmu,” ucap seseorang, yang tak lain adalah Dev. Pria tampan berkemeja putih itu tersenyum kalem, dengan sorot tak dapat diartikan yang terus tertuju kepada Kirei.“Terima kasih, Tuan Dev,” sahut Owen tanpa beban.“Ayo, pulang,” ajak Dev, seraya maju ke hadapan Kirei yang menatap ketakutan. “Kita akan kembali ke Meksiko.”Kirei menggeleng kencang, menolak keras ajakan Dev. Namun, dia tidak bisa melarikan diri, berhubung Owen menahannya dari bela
“New York?” Kirei menatap tajam Owen yang langsung mengangguk. “Kenapa? Kenapa kau ingin membawaku ke sana?” tanya Kirei penuh selidik.“Bukankah kau tidak ingin kembali pada Dev Aydin? Pria itu ada di kota ini. Jika kau juga masih di sini, bukan tak mungkin dia akan menemukanmu dalam waktu dekat,” jelas Owen.Namun, Kirei langsung menggeleng kencang. “Tidak!” tolaknya tegas, seraya berdiri dan menjauh dari Owen. “Aku tidak akan mengulangi kebodohan yang sama, dengan langsung percaya pada pria yang belum kukenal baik.”“Apa yang salah dariku? Aku tidak punya niat buruk padamu. Aku justru ….” Owen yang sudah beranjak dari duduk, berjalan ke hadapan Kirei. “Kau sangat menarik,” ucapnya, seraya menyentuh pipi wanita itu.“Jangan merayuku!” Kirei menepiskan kasar tangan Owen dari wajahnya. “Aku tidak mengenalmu dan tak tahu apa yang kau inginkan.”“Jika aku punya niat buruk, aku pasti sudah memberitahukan keberadaanmu sejak awal kepada Dev Aydin. Aku juga tidak akan mengakui telah ditugas
Kirei tersenyum lebar, diiringi gelengan tak percaya. “Kupikir, kau tidak selucu ini, Tuan Wyatt.”“Aku serius.”Perlahan, senyuman Kirei memudar. Raut wajahnya berubah aneh.“Kenapa?”“Seharusnya, aku yang bertanya kenapa.”Owen tidak menjawab. Dia berbalik, menghadapkan tubuh sepenuhnya kepada Kirei. Pria tampan berambut cokelat gelap itu makin mendekat. “Anggap saja sebagai salam pertemuan dan perpisahan.”“Maksudmu?” Kirei menatap tak mengerti.“Aku tak tahu apakah kita akan bertemu lagi atau tidak. Kau wanita yang sangat menarik, Helena.&rdqu
Kirei duduk di hadapan Owen, yang menatapnya dengan sorot tak dapat diartikan. “Sejak kapan kau ada di sini?” “Aku baru masuk.” “Aku tidak percaya.” Kirei menatap ragu.“Sungguh menyedihkan jadi Owen Wyatt. Kenapa sulit sekali mendapat kepercayaan dari orang lain?” Owen menggeleng tak mengerti, lalu berdecak pelan. “Ya, ampun. Apakah kata-kataku telah menyinggung perasaanmu?” Kirei menatap tak enak. “Aku tidak bermaksud begitu, mengingat semalam kau ….” Kirei tak melanjutkan kalimatnya.Owen justru tersenyum kalem menanggapi ekspresi tak enak yang Kirei tunjukkan. “Aku hanya sedang membutuhkan teman bicara,” ucapnya. “Kau pikir, aku adalah orang yang tepat untuk dijadikan teman bicara?”Owen kembali tersenyum kalem. “Ayo. Temani aku jalan-jalan. Anggap saja sebagai balas budi atas pertolonganku kemarin malam,” ujarnya enteng. Kirei mengembuskan napas pelan bernada keluhan. Wanita muda berkulit eksotis itu menatap aneh.“Ayolah, Nona.” Owen beranjak dari duduk, seakan tak menerima
Kirei tak langsung menyetujui ajakan Owen. Dia terpaku menatap pria tampan bermata biru itu. Kali ini, dirinya harus lebih berhati-hati. Jangan sampai kejadian seperti terhadap Hernan terulang kembali.“Aku bisa pulang sendiri,” tolak Kirei halus.“Kenapa?” Owen tersenyum kalem. “Jangan khawatir. Aku bukan penjahat yang akan menculikmu,” candanya, meskipun terdengar tidak lucu.Namun, Kirei tetap menanggapi dengan senyuman. Ucapan Owen cukup menghibur, walau tak tahu apakah itu murni candaan atau bukan.Owen melangkah makin dekat ke hadapan Kirei. “Aku tahu siapa kau sebenarnya,” ucap pria itu pelan dan dalam.“Maksudmu?” Kirei menautkan
“Apa maksudmu, Tuan?” Kirei menatap tak mengerti.“Kami akan memberikan uang tips sesuai yang kau inginkan. Bagaimana?” Si pria tersenyum culas. “Kau tidak akan terlalu kewalahan melayani kami bertiga secara bersamaan ____”“Maaf. Aku tidak bisa,” tolak Kirei segera. Dia langsung berbalik, tak ingin meladeni para pria gila yang sedang berahi.“Hey, Sayang. Tunggu sebentar.” Pria itu meraih tangan Kirei, menahannya agar tidak pergi.Kirei yang merasa terancam, langsung berbalik. Tanpa segan, dia memukulkan nampan stainless yang dipegangnya ke kepala si pria hingga melepaskan cengkraman dan mundur beberapa langkah.Melihat temannya diperlakukan
“Hai, Kawan. Apa kabar?” sapa Luis, seraya menyalami Owen.“Seperti yang kau lihat,” jawab Owen kalem, kemudian mengalihkan perhatian kepada Dev.“Ini Tuan Dev Aydin,” ucap Luis memperkenalkan.“Apa kabar, Tuan Dev,” sapa Owen, seraya mengulurkan tangan mengajak bersalaman.“Baik,” balas Dev datar. “Langsung saja ke inti dari pertemuan ini,” ucapnya tanpa basa-basi.Owen mempersilakan duduk, lalu memanggil pramusaji untuk memesan minuman. “Jadi, bagaimana? Apa yang bisa kubantu?” tanyanya.Dev tidak langsung menjawab. Dia mengeluarkan selembar foto dari dalam saku jake
“Malam ini?” ulang Kirei tak percaya. “Ya. Kenapa? Apa kau belum siap?” Alicia menatap keheranan. “Bar ini baru dibuka beberapa bulan yang lalu. Kami membutuhkan sekitar tiga sampai lima pegawai lagi. Setiap malam, kami selalu kewalahan melayani pengunjung,” terang Alicia. “Um, iya. Aku … aku hanya belum tahu apa yang harus dilakukan. Maksudku, tugasku di sini.”“Aku akan menjelaskan padamu,” ucap Alicia. Sementara itu, Dev dan Luis terus mencari Kirei dengan menyusuri jalanan kota. Namun, mereka tak juga menemukan wanita muda itu. “Aku heran. Kirei sangat pandai melarikan diri. Jejaknya selalu hilang dengan cepat,” ucap Dev, saat berhenti di sebuah kedai kopi untuk beristirahat. “Tenang saja, Tuan. Kita masih memiliki banyak waktu di sini.” Luis menanggapi tenang ucapan Dev, sebelum meneguk kopinya. Luis merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Dev. Dia belum pernah melihat sang majikan diresahkan oleh seorang wanita. Kali ini, sang ketua La Lechuza tersebut tampak sangat berbeda
Sandra kembali tersenyum. “Siapa namamu?” tanyanya.“Ki … Helena. Helena Aguilera,” jawab Kirei yakin.“Apa kau gadis Latin? Hm ….” Sandra memperhatikan Kirei dengan sorot aneh penuh selidik. “Agak berbeda, tapi … maksudku, aku punya teman seorang gadis Latin. Dia tidak terlihat sepertimu, meskipun …. Ah, sudahlah. Lupakan.” Sandra mengibaskan tangan di depan wajah, tak peduli dengan apa yang ada dalam pikirannya.“Ayahku berasal dari Indonesia,” ucap Kirei. Dia mengatakan yang sebenarnya, tetapi mengesankan bahwa dirinya berdarah campuran.Sandra manggut-manggut. “Baiklah, Helena. Apa kau mau ikut denganku?” tawarnya.