~Delima~ Beberapa hari terakhir ini, aku sangat bahagia. Aku tidak bisa berhenti memikirkan Ben dan apa yang kami lakukan setiap kali kami bersama. Kami berpegangan tangan tanpa ragu, saling menggoda, berciuman ketika tidak ada orang lain, dan mencoba berbagai gaya bercinta, ah, hubungan suami istri di kamar kami. Yang aku harapkan belum terjadi, dia mau terbuka mengenai dirinya kepadaku. Tetapi aku bersabar menunggu sampai dia bisa memercayai aku. Untuk saat ini, bisa dekat dengannya setiap malam saja sudah cukup. Akan ada waktunya bagi kami untuk saling menceritakan rahasia masing-masing. Aku tidak pernah berusaha mencari tahu lebih banyak mengenai hubungan intim sebelumnya. Tetapi rasa ingin tahu Ben yang tinggi mendorong aku untuk melakukan hal yang sama. Walaupun dia belum terbiasa dengan apa yang baru kami lakukan, aku tidak keberatan mencoba beberapa gaya yang bisa kami terapkan. Kami lebih banyak tertawa karena geli sendiri. “Oke, si pemabuk cinta sudah datang,” goda Dhini
Keadaan rumah sakit sudah penuh dengan para wartawan. Apa yang sedang mereka cari di tempat ini? Apa ada artis atau orang terkenal yang sedang dirawat atau datang menjenguk saudaranya? Ben tidak mengatakan apa pun sejak memberi tahu aku mengenai keadaan Kakek. Jadi, aku memutuskan untuk diam dan tidak bertanya. Karno melewati kerumunan tersebut dan menuju pintu masuk yang lebih sepi. Melihat Danu berdiri di dalam lobi, aku mengerti mengapa kami tidak masuk lewat pintu utama. Ben keluar lebih dahulu, kemudian dia membantu aku keluar dari mobil. “Tunggu sebentar.” Ben menahan tanganku agar tidak masuk ke dalam lobi. Dia melihat ke sekeliling kami. Aku ikut menyapukan pandanganku. Apa yang dia tunggu? “Kedua pengawal kita belum tiba.” Ooo. Aku mengerti sekarang. Bisa jadi Kenneth juga ada di dalam rumah sakit. Aku belum tahu apa yang menyebabkan Kakek jatuh sakit. Tetapi melihat sikap keluarganya kepadanya beberapa kali kami bertemu, mereka bisa saja menjadikan Ben sebagai kambing hita
Aku tidak percaya melihat keadaan Kakek yang mendadak serapuh itu. Dia berbaring lemah tidak berdaya di tempat tidur dengan banyak selang dan kabel di badannya. Kami baru saja bicara sehari yang lalu melalui panggilan video dan Kakek sangat ceria, sehat, dan penuh semangat hidup. Dia sudah tidak sabar untuk mengalahkan Melvin dalam permainan catur mereka. Siapa yang tega membuat Kakek jadi begini? Aku sampai tidak berani mendekat, apalagi menyentuh tangannya. Aku khawatir sentuhanku justru akan membuat keadaannya semakin parah. Aku melihat Ben yang berdiri di sisiku. Wajahnya datar tanpa emosi. Kami pulang tanpa insiden. Keluarga Ben hanya diam menatap kepergian kami. Melihat ada suster jaga di nurse station, aku akhirnya mengerti mengapa mereka bersikap tenang. Saat di dalam mobil, kami juga hanya diam saja sepanjang perjalanan menuju apartemen. Usai membersihkan diri di kamar mandi, aku menemukan Ben sedang duduk di tepi tempat tidur kami. Hadiah dari Kakek ada di pangkuannya. Dia
Papa dan Mama sama-sama sudah yatim piatu saat mereka menikah. Aku tidak pernah merasakan punya kakek atau nenek sejak masih kecil. Mikha punya kakek dan nenek yang masih hidup, tetapi aku tidak pernah dekat dengan mereka. Lagi pula mereka hidup di desa, bukan di kota. Jadi, Kakek Sebastian adalah satu-satunya kakek yang pernah aku miliki. Aku belum puas merasakan kasih sayangnya, dia sudah pergi untuk selamanya. Kalau saja aku tahu kebersamaan kami akan sesingkat ini, aku akan lebih sering menemuinya. Bila perlu, aku mengundurkan diri dari pekerjaan dan fokus menemani Kakek. Namun selama ini dia sehat dan tidak pernah mengeluhkan pertemuan kami yang hanya satu kali seminggu. Bahkan Kakek yang menyuruh kami pulang lebih cepat pada hari Minggu lalu agar bisa merayakan ulang bulan pernikahan kami. Kalau saja aku tahu ada yang berniat jahat kepada Kakek. “Delima? Apa yang terjadi? Mengapa kamu memakai baju hitam lagi?” tanya Dhini yang bingung melihat kedatanganku. Ben meminta aku untu
~Benedict~ Keadaan di depan rumah Kakek sudah ramai dengan wartawan yang haus berita. Petugas keamanan membukakan pagar dan bersiap menghalangi mereka untuk masuk ke pekarangan rumah. Danu segera berlari keluar rumah menyambut aku. Gandhi juga sudah berdiri di depan pintu. “Ada apa? Mengapa kalian malah berdiri saja di sini?” tanyaku bingung. Dia menutup pintu kembali, lalu berjalan di sisiku menuju pintu depan. “Kami tidak tahu harus melakukan apa, Tuan. Tuan Roman maupun Nyonya Kinasih belum datang,” katanya melaporkan. Aku menghela napas panjang menenangkan diri. Apa yang sedang mereka pikirkan? Aku tidak boleh terlibat dalam urusan persiapan pemakaman Kakek, tetapi untuk mempersiapkan rumah duka saja mereka tidak becus. Aku memasuki rumah dan melihat peti di mana Kakek berada ada di tengah aula depan. Tidak ada karpet, bunga, atau fotonya sebagai hiasan. “Panggil semua pelayan segera. Aku akan beri instruksi sekarang. Kita harus cepat, karena tamu pasti akan berdatangan sesaat
“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Delima yang memberikan segelas air kepadaku. “Terima kasih. Aku baik-baik saja.” Aku meminum air tersebut sebelum meletakkan gelas di atas nakas. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah dan menenangkan diri sesaat, menjauh dari kota dan pekerjaan. Delima segera setuju dan dia tidak terlihat canggung tidur bersamaku di kamarku. “Pembacaan surat wasiat yang aneh,” ucap Delima yang duduk di sisiku. “Walaupun Kakek orang yang keras, aku tidak percaya bahwa Kakek adalah orang yang pelit.” “Aku tidak percaya itu isi surat wasiat Kakek yang asli,” gumamku pelan. Delima menyilangkan kedua kakinya dan menatap aku dengan serius. Aku tersenyum melihatnya. “Ada yang mengganti isinya atau membuat surat wasiat baru dan mengakuinya sebagai wasiat Kakek.” “Kalau itu masuk akal. Masa semua harta, tabungan, bahkan saham diberikan kepada Ken? Kakek tidak akan melakukan itu. Bahkan Danu tidak mendapatkan sepeser pun. Itu tidak mungkin.” Dia menggeleng pelan. Keningnya ber
~Delima~ Ben masih tidur pulas menjelang makan malam. Aku tidak mau membangunkan dia, jadi aku turun dari tempat tidur sesenyap mungkin. Aku keluar menuju balkon dan duduk di salah satu kursi. Dua kematian dalam waktu yang berdekatan benar-benar menguras emosiku. Aku sedikit merasa bersalah, karena aku tidak merasakan sesedih ini ketika suamiku meninggal. Apa pertengkaran yang terjadi hampir setiap hari itu yang membuat aku mati rasa? Kami memang nyaris tidak bisa bertahan hidup setiap bulannya, karena uang yang pas-pasan. Aku yang lebih banyak berkorban daripada dia. Aku bangun setiap pagi untuk memasak bekal makan siang kami. Semua peralatan elektronik yang dihadiahkan teman-teman pada hari pernikahan kami tidak bisa aku gunakan demi menghemat listrik. Aku mencuci pakaian secara manual, belanja setiap hari agar tidak menggunakan kulkas, hanya pakaian kerja yang disetrika, bahkan sekadar menghibur diri dengan menonton televisi pun tidak bisa. Aku berhemat habis-habisan. Bakti hany
Baru dilantik satu hari sebagai direktur utama saja sudah sombong begitu. Bagaimana kalau sudah satu minggu nanti? Ben yang lebih lama duduk di kursi dirut saja tidak pernah bersikap arogan. Aku semakin percaya kepada Ben. Surat wasiat itu memang palsu. Mereka mengubah wasiat yang asli supaya Kenneth bisa jadi pengganti Ayah Mertua dengan mulus. Ben juga tidak mau menuntut surat wasiat palsu itu. Dia membiarkan keputusan itu diambil oleh om dan tantenya. Aku mengerti bahwa dia tidak mau ribut dengan keluarganya. Tetapi ini mengenai peninggalan Kakek yang sangat berharga. Bagaimana kalau perusahaan itu bangkrut seperti yang diucapkan oleh salah satu omnya? Kerja keras Kakek akan berakhir dengan sia-sia. “Selamat pagi, Bu,” sapa salah satu rekan kerjaku yang biasanya mengejek aku. Sejak kapan dia memanggil aku dengan sebutan ibu? “Selamat pagi, Bu,” sapa rekanku yang lain. Aku akhirnya mengerti. Mereka melakukan ini karena mereka sudah tahu bahwa aku adalah istri Ben. “Ng, jangan pan
~Delima~ Setiap kali mengingat Rora, aku selalu tertawa. Idenya dan saudara sepupunya itu termasuk biasa, namun brilian. Rora memanfaatkan ketidaktahuannya mengenai hubungan Elan dan Sania. Mereka beranggapan bahwa keluarga besar mereka juga tidak mengetahuinya. Elan datang dengan santainya ke acara ulang tahun Nenek Rora dan Sania. Keluarga Sania yang segera mengenalinya, langsung memarahinya habis-habisan. Ternyata Elan memutuskan hubungan secara sepihak. Dia tidak datang dan bicara baik-baik dengan keluarga Sania. Spontan saja kedua kakak laki-laki Sania dan ayahnya menggelar sidang di depan keluarga besar tersebut. Rora dan Sania membuat siaran langsung kejadian itu di media sosial mereka. Semoga saja Elan jera mempermainkan hati wanita. Aku bisa memahami perasaannya yang dia pendam untukku. Tetapi aku tidak bisa mengerti keegoisannya yang memaksa aku meninggalkan suamiku dan memberi dia kesempatan untuk menjalin hubungan denganku. Sania adalah wanita yang cantik dan dari cerit
~Benedict~ Delima dan kedua bayi kami sudah bukan milikku seorang begitu kedua orang tua kami mengetahui kehamilannya. Apalagi saat mereka tahu ada dua bayi yang tumbuh di rahimnya. Setiap akhir pekan, mereka ada di mana kami berada, lalu memanjakan Delima. Aku tersingkir dan hanya bisa manyun melihat istriku mereka monopoli. Bahkan saat kami mengunjungi dokter kandungan untuk melakukan USG pada minggu kedua puluh. Sesuai kesepakatan, kami ingin tahu jenis kelamin kedua bayi kami. Ayah, Ibu, Papa, dan Mama juga tidak mau ketinggalan untuk menjadi yang pertama mengetahui gender cucu mereka. Untung saja dokter melakukan hal yang bijak dengan mengusir para orang tua itu dan mengizinkan aku mendampingi istriku. Tetapi setelah aku melihat sendiri dan mendengarkan penjelasan dari dokter, maka aku mempersilakan kedua orang tua kami untuk bergantian melihatnya juga. Ada begitu banyak perayaan yang aku adakan pada akhir tahun. Aku tidak menyesal telah merogoh kocek dalam-dalam demi membahag
Elan segera keluar dari bilikku tanpa menunggu responsku. Laudya menatap aku dengan khawatir. Aku tersenyum kepadanya dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Apa yang Elan lakukan kepada Rora? Apa mereka sedang menjalin hubungan asmara? “Apa yang terjadi, Delima?” tanya Dhini yang melihat dari atas papan pemisah bilik kami. “Mengapa Elan datang menemui kamu pada jam kerja? Aku hanya mengangkat kedua bahuku. “Pria yang aneh.” Dhini menggeleng pelan, sedangkan aku tertawa mendengarnya. Pada jam istirahat makan siang, aku mengerti mengapa Elan sampai nekat datang ke bilikku tadi. Ternyata dia mengundurkan diri. Dia sangat mencintai pekerjaannya, jadi aku tahu bahwa dia tidak melakukan itu dengan sukarela. Pasti Ben yang menyuruhnya memberikan surat pengunduran diri itu. Aku bertemu pandang dengan Natasha yang melihat aku dengan hormat, begitu juga teman-teman dari divisinya. Dia tidak lagi menatap aku dengan tajam. Itu perubahan yang sangat baik. “Menjadi istri bos memang ada keuntung
~Delima~ Aku melihat seorang wanita muda yang cantik sedang menatap Ben sambil berkedip genit. Dia salah satu pemenang lomba yang tadi makan bersama kami. Apa yang dia lakukan di sini? Bukankah acara sudah selesai? Lalu mengapa dia lancang sekali memanggil Ben dengan namanya saja tanpa gelar bapak seperti yang mereka lakukan di dalam? “Apa yang perlu diingat lagi?” Ben balik bertanya. “Oh, ayolah, Ben. Kita hampir menikah. Bagaimana mungkin kamu bisa melupakan aku secepat itu? Kamu memilih aku sebagai pemenang pasti karena kamu ingat denganku, ‘kan?” katanya menggoda. “Ooo. Apa kamu wanita yang kabur pada hari pernikahan setelah melihat aku? Pantas saja aku butuh waktu untuk mengingatnya. Kamu salah paham. Saat memilih pemenang, aku memilih desain. Tidak ada nama yang tertera supaya penilaiannya adil,” jawab Ben dengan senyum mengejek di wajahnya. “Aku masih di sini sampai besok. Kamu pasti tahu nomor kamarku. Bila kamu ingin mengobrol ….” Dia melirik ke arahku sebelum kembali men
Suasana ruang kerja yang semula tenang itu berubah ramai dengan suara Ayah yang memarahi Kenneth dan Ibu yang menangis setengah menjerit tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Aku segera meminta rekaman CCTV ruang kerja Kenneth untuk melihat apa benar dia yang telah menelepon Kakek lewat ponsel itu pada saat Kakek terkena serangan jantung. Petugas keamanan bingung saat Ayah memerintahkan mereka untuk membawa Kenneth ke kantor polisi. Nelson mengikuti mereka. Dia juga sudah membawa bukti rekaman CCTV di mana adikku itu telah beberapa kali melakukan kekerasan kepadaku beberapa bulan belakangan. Dengan semua bukti itu, aku yakin dia tidak akan diizinkan keluar dari tahanan sampai proses pengadilan selesai. Kemudian aku meminta semua laporan keuangan terbaru yang asli, bukan yang palsu untuk aku pelajari. Sekretaris Kenneth menoleh ke arah Ayah untuk meminta persetujuannya. Ayah segera mengangguk setuju dan memberi tahu bahwa mulai dari hari ini aku yang pegang kendali penuh. T
~Benedict~ Dadaku sakit sekali mendengar dia mengatakan pisah. Seketika itu juga aku tidak peduli dengan apa pun yang ada di dunia ini. Aku juga tidak peduli bila aku harus berlutut memohon kepadanya. Aku tidak mau dia pergi dariku. Walaupun dia meminta seluruh hartaku, aku akan memberikan semua kepadanya. Benda itu tidak ada artinya tanpa dia di sisiku. Namun Delima memberi aku kejutan lainnya. Dia sedang hamil. Kenneth dan Eloisa selalu mengejek aku tidak akan pernah menikah apalagi punya anak seperti mereka. Jadi, berita itu adalah keajaiban bagiku. Ketika melihat foto hitam putih mereka, aku tidak tahu di mana mereka berada. Tetapi aku percaya bahwa mereka ada di dalam perut istriku. Selama ini aku berpikir bahwa aku adalah ciptaan yang dilupakan oleh Tuhan. Dia pasti bercanda pada saat menciptakan aku dengan segala kekuranganku. Ternyata Dia masih mengingat aku dan memberikan aku bukan satu, tetapi dua orang anak sekaligus. Aku tidak muda lagi, tetapi aku berjanji akan bertahan
Pikiranku kacau, dadaku terasa sesak, karena aku tidak tahu harus merasa bahagia atau sedih. Aku bahagia, karena penantian panjangku sudah berakhir. Kehamilan ini sudah lama aku harapkan, tetapi keadaannya sedang tidak memungkinkan. Ben tidak mau kami punya anak. Jika alat ini akurat, maka hubunganku dan Ben juga berakhir. Aku tidak berhenti menangis memikirkan hubungan kami harus usai secepat ini. Memikirkan kondisi janin yang aku kandung tidak membuat aku cukup kuat menghentikan air mata yang mengalir jatuh dengan deras di pipiku. Seharusnya ini adalah kabar baik, kabar yang membahagiakan. Sibuk dengan pikiranku sendiri, aku tidak terlalu memerhatikan apa yang terjadi di makam Kakek. Eloisa entah bicara apa, Ayah dan Ibu yang kemudian datang membahas apa, tidak aku dengarkan. Ben mengajak aku ke mana pun, aku hanya mengikutinya saja. Namun saat tiba di rumah, aku segera kembali ke kamar dan menyendiri. Aku perlu memikirkan hal ini seorang diri. Yang pasti, aku menginginkan bayi in
~Delima~ Beraninya dia mengatakan cinta pada tarikan napas yang sama dia menyebut tidak mau memiliki anak bersamaku. Dengan intensitas kami melakukan hubungan suami istri, apa dia pikir kami bisa mencegah seorang anak lahir? Juga beraninya dia menuduh aku akan berubah pikiran terhadap anakku sendiri seandainya dia mempunyai kekurangan. Aku bukan ayah atau ibunya. Aku tidak akan membuang anakku sendiri seperti yang mereka lakukan. Malam itu, usai bicara dengannya, aku tidak melarang dia tidur bersamaku. Tetapi aku tidak sudi berbaring menghadapnya seperti kebiasaan kami tidur bersama. Aku sangat kesal dan tidak mau melihat wajahnya agar amarahku tidak semakin memuncak. Untuk pertama kalinya, kiriman bunga darinya aku buang ke tempat sampah. Aku tidak butuh bunga atau kartu untuk mewakili dia menyampaikan pesannya. Dia bisa bicara langsung denganku. Elan yang tidak tahu diri itu juga masih berani mengajak aku bicara. Tidak tahan lagi dengan sikapnya, aku memarahinya panjang lebar dan
Mama tidak mau menjawab pertanyaanku. Dia justru cepat-cepat mengakhiri percakapan kami. Mungkin Delima sedang berada di dekatnya dan Mama tidak mau istriku sampai tahu bahwa Mama melaporkan sakitnya kepadaku. Aku semakin panik, karena tidak tahu sakitnya parah atau tidak. Ini semua salahku. Seharusnya aku mengajak dia bicara baik-baik. Bukan memaksakan kehendakku kepadanya. Dia seorang wanita, wajar saja dia memiliki jiwa keibuan yang mengharapkan memiliki anak sendiri. Apalagi kakak iparnya sedang hamil. Sedikit banyak, dia pasti merindukan kehadiran anak-anak juga. Aku malah tidak peka dan bersikap egois. Untuk meminta maaf kepadanya, aku meneruskan rencanaku. Setidaknya saat dia pulang nanti, dia tahu bahwa aku menyesal sudah menyakiti perasaannya. Aku tidak mau tidur sendirian lagi. Deva dan semua pelayan membantu aku menyiapkan kejutan untuk istriku. Namun saat dia pulang, dia hanya diam saja melihat balon dan bunga yang ada di sekitarku, juga papan bertuliskan maafkan aku yan