"Bapak benar-benar serius mengkhawatirkan saya?" tanya Aluna, tiba-tiba saja membuat Darren melotot sembari menoleh kepada gadis itu.Hampir saja tersentak kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Aluna. Padahal dia serius mengatakan itu semua, tetapi kenapa Aluna malah meragukannya?"Kamu tidak percaya dengan semua perkataanku tadi?" tanya Darren, wajahnya terlihat mengekang. Bahkan kedua alisnya saling bertautan, menandakan bahwa Darren itu menunggu jawaban pasti dari Aluna. Sang gadis meneguk saliva dengan susah payah. Kalau dia salah ucap kemungkinan hal buruk akan terjadi. "Ya, bukannya tidak percaya, Pak. Tapi biasanya kan Bapak itu suka sekali membuat saya marah dan malah bersyukur kalau saya menderita. Iya, kan?" jawab Aluna, akhirnya melontarkan perkataan itu karena memang setiap harinya seperti begitu. Aluna bahkan tidak berpikir kalau Darren itu akan mengkhawatirkannya seperti ini. Darren terperangah, mengerjapkan mata berkali-kali sembari menggelengkan kepala.
Dengan langkah yang agak ragu Amar pun langsung pergi ke ruangan Andri. Dia benar-benar takut jika terjadi sesuatu kepadanya. Setelah mengetuk pintu, dari dalam Andri pun mempersilakan Amar untuk masuk. Amar tidak langsung duduk, melainkan berdiri di depan meja kebesaran Andri. "Bapak memanggil saya?" tanya Amar, berusaha untuk bersikap seperti biasa. Tidak mau sampai menimbulkan kecurigaan dari pria itu.Andri langsung menyadarkan punggungnya sembari menatap tajam kepada pria di hadapannya ini. "Tentu saja, tidak mungkin aku memanggil seorang Rnd yang tiba-tiba saja dipindahkan ke bagian eksim ke sini. Kamu tahu kan aku ini bagian dari divisi marketing? Jadi, pasti ada sesuatu yang lebih penting dibandingkan mencarimu ke sini dan kamu tahu? Aku jarang sekali bertemu denganmu atau menemuimu, karena beberapa alasan. Tentu saja karena kita tidak punya keterikatan dalam pekerjaan. Jadi, kamu mau mengaku atau harus aku paksa?" tanya Andri tiba-tiba saja membuat Amar kaget bukan main. S
"Sebelum aku jawab pertanyaanmu, sebaiknya kamu jawab dulu pertanyaanku. Sebenarnya, benar kamu dianiaya oleh Amar?" tanya Andri sedikit meragukan cerita dari kekasihnya. Karena memang dia tahu kalau Siska itu banyak sekali ulahnya. Sang wanita bisa bertahan di sini juga karena bantuan dari Andri. Kalau saja pria itu tidak mempertahankan pacarnya, mungkin saat ini Siska sudah keluar karena banyak sekali masalah yang ditimbulkan oleh wanita itu. Mendengar pertanyaan Andri, tentu saja Siska kaget bukan main. Kenapa tiba-tiba saja Andri bertanya seperti ini? Padahal sebelumnya dia yakin kalau Andri sudah membereskan Amar. Tampaknya memang terjadi sesuatu sampai kekasihnya meragukan semua keterangan yang diberikan oleh Siska. "Iya, aku jujur, Mas. Kamu lihat sendiri, kan? Ada bekas pukulan di wajahku. Aku bisa melakukan visum, kok, kalau memang semua ini terjadi.""Visum memang bisa dilakukan, tapi kalau kamu menuduh orang sembarangan, maka yang akan celaka aku dan kamu. Coba ingat-ing
Danita berusaha untuk mencari orang-orang yang bisa diajak berbicara perihal masalah yang terjadi, tapi sayangnya dia tidak tahu bagian marketing. Hanya manajer marketing yang bisa diajak bicara, tapi tidak mungkin dengan pakaiannya yang sebagai seorang OG. Akhirnya Danita pun memilih untuk menelepon Amarudin. Hanya dengan cara ini dia bisa mendapatkan informasi apa pun perihal yang terjadi di divisi marketing dan kaitannya dengan Siska.Wanita paruh baya itu pusing memikirkannya. Ternyata banyak sekali masalah yang mungkin saja tidak diketahui oleh Darren. Wajar saja, sih, dalam perusahaan besar pasti ada orang-orang yang tidak setia. Bahkan mungkin melakukan kesalahan-kesalahan kecil yang akan berujung fatal.Dia pun memilih untuk melanjutkan pekerjaannya. Mungkin saja ada sesuatu yang bisa didapatkan dengan cara dirinya yang menyamar. Sementara itu, Amar masih berusaha untuk mencari tahu apa pun yang pernah terjadi dengan Siska dan Andri. Jangan sampai dia yang lebih dulu mendapatk
"Lo jangan bercanda dong, Alika! Bikin gue takut aja. Lo tahu sendiri, kan? Amar itu sempat ngancam gue, karena gue menolaknya. Gue takut kalau mungkin Amar juga menyatakan perasaan sama Siska, terus berujung seperti ini," ungkap Aluna, jadi ketakutan sendiri. Alika juga bingung harus mengatakan seperti apa, karena dia belum tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi, sampai Siska tiba-tiba saja menjadi babak telur oleh Amar. "Kalau masalah itu, gue juga nggak tahu, sih. Karena gue belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hanya saja, kepala marketing itu marah-marah sama bawahannya sebab belum menemukan bukti kalau Amar itu memukuli Siska. Ini aneh kan? Dan katanya kejadian ini saat pesta pernikahan semalam," ujar Alika, membuat Aluna terdiam. Dia jadi ingat kalau semalam dia tidak mendapati Amar di mana-mana, mungkin karena terlalu banyak tamu jadi yang dilihat hanyalah orang-orang terdepan, yang belakang dia tidak melihatnya. Saat Darren mengitari tamu-tamu bersamanya pun hanya seba
"Hah! Seminggu? Bukankah kata Bapak kita akan di sana itu cuma 1 sampai 2 hari? Bapak bahkan menjamin kalau saya tidak akan lama-lama di rumah Bapak. Tapi kenapa tiba-tiba saja jadi seminggu?" tanya Aluna kaget.Saat Darren tiba-tiba saja datang ke kamar dan mengatakan kalau dirinya harus kembali ke kantor. Bukan itu yang membuatnya kaget, tapi Darren mengultimatum kalau dia dan Aluna harus tinggal di rumah Danita, kurang lebih satu minggu. Jelas saja semua keputusan Darren itu dadakan dan membuat Aluna ketar-ketir. Bagaimana bisa dia satu minggu bersama mertua? Bahkan baru bertemu di hari pernikahan saja. Pemikiran buruk lainnya itu bersarang di benak. Bagaimana kalau misalkan wanita itu tidak suka kepadanya? Sementara sikap Danita sewaktu di pesta pernikahan hanyalah sebuah kamuflase dan akting saja, agar orang-orang tidak berpikiran buruk kepada keluarga Darren. "Harus bagaimana lagi? Aku mendapat panggilan dadakan dari Amarudin, karena ada sebuah masalah besar yang harus kuseles
Aluna diam melihat rumah yang begitu megah dan mewah. Ini seperti bukan rumah lagi, melainkan istana yang sering dia lihat di kartun-kartun bertemakan kerajaan. "Ini rumah Bapak?" tanya Aluna agak ragu, membuat Darren tersenyum miring. "Bukan, ini rumah orang tuaku." Aluna mendengkus kesal. "Ya, saya tahu, Pak. Maksudnya sama saja. Bapak tinggal jawab pertanyaan saya, apa susahnya, sih?" Padahal, hari ini baru saja mengagumi kemewahan gedung di depannya, tapi pria ini malah membuyarkan semua itu. "Ya, beda saja dong. Kalau aku membawamu ke sini, berarti ini tempat yang akan kamu tinggali. Bagaimana, sih? Katanya kamu cerdas," timpal Darren, membuat Aluna menahan napas. Sepertinya dia tidak bisa lagi berbicara panjang lebar dengan pria di sampingnya ini, tidak akan pernah berubah. Pria itu selalu saja memperpanjang masalah dan mempermasalahkan apa pun perihal kecil. "Baiklah, Pak. Kalau begitu, daripada kita berdebat, bagaimana kalau kita ke dalam saja? Masalahnya saya kepanasan
"Aluna, aku harus cepat pergi ke kantor sekarang. Jadi, bisa kan kamu tinggal di sini sendiri? Lagian ada banyak maid di sini. Kalau kamu butuh apa-apa, tinggal bilang saja," ucap Darren sembari menuruni anak tangga, membuat Aluna terkesiap. Gadis itu langsung menarik lengan Darren, membuat sang pria menoleh. Untuk pertama kalinya Aluna berani menyentuh bagian tubuh sang pria, itu pun tangan. "Ada apa?" tanya Darren, dengan cepat Aluna melepaskan genggamannya. Tampak gugup dan juga khawatir. "Begini, Pak. Apa tidak sebaiknya saya berangkat saja dengan Bapak? Rasanya rumah sebesar ini terlalu mewah untuk saya. Saya juga tidak terbiasa dengan suasana seperti ini," ujar Aluna, karena dia benar-benar tidak mau ditinggal sendiri. Jujur, karena saat ini Aluna sangat membutuhkan sang pria. Kalau misalkan tiba-tiba mertuanya datang dan menanyai banyak hal, takut Aluna salah ucap. "Ya Tuhan. Aku kan sudah bilang, diam di sini. Bagaimana nanti tanggapan karyawanku kalau misalkan membawa is
"Lo tahu ngga? Tadi itu Bu Aluna keluar dari ruangan Pak Darren dengan wajah marah. Terus tak lama kemudian Pak Darren juga keluar, dia malah kebingungan." Tak sengaja Alika mendengar pembicaraan salah satu rekan kerjanya yang tempat duduknya bersebelahan dengan dia. Sontak Alika pun menoleh dengan alis saling bertautan. "Tunggu, tunggu, tunggu! Kalian berdua lagi ngomongin apa?" tanya Alika membuat kedua wanita itu langsung menoleh. "Ini temen lo tuh, Aluna. Katanya udah keluar dari kantor Pak Darren dengan wajah marah. Apa mereka bertengkar, ya?" tanya salah satu di antara mereka kepada Alika, membuat sang gadis kaget. "Salah lihat kali," ucap Alika, karena nggak mau sampai salah bicara atau diam saja. Takut jika rekan-rekan kerjanya berpikiran macam-macam terhadap dua orang itu. "Mana mungkin salah lihat! Orang gue lihat sendiri, kok," timpal salah satunya yang sedang berdiri. "Bu Aluna kan teman lo, apa nggak sebaiknya lo cari tahu? Jangan-jangan mereka sedang bertengkar ata
Darren dan Aluna saling pandang. Pria itu tampaknya benar-benar baru sadar apa yang sudah dikatakannya barusan. Apalagi melihat Aluna yang marah dengan wajah memerah, dia itu juga melihat kalau sang gadis mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Ini bahaya. Jika seorang Aluna bisa marah seperti ini, artinya dia sudah keterlaluan mengatakan hal tadi. "Aluna, dengarkan aku dulu. Tadi itu--" "Nggak, Pak. Cukup! Saya sudah mengerti. Bapak menilai saya serendah itu. Padahal Bapak sendiri yang membuat aturan, tapi Bapak yang melanggarnya. Harusnya Bapak sadar, kalau bukan karena saya mungkin saat ini Bapak masih dikejar-kejar untuk mencari jodoh." "Iya, aku tadi salah. Aku benar-benar minta maaf dan tidak sengaja mengatakan itu." "Tidak sengaja, Pak? Bapak spontan mengatakan itu sambil tertawa. Itu membuat harga diri saya diinjak-injak." "Loh, aku tidak menginjak harga dirimu. Aku benar-benar menghormatimu, bahkan aku khawatir terjadi sesuatu kepadamu. Sampai mencari ke mana-mana."Al
Darren langsung memundurkan tubuhnya, tapi dia masih menatap gadis itu dengan tajam. Entah kenapa reaksi yang diberikan oleh Darren membuat Aluna ketakutan sendiri. Mungkinkah pria itu tahu kalau dirinya tidak ada di pantry saat itu. "Jangan bohong! Aku tadi ke pantry dan tidak ada siapa-siapa." Seketika Aluna hanya bisa terdiam, suaranya tidak keluar sama sekali menandakan kalau dirinya benar-benar sudah terpojok. Gadis itu merutuki diri, tapi juga tidak tahu harus berbuat apa-apa. Sebab dirinya malu jika berhadapan dengan Darren. Saat ini saja kalau Darren tidak memberikan ekspresi marah, mungkin kelebatan saat mereka melakukan adegan ciuman itu akan kembali terulang. "Katakan, Aluna. Kenapa kamu menghindariku? Apa gara-gara aku menciummu?"Tubuh Aluna menegang. Wajahnya saat ini benar-benar memerah. Haruskah Darren mengatakan hal seperti itu di depan gadis yang belum pernah tersentuh oleh pria manapun? Ini memalukan untuk Aluna. Gadis itu sampai menunduk karena malu. Melihat r
Aluna memejamkan mata. Benar kata Alika. Dia tidak mungkin menghindari Darren, sebab satu ruangan dan juga satu rumah. Akhirnya Aluna menghela napas panjang sembari memejamkan mata. Berusaha untuk tenang. Ini menyangkut temannya, tidak mungkin kalau misalkan dia terus-terusan menghindar dari Darren, yang akan kena tetap saja Alika. "Oke, kalau gitu gue harus kembali ke tempat gue." "Nah, bagus seperti itu! Ya, sudahlah. Lagian kalau misalkan lo malu sama suami lo sendiri, diam saja. Lo tinggal berusaha untuk ngelupain kejadian itu.""Ya, nggak bisa kayak gitu dong, Alika.""Ya, terus gue harus gimana? Lo kan nggak bisa tiap hari menghindar. Sudah, pokoknya lo hadapin kenyataan itu. Lagian kan baru satu kali, mungkin ada yang kedua, yang ketiga." "Apa?!" Aluna melotot, kembali terperangah. Membuat Alika tertawa. Setelah itu sang gadis pun memilih untuk pergi dari hadapan temannya. Dia harus menyelesaikan tugas. Kalau misalkan tugasnya diselesaikan oleh orang lain, bisa-bisa akan me
Entah sudah berapa lama Darren mondar-mandir di depan Alika. Sebenarnya ingin mengajukan protes dan keluar dari ruangan ini, tentu saja karena pekerjaannya sudah banyak. Bahkan makan siangnya tadi tidak selesai sebab Darren tiba-tiba saja menyuruhnya ke kantor. Sekarang malah melihat bosnya mondar-mandir tak jelas dengan wajah bingung serta kusut.Darren mengusap kasar rambutnya dan mengerang keras. Alika sampai terduduk tega karena kaget mendengar itu. Sang pria menoleh kepada Alika, lalu berkacak pinggang. Membuat gadis itu meneguk saliva dengan susah payah, karena takut jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan. "Begini saja, kamu pastikan Aluna pergi ke mana." "Apa?! Jadi, maksudnya saya harus mencari Aluna?""Betul!" "Tapi, Pak. Bagaimana dengan kerjaan saya?" "Gampang, aku akan menyuruh orang untuk mengerjakan sisa kerjaanmu." "Tapi, Pak--" "Diam, Alika! Jangan protes apa-apa lagi. Kamu dengar kan perkataanku tempo hari? Kamu harus melakukan apa saja agar memberikan informa
Tak lama kemudian akhirnya Alika pun datang ke kantor Darren. Dia melihat ke sekitar, tak mendapati Aluna. Gadis itu langsung meneguk saliva dengan susah payah, ini pasti gara-gara Aluna yang tiba-tiba saja pergi saat dihampiri oleh bosnya. Dia benar-benar merutuki, kenapa harus dirinya yang terlibat dalam masalah ini? Namun, mau bagaimana lagi? Menolak pun rasanya tak mungkin. Bisa-bisa pria itu akan memecatnya dan mem-blacklist Alika dari semua perusahaan yang ada di kota ini. "Duduk!" seru Darren, membuat Alika dengan rasa takut. Wajahnya tampak ketakutan dengan tubuh yang bergetar."Kamu tahu kenapa dipanggil ke sini?" Alika pura-pura menggelengkan kepala. Walaupun dia tahu, Alika tidak mau sampai salah bicara atau temannya akan dalam masalah lagi. "Baiklah, langsung saja to the point. Ke mana Aluna pergi?" "Toilet," jawab Alika langsung, membuat Darren mengerjapkan mata berkali-kali. Tak percaya. "Toilet?" tanya Darren lagi, yang langsung diangguki oleh gadis itu."Tapi, a
Aluna tiba-tiba saja menegang, keringat dingin bermunculan di telapak tangan dan juga sulit sekali untuk meneguk saliva. Langkah Darren semakin pasti mendekati Aluna. Dia jadi bingung harus melakukan apa, sampai tiba-tiba satu ide terlintas. "Gue mau ke toilet." Aluna tiba-tiba saja berdiri dan pergi dari hadapan Alika, membuat gadis itu syok. Begitu juga dengan Darren yang tiba-tiba saja melihat Aluna pergi dari sana. "Loh, lo mau ke mana?!" seru Alika melihat Aluna begitu cepat berjalan menjauh darinya. Sementara itu Darren juga dengan cepat berjalan mendekat kepada Alika. "Istriku mau ke mana?" tanya Darren yang tiba-tiba saja membuat Alika kaget sembari duduk dengan wajah ketakutan. "Dia mau ke mana?" tanya Darren lagi memastikan, membuat Alika tiba-tiba saja terserang syok. "Kamu kenapa diam saja?! Aku bertanya kepadamu!" seru Darren yang berhasil membuat Alika terkesiap. "Anu ... dia ke toilet," ucap Alika dengan cepat, membuat Darren mengalami syok, lalu tanpa mengataka
"Lo jangan diem aja kayak gini, dong! Gue kan jadi bingung harus ngapain. Sebenarnya apa yang terjadi, sih? Kalau misal lo diam aja, ya udah deh gue pergi," ujar Alika, akhirnya kesel sendiri karena dari tadi Aluna hanya diam saja.Saat gadis itu hendak berdiri, Aluna langsung menarik tangan temannya untuk duduk."Oke, oke. Gue akan cerita," ucap Aluna membuat Alika akhirnya bisa bernapas lega. Aluna memberikan isyarat agar Alika mendekat kepadanya, lalu dengan perasaan campur aduk Aluna membisikkan sesuatu kepada gadis itu.Bola mata Alika membulat dengan mulut terperangah. "Lo beneran habis--""Sssttt!" Aluna langsung berdesis sembari menempelkan jari telunjuk ke bibir."Jangan keras-keras!" seru Aluna berusaha untuk melihat ke sekitar. Untunglah orang-orang yang sedang sibuk mengambil makan siangnya, jadi hanya sebagian yang menoleh lalu kembali ke aktivitas semula. Alika masih tampak syok, tapi dia tetap tenang dan mengikuti semua yang diminta oleh temannya. "Sudah jangan dis
Karyawan itu sudah keluar untuk tanda tangan, tetapi Aluna masih enggan untuk masuk ke ruangan Darren. Gadis itu merutuki diri. Kenapa juga harus satu lingkup ruangan dan hanya disekat tembok kecil yang terbuat dari kayu itu? Sama saja bohong!Dia benar-benar harus bisa bertemu dengan Darren. Sementara saat ini tangan dan tubuhnya terasa dingin. Jantung juga berdetak dengan sangat kencang, karena benaknya tiba-tiba saja teringat dengan kejadian tadi. Gadis itu sampai memukul-mukul kepalanya sendiri."Apa sih yang sudah aku lakukan tadi?! Ngapain juga aku ciuman sama Pak Darren?" gumamnya dengan perasaan yang sangat malu. Sungguh, ini pertama baginya. Walaupun memang Darren adalah suami Aluna, tetapi mereka sudah berjanji untuk tidak saling menyentuh. Ini benar-benar membuat dirinya kikuk sekali.Untungnya saat dia merasa kacau, tiba-tiba saja bel istirahat berbunyi. Dengan cepat Aluna pergi ke kantin. Dia sama sekali tidak masuk ke dalam untuk membereskan beberapa berkas. Sekarang ya