“Mih, kembalikan ponselku.” Kamila berusaha merebut ponselnya yang diambil Mihika.“Sebentar lagi pesawat kita berangkat, kamu duduk yang tenang dan buang jauh Slamet dari pikiranmu,” ujar Mihika lirih.Wajah Kamila sembab karena berkali-kali menangis menatap Mihika, tidak percaya wanita di hadapannya akan berbuat setega itu padanya. Tidak ingin berdebat dan bertengkar karena mereka sudah berada dalam pesawat. Sesekali tangan Kamila mengusap wajahnya karena air mata masih saja menetes.Satu jam setengah berada dalam pesawat, rasanya sangat lama. Ketika keluar gate Juanda Airport sambil menyeret kopernya, Kamila meminta kembali ponsel miliknya.“Mih, aku harus kabari kantor. Ada pekerjaan yang harus aku sampaikan.”“Kevin yang akan mengaturnya, kamu tidak perlu repot. Lagi pula kamu hanya karyawan magang bukan manager apalagi direktur. Itu jemputan kita, ayo.”Kamila berusaha sabar, semakin dikekang semakin dia akan melaksanakan rencana yang sempat terlintas di pikirannya. Memasuki kaw
Kamila terjaga, sudah lewat tengah malam. ia beranjak dari ranjang menuju lemari dan mengeluarkan ponselnya. Sengaja memilih tengah malam begini, jaga-jaga kalau Bude dan Pakde nya masih mengawasi apa yang dia lakukan.Membeli kartu seluler baru secara diam-diam saat pergi keluar dan itu pun didampingi oleh asisten rumah tangga. Beruntung ia mengingat nomor selular milik Slamet. Setelah kartu miliknya aktif, Kamila segera menghubungi Slamet.Panggilan pertama tidak dijawab, hanya terdengar nada sambung. Mungkin Slamet sedang terlelap, tapi Kamila tidak menyerah. Kembali menghubungi Slamet, dua kali nada sambung akhirnya dijawab.“Halo,” suara serak Slamet di ujung sana. “Ini siapa?”Wajar Slamet bertanya, karena Kamila menggunakan nomor baru. Alih-alih menjawab Kamila terisak.“Halo.” Terdengar lagi suara Slamet.“Slamet, ini aku.”“Kamila, ini kamu?”Suara Slamet mengoceh di ujung sana, mencecar dengan banyak pertanyaan menanyakan kabar dan posisinya. Sebelum pulsa habis, Kamila memi
“Mbak Kamila, sudah ditunggu Ibu sama Bapak di bawah,” ujar Mbok Pur mengajak Kamila sarapan. “Kayaknya saya nggak turun Mbok, nggak enak badan,” jawab Kamila yang baru saja keluar dari toilet. Sejak tadi subuh sudah tiga kali dia muntah dan hanya cairan bening yang keluar karena perutnya belum terisi makanan. “Mbak Kamila sakit?” “Kayaknya masuk angin, kalau boleh saya minta teh hangat mbok.” Kamila kembali ke ranjang, berbaring di sana. Tidak lama kemudian Mbok Pur datang lagi membawakan segelas teh manis hangat juga roti bakar isi selai. Bude Ranti menyusul dan menanyakan kabar keponakan nya. “sakit apa sayang?” tanya Ranti yang sudah duduk di tepi ranjang sambil mengusap kening Kamila memastikan terserang demam atau tidak. “Entahlah Bude, sepertinya masuk angin.” “Hm. Yo wis, kamu istirahat. Itu tehnya diminum, rotinya juga dimakan atau mau dibuatkan makanan apa gitu?” “Tidak usah bude, nanti kalau aku mau sesuatu tinggal bilang ke mbak pur.” “Iya, istirahat ya.” Kondisi
Kamila sudah berada di armada menuju Jogja, sengaja memilih travel agar perjalanannya lebih nyaman. Tidak peduli akan seheboh apa Bude Ranti dan Pakde Jamal saat tahu dia kabur. Menahan diri untuk tidak menghubungi Slamet sampai tiba di Jogja.Sudah merencanakan dengan baik, setelah bertemu Slamet mereka akan mencari tempat tinggal tentu saja setelah menikah. Bahkan ia merencanakan menikah siri dengan menggunakan wali hakim.“Hah, akhirnya aku lepas juga dari kandang macan.”Beberapa jam perjalanan, akhirnya ia tiba di Jogja. Mendatangi penginapan untuk beristirahat dan menunggu kedatangan Slamet. Apalagi perjalanan tadi kembali membuatnya tidak nyaman, mual dan sakit kepala lagi-lagi seperti menyiksa.Setelah membersihkan diri dan berganti piyama, Kamila berbaring. Makan malam yang dibeli saat tiba masih tersimpan rapi di atas meja. Menghubungi Slamet tidak langsung terjawab, bahkan sampai tiga kali memanggil baru terjawab.“Halo, Kamila.”“Aku sudah di Jogja,” ujarnya dengan suara l
“Kamu tenang, Kamila baik-baik saja. dia terkejut karena kedatangan kita dan melihat Slamet babak belur,” ujar Arka menenangkan istrinya.Menunggu di depan UGD, sudah lebih dari setengah jam. Namun, belum ada informasi bagaimana kondisi Kamila. Melihat Kamila yang panik karena Slamet terus dihajar oleh Jamal, menerbitkan rasa sesal di hati Mihika. Putrinya begitu mencintai pria itu, bahkan mereka ditemukan dalam satu ranjang.Bukan hanya Kamila yang diboyong ke rumah sakit, Slamet pun sama. Saat ini masih dalam pengobatan karena wajahnya lebam di pipi dan bibir belum lagi dadanya yang sempat ditendang, mungkin saja mengalami patah tulang atau retak karena sejak tadi terasa sakit.“Mas, bagaimana kalau laki-laki itu menuntut kamu karena penganiayaan,” keluh Ranti pada suaminya.“Tidak akan, main-main dia dengan keluarga kita bisa aku habisi. Kamu tidak lihat, mereka satu selimut. Entah sudah melakukan apa,” sahut Jamal.Mihika dan Arka saling tatap. Apa yang dikatakan Jamal ada benarny
Sesaat Slamet terdiam mencerna apa yang baru saja dia dengar, sampai akhirnya dia panik mendekat.“Pak Kevin, serius Kamila hamil?”“Kamu tidak senang mendengar hal ini?“Ya Tuhan Kamila, kenapa kamu nggak bilang kalau sedang hamil,” gumam Slamet dan dari nada suaranya jelas menunjukan penyesalan.“Jadi, kamu senang atau sebaliknya?”“Tentu saja saya senang Pak, Kamila mengandung buah cinta kami. Hanya saja ….” Slamet menghela nafasnya. “Apa keluarga kalian mau menerima saya untuk bertanggung jawab?”“Slamet, Kamila sepertinya tidak tahu kalau dia sedang hamil. Sumpah, rasanya aku ingin sekali membenamkan wajahmu di kubangan lumpur dan aku injak terus sampai kamu kesakitan.”“Saya mengerti Pak, kalian pasti kecewa. Tolong jangan pisahkan saya dengan Kamila, tolong Pak Kevin.”Kevin ikut menghela nafas, entah keputusan apa yang akan diambil oleh kedua orangtuanya. Ia hanya berharap yang terbaik untuk pasangan ini. Slamet mengekor langkah Kevin untuk menemui Arka dan Mihika, dengan lang
“Sudah Mih, aku tidak selera makan,” ujar Kamila lalu kembali merebahkan diri dan memunggungi Mihika.Sang mami sempat menghela nafas lalu menoleh menatap suaminya yang lebih dulu menghela pelan. padahal baru satu malam berlalu dari janji akan mempertemukan kembali dengan Slamet, tapi Kamila sudah protes dengan tidak mau menikmati menu makannya. Entah memang tidak berselera atau hanya alasan saja.“Sayang, kamu sedang hamil. Ayo makan ya,” bujuk Mihika pelan.“Untuk apa makan, biarkan saja kami kelaparan. Kalian ‘kan memang berencana membuang kehamilan ini.”“Kamila,” tegur Arka dan Mihika menyentuh lengan suaminya agar tidak melanjutkan kalimatnya dan menambah kemarahan Kamila.“Bude Ranti mau jenguk bawa sup kesukaan kamu, gimana kalau sarapannya tunggu bude saja,” usul Mihika.Kamila bergeming. Sejujurnya dia sangat lapar, tapi sengaja berulah agar orangtuanya tidak semena-mena pada Slamet. Sejak kemarin, Slamet belum kelihatan batang hidungnya dan ponsel miliknya juga belum terlih
“Mih, Slamet udah datang belum?”“Belum, ini dimakan dulu dong. Kalaupun Slamet datang, dia mau bertemu Papi bukan bertemu kamu.”“Ck, aku titip soto mie belakang gedung Mih. Pokoknya aku tungguin Slamet bawa soto baru makan.”Mihika menghela pelan, entah harus sabar apa lagi untuk menghadapi putrinya. Sejak tadi siang belum ada makanan yang masuk ke perutnya, hanya jus jeruk dan dua helai roti tawar. Entah alasan apalagi setelah Slamet datang.Saat ini Kamila dan Mihika sudah berada di ruang tengah, dengan posisi Kamila berbaring di sofa dengan pangkuan Mihika sebagai bantalan kepalanya. Menonton TV meskipun tidak terlalu menyimak, karena yang ditunggu Kamila adalah Slamet.Terdengar suara berbincang dari depan dan Bibi yang menyampaikan kalau soto mie pesanan Kamila sudah terhidang di meja.“Slamet sudah datang Bik?”“Sudah Non, sedang ngobrol sama Bapak.”Kamila hendak berdiri, tapi ditahan oleh Mihika. “Mau ke mana?”“Ke depan Mih. Ada Slamet ‘kan.”“Biarkan dia bicara dengan Papi
“Mas, aku kok ragu ya.”“Ayolah, sesekali tidak masalah tinggalkan anak-anak. Ada Ibu dan Mamih, juga pengasuh mereka. Aku mau ditemani kamu, sekalian kita honeymoon. Kita belum pernah loh, tahu-tahu sudah punya anak dua.” Kevin memeluk Rara yang sempat terhenti mempersiapkan perlengkapan yang akan dibawa.Ada kegiatan di luar kota, kali ini Kevin mengajak Rara. Arka sendiri tidak masalah, begitu pun dengan Mihika. Kiya sedang berlibur di Surabaya, bersama eyang -- ibu Rara. Hanya Abimana dan Mihika tidak keberatan kalau bocah itu dititip bersamanya.Apalagi di kediaman Arka ada kedua anak Slamet dan Kamila, membuat Abimana tidak akan jenuh karena memiliki teman sebayanya.“Jangan bawa banyak pakaian, apalagi untuk malam. Aku lebih suka kamu tidak berpakaian,” bisik Kevin.“Masss.”“Aku tunggu di bawah ya, jangan kelamaan aku sudah lapar.”“Hm.”Saat Rara bergabung di meja makan, Kevin dan Abimana sudah siap di kursinya. Terlihat Kevin sedang menjelaskan kalau besok Rara dan dirinya a
Rara terjaga dari tidurnya. Menggeser pelan tangan Kevin yang memeluk pinggangnya lalu beranjak duduk dan bersandar pada headboard. Masih dengan suasana kamar yang cahayanya temaram, ia mengusap perut yang sudah sangat membola sambil mengatur nafas. Sudah beberapa malam merasakan sakit yang datang dan pergi, sepertinya kontraksi palsu. Namun, kali ini terasa lebih sering. Sedangkan hari perkiraan lahir bayinya masih minggu depan.“Ahhhh.” Rara mengerang pelan. Terdengar suara tangisan Kiya, meskipun ada Nani yang akan sigap sebagai Ibu tentu saja Kiya tidak tega. Beranjak pelan menuju kamar putrinya. Benar saja, Kiya sedang menenangkan putrinya.“Princess bunda kenapa nangis?”“Nda,” panggil Kiya sambil mengulurkan tangannya.Rara tersenyum lalu ikut naik ke ranjang Kiya yang saat ini berumur satu setengah tahun.“Bobo lagi ya, masih malam nih.”“Nda.”“Ssttt.” Rara memeluk Kiya dan menepuk bok0ng bocah itu dengan pelan. “Nani, tolong buatkan susu botol, mungkin dia haus.”Setelah me
Rara mendengarkan curhatan adik iparnya mengenai sang suami yang dituduh selingkuh. Sungguh hal yang jauh dari sikap seorang Slamet. Apalagi pria itu terlihat begitu menyayangi Kamila dan putra mereka. Begitu pun kesempatan untuk macam-macam, sepertinya tidak ada.“Aku yakin dia selingkuh kak.” Kamila menyimpulkan setelah dia menceritakan bagaimana sikap Slamet yang dianggap tidak setia. “Iya ‘kan?”“Hm, gimana ya,” gumam Rara.“Gimana apanya?”“Kamila, gini loh. Ketika suami macam-macam, biasanya istri akan merasakan dan melihat perubahan sikap dari sang suami. Misalnya jarang di rumah atau mulai acuh. Kalau aku lihat, Slamet nggak ada indikasi begitu. Lihat saja tuh, dia malah asyik main dengan Kai dan Kiya.”“Ya bisa aja pas di kantor. Aku curiga mungkin saja perempuan itu teman satu divisinya.”“Kamila, curiga boleh ….”“Kak, aku bukan curiga,” ujar Kamila menyela ucapan Rara.Rara kembali mendengarkan ocehan Kamila dan sesekali mengangguk. Saran darinya untuk memastikan kebenaran
Ada rasa bahagia saat dokter mengatakan kalau Rara sedang hamil dan gejala yang muncul sangat umum untuk awal kehamilan. Tanpa harus mengikuti program kehamilan, ternyata istrinya sudah lebih dulu mengandung. Namun, ada kekhawatiran melihat Rara tergolek lemah karena tidak sadarkan diri.Bahkan saat kehamilan Kiya, Kevin tidak tahu dan tidak mendampingi karena mereka terpisah semenjak ada masalah. Pun saat Kiya lahir, Kevin malah dalam proses pengobatan di Singapura.“Maaf sayang, kali ini aku pastikan akan mendampingi kamu. Apapun yang kamu rasakan kita jalani bersama,” bisik Kevin sambil mengusap kepala istrinya.Akhirnya Rara pun siuman dan terkejut dengan keberadaannya saat ini, bukan di kamarnya.“Mas ….”“Jangan memaksa bangun,” ujar Kevin menahan tubuh Rara agar tetap berbaring.“Aku kenapa Mas?”“Kamu sempat pingsan waktu kita mau pulang. Bukannya aku sudah bilang kalau kamu sakit jangan memaksa untuk ikut denganku.”“Hanya sakit kepala saja Mas. Ayo kita pulang, aku takut Kiy
Ucapan Mami Mihika mengenai dirinya kemungkinan hamil, membuat Rara resah. Kevin menyangkal karena sering memakai pengaman, meskipun kadang lupa. Sebenarnya tidak masalah walaupun ia hamil, toh Kiya sudah hampir satu tahun. Hanya saja rencana Kevin untuk program hamil tentu saja gagal.“Sayang, hei.” Tepukan di bahunya membuat Rara tersadar dari lamunan.“Ya.”“Are you okay?” tanya Kevin dengan mengernyitkan dahi. Rara hanya mengangguk pelan dan menyadari mobil sudah berhenti di … rumah mereka.“Sudah sampai?” tanyanya sambil melepas seatbelt.“Bahkan Kiya sudah duluan turun,” jawab Kevin. “Kamu yakin baik-baik saja?”“Aku baik sayang, hanya saja tadi aku melamun mungkin. Ayo turun!”Menjelang tidur, pikiran Rara masih terkait antara hamil dan tidak hamil. Untuk memastikan dia hanya perlu tespek atau ke dokter. Masalah datang bulan agak sulit menjadi dasar ukuran karena sejak melahirkan Kiya, periode bulanannya tidak teratur. Seperti bulan ini, yang belum datang juga.“Sayang, besok a
Banyak berkah dan kemudian menjadi istri dari Kevin Baskara, yang awalnya bukan tujuan Rara kini ia bersyukur dengan segala yang dirasakan. Seperti saat ini, pulang ke Surabaya menggunakan pesawat dengan pilihan kelas bisnis agar Kiya tetap nyaman. Bahkan ketika tiba di bandara, mobil yang memang disiapkan untuk kebutuhan Ibu sudah menjemput.Rumah peninggalan almarhum bapak tidak berubah hanya diperbaiki kalau ada kerusakan, tapi Kevin membeli kavling di sebelah rumah Ibu dan dibangun untuk ia tinggal ketika berkunjung ke sana. Mobil sudah berhenti di depan pagar, Ibu keluar dengan antusias.“Cucu Uti sudah datang, ayo sini gendong sama uti.”Kiya yang dalam perjalanan dipangku oleh pengasuhnya pun berpindah ke gendongan Ib, bahkan tergelak saat Ibu menciumi pipinya.“Ayo masuk, istirahat dulu. Kamu pasti pusing ‘kan turun dari pesawat,” ujar Ibu pada Rara.Rara menganggukan kepala setelah mencium tangan ibunya, lalu menuju rumah mereka. Pak Budi membawakan koper dan tas milik Rara d
“Halo Mas, aku baru sampai nih. Kita ketemu di kamar Kamila aja ya.”Rara baru saja tiba di rumah sakit dan sempat menghubungi suaminya, janjian untuk menjenguk bayi Kamila dan Slamet. Menggendong Kiya berjalan di sepanjang koridor rumah sakit. supirnya menawarkan mengantar, tapi ditolak oleh Rara.Tidak terlalu memperhatikan sekitar karena hanya fokus menuju kamar rawat Kamila sesuai petunjuk arah, ternyata ada seseorang yang mengekor langkahnya.“Kemana ya?” gumam Rara sedangkan Kiya berceloteh dalam gendongan. “Ah ke sebelah sana.”“Rara.”Langkah Rara terhenti, lalu menoleh ke arah suara.“Kamu … Rara ‘kan?”Seorang wanita berdiri dan berjalan mendekat ke arahnya. Wanita yang pernah hadir dalam hidup Kevin, yang menjadi alasan kenapa harus ada kesepakatan pernikahan dengan Kevin. Vanya, wanita itu adalah Vanya.Tidak berubah, Vanya selalu berpenampilan seksi dan glamour. Begitupun saat ini. Sama halnya dengan Vanya yang memindai penampilan Rara dari kepala sampai kaki.“Iya, aku R
“Hey, baby girl. Ini ayah, kamu cantik seperti bunda.” Kevin seakan enggan lepas dan pisah dengan putrinya. Sejak tadi malam bayi itu bahkan tidak berada di box bayi, tapi tidur di antara kedua orang tuanya.Setelah tadi dimandikan, Kiya masih diajak bicara. Rara yang baru keluar dari wardrobe, melihat putrinya masih berada di atas ranjang bersama sang suami dan terus diciumi juga disentuh pipi dan hidungnya. Hanya bisa menggelengkan kepala dan memaklumi. Kevin mengatakan akan mengganti kealpaannya karena tidak bisa mendampingi Rara melahirkan dengan memberikan yang terbaik untuk istri dan anaknya.“Mas, jangan di ganggu terus. Harusnya dia sudah tidur.”“Dia masih betah denganku. Kapan dia besar dan bisa aku bawa ke kantor atau jalan-jalan ke mall.”“Ck, kapan kamu mandi?”“Nanti dulu Ra, aku masih kangen. Lihat, jariku tidak dilepaskannya.”Jemari Kiya mencengkram ibu jari Kevin dan bibir bayi itu terus mengecap seakan masih lapar dan mencari sumber kehidupannya. Rara menghampiri me
“Mas … Kevin.”Kevin tersenyum dan merentangkan tangannya memberi kesempatan pada Rara untuk datang ke dalam pelukan. Seakan tidak percaya kalau yang ada di hadapannya adalah Kevin, Rara malah meneteskan air mata.“Mas ….”“Kemarilah, apa kamu tidak rindu denganku?”Rara langsung menghambur ke dalam pelukan suaminya, memeluk erat membenamkan wajah di dada pria itu. Tubuhnya berguncang karena tangisan. Bukan hanya Rara yang begitu rindu, Kevin pun sama. Kedua tangannya mendekap erat tubuh sang istri bahkan berkali-kali mencium kepalanya.Sesaat dia menyadari kalau pelukannya sangat erat, tidak seperti sebelumnya yang selalu terhalang oleh perut Rara yang sedang hamil. Kevin mengurai pelukan dan menatap tubuh sang istri. Masih terlihat agak chubby dengan dada yang tampak membusung, tapi perutnya … tidak besar cenderung rata.“Rara, kamu sudah melahirkan?” tanya Kevin lirih.Rara masih dengan tangisnya hanya sanggup menganggukan kepala“Kamu melahirkan tanpa ada aku mendampingi?”Lagi-la