Sudah enam hari kepergian Ayahnya dan Rara masih tampak murung dengan wajah sendu. Ibu Rara khawatir dengan kesehatan putrinya, apalagi apapun yang dikonsumsi akan keluar lagi. Sempat mengusulkan untuk mengantar ke dokter, tapi Rara menolak.Beberapa orang kerabat baru selesai membereskan tikar dan karpet selepas acara doa. Rara sudah berada di kamarnya. Terdengar percakapan ibu lalu menutup pintu dan menguncinya.“Ra, sudah tidur,” panggil ibu.“Belum bu.”Pintu terbuka, Rara kembali ke ranjangnya diikuti wanita paruh baya yang sudah melahirkannya ke dunia.“Ra, Ibu perlu penjelasan dari kamu,” ujar Ibu lirih lalu mengusap punggung Rara.Mau tidak mau, Rara pun beranjak dan duduk bersila dengan tatapan menunduk. Ibu mengusap kepala Rara dengan sayang. Menanyakan apa yang terjadi dengan pernikahannya bersama Kevin.“Maafkan Rara bu.”“Ibu ingin dengar langsung dari kamu.”“Jadi, Ibu dan Ayah benar ke Jakarta?” tanya Rara menatap ibunya yang dijawab dengan menganggukan kepala.Rara me
“Rara yang aku kenal tidak begitu,” ujar Slamet.Kamila pun menganggukan kepala. Meski belum lama mengenal kakak iparnya, dia tahu Rara perempuan baik. Terlihat dari sikap dan cara bicara. Berbeda dengan Vanya, sahabatnya. Sudah jelas skandal dan berita buruk yang beredar tentang wanita itu. “Jadi gimana dong? Aku kayaknya nggak bisa diam aja.”“Temui kakakmu, sampaikan alasan kamu membela Rara. Siapa tahu hati Pak Kevin terketuk dan menyadari kesalahannya.”“Aku doang yang bela Kak Rara, katanya kamu sahabatan kok diam aja.”“Ck.” Slamet menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bukannya tidak ingin membela dan memperjuangkan Rara, tapi berhadapan dengan Kevin tentu saja nyalinya ciut. Apalagi sekarang dia dekat dengan Kamila adik dari pria itu.“Aku mau ke ruangan Kak Kevin, tidak mau tahu kamu harus ikut,” ujar Kamila mengancam Slamet kemudian berlalu.“Kamila, bukan begitu. Masalahnya rumit.”Kamila sudah masuk ke dalam lift dengan tangan bersedekap menunggu Slamet. Pria itu berdecak
“Cari, secepatnya. Kalau perlu tambah tim. Kalian profesional, masa mencari dua orang perempuan saja tidak becus,” maki Kevin lewat telepon.Tespek di toilet sudah bisa dipastikan milik Rara. Jika dikaitkan dengan kondisi beberapa hari sebelum Rara pergi, wanita itu terlihat tidak sehat mungkin karena efek kehamilan dan morning sickness. Mengingat hal itu, Kevin merasa sangat bersalah.Rara lebih memilih diam dan merahasiakan kehamilannya, karena kecewa. Tentu saja Kevin tahu kalau kekecewaan itu untuk dirinya. Karena tidak bisa mengambil sikap.“Hahh. Di mana kamu Ra.”Sambil menunggu informasi dari orang yang sudah disebar untuk mencari Rara, Kevin tetap beraktivitas seperti biasa. Meskipun sebagian fokusnya tetap pada Rara.***“Aku lihat Pak Kevin, berarti dia sudah kembali dari Surabaya ya.”“Hah, serius?” tanya Kamila pada Slamet yang berdiri di samping kubikelnya. Slamet mengangguk pelan, menatap wajah Kamila. Saat Rara menjadi rekan kerjanya, perempuan itu sangat menarik namun
“Ra, kamu yakin mau cari kerja?” Ibu Rara menatap prihatin putrinya yang memaksa ingin mencari pekerjaan. Kondisinya sedang hamil, meskipun dalam benak wanita itu memikirkan bagaimana nasib mereka ke depan.“Iya Bu. Aku akan cari kerja yang tidak mengikat, karena kondisiku sekarang. Hanya gajinya tidak seperti pekerjaanku yang lalu,” sahut Rara sudah memeriksa tasnya memastikan dompet, dokumen dan ponsel ada di sana. Sempat menghela nafasnya mengingat ponselnya rusak. “Ini bisa jadi masalah lagi, ponselku rusak bu.”“Ra, ibu ada ini,” ujar Ibu menunjukan kotak perhiasan. “Sebaiknya ini kita jual, belikan ponsel dan cari kontrakan yang lebih layak. Kamu sedang hamil, di sini rasanya … tidak nyaman.”“Jangan Bu.” Rara menutup kotak perhiasan ibunya. “Itu peninggalan Ayah juga ‘kan?”“Peninggalan Ayah untuk kita, sekarang kita butuh jadi tidak masalah walaupun harus dijual.”“Simpan saja Bu, saat ini kita belum memerlukan. Rara pamit bu.” Rara meraih tangan Ibunya mencium takzim lalu me
“Ra, lo kenapa?”“Ah, nggak pa-pa,” sahut Rara bergegas kembali ke meja kerjanya.Kejadian di mana dia melihat Kevin ternyata mempengaruhi mood dan fokus kerjanya. Selama ini dia sangat merindukan pria itu dan melihatnya meskipun hanya sekejap menjadi pelipur kerinduan. Namun, keberadaan Amanda mengusik hatinya juga.Tidak ingin menduga macam-macam hanya akan membuat sakit hati. Lagi pula sudah lebih dari tiga bulan mereka berpisah, entah apa yang terjadi ketika mereka benar-benar bertemu. Mungkin saja surat cerai sudah tersaji untuknya.Rara mencoba fokus pada pekerjaannya. Mengecek nota pembelanjaan mencocokan dengan catatan pengeluaran. Sempat membalas pesan dari Ibunya dan kembali fokus dengan tugasnya. Tidak ingin mendapat masalah apalagi sampai dipecat.***“Rapat dengan tim marketing, tiga puluh menit lagi,” ujar Sari mengingatkan saat Kevin baru tiba dan menanyakan apa lagi jadwalnya hari ini.“Hm,” sahut Kevin.Jika bukan karena kontrak kerja si4lan yang ditawarkan untuk mere
Harun memilih meja agak sudut dan berdiri di depan meja pemesanan. Sesekali menoleh ke arah Rara yang sudah duduk dengan wajah cemberut. Harun tidak memulai perbincangan saat sudah duduk bersama Rara, malah memindai wajah wanita yang terlihat semakin cantik dan dewasa.Rara berdecak dan tidak membalas tatapan Harun dan menatap ke arah lain membuat Harun tersenyum simpul.“Mau bicara apa, aku tidak punya banyak waktu.” Rara berucap dan masih enggan menatap Harun.“TIdak banyak waktu atau kamu takut ketahuan Kevin kita bertemu? Atau takut Kevin menemukan kamu?”“Ck. Tidak usah ikut campur. Mau bicara atau aku tinggal!”“Minum dulu,” ujar Harun dan mendorong gelas minum milik Rara. Bahkan nampan berisi paket makanan khas Jepang yang Harun tahu memang kesukaan Rara pun disodorkan lebih dekat.Rara sempat melirik sekilas dan menelan salivanya, Harun masih mengingat makanan yang sering dipesan saat mereka masih berpacaran. Hanya mengambil gelas dan meminum beberapa tegukan, lalu menatap Ha
“Lembur Ra?” tanya Ibu saat Rara baru saja tiba.Memang lewat dari jam biasa Rara pulang. selain urusan mencari pakaian hamil, yang membuat lama adalah pertemuan dengan Harun. Bahkan sempat ada drama bersembunyi agar pria itu tidak tahu dimana Rara tinggal.“Oh, tidak bu. Tadi Rara mampir cari ini,” sahut Rara sambil mengangkat paper bag berisi beberapa stel pakaian.“Kamu belanja?”“Pakaian hamil Bu, banyak yang mulai sesak.”“Cepat mandi dan istirahat.”Apartemen yang Rara dan Ibunya tempati tidak terlalu luas, bahkan hanya ada satu ranjang yang dipakai bersama. Tentu saja hal ini menjadi perhatian Ibu Rara dan mengajak putrinya bicara sebelum tidur. Beberapa bulan lagi, Rara akan melahirkan dan butuh area yang lebih luas untuk kenyamanan dia dan bayinya. Walaupun belum mampu membeli hunian baru, paling tidak mereka harus berpindah atau mencari tempat tinggal yang lebih luas dan nyaman.Ibu Rara baru saja selesai menyetrika sedangkan Rara duduk bersandar pada headboard sambil memija
“Rara,” ucap Kevin saat membuka pesan dari orang yang mencari keberadaan istrinya. setelah mendapatkan petunjuk daerah tempat Rara bekerja, ternyata membuahkan hasil. Foto-foto Rara yang keluar dari kantor bersama rekannya menghiasi layar ponsel Kevin.Pria itu tersenyum melihat foto Rara yang terlihat cantik dengan perutnya yang sudah membuncit. Kerinduan semakin menggebu saat melihat foto-foto istrinya. Jika bukan berada dalam pertemuan penting dengan rekanan, Kevin pasti sudah meluncur ke lokasi di mana menemukan Rara.Sore hari setelah selesai dengan pertemuan-pertemuan yang membuat Kevin kesal, segera pria itu menuju lokasi. Berharap bisa menggantikan Ayahnya membahas kerjasama.“Kantornya yang itu.”Kevin pun mendatangi kantor tersebut. Sudah sangat sore bahkan menjelang maghrib, ternyata sebagian karyawan sudah pulang, termasuk Rara. Paling tidak hatinya sudah sangat lega karena Rara benar bekerja di tempat itu. Sempat menatap situasi lobby kantor tersebut, memang benar perusa
“Mas, aku kok ragu ya.”“Ayolah, sesekali tidak masalah tinggalkan anak-anak. Ada Ibu dan Mamih, juga pengasuh mereka. Aku mau ditemani kamu, sekalian kita honeymoon. Kita belum pernah loh, tahu-tahu sudah punya anak dua.” Kevin memeluk Rara yang sempat terhenti mempersiapkan perlengkapan yang akan dibawa.Ada kegiatan di luar kota, kali ini Kevin mengajak Rara. Arka sendiri tidak masalah, begitu pun dengan Mihika. Kiya sedang berlibur di Surabaya, bersama eyang -- ibu Rara. Hanya Abimana dan Mihika tidak keberatan kalau bocah itu dititip bersamanya.Apalagi di kediaman Arka ada kedua anak Slamet dan Kamila, membuat Abimana tidak akan jenuh karena memiliki teman sebayanya.“Jangan bawa banyak pakaian, apalagi untuk malam. Aku lebih suka kamu tidak berpakaian,” bisik Kevin.“Masss.”“Aku tunggu di bawah ya, jangan kelamaan aku sudah lapar.”“Hm.”Saat Rara bergabung di meja makan, Kevin dan Abimana sudah siap di kursinya. Terlihat Kevin sedang menjelaskan kalau besok Rara dan dirinya a
Rara terjaga dari tidurnya. Menggeser pelan tangan Kevin yang memeluk pinggangnya lalu beranjak duduk dan bersandar pada headboard. Masih dengan suasana kamar yang cahayanya temaram, ia mengusap perut yang sudah sangat membola sambil mengatur nafas. Sudah beberapa malam merasakan sakit yang datang dan pergi, sepertinya kontraksi palsu. Namun, kali ini terasa lebih sering. Sedangkan hari perkiraan lahir bayinya masih minggu depan.“Ahhhh.” Rara mengerang pelan. Terdengar suara tangisan Kiya, meskipun ada Nani yang akan sigap sebagai Ibu tentu saja Kiya tidak tega. Beranjak pelan menuju kamar putrinya. Benar saja, Kiya sedang menenangkan putrinya.“Princess bunda kenapa nangis?”“Nda,” panggil Kiya sambil mengulurkan tangannya.Rara tersenyum lalu ikut naik ke ranjang Kiya yang saat ini berumur satu setengah tahun.“Bobo lagi ya, masih malam nih.”“Nda.”“Ssttt.” Rara memeluk Kiya dan menepuk bok0ng bocah itu dengan pelan. “Nani, tolong buatkan susu botol, mungkin dia haus.”Setelah me
Rara mendengarkan curhatan adik iparnya mengenai sang suami yang dituduh selingkuh. Sungguh hal yang jauh dari sikap seorang Slamet. Apalagi pria itu terlihat begitu menyayangi Kamila dan putra mereka. Begitu pun kesempatan untuk macam-macam, sepertinya tidak ada.“Aku yakin dia selingkuh kak.” Kamila menyimpulkan setelah dia menceritakan bagaimana sikap Slamet yang dianggap tidak setia. “Iya ‘kan?”“Hm, gimana ya,” gumam Rara.“Gimana apanya?”“Kamila, gini loh. Ketika suami macam-macam, biasanya istri akan merasakan dan melihat perubahan sikap dari sang suami. Misalnya jarang di rumah atau mulai acuh. Kalau aku lihat, Slamet nggak ada indikasi begitu. Lihat saja tuh, dia malah asyik main dengan Kai dan Kiya.”“Ya bisa aja pas di kantor. Aku curiga mungkin saja perempuan itu teman satu divisinya.”“Kamila, curiga boleh ….”“Kak, aku bukan curiga,” ujar Kamila menyela ucapan Rara.Rara kembali mendengarkan ocehan Kamila dan sesekali mengangguk. Saran darinya untuk memastikan kebenaran
Ada rasa bahagia saat dokter mengatakan kalau Rara sedang hamil dan gejala yang muncul sangat umum untuk awal kehamilan. Tanpa harus mengikuti program kehamilan, ternyata istrinya sudah lebih dulu mengandung. Namun, ada kekhawatiran melihat Rara tergolek lemah karena tidak sadarkan diri.Bahkan saat kehamilan Kiya, Kevin tidak tahu dan tidak mendampingi karena mereka terpisah semenjak ada masalah. Pun saat Kiya lahir, Kevin malah dalam proses pengobatan di Singapura.“Maaf sayang, kali ini aku pastikan akan mendampingi kamu. Apapun yang kamu rasakan kita jalani bersama,” bisik Kevin sambil mengusap kepala istrinya.Akhirnya Rara pun siuman dan terkejut dengan keberadaannya saat ini, bukan di kamarnya.“Mas ….”“Jangan memaksa bangun,” ujar Kevin menahan tubuh Rara agar tetap berbaring.“Aku kenapa Mas?”“Kamu sempat pingsan waktu kita mau pulang. Bukannya aku sudah bilang kalau kamu sakit jangan memaksa untuk ikut denganku.”“Hanya sakit kepala saja Mas. Ayo kita pulang, aku takut Kiy
Ucapan Mami Mihika mengenai dirinya kemungkinan hamil, membuat Rara resah. Kevin menyangkal karena sering memakai pengaman, meskipun kadang lupa. Sebenarnya tidak masalah walaupun ia hamil, toh Kiya sudah hampir satu tahun. Hanya saja rencana Kevin untuk program hamil tentu saja gagal.“Sayang, hei.” Tepukan di bahunya membuat Rara tersadar dari lamunan.“Ya.”“Are you okay?” tanya Kevin dengan mengernyitkan dahi. Rara hanya mengangguk pelan dan menyadari mobil sudah berhenti di … rumah mereka.“Sudah sampai?” tanyanya sambil melepas seatbelt.“Bahkan Kiya sudah duluan turun,” jawab Kevin. “Kamu yakin baik-baik saja?”“Aku baik sayang, hanya saja tadi aku melamun mungkin. Ayo turun!”Menjelang tidur, pikiran Rara masih terkait antara hamil dan tidak hamil. Untuk memastikan dia hanya perlu tespek atau ke dokter. Masalah datang bulan agak sulit menjadi dasar ukuran karena sejak melahirkan Kiya, periode bulanannya tidak teratur. Seperti bulan ini, yang belum datang juga.“Sayang, besok a
Banyak berkah dan kemudian menjadi istri dari Kevin Baskara, yang awalnya bukan tujuan Rara kini ia bersyukur dengan segala yang dirasakan. Seperti saat ini, pulang ke Surabaya menggunakan pesawat dengan pilihan kelas bisnis agar Kiya tetap nyaman. Bahkan ketika tiba di bandara, mobil yang memang disiapkan untuk kebutuhan Ibu sudah menjemput.Rumah peninggalan almarhum bapak tidak berubah hanya diperbaiki kalau ada kerusakan, tapi Kevin membeli kavling di sebelah rumah Ibu dan dibangun untuk ia tinggal ketika berkunjung ke sana. Mobil sudah berhenti di depan pagar, Ibu keluar dengan antusias.“Cucu Uti sudah datang, ayo sini gendong sama uti.”Kiya yang dalam perjalanan dipangku oleh pengasuhnya pun berpindah ke gendongan Ib, bahkan tergelak saat Ibu menciumi pipinya.“Ayo masuk, istirahat dulu. Kamu pasti pusing ‘kan turun dari pesawat,” ujar Ibu pada Rara.Rara menganggukan kepala setelah mencium tangan ibunya, lalu menuju rumah mereka. Pak Budi membawakan koper dan tas milik Rara d
“Halo Mas, aku baru sampai nih. Kita ketemu di kamar Kamila aja ya.”Rara baru saja tiba di rumah sakit dan sempat menghubungi suaminya, janjian untuk menjenguk bayi Kamila dan Slamet. Menggendong Kiya berjalan di sepanjang koridor rumah sakit. supirnya menawarkan mengantar, tapi ditolak oleh Rara.Tidak terlalu memperhatikan sekitar karena hanya fokus menuju kamar rawat Kamila sesuai petunjuk arah, ternyata ada seseorang yang mengekor langkahnya.“Kemana ya?” gumam Rara sedangkan Kiya berceloteh dalam gendongan. “Ah ke sebelah sana.”“Rara.”Langkah Rara terhenti, lalu menoleh ke arah suara.“Kamu … Rara ‘kan?”Seorang wanita berdiri dan berjalan mendekat ke arahnya. Wanita yang pernah hadir dalam hidup Kevin, yang menjadi alasan kenapa harus ada kesepakatan pernikahan dengan Kevin. Vanya, wanita itu adalah Vanya.Tidak berubah, Vanya selalu berpenampilan seksi dan glamour. Begitupun saat ini. Sama halnya dengan Vanya yang memindai penampilan Rara dari kepala sampai kaki.“Iya, aku R
“Hey, baby girl. Ini ayah, kamu cantik seperti bunda.” Kevin seakan enggan lepas dan pisah dengan putrinya. Sejak tadi malam bayi itu bahkan tidak berada di box bayi, tapi tidur di antara kedua orang tuanya.Setelah tadi dimandikan, Kiya masih diajak bicara. Rara yang baru keluar dari wardrobe, melihat putrinya masih berada di atas ranjang bersama sang suami dan terus diciumi juga disentuh pipi dan hidungnya. Hanya bisa menggelengkan kepala dan memaklumi. Kevin mengatakan akan mengganti kealpaannya karena tidak bisa mendampingi Rara melahirkan dengan memberikan yang terbaik untuk istri dan anaknya.“Mas, jangan di ganggu terus. Harusnya dia sudah tidur.”“Dia masih betah denganku. Kapan dia besar dan bisa aku bawa ke kantor atau jalan-jalan ke mall.”“Ck, kapan kamu mandi?”“Nanti dulu Ra, aku masih kangen. Lihat, jariku tidak dilepaskannya.”Jemari Kiya mencengkram ibu jari Kevin dan bibir bayi itu terus mengecap seakan masih lapar dan mencari sumber kehidupannya. Rara menghampiri me
“Mas … Kevin.”Kevin tersenyum dan merentangkan tangannya memberi kesempatan pada Rara untuk datang ke dalam pelukan. Seakan tidak percaya kalau yang ada di hadapannya adalah Kevin, Rara malah meneteskan air mata.“Mas ….”“Kemarilah, apa kamu tidak rindu denganku?”Rara langsung menghambur ke dalam pelukan suaminya, memeluk erat membenamkan wajah di dada pria itu. Tubuhnya berguncang karena tangisan. Bukan hanya Rara yang begitu rindu, Kevin pun sama. Kedua tangannya mendekap erat tubuh sang istri bahkan berkali-kali mencium kepalanya.Sesaat dia menyadari kalau pelukannya sangat erat, tidak seperti sebelumnya yang selalu terhalang oleh perut Rara yang sedang hamil. Kevin mengurai pelukan dan menatap tubuh sang istri. Masih terlihat agak chubby dengan dada yang tampak membusung, tapi perutnya … tidak besar cenderung rata.“Rara, kamu sudah melahirkan?” tanya Kevin lirih.Rara masih dengan tangisnya hanya sanggup menganggukan kepala“Kamu melahirkan tanpa ada aku mendampingi?”Lagi-la