"Jawab aku," ujar Badra dingin seraya masuk ke dalam ruangan rawat inap VIP yang saat ini ditempati oleh Vina.Tanpa kata, Badra bahkan mengunci pintu ruangan itu dari dalam. Sengaja karena tak ingin membuat orang lain masuk dan menganggu pembicaraan mereka."Aku capek. Badan aku sakit, aku mau tidur," sahut Vina dengan nada suara yang tak kalah dingin."Anak kita meninggal, Vina.... apa begini sikapmu?"Dengus sinis kemudian terdengar dari Vina yang kini menatap kesal ke arah Badra. "Terus menurut kamu aku harus gimana? Yang meninggal gak akan bisa dihidupkan kembali. Lagipula bayi yang meninggal akan langsung masuk surga," ujarnya enteng.Badra terperangah mendengar penuturan istrinya itu. Matanya yang memerah karena terlalu banyak menangis pun, kini kembali berkaca-kaca. Sejenak, ia memejamkan matanya rapat-rapat untuk sedikit meredam rasa sakit di dadanya, lalu perlahan ia pun mulai kembali membuka matanya dan menatap Vina lekat-lekat, walau di detik yang sama air mata juga mengal
"Bahkan sampe akhir pun kang Badra masih mengutamakan perempuan itu. Sebegitu cintanya dia sama Vina. Lihat, dia bahkan memeluk bayi itu dan memakamkannya sendiri. Bahkan pemakamannya dihadiri dua keluarga, oleh keluarga kang Badra dan keluarga Vina. Beda sekali pada Argantara. Arga hanya bisa dipeluk dan diantar ke pemakaman oleh saya, tanpa ada ayah ataupun nenek dan kakeknya," gumam Citra nelangsa.Hari itu, Sakti mengajak Citra untuk melihat proses pemakaman anaknya Badra dari kejauhan. Mereka memilih duduk di dalam mobil yang sengaja diparkirkan tak jauh dari area pemakaman di kampung itu.Pada momen itu, tanpa kata Sakti mengulurkan tangan kanannya untuk sekadar menyeka air mata Citra yang meleleh membasahi pipinya yang memerah karena menahan amarah juga kesedihan yang membuncah."Setelah pengkhianatan yang dilakukan Vina, kang Badra bahkan masih memilihnya. Apa sebenarnya saya memang gak layak di cintai sebesar itu? Saya bahkan gak pernah merasakan di spesialkan seperti itu. Ke
Saat tersadar dari kegugupannya, Citra pun segera berpaling dan segera melangkahkan kakinya untuk kembali masuk ke dalam rumah. Ia bahkan mendekap Ginata, memastikan wajah bayi itu tak dilihat.Namun, baru saja ia naik ke teras rumah orang tuanya, tangannya tiba-tiba dicekal dan dicengkram dengan erat."Aku tanya kenapa kamu datang ke sini, kenapa kamu gak jawab?"Jantung Citra mencelus mendengar ucapan itu. Ia dibuat kembali mematung di tempatnya untuk beberapa saat, sebelum kemudian bisa mengendalikan diri dan menepis cengkraman tangan Badra."Kita gak seharusnya terlibat pembicaraan. Akang sendiri yang waktu itu bilang kalo aku dan anakku jangan sampe bertemu akang lagi, terus buat apa akang ke sini cuma buat nanya hal gak penting kayak gini." Dengan ketus, Citra menimpali. Ia bahkan tak sekalipun menolehkan wajahnya untuk sekadar menatap Badra."Apa itu anakku?" tanyanya tiba-tiba.Kali ini Badra berbicara dengan tenang, tanpa ada setitik pun kemurkaan dalam suaranya saat berhadap
Citra lebih dulu membaringkan Gina ke dalam box bayinya, sebelum kemudian tanpa kata ia pun memenuhi permintaan Sakti untuk segera berbaring tepat di samping pria itu."Anda mau bicara soal apa? Saya akan mendengarkan," ujarnya.Lantas Sakti pun mengulurkan tangannya untuk memeluk pinggang Citra dan tiba-tiba menariknya mendekat hanya agar bisa merengkuh tubuh Citra dalam dekapannya.Pada momen itu, Sakti bahkan dengan santainya menenggelamkan wajah di ceruk leher Citra dan mengidu aroma perempuan itu dalam-dalam."Citra," panggilnya."Iya?" "Jangan pernah kembali pada Badra sekalipun nanti dia bersujud di kakimu untuk mengakui kesalahannya. Jangan kembali padanya sekalipun kamu masih mencintainya," pintanya. Yang justru terdengar seperti sebuah perintah."Apa ini juga termasuk ke dalam kontrak di antara kita?"Sakti menggelengkan kepalanya pelan, masih dengan posisi wajahnya yang tenggelam pada ceruk leher sang istri. "Permintaan ini berasal dariku langsung, bukan termasuk kontrak.
"Kamu istri pertamaku, Citra. Aku tak pernah menikah dengan siapapun kecuali dirimu."Untuk beberapa saat jantung Citra berhenti berdetak. Dengan mata terbelalak, ia menatap tak percaya ke arah Sakti. "Bagaimana mungkin saya jadi istri pertama anda sedangkan ibu kandungnya Gina sudah ada sebelum saya. Anda mau bohong ke saya?"Sakti menggeleng lemah, lantas melepas pelukannya pada Citra dan kemudian berbaring terlentang dengan kedua mata yang menatap nanar pada langit-langit kamar itu."Aku gak bohong, kamu memang istri pertamaku. Aku dan Tatiana gak pernah menikah-""Apa kalian punya Gina karena kecelakaan?" tanya Citra tiba-tiba menyela ucapan Sakti. Ia benar-benar jadi tak sabaran karena ingin segera mendengar kebenaran dari mulut pria asing yang dinikahinya beberapa bulan ini."Dengarkan dulu ucapanku sampe selesai, baru kamu boleh berkomentar."Citra diam. Sedangkan Sakti harus menghela napas kasar dan mulai mengumpulkan kembali tekadnya untuk mengatakan segala hal yang selama in
"Saya bukan lagi orang yang sama yang anda temui pertamakali. Saya sudah berubah jadi orang yang serakah. Saya mohon lepaskan saya, biarkan saya pergi sendirian. Biar Gina tak terluka di masa depannya nanti ketika melihat orang tuanya berpisah tanpa sebab, biar saya juga gak berharap terlalu jauh pada anda."Sakti diam. Ia tak merespon apapun dan hanya tetap menatap Citra lamat-lamat dengan ekspresi yang sulit dijabarkan."Andhika, ayo kita berpisah. Gina akan sangat terluka kalo sampe saya pergi disaat dia sudah menganggap saya sebagai ibunya," ujar Citra kembali menambahkan.Pada momen itu, Sakti mengeratkan kedua tangannya yang masih menangkup wajah Citra dan untuk sejenak ia menghembuskan napas beratnya."Apa kamu mencintaiku, makanya kamu jadi bimbang kayak gini?" tanya Sakti yang kemudian tak sedetik pun memberikan kesempatan pada Citra untuk menjawabnya.Tanpa aba-aba, Sakti membungkam Citra dengan ciumannya. Ia menyapu lembut bibir istrinya itu, melumat dan memagutnya lembut.
Suara bising dari dalam kamar membuat Badra yang saat itu baru pulang dari kegiatannya bekerja di pabrik milik mertuanya itu pun segera memasuki rumah dan melenggang pergi menuju kamar, untuk sekadar menemukan pakaian dan barang-barang miliknya sedang dilempar keluar kamar."Kenapa barang-barang aku dikeluarin semuanya kayak gitu?" tegur Badra pada Vina.Sementara Vina yang ditanya seperti itu pun justru tak menggubrisnya sama sekali. Dia tetap melempar semua barang-barang dan pakaian Badra keluar dari kamarnya dan baru berhenti ketika dia tak lagi menemukan barang suaminya."Sayang, kenapa barang-barang aku dikeluarin semua kayak gini?" ulang Badra.Vina yang kemudian berkacak pinggang pun seketika mendengus sinis dan menatap Badra dengan dingin. "Aku mau kamu pergi dari rumah ini, Kang. Surat cerai bakal menyusul. Aku udah gak sanggup hidup sama kamu, toh udah gak ada alasan buat kita untuk terus sama-sama. Aku udah gak cinta sama kamu, jadi aku harap kamu cukup tahu diri buat seger
"Kamu baik-baik aja?" tanya Daniel seraya menatap heran pada Vina yang kini duduk di depannya sambil menikmati satu cup prapucino ukuran besar, lalu kemudian dia pun mulai beralih melirik perut Vina yang sudah rata. Sementara Vina menanggapi pertanyaan itu dengan menganggukan kepalanya semangat. Ia bahkan dengan santainya menyunggingkan senyuman senang pada Daniel."Iya, aku baik-baik aja kok kamu gak perlu khawatir. Semuanya udah mulai tenang dan aman. Aku juga udah mengajukan cerai buat segera pisah dari Badra," jawabnya ringan.Namun, Daniel tak terlihat senang setelah mendengar jawaban itu. Dia menautkan kedua alisnya, sembari menatap Vina dengan tatapan tak bersahabat."Apa bayimu baik-baik aja?" tanya Daniel lagi. Kali ini ia menatap Vina dengan resah.Sedangkan Vina lagi-lagi mengangguk semangat dan menjawab dengan ringannya. "Aku melahirkannya, tapi sayangnya dia meninggal. Bayi itu katanya masih suci dan bersih kan? Mungkin dia
Sejak kepergian Daniel ke Belanda, dunia Kinara masih berputar seperti biasa, seolah eksistensi pria itu di dalam hidupnya tidak pernah ada. Meskipun begitu, Kinara tidak menampik kalau di sudut hati yang paling dalam ia merasa kosong dan kehilangan. “Kamu lembur lagi?” Salah seorang teman kerja Kinara menyemburnya dengan pertanyaan itu begitu mendapati Kinara tengah memasang hair cap di ruang ganti pegawai. Semua pegawai yang bekerja di toko kue ini wajib mengenakan pelindung kepala untuk menjaga higine dan steril kue yang dijual. “Iya, karena aku gak punya kegiatan penting di rumah. Daripada mati bosan karena rebahan terus, aku pikir lebih baik dipake kerja aja,” jawab Kinara sambil memamerkan senyum lima jarinya. Teman kerja yang umurnya setahun lebih tua dari Kinara itu hanya bisa geleng-geleng kepala takjub dengan dedikasi Kinara untuk toko kue ini. “Kalau punya waktu libur itu dipakai untuk istirahat jangan kerja saja,” sarannya wanita itu lagi. “Istirahatku cukup, kok,”
"Ini melelahkan, tapi aku tak keberatan untuk melakukannya karena aku tetap menyukai momen ini," gumam Sakti sembari menatap teduh baby Kanigara yang terlelap dengan bibir yang terus bergerak seperti sedang menyusu. Itu terlihat menggemaskan. Bayi mungkil itu sepertinya tengah bermimpi minum ASI.Menjadi seorang Ayah dari dua orang anak membuat Sakti semakin dewasa, setelah mendapatkan putri cantik seperti Ginata kini keluarga kecilnya semakin lengkap dengan kehadiran Kanigara. Sekarang dia dan juga Citra resmi menjadi orang tua dari dua anak, anak laki-laki dan perempuan. Sudah sangat lengkap.Setiap hari hati Sakti selalu diselimuti dengan rasa bahagia, setiap kali melihat perkembangan Ginata membuatnya merasa lega karena berhasil melihat tumbuh kembang putri kecilnya itu, selain itu Kanigara juga tidak lepas dari perhatiannya. Bayi kecil itu selalu berhasil membuat energinya penuh setiap kali melihat geliatan kecilnya.Seperti halnya malam ini, Sakti masih saja terjaga sambil meman
Sakti membantu Citra untuk duduk di atas kursi roda. Hari ini tepat hari kepulangan Citra ke rumah. Tentu saja Kanigara ikut serta. Sesampainya di rumah, Mbok segera membantu Citra menggendong bayinya. Kepulangan Citra disambut hangat oleh orang-orang di sekitarnya. "Kanigara hobi sekali tidur, ya?" gumam Citra mengelus pipi bayinya. "Ayo dong, bangun. Mama kan pengin ajak Kanigara mengobrol," kata Citra. "Biarkan saja Kanigara tidur, Sayang," kata Sakti. "Sekarang, giliran kamu istirahat yang cukup. Kan di rumah lebih banyak yang membantu mengurus putra kita." Citra mendongak, "Tapi aku lebih suka bersama Kanigara, Andhika. Bisa tidak, dia tidur di kasur kita? Jangan di box." "Tidak," jawab Sakti. "Aku malah khawatir dia terluka. Bagaimana kalau kamu tidak sengaja menindihnya saat tidur?" goda Sakti. Citra mendelik. "Mana mungkin!" Sakti terkekeh. Ia mencubit pipi Citra gemas. Ia meraih Citra, membawa istrinya menuju ke dalam pelukannya yang erat sekaligus hangat. "Jangan bil
"Kenapa, Pak? Bu Citra kenapa?" tanya Mbok ikut panik. "Coba lihat Citra di kamar, Mbok! Dia mengeluh sakit perut," jawab Sakti. Lantas keduanya sama-sama pergi ke kamar untuk melihat kondisi Citra. "Pak, air ketuban Bu Citra sudah pecah. Cepat, bawa Bu Citra ke rumah sakit sekarang!" seru Mbok. Mendengar itu, kedua mata Sakti pun terbelalak sempurna."Pak Hasan!" teriak Sakti. Tanpa membuang waktu lama, Dia berlari keluar sambil terus memanggil supir pribadinya itu. Sedangkan Mbok menemani Citra di kamar. Sakti berlari seperti orang gila ketika memanggil sang supir. Beruntung, Pak Hasan ada di tempat sedang memanaskan mobilnya. Pak Hasan mendengar suara besar Sakti. Ia lantas menatap kemunculan Sakti di depan pintu rumah dengan setelan tidur yang masih melekat. "Lho, Pak Sakti," sapa Pak Hasan. "Ada apa teriak-teriak, Pak? Pak Sakti belum mau siap-siap ke kantor?" tanyanya. Sakti sempat kesusahan bicara karena terlalu panik. "Siapkan mobil sekarang, Pak Hasan. Istri saya ...
"Aduh," ringis Citra ketika menggerakkan kedua kakinya di atas ranjang. Sakti yang mendengar ringisan Citra, lantas menolehkan wajahnya pada istrinya itu. "Kamu kenapa, Sayang? Ada yang sakit?" Tentu saja Sakti tidak tinggal diam, pria itu berjalan mendekat ke arah ranjang, merangkak naik lalu duduk di sebelah istrinya untuk melihat keadaan sang istri lebih dekat dan memastikan apa kiranya penyebab ringis kesakitan itu.Mendengar itu, Citra pun menunjuk kakinya dengan dagunya. Sakti mengikutinya, lantas bertanya, "Kaki kamu sakit, Sayang? Mau aku pijit?" Ia malah menawari. Padahal yang dimaksud Citra bukan itu. Citra agak kesal melihat reaksi Sakti yang menurutnya kurang peka. "Bukan itu yang aku maksud, Andhika," tuturnya agar menurunkan kekesalannya. "Coba kamu lihat dulu. Kaki aku sekarang kelihatan besar banget!" Sakti mengangguk kecil. Ia sekarang paham apa maksud Citra. Ternyata Citra tadi menunjukkan ke Sakti, kalau kakinya bengkak. "Terus kenapa sih, Sayang? Apa sekarang
Daniel baru saja menyelesaikan semua pekerjaan kantornya, laki-laki itu segera membereskan semua barang-barangnya dan bergegas untuk pulang. "Tumben kayak buru-buru gitu?" komentar teman Daniel yang ada di sebelahnya.Mendengar pertanyaan itu membuat Daniel menoleh sebentar, lalu tangannya sibuk memasukkan laptopnya ke dalam tas. "Iya, nih. Lagi pengen cepet pulang aja," jawabnya.Temannya itu pun hanya menanggapinya dengan anggukan sebanyak tiga kali."Duluan ya, Bro!" seru Daniel sambil menepuk pundak temannya itu seklias, lalu melenggang pergi begitu saja.Sebenarnya Daniel tidak benar-benar langsung pulang ke rumah, sudah satu minggu ini dia rutin datang ke toko kue milik Citra. Awalnya dia datang karena Kinara pernah menyuruhnya untuk mampir, tapi sekarang seperti sudah menjadi tutinitas baru bagi Daniel setelah pulang kantor.Menurutnya, toko kue Citra terasa sangat nyaman dan membuatnya betah berlama-lama di sana. Selain itu, Daniel juga memiliki maksud lain, yaitu memastikan
Aroma kopi tercium sangat harum saat Daniel menuangkan air panas yang baru saja matang dari mesin pemanas, tinggal sendirian di apartemen membuat laki-laki itu sedikit kesepian disaat malam. Setelah mengaduk dan memastikan rasa kopinya sudah sesuai dengan keinginannya, barulah Daniel membawa secangkir kopi panas itu bersamanya."Aku pikir sedikit kafein dimalam hari bisa membantu menenangkan pikiran," gumamnya. Laki-laki itu berjalan ke arah balkon, seperti sudah menjadi rutinitas malam harinya untuk duduk di balkon sambil menikmati udara malam. Apalagi saat ini pikirannya dipenuhi oleh banyak hal, jadi balkon adalah tempat yang pas baginya untuk merilekskan semuanya.Saat menggser pintu penghubung ke balkon, Daniel langsung disambut dengan angin malam yang cukup kencang malam ini. Saat dia mendongak untuk melihat keadaan langit, benar saja malam ini sedikit mendung. Jadi malam ini tidak ada bintang dan bulan yang akan menemaninya. Daniel pun menaruh secangkir kopi panasnya di atas m
Sakti tiba di rumah sekitar pukul delapan malam. Ia harus lembur mengerjakan beberapa dokumen penting yang harus selesai dan mendapatkan persetujuannya. Di jam segini, Citra pasti tengah berada di kamar sedang menunggunya. “Apa semuanya baik-baik saja seharian ini, mbok?” tanya Sakti kepada asisten rumah tangganya. Ia sudah selesai mandi dan makan malam. Kini, ia tengah membuatkan susu cokelat untuk Citra. Ini adalah aktivitas rutin Sakti setiap malam. Baginya, ini salah satu cara untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada istri dan anak. “Iya, pak,” balas wanita paruh baya yang sudah cukup lama bekerja dengan keluarga Sakti. “Apa Citra mengeluh sakit?” Sakti tahu betul kalau istrinya itu pintar menutupi rasa sakitnya karena tidak ingin membuat dirinya khawatir dan kepikiran ketika bekerja. Maka dari itu Sakti menyuruh asisten rumah tangga di sini untuk memberikan semua informasi dan perkembangan mengenai Citra sekecil apa pun untuknya. “Tidak, pak. Hari ini ibu Citra sibuk
Di sela-sela mendengarkan perkembangan toko kuenya lewat penuturan Kinara, Citra tidak sengaja melihat Daniel yang tampak diam saja sejak kedatangan Kinara tadi. Awalnya Citra ingin meminta maaf karena kedatangan Daniel ke sini sedikit terganggu akibat Citra mementingkan pekerjaan daripada menimpali pria itu yang baru saja datang. Namun, niatnya berubah saat menyadari diamnya Daniel justru karena Kinara. Ia pun mengerling jahil. “Ekhmmm ….” Citra pura-pura terbatuk. Di balik buku laporannya, ia mencolek lengan Daniel yang duduk tidak jauh darinya. Citra mengulum senyum saat mendapati Daniel yang terperangah. Wajah pria itu merah dan salah tingkah yang membuat Citra ingin tertawa dan meledek Daniel karena terang-terangan menatap Kinara dalam waktu yang cukup lama.Sayangnya, Citra tidak ingin melakukan itu, sebab ia tidak mau nantinya baik Daniel dan Kinara sama-sama malu karena hal tersebut. “Sakti lagi di kantor ya?” tanya Daniel berusaha untuk mengalihkan keadaan setelah tertang