"Kamu tadi gak ke toilet, ya?" tanya Sakti yang perlahan membuka matanya lalu dengan hati-hati bangun dari pembaringannya."S-Saya ke toilet.""Tadi Gina bangun dan menangis, jadi aku menyusulmu. Tapi, di toilet perempuan tak ada orang sama sekali. Kamu pergi ke toilet di gedung sebelah?" tukas Sakti penuh sindiran tajam.Citra yang sudah tertangkap basah pun tentu saja sudah tidak bisa mengelak lagi. Dengan berat hati ia pun mengaku-"Saya pergi ke atap cuma karena penasaran gimana pemandangan kota kalo dari gedung tinggi.""Lagi-lagi kamu bohong.""Saya memang pergi ke atap," kilahnya."Tapi bukan untuk melihat pemandangan, kan?"Citra diam."Apa ceritaku soal Badra membuat perasaanmu terusik, Citra? Apa seharusnya aku gak pernah menceritakan tentang laki-laki itu?"Seketika, Citra pun langsung menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Bukan begitu, Andhika. Maaf karena saya meninggalkan Gina cukup lama sampai membuatnya menangis, anda pasti sangat kerepotan menenangkannya. Maafkan saya."
Agnes membeku di ambang pintu ruangan Sakti dengan setumpuk berkas yang dipeluknya. Desir perih di sudut hatinya, membuat Agnes merasakan nyeri yang tak bisa ia jabarkan lagi.Di sana, ia melihat bagaimana Sakti tengah berpelukan dengan perempuan muda yang kini sudah resmi jadi istrinya itu. Padahal Agnes pikir, kemesraan yang tanpak di publik juga pernikahan Sakti itu palsu. Agnes pikir itu hanyalah salah satu trik yang lagi-lagi digunakan Sakti untuk bisa mengalihkan perhatian dan perasaan cintanya pada Tiana. Namun, apa yang dilihatnya kali ini benar-benar mematahkan tuduhannya."O-Oh... maaf, pak Sakti. Saya lupa ngetuk pintu," ujar Agnes gugup.Seketika, pelukan Sakti lada Citra pun terurai. Citra menjauhkan dirinya dari Sakti dan memilih duduk di samping Ginata untuk mengawasi bayi itu, sedangkan Sakti justru sibuk membetulkan setelan kerjanya yang sedikit berantakan."Ada apa?" tanya Sakti tenang. Lantas kemudian ia pun bangkit berdiri dan melangkah pergi menuju meja kerjanya.
Sore menjelang malam itu, Sakti pulang ke rumah. Ia membawa beberapa bingkisan yang kemudian ia ulurkan pada Citra, setelah pria itu mendaratkan kecupan lembutnya pada kening Citra."Ini apa?" tanya Citra.Namun, Sakti tak langsung menjawab. Ia justru lebih dulu merentangkan tangannya lebar-lebar, sehingga membuat Citra diam kebingungan di tempatnya.Sakti yang melihat kebingungan di wajah Citra pun seketika berdecak sebal. "Aku minta pelukan, Citra. Bukankah kita sudah sepakat untuk hal ini?"Citra mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum kemudian melangkah memeluk Sakti erat-erat tanpa berbicara sepatah kata pun. Hanya pelukan singkat, sehingga Citra pun bergegar menjauhkan dirinya dari Sakti untuk sekadar menenangkan debar jantungnya yang masih saja belum terbiasa dengan interaksi begitu intens seperti ini."Y-Yang anda berikan ini isinya apa?" ujar Citra kembali mengulangi pertanyaannya."Soto ayam. Aku belum makan malam. Coba tolong kamu pindahkan ke piring dulu ya. Aku mau ma
Citra memakaikan pakaian berbahan rajut berwarna putih gading pada Ginata, membuat bayi itu seperti peri mungil yang suci nan polos.Hari ini hari pemotretan untuk bayi mungil itu. Seperti biasa, Sakti adalah orang pertama yang mengusulkan hal ini dan tentu paling bersemangat.Pria itu bersemangat sekali untuk mengabadikan pose-pose menggemaskan dari putrinya.Ginata dibaringkan pada sebuah sofa kecil, posenya diarahkan oleh fotografer profesional dalam bidang pemotretan bayi, lantas kemudian sesi foto itu pun dimulai."Dia seperti malaikat kecil," gumam Sakti takjub sembari tak henti-hentinya memandamg penuh cinta pada Ginata.Sementara Citra yang berdiri di samping Sakti pun hanya memandangi wajah Sakti lalu memandang ke arah Ginata secara bergantian, sebelum kemudian mengangguk kecil mengiyakan ucapan Sakti."Sastra Rahayu Ginata, dia juga bidadari kecilnya saya," gumam Citra. Ia memandangi Ginata penuh kasih untuk beberapa waktu, lalu kemudian kembali beralih memandangi wajah Sak
"Kalo pun haru mati dua kali karena terluka oleh kang Badra, setidaknya kali ini saya akan mati dengan perasaan cinta saya buat dia yang ikut terbunuh. Saya ingin balas dendam sekaligus membunuh perasaan saya sendiri, Andhika...."Seketika Sakti pun berjingkat bangun dari duduknya. Tatapannya terhadap Citra kian dingin. Rahangnya menegetat, kentara sekali kalau ia tengah menahan amarah."Kamu gak lupa statusmu sekarang, kan, Citra? Kamu juga gak lupa bagaimana ucapanku dan juga janjimu waktu itu?""Andhika, saya cuma-" Citra tak bisa melanjutkan kalimatnya ketika tiba-tiba saja Sakti beranjak naik ke atas tempat tidur dan mengambil Ginata ke dalam gendongannya."Kalo kamu memang mau menuntaskan rasa cinta kamu buat laki-laki sialan itu, pergi saja. Silakan cintai dia sesuka hatimu. Curahkan semua perasaan yang terpaksa kamu pendam lama itu, aku gak peduli lagi. Kalo kamu mulai terluka, kamu tahu kan tempat pulang kamu ke mana? Rumah ini boleh jadi tempat kamu pulang, silakan saja lak
"Andhika, kenapa nomor anda gak aktif?" tanya Citra dengan suara tercekat saat melihat Sakti akhirnya pulang di jam 9 malam dengan membawa Ginata.Seharian Citra tak makan ataupun istirahat karena rasa khawatir dan rasa bersalah yang membelenggunya. Ia bahkan tak bisa menahan air matanya saat melihat Ginata yang menggeliat dan menangis dalam gendongan Sakti, sehingga di detik itu juga ia mengambil langkah lebar menghampiri pria itu. "Gina, sayang... sini sama Mama-" Citra mengulurkan tanganya dengan niat ingin mengambil alih Ginata ke dalam gendongannya.Namun, di detik itu pula Sakti mengambil langkah mundur dan membuat gerakan menghalau Citra."Jangan mendekati anakku," tandasnya dengan nada suara yang terdengar dingin dan tajam.Ucapan yang begitu menohok hati Citra itu pun lantas seketika membeku di tempatnya dengan tangan yang mengambang di udara karena tak bisa menggapai Ginata.Dengan gemetar, Citra pun menarik kembali tangannya dan menatap sedih ke arah Sakti yang mengabaikan
Jam dinding sudah menunjukan hampir tengah malam, dan Citra tetap tak bisa tidur. Rasa ngantuknya lenyap beberapa jam lalu saat Sakti membebat tangannya yang memar menggunakan perban. Wajahnya kian pucat dan tubuhnya terasa semakin lelah, tapi ia bahkan tak bisa terlelap barang sekajap saja."Menyebalkannya, dia dan segala sikapnya malah memenuhi isi kepalaku. Padahal kamu teh gak boleh terus-terusan mikirin Andhika, Citra. Apa yang dia lakukan cuma ngobatin rasa bersalahnya aja, bukan perhatian lebih. Ucapannya yang minta kamu tetap tinggal pun cuma karena kontrak yang dibuat, dia cuma memastikan kamu gak akan kabur karena skenario dari pernikahan kontrak ini masih panjang." Citra bergumam sendiri, sembari mengusap-usap dada untuk sekadar menenangkan sekaligus menyadarkan diri. Ia hanya tak ingin berlarut-larut dalam salah paham atas sikap baik dan ucapan manis Sakti."Tapi, kalo nanti kontraknya selesai... gimana caranya mengakhiri semua ini tanpa menyakiti Gina?" gumamnya lagi ke
Setelah beberapa bulan berlalu, Citra mulai menikmati dan terbiasa dengan kehidupannya sebagai istri bayangan untuk Sakti dan jadi ibu untuk Ginata.Sekalipun pernikahan mereka hanya formalitas di atas kertas, tapi Citra cukup bahagia. Terlebih lagi ketika melihat tumbuh kembang Ginata yang mulai cerewet dan mulai bisa temgkurap, dan semua perkembangan itu tak pernah absen Citra kirimkan pada Sakti baik dalam bentuk foto atau pun video.Mereka seperti keluarga kecil yang bahagia. Walau hanya pernikahan kontrak, tapi Citra sangat bersyukur karena untuk pertama kalinya ia tahu makna pernikahan adalah ketika hidup berdampingan dengan seseorang yang kepribadiannya berbeda dari kita, tapi tetap saling menghormati dan melengkapi selayaknya teman hidup.Dering ponsel yang terdengar nyaring membuat Citra tersadar dari lamunannya. Nama Sakti tertera pada layar ponselnya, sehingga tanpa menunggu lama, ia langsung menerima panggilan itu."Halo?" sapa Citra."Aku pulang lebih awal hari ini, kamu
Sejak kepergian Daniel ke Belanda, dunia Kinara masih berputar seperti biasa, seolah eksistensi pria itu di dalam hidupnya tidak pernah ada. Meskipun begitu, Kinara tidak menampik kalau di sudut hati yang paling dalam ia merasa kosong dan kehilangan. “Kamu lembur lagi?” Salah seorang teman kerja Kinara menyemburnya dengan pertanyaan itu begitu mendapati Kinara tengah memasang hair cap di ruang ganti pegawai. Semua pegawai yang bekerja di toko kue ini wajib mengenakan pelindung kepala untuk menjaga higine dan steril kue yang dijual. “Iya, karena aku gak punya kegiatan penting di rumah. Daripada mati bosan karena rebahan terus, aku pikir lebih baik dipake kerja aja,” jawab Kinara sambil memamerkan senyum lima jarinya. Teman kerja yang umurnya setahun lebih tua dari Kinara itu hanya bisa geleng-geleng kepala takjub dengan dedikasi Kinara untuk toko kue ini. “Kalau punya waktu libur itu dipakai untuk istirahat jangan kerja saja,” sarannya wanita itu lagi. “Istirahatku cukup, kok,”
"Ini melelahkan, tapi aku tak keberatan untuk melakukannya karena aku tetap menyukai momen ini," gumam Sakti sembari menatap teduh baby Kanigara yang terlelap dengan bibir yang terus bergerak seperti sedang menyusu. Itu terlihat menggemaskan. Bayi mungkil itu sepertinya tengah bermimpi minum ASI.Menjadi seorang Ayah dari dua orang anak membuat Sakti semakin dewasa, setelah mendapatkan putri cantik seperti Ginata kini keluarga kecilnya semakin lengkap dengan kehadiran Kanigara. Sekarang dia dan juga Citra resmi menjadi orang tua dari dua anak, anak laki-laki dan perempuan. Sudah sangat lengkap.Setiap hari hati Sakti selalu diselimuti dengan rasa bahagia, setiap kali melihat perkembangan Ginata membuatnya merasa lega karena berhasil melihat tumbuh kembang putri kecilnya itu, selain itu Kanigara juga tidak lepas dari perhatiannya. Bayi kecil itu selalu berhasil membuat energinya penuh setiap kali melihat geliatan kecilnya.Seperti halnya malam ini, Sakti masih saja terjaga sambil meman
Sakti membantu Citra untuk duduk di atas kursi roda. Hari ini tepat hari kepulangan Citra ke rumah. Tentu saja Kanigara ikut serta. Sesampainya di rumah, Mbok segera membantu Citra menggendong bayinya. Kepulangan Citra disambut hangat oleh orang-orang di sekitarnya. "Kanigara hobi sekali tidur, ya?" gumam Citra mengelus pipi bayinya. "Ayo dong, bangun. Mama kan pengin ajak Kanigara mengobrol," kata Citra. "Biarkan saja Kanigara tidur, Sayang," kata Sakti. "Sekarang, giliran kamu istirahat yang cukup. Kan di rumah lebih banyak yang membantu mengurus putra kita." Citra mendongak, "Tapi aku lebih suka bersama Kanigara, Andhika. Bisa tidak, dia tidur di kasur kita? Jangan di box." "Tidak," jawab Sakti. "Aku malah khawatir dia terluka. Bagaimana kalau kamu tidak sengaja menindihnya saat tidur?" goda Sakti. Citra mendelik. "Mana mungkin!" Sakti terkekeh. Ia mencubit pipi Citra gemas. Ia meraih Citra, membawa istrinya menuju ke dalam pelukannya yang erat sekaligus hangat. "Jangan bil
"Kenapa, Pak? Bu Citra kenapa?" tanya Mbok ikut panik. "Coba lihat Citra di kamar, Mbok! Dia mengeluh sakit perut," jawab Sakti. Lantas keduanya sama-sama pergi ke kamar untuk melihat kondisi Citra. "Pak, air ketuban Bu Citra sudah pecah. Cepat, bawa Bu Citra ke rumah sakit sekarang!" seru Mbok. Mendengar itu, kedua mata Sakti pun terbelalak sempurna."Pak Hasan!" teriak Sakti. Tanpa membuang waktu lama, Dia berlari keluar sambil terus memanggil supir pribadinya itu. Sedangkan Mbok menemani Citra di kamar. Sakti berlari seperti orang gila ketika memanggil sang supir. Beruntung, Pak Hasan ada di tempat sedang memanaskan mobilnya. Pak Hasan mendengar suara besar Sakti. Ia lantas menatap kemunculan Sakti di depan pintu rumah dengan setelan tidur yang masih melekat. "Lho, Pak Sakti," sapa Pak Hasan. "Ada apa teriak-teriak, Pak? Pak Sakti belum mau siap-siap ke kantor?" tanyanya. Sakti sempat kesusahan bicara karena terlalu panik. "Siapkan mobil sekarang, Pak Hasan. Istri saya ...
"Aduh," ringis Citra ketika menggerakkan kedua kakinya di atas ranjang. Sakti yang mendengar ringisan Citra, lantas menolehkan wajahnya pada istrinya itu. "Kamu kenapa, Sayang? Ada yang sakit?" Tentu saja Sakti tidak tinggal diam, pria itu berjalan mendekat ke arah ranjang, merangkak naik lalu duduk di sebelah istrinya untuk melihat keadaan sang istri lebih dekat dan memastikan apa kiranya penyebab ringis kesakitan itu.Mendengar itu, Citra pun menunjuk kakinya dengan dagunya. Sakti mengikutinya, lantas bertanya, "Kaki kamu sakit, Sayang? Mau aku pijit?" Ia malah menawari. Padahal yang dimaksud Citra bukan itu. Citra agak kesal melihat reaksi Sakti yang menurutnya kurang peka. "Bukan itu yang aku maksud, Andhika," tuturnya agar menurunkan kekesalannya. "Coba kamu lihat dulu. Kaki aku sekarang kelihatan besar banget!" Sakti mengangguk kecil. Ia sekarang paham apa maksud Citra. Ternyata Citra tadi menunjukkan ke Sakti, kalau kakinya bengkak. "Terus kenapa sih, Sayang? Apa sekarang
Daniel baru saja menyelesaikan semua pekerjaan kantornya, laki-laki itu segera membereskan semua barang-barangnya dan bergegas untuk pulang. "Tumben kayak buru-buru gitu?" komentar teman Daniel yang ada di sebelahnya.Mendengar pertanyaan itu membuat Daniel menoleh sebentar, lalu tangannya sibuk memasukkan laptopnya ke dalam tas. "Iya, nih. Lagi pengen cepet pulang aja," jawabnya.Temannya itu pun hanya menanggapinya dengan anggukan sebanyak tiga kali."Duluan ya, Bro!" seru Daniel sambil menepuk pundak temannya itu seklias, lalu melenggang pergi begitu saja.Sebenarnya Daniel tidak benar-benar langsung pulang ke rumah, sudah satu minggu ini dia rutin datang ke toko kue milik Citra. Awalnya dia datang karena Kinara pernah menyuruhnya untuk mampir, tapi sekarang seperti sudah menjadi tutinitas baru bagi Daniel setelah pulang kantor.Menurutnya, toko kue Citra terasa sangat nyaman dan membuatnya betah berlama-lama di sana. Selain itu, Daniel juga memiliki maksud lain, yaitu memastikan
Aroma kopi tercium sangat harum saat Daniel menuangkan air panas yang baru saja matang dari mesin pemanas, tinggal sendirian di apartemen membuat laki-laki itu sedikit kesepian disaat malam. Setelah mengaduk dan memastikan rasa kopinya sudah sesuai dengan keinginannya, barulah Daniel membawa secangkir kopi panas itu bersamanya."Aku pikir sedikit kafein dimalam hari bisa membantu menenangkan pikiran," gumamnya. Laki-laki itu berjalan ke arah balkon, seperti sudah menjadi rutinitas malam harinya untuk duduk di balkon sambil menikmati udara malam. Apalagi saat ini pikirannya dipenuhi oleh banyak hal, jadi balkon adalah tempat yang pas baginya untuk merilekskan semuanya.Saat menggser pintu penghubung ke balkon, Daniel langsung disambut dengan angin malam yang cukup kencang malam ini. Saat dia mendongak untuk melihat keadaan langit, benar saja malam ini sedikit mendung. Jadi malam ini tidak ada bintang dan bulan yang akan menemaninya. Daniel pun menaruh secangkir kopi panasnya di atas m
Sakti tiba di rumah sekitar pukul delapan malam. Ia harus lembur mengerjakan beberapa dokumen penting yang harus selesai dan mendapatkan persetujuannya. Di jam segini, Citra pasti tengah berada di kamar sedang menunggunya. “Apa semuanya baik-baik saja seharian ini, mbok?” tanya Sakti kepada asisten rumah tangganya. Ia sudah selesai mandi dan makan malam. Kini, ia tengah membuatkan susu cokelat untuk Citra. Ini adalah aktivitas rutin Sakti setiap malam. Baginya, ini salah satu cara untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada istri dan anak. “Iya, pak,” balas wanita paruh baya yang sudah cukup lama bekerja dengan keluarga Sakti. “Apa Citra mengeluh sakit?” Sakti tahu betul kalau istrinya itu pintar menutupi rasa sakitnya karena tidak ingin membuat dirinya khawatir dan kepikiran ketika bekerja. Maka dari itu Sakti menyuruh asisten rumah tangga di sini untuk memberikan semua informasi dan perkembangan mengenai Citra sekecil apa pun untuknya. “Tidak, pak. Hari ini ibu Citra sibuk
Di sela-sela mendengarkan perkembangan toko kuenya lewat penuturan Kinara, Citra tidak sengaja melihat Daniel yang tampak diam saja sejak kedatangan Kinara tadi. Awalnya Citra ingin meminta maaf karena kedatangan Daniel ke sini sedikit terganggu akibat Citra mementingkan pekerjaan daripada menimpali pria itu yang baru saja datang. Namun, niatnya berubah saat menyadari diamnya Daniel justru karena Kinara. Ia pun mengerling jahil. “Ekhmmm ….” Citra pura-pura terbatuk. Di balik buku laporannya, ia mencolek lengan Daniel yang duduk tidak jauh darinya. Citra mengulum senyum saat mendapati Daniel yang terperangah. Wajah pria itu merah dan salah tingkah yang membuat Citra ingin tertawa dan meledek Daniel karena terang-terangan menatap Kinara dalam waktu yang cukup lama.Sayangnya, Citra tidak ingin melakukan itu, sebab ia tidak mau nantinya baik Daniel dan Kinara sama-sama malu karena hal tersebut. “Sakti lagi di kantor ya?” tanya Daniel berusaha untuk mengalihkan keadaan setelah tertang