"Andhika, kenapa nomor anda gak aktif?" tanya Citra dengan suara tercekat saat melihat Sakti akhirnya pulang di jam 9 malam dengan membawa Ginata.Seharian Citra tak makan ataupun istirahat karena rasa khawatir dan rasa bersalah yang membelenggunya. Ia bahkan tak bisa menahan air matanya saat melihat Ginata yang menggeliat dan menangis dalam gendongan Sakti, sehingga di detik itu juga ia mengambil langkah lebar menghampiri pria itu. "Gina, sayang... sini sama Mama-" Citra mengulurkan tanganya dengan niat ingin mengambil alih Ginata ke dalam gendongannya.Namun, di detik itu pula Sakti mengambil langkah mundur dan membuat gerakan menghalau Citra."Jangan mendekati anakku," tandasnya dengan nada suara yang terdengar dingin dan tajam.Ucapan yang begitu menohok hati Citra itu pun lantas seketika membeku di tempatnya dengan tangan yang mengambang di udara karena tak bisa menggapai Ginata.Dengan gemetar, Citra pun menarik kembali tangannya dan menatap sedih ke arah Sakti yang mengabaikan
Jam dinding sudah menunjukan hampir tengah malam, dan Citra tetap tak bisa tidur. Rasa ngantuknya lenyap beberapa jam lalu saat Sakti membebat tangannya yang memar menggunakan perban. Wajahnya kian pucat dan tubuhnya terasa semakin lelah, tapi ia bahkan tak bisa terlelap barang sekajap saja."Menyebalkannya, dia dan segala sikapnya malah memenuhi isi kepalaku. Padahal kamu teh gak boleh terus-terusan mikirin Andhika, Citra. Apa yang dia lakukan cuma ngobatin rasa bersalahnya aja, bukan perhatian lebih. Ucapannya yang minta kamu tetap tinggal pun cuma karena kontrak yang dibuat, dia cuma memastikan kamu gak akan kabur karena skenario dari pernikahan kontrak ini masih panjang." Citra bergumam sendiri, sembari mengusap-usap dada untuk sekadar menenangkan sekaligus menyadarkan diri. Ia hanya tak ingin berlarut-larut dalam salah paham atas sikap baik dan ucapan manis Sakti."Tapi, kalo nanti kontraknya selesai... gimana caranya mengakhiri semua ini tanpa menyakiti Gina?" gumamnya lagi ke
Setelah beberapa bulan berlalu, Citra mulai menikmati dan terbiasa dengan kehidupannya sebagai istri bayangan untuk Sakti dan jadi ibu untuk Ginata.Sekalipun pernikahan mereka hanya formalitas di atas kertas, tapi Citra cukup bahagia. Terlebih lagi ketika melihat tumbuh kembang Ginata yang mulai cerewet dan mulai bisa temgkurap, dan semua perkembangan itu tak pernah absen Citra kirimkan pada Sakti baik dalam bentuk foto atau pun video.Mereka seperti keluarga kecil yang bahagia. Walau hanya pernikahan kontrak, tapi Citra sangat bersyukur karena untuk pertama kalinya ia tahu makna pernikahan adalah ketika hidup berdampingan dengan seseorang yang kepribadiannya berbeda dari kita, tapi tetap saling menghormati dan melengkapi selayaknya teman hidup.Dering ponsel yang terdengar nyaring membuat Citra tersadar dari lamunannya. Nama Sakti tertera pada layar ponselnya, sehingga tanpa menunggu lama, ia langsung menerima panggilan itu."Halo?" sapa Citra."Aku pulang lebih awal hari ini, kamu
"Karena dulu saya pengen banget bisa makan kue yang ada krim dan dihias buah ceri, tapi sayangnya saya gak mampu beli.""Aku bisa beliin kamu banyak kue enak setiap hari kalo kamu mau. Kue yang lebih banyak krim dan dekorasi buahnya. Uangku bahkan cukup beli kue yang lebih mahal dari ini, kamu tinggal bilang aja, biar aku belikan."Citra terkekeh kecil."Kalo anda beliin saya kue sebesar ini tiap hari, saya bisa diabetes.""Tapi aku serius, kalo kamu mau. Aku bakal beliin kue apapun yang pengen kamu makan.""Makasih banyak. Ini pun sudah lebih dari cukup. Sebenarnya saya gak begitu suka makanan manis, tapi saya pengen banget bisa makan kue. Karena hari ini saya genap 20 tahun, jadi saya pikir untuk pertama dan terakhirnya saya pengen makan kue yang saya idam-idamkan dari dulu. Lagipula setelah usia 20 tahun, saya merasa sudah terlalu tua buat merayakan ulang tahun."Pupil mata Sakti seketika melebar setelah mendengar ucapan Citra. Sementara Citra sendiri justru mengulas senyuman manis
"Sudah siap?" tanya Sakti saat masuk ke dalam kamar Citra.Di dalam sana, Citra sudah berpenampilan rapi dengan rambut yang digerai dan beberapa helai dia jepit ke belakang. Ditambah dengan dress elegan yang dikenakannya, membuat Citra kian bertambah cantik.Begitu juga dengan Ginata yang tampak manis dengan dress bebahan tile berwarna merah muda."Iya sudah siap. Sebenarnya kita mau pergi ke mana jam 4 pagi begini?" tanya Citra seraya mengambil gendongan bayi untuk segera menggendong Ginata, tapi niatnya itu ia urungkan ketika Sakti lebih dulu mengambil alih kain gendongan itu dan meraih Ginata ke dalam gendongannya."Hari ini hari ulang tahunmu. Jadi, biar aku yang menggendong Ginata agar penampilanmu tetap rapi. Kamu harus jadi paling cantik di hari ulang tahunmu sendiri," ujarnya.Padahal Citra tak merasa keberatan sama sekali kalaupun penampilannya harus sedikit kusut karena menggendong Ginata, tapi melihat Sakti yang begitu menggemaskan ketika menggendong Ginata, membuat Citra m
"Pake ini. Udara di sinu lumayan dingin, kamu bisa masuk angin." Dengan begitu perhatian, Sakti menyampirkan selimut pada bahu Citra dan perlahan mengarahkan selimut itu untuk menutupi tubuh bagian depan Citra untuk sekadar menjauhkannya dari udara dingin yang bisa menyelusup ke dalam kulit.Sementara Citra yang mendapatkan perhatian seperti itu pun hanya diam, dan pasrah saja ketika Sakti menyelimuti tubuhnya. Pada momen itu, Citra bahkan sibuk memandangi wajah Sakti lekat-lekat, sampai sejenak ia lupa kalau perhatian seperti itu harus dianggap lumrah olehnya."Karena weekend, kita akan menginap di vila ini sampe besok," ujar Sakti menambahkan.Citra yang mendengar itu pun hanya tersenyum dan menganggukan kepalanya mengerti."Ternyata anda mengajak saya dan Gina pergi-pagi itu karena kita akan liburan di tempat sejuk ini?""Iya. Perayaan ulang tahun untukmu akan dimulai sebentar lagi," sahutnya seraya mengambil posisi duduk di samping Citra.Saat itu, keduanya duduk di balkon kamar.
Sakti mengajak Citra masuk ke dalam kamar. Keduanya pun kemudian duduk pada tepian tempat tidur dengan posisi saling berhadapan.Saat itu suasana terasa begitu canggung. Walaupun Citra pernah menikah dan ini bukanlah pengalaman pertama untuknya, tapi tetap saja... Citra merasa sangat canggung. Entah kenapa, situasi ini membuatnya merasa jauh lebih gugup dibandingkan ketika ia menghabiskan malam bersama dengan Badra."Apa kamu yakin benar-benar gak masalah melakukannya denganku?" tanya Sakti tiba-tiba. Mungkin dia hanya ingin sekadar memastikan apakah Citra keberatan atau tidak, tapi ia tak sekalipun menyadari kalau pertanyaan itu justru membuat suasana di antara mereka semakin canggung karena Citra yang pasti merasa kikuk untuk sekadar menjawabnya."Apa pertanyaan itu harus dijawab? Saya terlalu malu untuk menjawabnya."Sakti meringis ketika menyadari kesalahannya. Dalam hati, ia bahkan merutuki dirinya sendiri."Ah, aku malah merusak suasana," sesalnya sembari terus meringis. Dan s
Hanya tinggal malam ini saja waktu liburan mereka di vila ini karena besok pagi Sakti harus kembali bekerja.Waktu sudah menunjukan jam 8 malam. Setelah membaringkan Gina pada box bayi, Sakti hendak berganti pakaian dengan piyama tidurnya. Ia baru saja membuka pakaiannya bagian atas, dan hendak melepas celananya, ketika ia merasakan kalau sedari tadi ada sepasang mata yang memperhatikan dirinya.Dia menolehkan wajahnya, lantas menemukan Citra yang tengah terbaring di atas tempat tidur, tapi dengan kedua mata yang terpaku menatap ke arahnya. Sakti yang melihat Citra gelagapan dan memalingkan wajahnya ke arah lain setelah tertangkap basah pun mengurungkan niatnya sejenak untuk membuka celananya, ia memilih mengambil langkah lebar untuk mendekati Citra."Kamu mau lihat apa, hm?""Saya gak lihat apa-apa. Saya cuma melamun," kilahnya.Sakti mendengus geli, sembari mengulas senyum miringnya. "Oh melamun rupanya? Aku pikir kamu masih saja penasaran dengan bentuk tubuhku, padahal kemarin kamu
Sejak kepergian Daniel ke Belanda, dunia Kinara masih berputar seperti biasa, seolah eksistensi pria itu di dalam hidupnya tidak pernah ada. Meskipun begitu, Kinara tidak menampik kalau di sudut hati yang paling dalam ia merasa kosong dan kehilangan. “Kamu lembur lagi?” Salah seorang teman kerja Kinara menyemburnya dengan pertanyaan itu begitu mendapati Kinara tengah memasang hair cap di ruang ganti pegawai. Semua pegawai yang bekerja di toko kue ini wajib mengenakan pelindung kepala untuk menjaga higine dan steril kue yang dijual. “Iya, karena aku gak punya kegiatan penting di rumah. Daripada mati bosan karena rebahan terus, aku pikir lebih baik dipake kerja aja,” jawab Kinara sambil memamerkan senyum lima jarinya. Teman kerja yang umurnya setahun lebih tua dari Kinara itu hanya bisa geleng-geleng kepala takjub dengan dedikasi Kinara untuk toko kue ini. “Kalau punya waktu libur itu dipakai untuk istirahat jangan kerja saja,” sarannya wanita itu lagi. “Istirahatku cukup, kok,”
"Ini melelahkan, tapi aku tak keberatan untuk melakukannya karena aku tetap menyukai momen ini," gumam Sakti sembari menatap teduh baby Kanigara yang terlelap dengan bibir yang terus bergerak seperti sedang menyusu. Itu terlihat menggemaskan. Bayi mungkil itu sepertinya tengah bermimpi minum ASI.Menjadi seorang Ayah dari dua orang anak membuat Sakti semakin dewasa, setelah mendapatkan putri cantik seperti Ginata kini keluarga kecilnya semakin lengkap dengan kehadiran Kanigara. Sekarang dia dan juga Citra resmi menjadi orang tua dari dua anak, anak laki-laki dan perempuan. Sudah sangat lengkap.Setiap hari hati Sakti selalu diselimuti dengan rasa bahagia, setiap kali melihat perkembangan Ginata membuatnya merasa lega karena berhasil melihat tumbuh kembang putri kecilnya itu, selain itu Kanigara juga tidak lepas dari perhatiannya. Bayi kecil itu selalu berhasil membuat energinya penuh setiap kali melihat geliatan kecilnya.Seperti halnya malam ini, Sakti masih saja terjaga sambil meman
Sakti membantu Citra untuk duduk di atas kursi roda. Hari ini tepat hari kepulangan Citra ke rumah. Tentu saja Kanigara ikut serta. Sesampainya di rumah, Mbok segera membantu Citra menggendong bayinya. Kepulangan Citra disambut hangat oleh orang-orang di sekitarnya. "Kanigara hobi sekali tidur, ya?" gumam Citra mengelus pipi bayinya. "Ayo dong, bangun. Mama kan pengin ajak Kanigara mengobrol," kata Citra. "Biarkan saja Kanigara tidur, Sayang," kata Sakti. "Sekarang, giliran kamu istirahat yang cukup. Kan di rumah lebih banyak yang membantu mengurus putra kita." Citra mendongak, "Tapi aku lebih suka bersama Kanigara, Andhika. Bisa tidak, dia tidur di kasur kita? Jangan di box." "Tidak," jawab Sakti. "Aku malah khawatir dia terluka. Bagaimana kalau kamu tidak sengaja menindihnya saat tidur?" goda Sakti. Citra mendelik. "Mana mungkin!" Sakti terkekeh. Ia mencubit pipi Citra gemas. Ia meraih Citra, membawa istrinya menuju ke dalam pelukannya yang erat sekaligus hangat. "Jangan bil
"Kenapa, Pak? Bu Citra kenapa?" tanya Mbok ikut panik. "Coba lihat Citra di kamar, Mbok! Dia mengeluh sakit perut," jawab Sakti. Lantas keduanya sama-sama pergi ke kamar untuk melihat kondisi Citra. "Pak, air ketuban Bu Citra sudah pecah. Cepat, bawa Bu Citra ke rumah sakit sekarang!" seru Mbok. Mendengar itu, kedua mata Sakti pun terbelalak sempurna."Pak Hasan!" teriak Sakti. Tanpa membuang waktu lama, Dia berlari keluar sambil terus memanggil supir pribadinya itu. Sedangkan Mbok menemani Citra di kamar. Sakti berlari seperti orang gila ketika memanggil sang supir. Beruntung, Pak Hasan ada di tempat sedang memanaskan mobilnya. Pak Hasan mendengar suara besar Sakti. Ia lantas menatap kemunculan Sakti di depan pintu rumah dengan setelan tidur yang masih melekat. "Lho, Pak Sakti," sapa Pak Hasan. "Ada apa teriak-teriak, Pak? Pak Sakti belum mau siap-siap ke kantor?" tanyanya. Sakti sempat kesusahan bicara karena terlalu panik. "Siapkan mobil sekarang, Pak Hasan. Istri saya ...
"Aduh," ringis Citra ketika menggerakkan kedua kakinya di atas ranjang. Sakti yang mendengar ringisan Citra, lantas menolehkan wajahnya pada istrinya itu. "Kamu kenapa, Sayang? Ada yang sakit?" Tentu saja Sakti tidak tinggal diam, pria itu berjalan mendekat ke arah ranjang, merangkak naik lalu duduk di sebelah istrinya untuk melihat keadaan sang istri lebih dekat dan memastikan apa kiranya penyebab ringis kesakitan itu.Mendengar itu, Citra pun menunjuk kakinya dengan dagunya. Sakti mengikutinya, lantas bertanya, "Kaki kamu sakit, Sayang? Mau aku pijit?" Ia malah menawari. Padahal yang dimaksud Citra bukan itu. Citra agak kesal melihat reaksi Sakti yang menurutnya kurang peka. "Bukan itu yang aku maksud, Andhika," tuturnya agar menurunkan kekesalannya. "Coba kamu lihat dulu. Kaki aku sekarang kelihatan besar banget!" Sakti mengangguk kecil. Ia sekarang paham apa maksud Citra. Ternyata Citra tadi menunjukkan ke Sakti, kalau kakinya bengkak. "Terus kenapa sih, Sayang? Apa sekarang
Daniel baru saja menyelesaikan semua pekerjaan kantornya, laki-laki itu segera membereskan semua barang-barangnya dan bergegas untuk pulang. "Tumben kayak buru-buru gitu?" komentar teman Daniel yang ada di sebelahnya.Mendengar pertanyaan itu membuat Daniel menoleh sebentar, lalu tangannya sibuk memasukkan laptopnya ke dalam tas. "Iya, nih. Lagi pengen cepet pulang aja," jawabnya.Temannya itu pun hanya menanggapinya dengan anggukan sebanyak tiga kali."Duluan ya, Bro!" seru Daniel sambil menepuk pundak temannya itu seklias, lalu melenggang pergi begitu saja.Sebenarnya Daniel tidak benar-benar langsung pulang ke rumah, sudah satu minggu ini dia rutin datang ke toko kue milik Citra. Awalnya dia datang karena Kinara pernah menyuruhnya untuk mampir, tapi sekarang seperti sudah menjadi tutinitas baru bagi Daniel setelah pulang kantor.Menurutnya, toko kue Citra terasa sangat nyaman dan membuatnya betah berlama-lama di sana. Selain itu, Daniel juga memiliki maksud lain, yaitu memastikan
Aroma kopi tercium sangat harum saat Daniel menuangkan air panas yang baru saja matang dari mesin pemanas, tinggal sendirian di apartemen membuat laki-laki itu sedikit kesepian disaat malam. Setelah mengaduk dan memastikan rasa kopinya sudah sesuai dengan keinginannya, barulah Daniel membawa secangkir kopi panas itu bersamanya."Aku pikir sedikit kafein dimalam hari bisa membantu menenangkan pikiran," gumamnya. Laki-laki itu berjalan ke arah balkon, seperti sudah menjadi rutinitas malam harinya untuk duduk di balkon sambil menikmati udara malam. Apalagi saat ini pikirannya dipenuhi oleh banyak hal, jadi balkon adalah tempat yang pas baginya untuk merilekskan semuanya.Saat menggser pintu penghubung ke balkon, Daniel langsung disambut dengan angin malam yang cukup kencang malam ini. Saat dia mendongak untuk melihat keadaan langit, benar saja malam ini sedikit mendung. Jadi malam ini tidak ada bintang dan bulan yang akan menemaninya. Daniel pun menaruh secangkir kopi panasnya di atas m
Sakti tiba di rumah sekitar pukul delapan malam. Ia harus lembur mengerjakan beberapa dokumen penting yang harus selesai dan mendapatkan persetujuannya. Di jam segini, Citra pasti tengah berada di kamar sedang menunggunya. “Apa semuanya baik-baik saja seharian ini, mbok?” tanya Sakti kepada asisten rumah tangganya. Ia sudah selesai mandi dan makan malam. Kini, ia tengah membuatkan susu cokelat untuk Citra. Ini adalah aktivitas rutin Sakti setiap malam. Baginya, ini salah satu cara untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada istri dan anak. “Iya, pak,” balas wanita paruh baya yang sudah cukup lama bekerja dengan keluarga Sakti. “Apa Citra mengeluh sakit?” Sakti tahu betul kalau istrinya itu pintar menutupi rasa sakitnya karena tidak ingin membuat dirinya khawatir dan kepikiran ketika bekerja. Maka dari itu Sakti menyuruh asisten rumah tangga di sini untuk memberikan semua informasi dan perkembangan mengenai Citra sekecil apa pun untuknya. “Tidak, pak. Hari ini ibu Citra sibuk
Di sela-sela mendengarkan perkembangan toko kuenya lewat penuturan Kinara, Citra tidak sengaja melihat Daniel yang tampak diam saja sejak kedatangan Kinara tadi. Awalnya Citra ingin meminta maaf karena kedatangan Daniel ke sini sedikit terganggu akibat Citra mementingkan pekerjaan daripada menimpali pria itu yang baru saja datang. Namun, niatnya berubah saat menyadari diamnya Daniel justru karena Kinara. Ia pun mengerling jahil. “Ekhmmm ….” Citra pura-pura terbatuk. Di balik buku laporannya, ia mencolek lengan Daniel yang duduk tidak jauh darinya. Citra mengulum senyum saat mendapati Daniel yang terperangah. Wajah pria itu merah dan salah tingkah yang membuat Citra ingin tertawa dan meledek Daniel karena terang-terangan menatap Kinara dalam waktu yang cukup lama.Sayangnya, Citra tidak ingin melakukan itu, sebab ia tidak mau nantinya baik Daniel dan Kinara sama-sama malu karena hal tersebut. “Sakti lagi di kantor ya?” tanya Daniel berusaha untuk mengalihkan keadaan setelah tertang