Sakti mengajak Citra masuk ke dalam kamar. Keduanya pun kemudian duduk pada tepian tempat tidur dengan posisi saling berhadapan.Saat itu suasana terasa begitu canggung. Walaupun Citra pernah menikah dan ini bukanlah pengalaman pertama untuknya, tapi tetap saja... Citra merasa sangat canggung. Entah kenapa, situasi ini membuatnya merasa jauh lebih gugup dibandingkan ketika ia menghabiskan malam bersama dengan Badra."Apa kamu yakin benar-benar gak masalah melakukannya denganku?" tanya Sakti tiba-tiba. Mungkin dia hanya ingin sekadar memastikan apakah Citra keberatan atau tidak, tapi ia tak sekalipun menyadari kalau pertanyaan itu justru membuat suasana di antara mereka semakin canggung karena Citra yang pasti merasa kikuk untuk sekadar menjawabnya."Apa pertanyaan itu harus dijawab? Saya terlalu malu untuk menjawabnya."Sakti meringis ketika menyadari kesalahannya. Dalam hati, ia bahkan merutuki dirinya sendiri."Ah, aku malah merusak suasana," sesalnya sembari terus meringis. Dan s
Hanya tinggal malam ini saja waktu liburan mereka di vila ini karena besok pagi Sakti harus kembali bekerja.Waktu sudah menunjukan jam 8 malam. Setelah membaringkan Gina pada box bayi, Sakti hendak berganti pakaian dengan piyama tidurnya. Ia baru saja membuka pakaiannya bagian atas, dan hendak melepas celananya, ketika ia merasakan kalau sedari tadi ada sepasang mata yang memperhatikan dirinya.Dia menolehkan wajahnya, lantas menemukan Citra yang tengah terbaring di atas tempat tidur, tapi dengan kedua mata yang terpaku menatap ke arahnya. Sakti yang melihat Citra gelagapan dan memalingkan wajahnya ke arah lain setelah tertangkap basah pun mengurungkan niatnya sejenak untuk membuka celananya, ia memilih mengambil langkah lebar untuk mendekati Citra."Kamu mau lihat apa, hm?""Saya gak lihat apa-apa. Saya cuma melamun," kilahnya.Sakti mendengus geli, sembari mengulas senyum miringnya. "Oh melamun rupanya? Aku pikir kamu masih saja penasaran dengan bentuk tubuhku, padahal kemarin kamu
"Happy Valentine days, Tiana. Hari kasih sayang tak melulu soal 14 februari karena aku menyayangimu setiap hari. Aku selalu mencintaimu seumur hidupku, semoga kamu bahagia di surganya Tuhan."Semua kalimat itu Sakti ucapkan begitu tulus, walaupun nada sendu terselip dalam suaranya. Ia berlutut di atas pusara Tiana, lantas menaruh rangkaian bunga baby breath putih dan tulip ungu itu tepat di dekat potret mendiang."Aku membawa Ginata. Namanya Sastra Rahayu Ginata, nama yang cantik bukan? Sama seperti orangnya. Kamu melahirkan bayi yang cantik, Tiana," tambahnya. Kali ini ia mengarahkan tangan mungil Ginata untuk menaruh buket kecilnya ke atas pusara yang sama.Sedangkan di sisi lain, Citra yang baru saja selesai berdoa dan menaruh buket bunga itu ke atas pusara anaknya pun hanya bisa diam di tempatnya, ketika mendengar semua ucapan Sakti di depan pusara Tiana.Dia sangat mencintai mendiang istrinya. Gumam Citra dalam hatinya.Citra merasa getir. Sebab, apa yang terjadi kemarin membuatn
"Sayang," panggil Badra saat masuk ke dalam rumah besar yang dihuninya bersama Vina setelah menikah.Dengan perasaan lelah karena seharian dipaksa bekerja di pabrik beras milik orang tua Vina, Badra pun menghempaskan tubuhnya ke atas sofa dan berbaring terlentang di sana untuk sekadar kembali merilekskan otot-otot tubuhnya yang tegang setelah melakukan pekerjaan berat."Sayang," ulangnya. Kali ini dia melirik ke arah Vina yang justru terlihat santai menonton TV sambil memakan camilannya. "Kamu gak denger kah?"Vina mendelik malas lalu menoleh untuk beberapa saat, sebelum kemudian kembali fokus menonton Tv."Apa sih Yang? Aku di depan kamu loh gak harus manggil-mangil kayak gitu. Tinggal bilang aja mau apa," sahut Vina ketus. Kedua alisnya bahkan saling bertautan tajam, kentara sekali kalau ia sangat kesal pada Badra.Mendengar hal itu, Badra pun tersulut emosi, tapi ia sekuat tenaga menahan amarahnya itu. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan untuk sekadar menenan
"Apa kalian baik-baik saja di rumah, walau tanpaku?" tanya Sakti pada Citra yang berada di seberang telepon sana.Di tengah-tengah perjalanannya menuju luar kota, Sakti menyegerakan menelepon Citra untuk sekadar menuntaskan rasa risaunya karena untuk pertama kalinya ia harus meninggalkan istri dan anaknya di rumah sendirian untuk waktu beberapa hari kedepan."Iya kami baik-baik saja. Gina baru saja tidur," jawab Citra.Sakti pun menghela napas lega dan resah di waktu bersamaan. "Apa benar-benar tak masalah kalo aku meninggalkan kalian selama berhari-hari, bagaimana kalo kamu butuh bantuan sesegera mungkin?""Saya dan Gina akan baik-baik saja. Anda jangan terlalu khawatir, di sini ada pak Johan, supir anda yang bisa saya mintai tolong kalo perlu sesuatu. Anda cukup selesaikan pekerjaannya, lalu pulang dengan sehat ke rumah," ujar Citra di seberang telepon sana untuk sekadar menenangkan Sakti.Lagi-lagi Sakti menghela napas berat. "Baiklah, aku percaya padamu. Kalo ada apa-apa segera min
"Besok pagi aku akan pulang, jadi padatkan semua pekerjaan hari ini juga dan untuk yang lainnya tolong konfirmasi memundurkan jadwal dari sekarang juga," pinta Sakti begitu tergesa-gesa.Kepanikan dan kekhawatiran besar bahkan tampak begitu jelas di wajah Sakti, dan hal itu membuat Agnes seketika merasa kesal."Kamu bilang harus kerja profesional, tapi kamu sendiri malah ngebuat keputusan mendadak kayak gini. Gimana caranya coba aku bilang ke klien kalo jadwal dimundurkan secara tiba-tiba, bahkan untuk waktu yang gak pasti?" tegurnya sarat akan kemaran yang tak terbendung lagi. Untuk sersekian detik Agnes tak sekalipun menyadari sikap kasarnya, sampai ketika ia menyadari sorot marah dari Sakti, ia pun bergegas mengoreksi kesalahannya itu. "Baiklah, aku akan memberikan pengertian pada klien yang lain kalau kamu tidak bisa menemui mereka sesuai jadwal. Tapi, kalo mereka tidak mau mengerti, itu bukan salahku.""Terserah. Pergilah ke kamarmu, aku harus bersiap-siap untuk pekerjaan berikut
"Baik pak. Pasti khawatir banget sama istri ya pak. Aduuuh pasangan muda memang lagi manis-manisnya, saya juga jadi keinget pas awal-awal pernikahan sama istri saya. Cuma karena kami dijodohkan, manis-manisnya cuma terasa beberapa kali aja dan selebihnya cuma bertengkar, saling tak peduli satu sama lain. Saya juga mengabaikan istri saya, sampe pas istri meninggal baru kerasa penyesalannya. Baru sadar juga kalo saya sayang sama istri saya. Saya merasa kehilangan mendalam, kadang rindu istri, tapi semuanya udah terlambat," ujar sang sopir yang kira-kira berusia sekitar 40 tahun lebih itu begitu blak-blakan, sebelum akhirnya tersadar dan menggaruk tengkuknya dengan malu-malu. "Aduh, maaf ya. Saya malah jadi curhat."Sakti melirik ke arah kaca spion yang berada di atas kepala sopir itu, lantas ia pun mengulas senyum simpul."Gak apa-apa, pak. Silakan saja," sahut Sakti dengan begitu ramahnya. Bukan apa-apa, tapi dari suara pak sopir itu ketika bercerita Sakti bisa mendengar begitu jelas a
Citra perlahan membuka matanya, saat merasakan tangannya keram karena ditindih sesuatu yang terasa membara. Dan ketika matanya terbuka sempurna, rasa pening dan berdenyut seketika mendera kepalanya, membuatnya memicingkan mata dan meringis."Andhika," cicitnya lirih saat samar-samar ia melihat seorang pria yang punya ciri-ciri seperti Andhika tengah tidur terduduk di sampingnya dengan kepala yang menindih salah satu tangannya.Citra butuh waktu beberapa saat untuk mengerjapkan matanya, dan ketika pandangannya mulai jelas, ia pun mulai bisa menghela napas lega. Ia tak salah lihat, itu memang benar-benar Sakti."Andhika," panggilnya lagi.Perlahan, bahu Sakti pun tampak bergerak dan di detik itu juga ia mulai terbangun dan mengangkat kepalanya untuk kemudian menoleh menatap Citra dengan tatapan mata yang sayu."Kamu sudah bangun? Mau makan sesuatu?" tanya Sakti seraya mengulurkan tangannya pada kening Citra untuk sekadar suhu tubuh istrinya itu.Saat dirasa sudah lebih membaik, Sakti pu
Sejak kepergian Daniel ke Belanda, dunia Kinara masih berputar seperti biasa, seolah eksistensi pria itu di dalam hidupnya tidak pernah ada. Meskipun begitu, Kinara tidak menampik kalau di sudut hati yang paling dalam ia merasa kosong dan kehilangan. “Kamu lembur lagi?” Salah seorang teman kerja Kinara menyemburnya dengan pertanyaan itu begitu mendapati Kinara tengah memasang hair cap di ruang ganti pegawai. Semua pegawai yang bekerja di toko kue ini wajib mengenakan pelindung kepala untuk menjaga higine dan steril kue yang dijual. “Iya, karena aku gak punya kegiatan penting di rumah. Daripada mati bosan karena rebahan terus, aku pikir lebih baik dipake kerja aja,” jawab Kinara sambil memamerkan senyum lima jarinya. Teman kerja yang umurnya setahun lebih tua dari Kinara itu hanya bisa geleng-geleng kepala takjub dengan dedikasi Kinara untuk toko kue ini. “Kalau punya waktu libur itu dipakai untuk istirahat jangan kerja saja,” sarannya wanita itu lagi. “Istirahatku cukup, kok,”
"Ini melelahkan, tapi aku tak keberatan untuk melakukannya karena aku tetap menyukai momen ini," gumam Sakti sembari menatap teduh baby Kanigara yang terlelap dengan bibir yang terus bergerak seperti sedang menyusu. Itu terlihat menggemaskan. Bayi mungkil itu sepertinya tengah bermimpi minum ASI.Menjadi seorang Ayah dari dua orang anak membuat Sakti semakin dewasa, setelah mendapatkan putri cantik seperti Ginata kini keluarga kecilnya semakin lengkap dengan kehadiran Kanigara. Sekarang dia dan juga Citra resmi menjadi orang tua dari dua anak, anak laki-laki dan perempuan. Sudah sangat lengkap.Setiap hari hati Sakti selalu diselimuti dengan rasa bahagia, setiap kali melihat perkembangan Ginata membuatnya merasa lega karena berhasil melihat tumbuh kembang putri kecilnya itu, selain itu Kanigara juga tidak lepas dari perhatiannya. Bayi kecil itu selalu berhasil membuat energinya penuh setiap kali melihat geliatan kecilnya.Seperti halnya malam ini, Sakti masih saja terjaga sambil meman
Sakti membantu Citra untuk duduk di atas kursi roda. Hari ini tepat hari kepulangan Citra ke rumah. Tentu saja Kanigara ikut serta. Sesampainya di rumah, Mbok segera membantu Citra menggendong bayinya. Kepulangan Citra disambut hangat oleh orang-orang di sekitarnya. "Kanigara hobi sekali tidur, ya?" gumam Citra mengelus pipi bayinya. "Ayo dong, bangun. Mama kan pengin ajak Kanigara mengobrol," kata Citra. "Biarkan saja Kanigara tidur, Sayang," kata Sakti. "Sekarang, giliran kamu istirahat yang cukup. Kan di rumah lebih banyak yang membantu mengurus putra kita." Citra mendongak, "Tapi aku lebih suka bersama Kanigara, Andhika. Bisa tidak, dia tidur di kasur kita? Jangan di box." "Tidak," jawab Sakti. "Aku malah khawatir dia terluka. Bagaimana kalau kamu tidak sengaja menindihnya saat tidur?" goda Sakti. Citra mendelik. "Mana mungkin!" Sakti terkekeh. Ia mencubit pipi Citra gemas. Ia meraih Citra, membawa istrinya menuju ke dalam pelukannya yang erat sekaligus hangat. "Jangan bil
"Kenapa, Pak? Bu Citra kenapa?" tanya Mbok ikut panik. "Coba lihat Citra di kamar, Mbok! Dia mengeluh sakit perut," jawab Sakti. Lantas keduanya sama-sama pergi ke kamar untuk melihat kondisi Citra. "Pak, air ketuban Bu Citra sudah pecah. Cepat, bawa Bu Citra ke rumah sakit sekarang!" seru Mbok. Mendengar itu, kedua mata Sakti pun terbelalak sempurna."Pak Hasan!" teriak Sakti. Tanpa membuang waktu lama, Dia berlari keluar sambil terus memanggil supir pribadinya itu. Sedangkan Mbok menemani Citra di kamar. Sakti berlari seperti orang gila ketika memanggil sang supir. Beruntung, Pak Hasan ada di tempat sedang memanaskan mobilnya. Pak Hasan mendengar suara besar Sakti. Ia lantas menatap kemunculan Sakti di depan pintu rumah dengan setelan tidur yang masih melekat. "Lho, Pak Sakti," sapa Pak Hasan. "Ada apa teriak-teriak, Pak? Pak Sakti belum mau siap-siap ke kantor?" tanyanya. Sakti sempat kesusahan bicara karena terlalu panik. "Siapkan mobil sekarang, Pak Hasan. Istri saya ...
"Aduh," ringis Citra ketika menggerakkan kedua kakinya di atas ranjang. Sakti yang mendengar ringisan Citra, lantas menolehkan wajahnya pada istrinya itu. "Kamu kenapa, Sayang? Ada yang sakit?" Tentu saja Sakti tidak tinggal diam, pria itu berjalan mendekat ke arah ranjang, merangkak naik lalu duduk di sebelah istrinya untuk melihat keadaan sang istri lebih dekat dan memastikan apa kiranya penyebab ringis kesakitan itu.Mendengar itu, Citra pun menunjuk kakinya dengan dagunya. Sakti mengikutinya, lantas bertanya, "Kaki kamu sakit, Sayang? Mau aku pijit?" Ia malah menawari. Padahal yang dimaksud Citra bukan itu. Citra agak kesal melihat reaksi Sakti yang menurutnya kurang peka. "Bukan itu yang aku maksud, Andhika," tuturnya agar menurunkan kekesalannya. "Coba kamu lihat dulu. Kaki aku sekarang kelihatan besar banget!" Sakti mengangguk kecil. Ia sekarang paham apa maksud Citra. Ternyata Citra tadi menunjukkan ke Sakti, kalau kakinya bengkak. "Terus kenapa sih, Sayang? Apa sekarang
Daniel baru saja menyelesaikan semua pekerjaan kantornya, laki-laki itu segera membereskan semua barang-barangnya dan bergegas untuk pulang. "Tumben kayak buru-buru gitu?" komentar teman Daniel yang ada di sebelahnya.Mendengar pertanyaan itu membuat Daniel menoleh sebentar, lalu tangannya sibuk memasukkan laptopnya ke dalam tas. "Iya, nih. Lagi pengen cepet pulang aja," jawabnya.Temannya itu pun hanya menanggapinya dengan anggukan sebanyak tiga kali."Duluan ya, Bro!" seru Daniel sambil menepuk pundak temannya itu seklias, lalu melenggang pergi begitu saja.Sebenarnya Daniel tidak benar-benar langsung pulang ke rumah, sudah satu minggu ini dia rutin datang ke toko kue milik Citra. Awalnya dia datang karena Kinara pernah menyuruhnya untuk mampir, tapi sekarang seperti sudah menjadi tutinitas baru bagi Daniel setelah pulang kantor.Menurutnya, toko kue Citra terasa sangat nyaman dan membuatnya betah berlama-lama di sana. Selain itu, Daniel juga memiliki maksud lain, yaitu memastikan
Aroma kopi tercium sangat harum saat Daniel menuangkan air panas yang baru saja matang dari mesin pemanas, tinggal sendirian di apartemen membuat laki-laki itu sedikit kesepian disaat malam. Setelah mengaduk dan memastikan rasa kopinya sudah sesuai dengan keinginannya, barulah Daniel membawa secangkir kopi panas itu bersamanya."Aku pikir sedikit kafein dimalam hari bisa membantu menenangkan pikiran," gumamnya. Laki-laki itu berjalan ke arah balkon, seperti sudah menjadi rutinitas malam harinya untuk duduk di balkon sambil menikmati udara malam. Apalagi saat ini pikirannya dipenuhi oleh banyak hal, jadi balkon adalah tempat yang pas baginya untuk merilekskan semuanya.Saat menggser pintu penghubung ke balkon, Daniel langsung disambut dengan angin malam yang cukup kencang malam ini. Saat dia mendongak untuk melihat keadaan langit, benar saja malam ini sedikit mendung. Jadi malam ini tidak ada bintang dan bulan yang akan menemaninya. Daniel pun menaruh secangkir kopi panasnya di atas m
Sakti tiba di rumah sekitar pukul delapan malam. Ia harus lembur mengerjakan beberapa dokumen penting yang harus selesai dan mendapatkan persetujuannya. Di jam segini, Citra pasti tengah berada di kamar sedang menunggunya. “Apa semuanya baik-baik saja seharian ini, mbok?” tanya Sakti kepada asisten rumah tangganya. Ia sudah selesai mandi dan makan malam. Kini, ia tengah membuatkan susu cokelat untuk Citra. Ini adalah aktivitas rutin Sakti setiap malam. Baginya, ini salah satu cara untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada istri dan anak. “Iya, pak,” balas wanita paruh baya yang sudah cukup lama bekerja dengan keluarga Sakti. “Apa Citra mengeluh sakit?” Sakti tahu betul kalau istrinya itu pintar menutupi rasa sakitnya karena tidak ingin membuat dirinya khawatir dan kepikiran ketika bekerja. Maka dari itu Sakti menyuruh asisten rumah tangga di sini untuk memberikan semua informasi dan perkembangan mengenai Citra sekecil apa pun untuknya. “Tidak, pak. Hari ini ibu Citra sibuk
Di sela-sela mendengarkan perkembangan toko kuenya lewat penuturan Kinara, Citra tidak sengaja melihat Daniel yang tampak diam saja sejak kedatangan Kinara tadi. Awalnya Citra ingin meminta maaf karena kedatangan Daniel ke sini sedikit terganggu akibat Citra mementingkan pekerjaan daripada menimpali pria itu yang baru saja datang. Namun, niatnya berubah saat menyadari diamnya Daniel justru karena Kinara. Ia pun mengerling jahil. “Ekhmmm ….” Citra pura-pura terbatuk. Di balik buku laporannya, ia mencolek lengan Daniel yang duduk tidak jauh darinya. Citra mengulum senyum saat mendapati Daniel yang terperangah. Wajah pria itu merah dan salah tingkah yang membuat Citra ingin tertawa dan meledek Daniel karena terang-terangan menatap Kinara dalam waktu yang cukup lama.Sayangnya, Citra tidak ingin melakukan itu, sebab ia tidak mau nantinya baik Daniel dan Kinara sama-sama malu karena hal tersebut. “Sakti lagi di kantor ya?” tanya Daniel berusaha untuk mengalihkan keadaan setelah tertang