Dentuman musik terdengar menggema di ruangan dengan cahaya meremang. Botol minuman tampak berserakan di meja bersama piring dengan sisa camilan maupun buah.
Seorang gadis berpakaian seksi tampak menari di tengah ruangan, meliukkan tubuh indahnya mengikuti musik yang berdentum keras.
Seorang pria juga tampak bersama gadis itu, menari seraya memegangi pinggang ramping gadis itu dari belakang, bahkan sesekali mengusap hingga ke bagian perut dan paha. Dada pria itu menempel pada punggung gadis yang pakaiannya sedikit terbuka di bagian belakang, sesekali mencium pundak dan leher dengan tubuh bergerak mengikuti irama musik.
“Setelah ini, apa yang ingin kamu lakukan, hm?” tanya Pria itu sedikit keras karena suaranya tersamarkan dengan dentuman musik yang menggema.
Gadis itu berhenti menari, menyelipkan rambut ke telinga seolah ingin mendengar apa yang dikatakan oleh pria yang bersamanya.
“Hah? Apa yang kamu katakan?” tanya balik gadis itu setengah berteriak.
“Apa yang mau kamu lakukan setelah ini? Apa kita perlu memesan kamar?” Pria itu menjawab dengan pertanyaan dan suara yang keras.
Gadis itu tersenyum miring, lantas membalikkan badan dan berhadapan dengan pria tadi. Dia merangkulkan kedua lengan ke leher pria itu, lantas mendekatkan wajah mereka hingga jarak hanya sejengkal.
Gadis itu tanpa sungkan menyambar bibir pria itu, melumat dan menyesap berulang kali yang tentunya mendapatkan balasan dari lawannya. Gadis itu melepas pagutan bibir, menatap sang pria dengan senyum manis yang membuat pria mana pun akan tergila-gila padanya.
“Aku hanya ingin bersenang-senang, malam ini sampai pagi. Tapi ….” Belum juga gadis itu melanjutkan ucapan, ponsel yang berada di saku belakang rok mininya bergetar.
“Siapa sih yang menghubungi?” Gadis itu menggerutu, lantas mengambil ponsel yang tak berhenti bergetar.
“Tunggu sebentar!” ujar gadis itu pada sang pria.
Pria itu hanya mengangguk, kemudian memilih kembali ke sofa menunggu gadis yang bersamanya selesai menjawab panggilan.
Gadis itu sedikit merapat ke dinding, kemudian menjawab panggilan dari temannya.
“Halo, Rosie! Ada apa?” tanya gadis itu dengan ponsel menempel di telinga kanan, sedangkan telinga kiri ditutup menggunakan tangan satunya agar bisa mendengar dengan jelas.
“Selena, pergi dari sana sekarang!” Suara gadis yang dipanggil Rosie itu terdengar panik.
Selena—gadis yang menari bersama pria itu menggosok telinga kanan setelah menjauhkan ponsel dari telinga, merasa jika temannya berteriak begitu kencang. Dia lantas kembali menempelkan ponsel ke telinga, kemudian menanggapi ucapan temannya yang panik.
“Tenang, Rosie. Ada apa, hm?” tanya gadis bernama Selena itu santai.
“Alex menuju ke ruanganmu, dia naik menggunakan lift. Pergi dari sana, atau habis sudah kesenanganmu!” teriak Rosie dari seberang panggilan dengan suara melengking begitu keras.
“Apa?” Gadis bernama Selena itu berteriak dengan bola mata membulat. Seketika dia seperti orang yang hampir ketahuan sedang ingin mencuri. Selena mau berlari ke mana tapi tak tahu karena bingung, hingga membuatnya malah berjalan ke kanan dan kiri tapi urung.
“Ada apa?” Pria yang bersama Selena mematikan musik, lantas menatap gadis yang bersamanya itu sedang kebingungan.
Selena menghampiri pria tadi, lantas mendaratkan sebuah kecupan di bibir dengan tangan menyambar jaket yang berada di sandaran sofa.
“Baby, aku harus pergi. Kita ketemu besok lagi, oke!”
“Tapi ….” Pria itu ingin mencegah, tapi urung karena gadis yang belum selesai bersenang-senang dengannya itu malah kabur duluan. “Sialan! Padahal aku sudah berfantasi dengan tubuhnya!” gerutu pria itu sambil mengguyar kasar rambut ke belakang, menatap punggung Selena yang lari kalang kabut seperti dikejar setan.
Selena langsung memakai jaketnya sambil berjalan dengan setengah berlari, menyibakkan rambut panjangnya hingga tergerai ke belakang, kemudian mengambil langkah seribu untuk segera meninggalkan ruangan tempatnya bersenang-senang tadi.
“Mati aku!” Selena pergi dengan wajah panik.
Selena hendak berjalan ke arah lift, tapi urung saat mengingat jika temannya berkata kalau pria bernama Alex naik menggunakan lift. Akhirnya Selena pergi ke pintu darurat, melihat banyaknya anak tangga yang harus dilewati agar bisa sampai di lantai satu.
“Agh!!! Kenapa nasibku sangat sial!” umpat Selena kesal sendiri.
Dia melepas kedua highheels, kemudian mulai menuruni anak tangga yang berjumlah ratusan mungkin ribuan. Bagaimana tidak? Dia berada di lantai tujuh, tentu saja akan banyak anak tangga yang harus dipijak agar dirinya bisa sampai ke lantai dasar.
“Kenapa dia selalu membawa kesialan untukku?” Selena menggerutu sambil terus menuruni anak tangga dengan setengah berlari.
Di lantai bawah, tepatnya di depan pintu darurat lantai satu. Seorang pria bertubuh tegap dan tinggi, terlihat bersedekap dada menatap seorang gadis yang berdiri di depannya. Pria itu tak menunjukkan ekspresi wajah apa pun, begitu datar seperti televisi flat yang tak memiliki sebuah cekungan atau cembungan.
“Aku sudah melakukan apa yang kamu minta, apa aku boleh pergi?” tanya gadis itu antara takut dan kagum dengan pria di hadapannya.
“Kamu sudah pastikan dia turun lewat tangga darurat?” tanya pria bernama Alex itu dengan suara datar.
“Sudah,” jawab gadis bernama Rosie itu dengan senyum lebar. “Bukankah kamu tadi dengar, kalau aku berkata jika kamu naik menggunakan lift. Aku yakin seyakin-yakinnya jika Selena akan turun lewat tangga darurat,” imbuh gadis itu meyakinkan, ingin hendak lepas dari pria sedingin es dan sekaku papan triplek.
Alex menggerakkan telapak tangan di udara sebagai isyarat mengusir, tak peduli lagi dengan gadis itu karena tujuan utamanya ke sana adalah gadis bernama Selena.
Rosie tersenyum lebar, hingga kemudian mengambil langkah seribu untuk kabur dari hadapan pria bernama Alex. Pria tampan yang memiliki rahang kuat, dengan mata sedikit sipit tapi tak menghalangi tatapan tajamnya.
Alex menunggu beberapa saat, hingga kemudian memandang arloji yang melingkar di pergelangan tangan, lantas mulai berhitung, memperkirakan kapan gadis bernama Selena itu akan sampai.
“Lima, empat, tiga, dua, satu.” Benar saja, pada hitungan terakhir, pintu darurat yang berada di depan Alex terbuka.
Selena dengan napas tersengal keluar dari sana, membungkuk dan mengambil udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi stok napas di paru-paru karena hampir habis sebab dirinya harus melewati ribuan anak tangga.
“Sialan!” umpat Selena kesal dengan napas masih terengah.
“Apa yang sialan?”
Suara yang dikenal mengejutkan Selena, gadis itu tak sadar jika ada seseorang yang berdiri di depannya. Seseorang yang sejak tadi dihindarinya, hingga rela turun lewat tangga darurat.
Selena mencoba mendongak dengan badan masih membungkuk, kesialan memang sedang datang mengerjainya, niat hati menghindar malah kini tertangkap. Membuatnya geram, karena sadar jika temannya bersekongkol dengan pria bernama Alex untuk menangkapnya.
“Mau ke mana lagi kamu, hah? Jangan harap bisa kabur lagi!” Alex meraih pergelangan tangan Selena, sebelum kemudian mengangkat tubuh gadis itu lantas memanggulnya di pundak.
Selena yang masih dalam kondisi syok, lantas berteriak dengan keras karena terkejut.
“Alex! Sialan! Turunkan!” teriak Selena berulang, memberontak agar bisa turun dari pundak pria bertubuh kekar itu. Bahkan sampai memukul punggung lebar pria yang memanggulnya seenak hati.
“Mengumpatlah sesukamu! Tapi aku takkan melepasmu!” balas pria berwajah datar itu santai, lantas mengayunkan kaki dengan santai menuju area parkir.
“Alex sialan! Rosie pengkhianat!” teriak Selena yang kesal.
Suara teriakan melengking itu membuat siapapun yang mendengar langsung menoleh. Namun, pria yang sedang menggendong gadis berumur dua puluh enam tahun itu tak peduli dan terus mengayunkan langkah.“Alex! Turunin!” teriak Selena masih berusaha turun dari gendongan Alex.Pria berwajah tampan dengan tatapan dingin itu berhenti di dekat mobil berwarna hitam. Lantas menurunkan dengan kasar gadis bernama Selena dan merapatkan gadis itu ke body mobil. Alex lantas bersedekap dada menatap gadis yang kini berdiri sedikit sempoyongan, entah karena pusing digendong Alex dengan posisi kepala terbalik atau mabuk karena pengaruh alkohol.“Aku membencimu!” umpat Selena yang kesal.“Aku lebih membencimu,” balas Alex santai masih menatap Selena yang sedikit mabuk.“Aku kesal karena kamu selalu mengganggu kesenanganku!” teriak Selena gemas, sampai meremas udara di depan wajah Alex dengan kedua telapak tangannya.“Aku lebih kesal lagi karena harus mengurus bayi besar sepertimu,” balas Alex masih memasang
Alex mengemudikan mobil membelah jalanan kota yang gelap dan hanya berpenerang lampu jalanan yang temaram. Dia sesekali melirik ke kursi samping kemudi di mana Selena ternyata tertidur pulas karena mabuk. Alex menggeleng kepala pelan, sebelum kemudian memacu mobil menuju kediaman keluarga Steward—Keluarga Selena.Mobil sedan hitam itu sampai di mansion besar bernuansa klasik. Seorang penjaga rumah membuka gerbang yang menjulang tinggi menghalau dunia luar dari mansion itu. Alex menekan klakson dua kali saat akan melewati gerbang, lantas memacu mobil hingga sampai di depan teras mansion itu.Seorang wanita berpakaian gaun malam tampak keluar dari mansion. Wanita berumur lima puluh tahunan itu terlihat begitu cemas dan kini berdiri di depan pintu menunggu mobil Alex berhenti dengan sempurna.“Kamu menemukannya?” tanya wanita yang tak lain adalah Evelia Fanneta—Ibu Selena, saat melihat Alex keluar dari mobil.“Tidak susah menemukannya, Bibi,” jawab Alex sopan, bahkan dengan senyum ramah
Di sebuah kota kecil, di belahan dunia lain. Seorang pria berumur dua puluh tujuh tahun, tampak berjalan masuk ke sebuah kantor berukuran kecil. Suara sol tak terlalu menggema ketika menapaki lantai, beberapa orang yang berpapasan tampak membungkuk memberi hormat.“Bagaimana perkembangannya?” tanya pria berpakaian formal itu kepada pria yang mengikuti langkahnya.“Semuanya sudah diurus dengan baik, tinggal mengeluarkan surat izin pembangunan saja,” jawab pria yang ternyata adalah asisten pribadinya.Pria itu masuk ke salah satu ruangan, lantas disambut oleh pria lain di sana.“Senang sekali bertemu dengan And, Pak Archie.” Pria tua bertubuh gempal itu langsung berdiri begitu melihat siapa yang datang.Archie Sayaka, putra kedua dari keluarga Sayaka, adik dari Alexander Sayaka. Pria blesteran Jepang-Prancis itu tampak memiliki wajah manis dengan kulit putih bersih. Meski wajahnya tampak seperti orang China, tapi pada kenyataannya Archie memiliki rambut berwarna kecoklatan seperti ibuny
Rambut berwarna hitam pekat panjang itu tergerai indah, diterpa angin yang membuat rambut itu melambai ke belakang. Tubuh rampingnya berbalut kemeja berwarna cokelat dengan bagian bawah yang masuk ke celana berbahan jeans berwarna biru muda.“No! No! No!” pekik gadis itu saat moncong kuda hampir mencium kepala Archie.Namun, siapa sangka jika tujuan utama Archie bukanlah menghentikan kuda itu, tapi menurunkan gadis yang ada di atasnya. Saat kuda itu hampir sampai di tempatnya berdiri, Archie sedikit minggir lantas kedua tangan dengan sigap meraih tangan gadis yang menunggangi kuda itu. Dia lantas menarik dan membawa gadis itu ke dalam pelukan.Kuda itu masih terus berlari dengan cepat, meninggalkan sang pemilik yang sudah tak berada di atas punggung.Sedangkan gadis itu sangat terkejut dengan yang dilakukan Archie, dia dan Archie jatuh ke tanah dengan posisi adik Alex itu berada di bawah.Hubert yang tadi memejamkan mata, lantas sedikit mengintip untuk melihat apa yang terjadi. Sampai
Di kota tempat Alex tinggal. Alex terlihat duduk dengan gelas berisi minuman di tangan. Dia lantas memejamkan mata seolah sedang mengingat sesuatu.“Cukup minumnya! Kamu sudah mabuk berat!” Alex tampak mengambil paksa gelas kristal dari tangan seseorang.“Lex! Biarkan sekali ini saja aku mabuk!” Suara pemuda yang kini bersama Alex terdengar begitu berat, kelopak matanya hampir tertutup, wajahnya memerah karena pengaruh dari alkohol yang masuk ke tubuh.Alex menggelengkan kepala, meletakkan gelas yang dipegang ke meja, lantas bersiap memapah pemuda mabuk itu pergi dari sana.“Kita pulang sekarang, aku akan mengantarmu,” ucap Alex merangkulkan satu tangan pemuda mabuk itu melingkar di lehernya.Namun, pemuda itu menolak ajakan Alex. Dia kembali menarik tangan dari leher Alex dan duduk di tempatnya semula.Alex terkejut dengan penolakan pemuda itu, menatap tajam dan mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkan pemuda itu.“Lex, tolong … biarkan … biarkan aku sekali saja menjadi p
Selena masih tertidur pulas di kamar besarnya, di kasur yang berukuran king size nan empuk. Gadis itu tidur dengan posisi tengkurap di tepian ranjang, sedangkan satu tangan tampak menggantung ke lantai. Matahari yang meninggi, tak mengganggu tidur lelap gadis manja itu, meski sinarnya terasa menyengat di wajah manisnya dan langsung menyorot ke kelopak mata. Efek alkohol yang menguasai tubuh, membuat Selena benar-benar tak sadar sudah tidur berapa lama.“Selena, apa kamu tidak mau bangun untuk sekedar makan atau yang lainnya.” Suara lembut keibuan itu terdengar begitu nyaman di telinga. Evelia mencoba membangunkan Selena yang tak kunjung bangun meski waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.Selena tak bergerak, tampaknya dia memang sedang benar-benar menikmati mimpi indahnya, hingga tak mendengar jika sang ibu membangunkan.Evelia menghela napas kasar, putrinya itu memang selalu begini jika pulang dalam kondisi mabuk. Dia lantas berjalan ke arah jendela kaca yang membentang bagai d
Alex berangkat ke perusahaan seperti biasanya. Langkah kakinya yang begitu ringan tapi mantap, derap sol sepatu di lantai menciptakan suara yang menggema di koridor menuju ruangannya berada. Seorang pria lain berjalan di sebelahnya, pria itu adalah Aries—asisten serta tangan kanan kepercayaan Alex.“Bacakan jadwalku hari ini!” perintah Alex dengan suara pelan tapi tegas.“Siang ini Anda ada rapat dengan pihak Maxel Group, lalu dilanjut ….” Aries membacakan rentetan jadwal yang harus dikerjakan oleh Alex.Alex mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk kecil untuk membalas sapaan staf yang memberinya hormat. Meski Alex adalah pemimpin tertinggi di sana dan terkenal kaku, keras, juga dingin, tapi dia selalu ingat akan nasihat Claira—sang ibu. Wanita paruh baya itu selalu berpesan agar tetap menghormati orang-orang disekitar, meski pria itu bersikap dingin.“Oh ya, Apa sudah ada kabar dari Hubert?”
Di sebuah kamar hotel berukuran besar dan terkesan mewah, dua manusia berlawanan jenis tampak sedang mengarungi bahtera penuh gairah untuk mencapai kenikmatan dunia. Namun, pria yang ada di atas tubuh wanita bertubuh polos nan seksi itu, tampak tak berkonstrasi dan lebih terlihat tak menikmati sama sekali percintaan panas itu.Alex mencoba melepas penat dengan mengajak bercinta seorang model ternama, berharap pikirannya bisa sedikit rileks dan tenang, setelah seharian merasa tertekan dan banyak sekali masalah yang dipikirkan. Namun, pada kenyataannya gairah itu memudar, seiring kata demi kata Sean yang terus terngiang di kepala.“Lex, apa kamu baik-baik saja? Apa ingin ganti posisi?” tanya wanita yang bersama Alex.“Sial!” Alex mencengkeram sprei seolah sedang meluapkan sesuatu.Alex memilih mengeluarkan miliknya, lantas bangkit dari posisi dan turun dari ranjang. Wanita yang tak sekali pernah melayani Alex, keheranan dengan sikap
Lima tahun kemudian.“Alex.” Suara itu terdengar begitu berat karena napas yang tersengal.Selena memeluk erat tubuh pria yang sangat dicintai dan menikahinya sejak lima tahun lalu itu. Napasnya terengah saat tubuhnya terus dipacu dan membuat gairahnya semakin memuncak untuk menuntuk dibebaskan.Alex tengah memacu tubuh sang istri yang berada di bawah kungkungannya, peluh bermanik di wajah dan seluruh tubuh, napasnya memburu hingga dada naik turun tak beraturan.Suara desahan terdengar begitu merdu mengiringi kegiatan mereka, Selena yang selalu bersikap aktif saat bercinta, mampu membuat Alex bergairah dan mencapai klimaksnya.Sentakkan itu terasa penuh di rongga yang sudah basah akan cairan, membuat sang empu pemilik rongga mendongak karena penuh dan sesak yang terasa.Lima belas menit berlalu mereka melakukan penyatuan, hingga gelombang besar datang dan menggulung mereka, meluapkan hasrat yang menggunung dan membebaskan mereka dari cengkraman gairah.Selena menatap wajah lelah suami
Carly terlihat baru saja keluar dari sebuah hotel setelah menghadiri sebuah pesta, ketika baru saja masuk mobil yang terparkir, mata pistol langsung menempel di pelipisnya.Carly tampak terkejut, lantas melirik ke samping di mana ada seseorang yang ternyata duduk di sana dan mengarahkan pistol ke keningnya.“Sudah kuduga itu kamu,” ucap Carly dengan senyum tipis di wajah.“Terkejut aku masih hidup?” Alex bersiap menarik pelatuk.“Tidak, untuk apa aku terkejut.” Carly terlihat begitu santai meski kini ada pistol yang siap memuntahkan timah panas ke kepalanya.Alex menyeringai, tidak menyangka jika Carly bisa terlihat begitu tenang setelah semua perbuatan yang dilakukannya. Alex sudah mendapatkan informasi jika orang-orang yang menyerangnya adalah anak buah Carly, membuatnya juga murka karena anak buah Carly juga telah menyerang Sheena.“Setelah semua yang kamu perbuat, tampaknya aku tidak bisa berdiam
Selena terus menatap wajah Alex, sungguh tidak menyangka dirinya masih diberi kesempatan melihat pria itu lagi.Mereka kini berada di kamar berdua karena Alex ingin istirahat, Archie dan kedua orangtua Alex pun membiarkan Selena masih di sana bersama Alex.“Kamu tahu betapa cemasnya aku saat tahu kamu hilang.” Selena menggenggam telapak tangan Alex erat seolah tidak ingin melepasnya.“Maaf, karena semuanya terjadi begitu cepat,” ucap Alex yang merasa bersalah karena semua orang mencemaskan dirinya.Selena tersenyum hangat, tatapannya tertuju ke genggaman tangan Alex.Alex sendiri tidak pernah melihat senyum sehangat dan setenang itu dari Selena, terakhir kali adalah sebelum Nathan meninggal.“Lex, apa kamu benar-benar akan menikahiku? Aku tahu ini bukan waktu yang pas, tapi aku hanya ingin memastikan,” ucap Selena sambil memandang Alex.Alex terlihat gusar, di satu sisi dirinya sudah berjanji ke orangtua Selena dan orangtuanya jika akan menikahi Selena, tapi di sisi lain dirinya juga
Pria itu menarik Sheena dari bawah ranjang meski Sheena terus memberontak.“Tutup pintunya!” perintah pria itu kepada temannya yang berjaga di pintu.Pintu itu tertutup, hingga pria yang ternyata adalah pemburu Alex yang menginginkan Sheena, kini tersenyum melihat wajah ketakutan Sheena.Pria itu melempar tubuh Sheena di ranjang, sebelum kemudian mengukung tubuh wanita itu dengan kedua tangan Sheena yang ditahan di atas kepala.“Lepas!” Sheena terus memberontak tapi semua sia-sia.Pria itu menyeringai, puas saat melihat wajah ketakutan Sheena serta pemberontakan gadis itu.“Kamu tidak mau aku ajak baik-baik, jadi jangan salahkan aku jika memaksamu,” ucap pria itu masih dengan seringai jahatnya.“Dasar bajingan! Lepaskan aku!” umpat Sheena terus memberontak.“Lepas? Boleh, tapi setelah aku terpuaskan,” ujar pria itu lantas menarik paksa pakaian bagian atas milik Sheena.Sheena sangat terkejut, kini tubuh bagian atasnya terbuka dan memperlihatkan kulit mulusnya, serta ada bekas merah ke
Selena berdiri dengan wajah gusar dan tatapan penuh kecemasan. Ditatapnya landasan pacu di hadapannya itu dengan hati penuh kegelisahan. Menanti seseorang yang sangat dicintainya, menunggu rasa rindu dan kekhawatiran itu dilepas ke sang pemilik hati.Hingga pesawat pribadi terlihat mulai turun di landasan pacu bandaran itu. Selena menegakkan badan, begitu juga dengan Archie dan yang lainnya. Mereka menunggu kedatangan Alex.Saat pesawat itu mendarat, serta tangga mulai dipasang dan pintu terbuka. Selena menatap cemas serta berharap jika keinginannya untuk bertemu Alex terkabul. Ketika sosok yang ingin dilihatnya tampak keluar dari pesawat dan kini menuruni anak tangga.Archie juga kedua orangtuanya terlihat begitu lega melihat Alex yang akhirnya kembali, mereka tersenyum penuh rasa haru karena masih diberi kesempatan melihat pria itu.Selena ingin menangis tapi juga merasa bahagia, hingga gadis itu berlari dengan kencang, menghampiri Alex yang baru saja menginjakkan kaki di aspal.Sel
Selena masih termangu di kamarnya, waktu menunjukkan tengah malam tapi dia tidak bisa tidur karena terus memikirkan Alex. Buliran kristal bening terus luruh, Selena benar-benar tidak akan bisa hidup tanpa Alex. Dia menyesal karena tidak melihat wajah pria itu sebelum Alex menghilang.“Alex, jangan sampai terjadi sesuatu denganmu.” Selena mengusap pipi yang basah dengan air mata.Saat kekalutan melanda, ponsel Selena berdering dan terpampang nama Archie di sana. Gadis itu buru-buru menjawab karena berharap ada berita baik tentang Alex.“Archie, apa kamu menemukan Alex?” tanya Selena begitu menjawab panggilan itu.“Ya, Alex selamat. Sekarang dia dalam penjemputan dan setelah itu akan langsung pulang untuk berkumpul dengan kita,” jawab Archie dari seberang panggilan.Darah Selena mendesir mendengar kabar itu, air mata semakin tumpah karena rasa bahagia akan kelegaan yang sedang dirasakan. Doanya sepanjang malam tidak sia-sia karena akhirnya Alex ditemukan dalam kondisi selamat.“Kapan di
Satu malam mampu menyatukan dua insan yang awalnya tidak kenal. Mereka melakukannya atas dasar suka, bukan cinta yang biasa diharapkan oleh orang. Mungkin tidak bagi Sheena, dia benar-benar jatuh hati kepada Alex sejak pandangan pertama.“Aku sudah menghubungi nomor yang kamu minta, dia akan mengirimkan helikopter di tempat yang sudah aku minta,” ujar Sheena saat dirinya masih berada di dalam pelukan Alex.“Ikutlah denganku, Shee.” Alex mengecup pucuk kepala Sheena setelah selesai bicara.Keduanya berbaring di atas jerami yang tertutup kain, Sheena menatap Alex yang terus memandangnya.“Aku tidak bisa, Lex. Mungkin tidak untuk saat ini,” ucap Sheena. Banyak hal yang membuatnya tidak bisa meninggalkan desa itu.“Tapi kamu akan lebih aman ikut denganku, Shee.” Alex cemas jika sampai pria yang memburunya, kembali mendatangi Sheena.“Jika aku tiba-tiba pergi, warga di sini akan curiga, padahal mereka sudah mati-matian membelaku. Mungkin akan lebih baik jika kamu keluar dulu dari desa ini
“Kamu baik-baik saja? Maaf sudah melibatkanmu sampai seperti ini.” Alex menatap Sheena yang baru saja datang dan membawakan makanan untuknya.Sheena tersenyum menanggapi ucapan Alex. Memilih meletakkan nampan yang dibawa di atas tumpukan jerami, sebelum kemudian duduk berhadapan dengan pria yang ditolongnya itu.“Tidak apa-apa, aku baik-baik saja.” Sheena mengusap hidung yang terasa berair. “Bukankah aku sudah bilang jika akan menanggung semua resiko karena telah menolongmu. Mungkin ini adalah salah satu bukti jika aku serius.”Sheena tersenyum getir saat mengingat kejadian yang menimpanya, tapi jelas dia tidak menyalahkan Alex atas semua kejadian hari ini.Alex menatap Sheena begitu dalam, bertanya-tanya kenapa Sheena sangat melidunginya, sedangkan mereka saja baru bertemu dan kenal secara tidak sengaja.Sheena mengangkat teko untuk menuangkan minum ke cangkir, tapi pergerakan tangan terhenti karena Alex menahan tangannya. Gadis itu pun menoleh dan memandang Alex yang sudah menatapny
“Menyingkir dariku!” Sheena berusaha mendorong tubuh pria itu yang ada di hadapannya agar bisa pergi.Namun, pria itu mempertahankan posisinya berdiri, bahkan kini memegang kedua pergelangan tangan Sheena lantas menaikkan ke atas kepala gadis itu, merapatkan di daun pintu kemudian menguncinya dengan satu tangan. Lutut pria itu pun bertumpu di daun pintu, berada tepat di antara kedua kaki Sheena hingga membuat gadis itu tak berkutik.“Kamu sangat menarik dengan terus melawanku.”Pria itu menyeringai melihat Sheena yang tidak bisa melawan lagi.“Brengsek sialan! Enyahlah dari hadapanku!” Sheena sampai meludah ke wajah pria itu karena geram.Alex ternyata bersembunyi di jerami tepat belakang Whalle, dia melihat bagaimana pria itu memperlakukan Sheena. Ingin keluar dan menolong, tapi Whalle menghadang papan yang ada di depan jerami, sehingga Alex tidak bisa keluar.Pria tadi tersenyum getir diludahi Sheena, tapi mungkin pria itu gila karena mengusap ludah itu dari wajahnya, kemudian menji