Aku tak bisa mengalihkan pandangan dari sosok macan kumbang itu. Nafasku tersengal, seluruh tubuh menegang. Sementara macan itu mulai bergerak maju dengan langkah perlahan, siap menerkam. Jarak kami tak lebih dari beberapa meter. setiap detik yang kulewatkan tanpa bergerak mungkin menjadi kesempatan bagi binatang itu untuk menyerang.Titik melayang mendekatiku, matanya berkilat waspada. “Raden, tenang. Jangan lakukan gerakan tiba-tiba,” bisiknya lembut, suaranya penuh kehati-hatian.Tubuhku bergetar, tapi aku mencoba menuruti kata-kata Titik. Sayangnya kakiku gemetar tak bisa diajak kompromi. Namun aku berusaha menyakinkan diri dan mengingat apa yang pernah kubaca jika bertemu hewan buas di hutan. Terpaksa kutatap langsung mata hewan itu. Aku berusaha menunjukkan bahwa aku bukan mangsa yang lemah.Macan itu berhenti sejenak, seolah menimbang gerakanku, tatapannya tetap tajam dan tak berkedip. Kami terlibat dalam pertarungan diam di bawah langit malam yang pekat, masing-masing saling m
Toporejo terdiam sejenak, menatap hutan di sekelilingnya, seakan memindai setiap sudut. “Punika tiyang ingkang nggegem drajat saha dhuwit. Pusaka ingkang panjenengan gadhahi dados pintu tumrap kasiliran tumrap pepunden Jawi. Tiyang punika mboten namung mburu raga panjenengan, nanging ugi batin saha kasampurnanipun.” [Orang itu adalah seseorang yang berambisi akan kekuasaan dan harta. Pusaka yang Anda miliki menjadi gerbang bagi mereka untuk menguasai leluhur Jawa. Mereka bukan hanya mengincar fisik Anda, tetapi juga jiwa dan kesempurnaan Anda.]Aku merasakan bulu kudukku berdiri mendengar kata-katanya. Seakan ini bukan sekadar persaingan atau kekuasaan biasa; ada sesuatu yang lebih besar, lebih mendalam.Toporejo menatapku kembali, kali ini dengan sorot penuh keyakinan. “Nanging aja wedi, Raden Ayu. Panjenengan sampun dados ingkang kapilih. Saged kula sumerep, sanadyan tantangan punika ageng, panjenengan inggih kedah terus maju. Kula saha sedaya danyang ten tanah Jawi punika bakal ngu
Suara desir angin mengiris malam, mengantar pedang yang meluncur tepat ke arahku. Kilauan senjata itu seperti kilat yang terpantul di mataku, mendekat dengan kecepatan yang membuat bulu kudukku berdiri. Detik-detik melambat, dan jantungku seperti berhenti sesaat, terperangkap dalam kepanikan yang seakan membeku di udara dingin.Tepat saat pedang itu nyaris menyentuh, Titik menerjang maju, tubuhnya berubah menjadi bayangan hitam pekat yang menghalau serangan, membuat pedang pria itu terpental dengan bunyi **dentang** nyaring. Pria itu terhuyung mundur, terkejut, namun dengan cepat ia menegakkan diri, menghunuskan pandangan penuh kebencian ke arah kami. Tiga sosok lain segera menyusul, mengepungku dari berbagai sisi.Aku menggenggam pusaka itu lebih erat, mencoba mengatur napas yang tersengal-sengal. Rasa dingin menjalar dari ujung pusaka ke telapak tanganku, menenangkan ketakutan yang menggelora. Di belakangku, gerbang batu yang baru saja kubuka memancarkan cahaya terang, seperti undan
“Buktikan keberanianmu,” bisik suara itu. “Atau tinggalkan pusaka ini selamanya.”Apa yang harus aku buktikan? Namun, belum sampai selesai kuberpikir. Tiba-tiba banyangan pekat itu menyerangku, hingga aku tersungkur menerima pukulannya.Dadaku terasa nyeri saat terhempas ke lantai keras. Napasku terhenti sejenak, tetapi aku segera bangkit, meskipun tubuhku masih bergetar oleh serangan tiba-tiba itu. Bayangan pekat itu mengelilingiku, seperti asap hitam yang mengerikan, memadat dan kemudian berubah menjadi sosok pria tinggi dengan wajah buram. Matanya bersinar merah, penuh ancaman, dan tangannya berbalut kabut hitam yang meliuk seperti ular.Aku menelan ludah, berusaha menahan rasa takut yang mulai menyelinap. Sebelum aku sempat bersiap, bayangan itu menyerang lagi, kali ini lebih cepat, seperti badai gelap yang menghempas ke arahku. Aku mengangkat pusaka di tanganku, berharap benda itu bisa memberiku perlindungan, tetapi serangannya begitu kuat. Tubuhku terlempar ke belakang, membentur
Sentuhan dingin di bahuku membuatku tersentak. Meski mataku masih disilaukan oleh cahaya putih, instingku langsung memerintahkan untuk bergerak, melompat menjauh dari siapa pun yang berada di belakangku. Namun, cengkraman di bahuku begitu kuat, seolah ingin mengikatku pada tempatku berdiri. Suara bisikan itu terdengar jelas, bergema dalam keheningan ruangan yang kini dipenuhi bayangan aneh yang bergerak-gerak dalam cahaya.Aku memberanikan diri untuk membuka mata, dan kulihat sosok bayangan tadi berdiri tepat di depanku, meski tubuhnya kini tampak pecah-pecah, seperti kaca yang retak, menyisakan celah-celah gelap di sekujur tubuhnya. Cahaya dari pusaka di tanganku terus mengalir ke arahnya, menyelimuti sosoknya yang mengerikan. Meski terlihat kesakitan, ia tak henti-hentinya menyeringai, seolah menganggap semua ini sebagai permainan.“Jangan kira kau menang,” bisiknya dengan nada penuh ancaman, suaranya seperti desis ular yang mengerikan.Aku menelan ludah, rasa takut dan amarah berpu
Rasa sakit menyengat di setiap inci tubuhku, seperti ribuan pisau tajam yang menembus kulit. Namun, di tengah badai bayangan yang menyerangku dari segala arah, aku tetap menggenggam pusaka itu erat-erat, meski tanganku mulai gemetar hebat. Pusaka di tanganku terasa semakin panas, nyalanya semakin terang hingga tak tertahankan, seolah merespons tekadku yang menguat seiring rasa sakit ini.“Aku tidak akan menyerah!” aku berteriak, suaraku menggelegar di ruang yang dipenuhi bayangan. Dengan seluruh energi yang tersisa, kutekan pusaka ke depan, membiarkan cahaya panasnya meledak dalam satu hentakan. Aku tak tahu apakah ini akan berhasil, tapi aku tak peduli lagi.Badai bayangan itu tersentak, gelombang cahaya dari pusaka menyapu mereka, menghantam ribuan bilah tajam yang mulai melebur dalam cahaya yang kian menyala-nyala. Sosok hitam di depanku meringis, retak-retak di tubuhnya semakin lebar, pecahan bayangan beterbangan dari tubuhnya seperti debu. Namun, alih-alih melemah, tatapannya sem
Suara lembut itu seperti belaian hangat yang menembus kegelapan di sekitarku, menenangkan tapi penuh kekuatan yang tak terbantahkan. Perlahan-lahan, kesadaranku mulai kembali, meski tubuhku terasa berat seperti tertimpa beban yang tak terlihat. Aku mencoba membuka mata, dan dalam remang-remang yang samar, kulihat sosok anggun yang berdiri di depanku. Jubahnya berwarna merah darah, dihiasi perhiasan emas berkilauan yang menyatu dengan kulitnya yang pucat, sementara matanya memancarkan ketegasan yang dalam dan menenangkan.“Kanjeng Ratu,” bisikku, tak percaya pada apa yang kulihat.Dia tersenyum tipis, penuh wibawa. “Kau telah melewati banyak cobaan, Raden Ayu. Tapi tugasmu belum selesai.”Jantungku berdegup cepat, memukul keras di dadaku. Napas masih berat dan tubuhku terasa lemah. “Apa yang harus kulakukan, Kanjeng Ratu?” tanyaku, meski suaraku masih gemetar.Ia melayangkan tangan halusnya ke arahku, dan tiba-tiba kabut hitam di sekitar kami mulai bergerak membentuk sebuah pintu berca
Saat kabut itu terpecah, aku bisa merasakan embusan angin segar dari dunia luar menyapu wajahku. Mataku yang sebelumnya terpejam karena tak tahan melihat cahaya terang-benerang perlahan terbuka. Keindahan pemandangan membuatku terpana. Rasanya aku seperti berada di surga. Kucubit lenganku, berusaha menyadarkan diri. Aku takut jika ini adalah mimpi. Titik yang sebelumnya menghilang entah ke mana, kini dari kejauhan melambaikan tangan padaku. Aku mulai mendekatikanya, tetapi selama berjalan ke arahnya, mataku tak bisa berkedip. Ada banyak hewan yang sudah dinyatakan punah. Di sini ada burung dodo yang berwarna-warni, badak bercula satu, Ibex pyrenean yang tengah berlari diburu harimau bali, Auroch Eurasia yang sedang merumput, bahkan Elang ekor putih dan sekelompok kupu-kupu biru besar yang menari-nari di udara.Aku terpana, melangkah perlahan sambil mengamati setiap detail keindahan yang belum pernah kusaksikan sebelumnya. Hewan-hewan itu berjalan dan terbang dengan damai, seolah tahu
Dokter itu tertawa lembut, seolah ingin menenangkan kami. "Dea, hasil tes menunjukkan bahwa kamu hamil. Kamu berada dalam kondisi yang sangat baik, meskipun sempat mengalami mual dan kelelahan. Namun, jangan khawatir. Kondisi ini sangat normal, terutama jika ada perubahan fisik atau emosional."Aku terdiam, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Hamil? Aku hamil? Pikiranku terasa berputar. Tidak ada yang pernah menyebutkan ini sebelumnya, dan tentu saja, aku tidak pernah memikirkan hal ini."Aiden." aku berbisik, suaraku gemetar. "Aku hamil?"Aiden menggenggam tanganku lebih erat. "Iya, Sayang. Kamu hamil. Ini berita yang luar biasa, kamu jangan cemas. Kita akan menghadapinya bersama-sama."Aku terdiam, merasakan campuran perasaan yang sangat dalam. Di satu sisi, ada kebahagiaan yang tak terlukiskan, namun di sisi lain, aku merasa cemas. Bagaimana kami akan menjalani semua ini? Apa arti semua ini untuk kami? Dan yang terpenting, apakah kami siap dengan segala perubah
Dengan langkah yang berat, Aiden menarikku pergi dari pinggir sungai yang seakan berusaha menahan kami. Aku bisa merasakan kekuatan Alam Pusaka yang menahan kami, seolah tempat ini tidak ingin kami pergi begitu saja. Suasana yang tadinya penuh keindahan kini terasa penuh dengan ancaman yang tak terduga. Namun aku percaya pada suamiku, dan aku tahu, ia tidak akan membiarkan aku terluka.Akhirnya, setelah perjuangan panjang, kami tiba di batas Alam Pusaka, tempat yang menjadi pemisah antara dua dunia. Keindahan yang dulu kurasakan kini perlahan memudar, digantikan oleh rasa lega yang datang saat kami kembali ke dunia manusia.Tiba-tiba, aku merasakan tubuhku sedikit lebih baik. Rasa mual yang semula mengguncang perlahan mulai hilang, dan aku bisa merasakan kembali kekuatan dalam tubuhku. Aiden melepaskan pelukannya, meskipun aku bisa merasakan ketegangan yang masih ada di tubuhnya."Kita sudah kembali," katanya dengan suara yang lebih tenang, namun masih terdengar kelelahan. "Tapi aku r
Selama di Alam Pusaka. Aku bisa melihat keindahan yang tidak bisa kulihat selama di dunia manusia. Meskipun aku tidak bisa melihat Aiden secara jelas, setidaknya aku bisa melihatnya dalam bentuk bayangan. "Aku senang sekali melihatmu berlari dan menari seperti ini, Sayang. Ada perasaan sedih juga karena biasanya aku yang membantumu melakukan aktivitas sehari-hari. Di sini, kamu bisa melakukannya sendiri," ucap suamiku lembut, suaranya mengalir seperti aliran sungai yang jernih di depan kami, menenangkan sekaligus menghangatkan.Kami duduk di pinggir sungai yang indah, airnya yang jernih mengalir begitu tenang. Suasana ini begitu damai, dan aku merasa seolah dunia ini hanya milik kami berdua. Di sini, aku tidak merasa terbebani oleh keterbatasan penglihatanku. Alam Pusaka, dengan segala keajaibannya, memberiku kebebasan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Aku bisa merasakan udara yang lebih segar, aroma bunga yang jarang ditemukan di dunia manusia, dan setiap detik terasa begitu b
Pagi itu, di ruang tamu yang hangat, suasana terasa berbeda. Aiden, suamiku duduk di depan keluarga besarnya, seakan hendak mengungkapkan sesuatu yang penting. Aku berada di sampingnya dengan tenang, meski tampak sedikit cemas. Keluarga sudah berkumpul, mendengar dengan penuh perhatian."Aiden, kamu tampaknya tidak seperti biasanya," kata Oma menyelidik situasi. "Ada apa? Kamu biasanya lebih ceria kalau bicara soal perusahaan."Aiden menarik napas dalam-dalam. "Aku dan Dea akan pergi berbulan madu," ucapnya dengan nada yang mantap, tetapi ada keraguan yang samar terbersit. Semalam kami sudah mengobrol, dan ia sempat mengungkapkan keresahan. Takut kalau tempat itu akan menstimulus traumaku. Namun, aku meyakinkannya. karena di sana aku bisa melihat pemandangan banyak hal karena diselimuti alam gaib. "Ke mana?" tanya Mama Rita, tertarik. "Ada tujuan spesial, Nak?""Alam Pusaka," jawab suamiku, membuat suasana hening seketika. Dea menundukkan kepala, berusaha menahan perasaan yang datang
Malam itu, suasana ruang makan sudah penuh kehangatan. Aroma makanan khas keluarga memenuhi udara, membuat perutku yang tadinya gelisah kini mulai terasa lapar. Semua orang sudah duduk di tempatnya masing-masing, berbincang dengan riang. Aku dan Aiden datang terakhir, menambahkan kursi di sisi meja untuk kami berdua. Mama Rita langsung tersenyum hangat melihat kami. “Akhirnya kalian datang. Kami sudah hampir mulai, loh.” Aiden membantu menarik kursiku dengan lembut, memastikan aku duduk dengan nyaman sebelum ia duduk di sebelahku. “Maaf, kami agak terlambat,” katanya dengan nada santai. “Dea tadi masih butuh waktu untuk bersiap.” Andre yang duduk di ujung meja, bercanda sambil tertawa kecil. “Ah, Aiden. Kamu makin romantis saja.” Semua orang di meja tertawa, kecuali aku yang hanya bisa tersenyum gugup. Rasanya sulit menyesuaikan diri dengan perhatian sebanyak ini. Namun, Aiden, yang sejak tadi menggenggam tanganku di bawah meja, memberiku rasa percaya diri. Setelah semua mak
Aku terdiam sejenak, merasakan pipiku mulai memanas mendengar ajakan Aiden. Suaranya begitu lembut dan menggoda, tetapi ada sesuatu di dalamnya yang membuat jantungku berdebar lebih cepat.“Aiden,” panggilku pelan, berusaha menyembunyikan rasa gugupku. “Kamu tahu aku tidak terlalu suka dengan ide itu. Lagipula, aku belum terbiasa dengan semua ini.”Aiden tertawa kecil, lalu duduk di sampingku. “Sayang, aku tidak memaksamu. Aku hanya ingin membuatmu nyaman. Setelah semua yang kita lalui, aku merasa kita pantas menikmati momen yang tenang bersama.”Aku merasakan tangannya menggenggam jemariku dengan lembut, seakan memberikan kehangatan yang menenangkan. “Kita tidak harus buru-buru, Dea. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, sepenuhnya untukmu.”Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk merespons. “Kamu terlalu manis, Aiden. Kamu bisa gendong aku?”Aiden terdiam sejenak, lalu aku mendengar tawanya yang lembut dan penuh kehangatan. “Tentu saja, Sayang
"Titik!" pekikku tak sadar. Makhluk halus yang hendak pergi itu langsung berbalik ke arahku."Raden Ayu!" kagetnya. Dia kemudian berteriak. "Woy! Dalbo! Raden Ayu bisa melihatku!"Dalam hitungan sekejap sosok yang panggil pun datang. "Benar Raden bisa melihat kami?""Benar, Dalbo. Bagaimana kabar kalian.""Kami semua baik, Raden Ayu," jawab Dalbo. "Yang dikatakan Kanjeng Ratu benar-benar terjadi," ujar Titik. Aku bisa melihat bagaimana ekspresinya. Namun tiba-tiba seseorang keluar dari kamar mandi."Aiden?""Iya, Sayang?" ia mendekat ke arahku. "Kenapa masih memanggilku dengan nama? Panggil Sayang dong." Kemudian hendak menciumku, tetapi segera kutahan."Apa kamu tidak malu dilihat mereka?" cegahku karena Dalbo dan Titik terperangah melihat kami."Mereka?""Titik dan Dalbo. Mereka sedang di sini kan? Bahkan mereka terkejut melihat kamu mau menciumku."Aiden bergeming. "Kamu bisa melihat mereka? Bukannya Ayah bilang kalau kamu bahkan tidak bisa melihat apapun termasuk dunia gaib?""Se
Aku menenggak salivaku dengan paksa. Saling mencintai? Waktu seakan berhenti saat tebakan tersebut terlontar padaku. Sedangkan Aiden tampak enteng menjawab pertanyaan tersebut."Aku memang cinta sama De, Oma. Tapi belum tentu dengan Dea." Pria itu melepaskan keluhan hatinya yang kukira tak akan dibahas lagi.Ruangan mendadak hening setelah pengakuan Aiden. Nahasnya aku pun gugup, "A-aku..." Kalimat itu menggantung, rasa bingung menderai kepalaku."Kalau begitu, kamu harus berjuang lebih cerdas lagi Aiden," sahut Oma. "Begitu ya, Oma?""Iya dong, Aiden. Zaman sekarang kerja keras doang kan nggak cukup," kekeh Oma."Siap, Oma!" ucap Aiden yang langsung berdiri. Entah apa yang dia lakukan, tetapi semua orang tergelak karea dia. Saat gemuruh tawa mulai mereda, Oma bertanya padaku dengan lembut."Dea," panggilnya lembut penuh kasih."Iya, Oma?""Apa kamu nyaman bersama Aiden?" Aku terdiam sesaat. Pertanyaan tersebut terasa tak membebankan dibandingkan sebelumnya. "Nyaman, Oma.""Syukurla
"Gausah pegang-pegang istriku. Pegang istrimu sendiri sana!" nyolot Aiden. "Yaelah. Jabat tangan doang," balas Andre. Sayangnya aku cukup terkejut saat orang lain memanggil namaku. "Hai, Dea. Sudah lama tidak bertemu." Kali ini suaranya terdengar lembut. Itu adalah Ghiselle. Perempuan yang sebelumnya memusuhi dengan terang-terangan. Namun, hari ini aku merasakan frekuensi yang cukup nyaman daripada pertemuan terakhir kami."Iya. Ghiselle." Baru saja menjawab, "Iya Dea. Ak-" ucapan wanita itu terputus karena Mama Rita memanggil kami untuk segera bergabung ke ruang makan."Ayo, De," ajak Aiden kembali membawaku berjalan tanpa tongkat. Langkah kakinya yang lebar sudah ia kontrol mengikuti langkah kakiku. Aku bisa merasakan perubahannya yang sebelumnya kikuk menjadi sangat santai hari ini. Sepertinya ia sudah sangat cocok menjadi relawan untuk orang tuna netra sepertiku. Dia bahkan bisa mengingat detail kecil keperluan sehari-hari. Banyak hal yang ia rubah agar menjadi tempat inklusi ba